Rabu, 24 November 2010

Kritik Sastra dalam Perspektif Feminisme

Gunoto Saparie
http://www.suarakarya-online.com/

DEWASA ini di berbagai belahan dunia, perempuan mulai bangkit mempertanyakan dan menggugat dominasi dan ketidakadilan yang terjadi dalam sistem patriarkhi. Perempuan selama ini memang telah mengalami subordinasi, represi, dan marjinalisasi di dalam sistem tersebut, di berbagai bidang, termasuk di bidang sastra. Dalam sejarah kesusastraan di berbagai wilayah, kita akan melihat berbagai keadaan yang memiliki persamaan sehubungan dengan keberadaan perempuan di bidang ini, yakni tersubordinasi dan termarjinalisasinya keberadaan mereka, baik pada tataran proses kreatif, kesejarahan, maupun sosial.

Di Indonesia, seperti pernah dikatakan Nenden Lilis A, keterpojokan perempuan di dunia sastra juga terjadi, meski tak seseksis di Amerika. Sejarah kesusastraan kita sempat mencatat nama-nama dan karya-karya perempuan. Tetapi dalam penilaian terhadap karya-karya mereka banyak terjadi pengabaian. Kritik kesusastraan lebih banyak difokuskan pada karya laki-laki sehingga pendeskripsian tentang wawasan estetik hanya didasarkan pada apa yang dicapai oleh laki-laki. Akibatnya, apa yang pernah dicapai perempuan, yang sebenarnya penting, tidak terjelaskan.

Maria Amin, misalnya. Penyair ini hidup di zaman Jepang. Saat itu, bentuk puisi kita mulai membebaskan diri dari aturan-aturan puisi lama dan menerima bentuk puisi Barat yang lebih bebas, terutama dari Eropa, seperti soneta, dan juga bentuk-bentuk lain seperti dilakukan Chairil Anwar. Maria Amin tampil dengan sajak berbentuk prosa yang belum dilakukan penyair sebelumnya. Namun, tak ada kritikus yang melihat hal ini sebagai suatu fenomena, apalagi menilainya sebagai pembaru puisi Indonesia.

Selain pada tingkat kesejarahan di atas, contoh lain dapat dilihat secara sosial pada pelibatan penulis-penulis dari kalangan perempuan dalam even-even sastra. Paling tidak hingga 1990-an, sebelum gencar desakan-desakan untuk memberi perhatian yang proporsional terhadap perempuan, even-even sastra sangat jarang melibatkan perempuan. Kasus-kasus lainnya terlihat dari minimnya perempuan yang terlibat dalam kesusastraan. Selain minim, usia berkarya mereka pun relatif pendek (pada umumnya mereka berhenti setelah memasuki lembaga perkawinan). Hal ini menunjukkan bahwa untuk berproses kreatif, perempuan mengalami hambatan sosiologis.

Kondisi-kondisi timpang di atas, seiring gerakan feminisme di berbagai belahan dunia dan berkembangnya kajian-kajian perempuan, dipertanyakan para feminis. Para feminis melihat perlu ada pengkajian dan penyusunan ulang terhadap kondisi kesusastraan itu dengan apa yang kemudian dinamakan kritik sastra feminis.

Kritik sastra feminis secara teknis menerapkan berbagai pendekatan yang ada dalam kritik sastra, namun ia melakukan reinterpretasi global terhadap semua pendekatan itu. Kritik yang mula-mula berkembang di Prancis (Eropa), Amerika, dan Australia ini merupakan sebuah pendirian yang revolusioner yang memasukkan pandangan dan kesadaran feminisme (pandangan yang mempertanyakan dan menggugat ketidakadilan yang (terutama) dialami perempuan yang diakibatkan sistem patriarkhi) di dalam kajian-kajian kesusastraan.

Lebih adil dan proporsional

Dengan kritik itu diharapkan penyusunan sejarah, penilaian terhadap teks-teks yang ditulis perempuan menjadi lebih adil dan proporsional. Karena itu terdapat dua fokus di dalam kritik ini. Fokus pertama adalah pengkajian ulang sejarah kesusastraan, termasuk mengkaji lagi kanon-kanon yang sudah lama diterima dan dipelajari dari generasi ke generasi dengan tinjauan feminis dan menggali kembali karya-karya dan penulis-penulis dari kalangan perempuan yang ter(di)pendam selama ini.

Fokus kedua, mengkaji kembali teori-teori dan pendekatan tentang sastra dan karya sastra yang ada selama ini dan tentang watak serta pengalaman manusia yang ditulis dan dijelaskan dalam sastra. Selama ini para feminis melihat ada pengabaian terhadap pengalaman-pengalaman perempuan. Di sini, kritik sastra feminis menyediakan konteks bagi penulis perempuan yang mendukung mereka agar mampu mengungkapkan pengalaman, perasaan, dan pikiran yang selama ini diredam.

Tetapi, perlu dicatat, seperti gerakan/ideologi feminis itu sendiri yang tidak monolitik (terdiri atas berbagai aliran), kritik sastra feminis yang memang tumbuh dari gerakan ini, juga tidak monolitik.

Feminisme terdiri atas aliran-aliran liberalis, marxis, sosialis, eksistensialis, psikoanalitik, radikal, posmodern, dan lain-lain, yang masing-masing memiliki perbedaan pandangan/penekanan dan tak jarang bertentangan. Ada feminisme yang sangat maskulin, ada yang antimaskulin, ada pula yang ingin menjadi partner dengan maskulinitas.

Hal ini berpengaruh pula di dalam cara memandang, menilai, dan menetapkan kriteria-kriteria kesusastraan yang sesuai dengan pandangan feminisme. Tokoh-tokoh seperti Helena Cixous, Virginia Wolf, Kate Millet, dan lain-lain, yang merupakan kritikus sastra feminis berasal dari aliran yang berbeda. Cixous misalnya, penganut feminisme postmodern, Wolf adalah seorang feminis marxis, dan Millet seorang feminis radikal. Keberagaman itu dapat saling mengisi, tapi dapat bertentangan dalam pengejawantahannya dalam kritik sastra feminis.

Berdasarkan keberagaman ini, dalam kritik sastra feminis ditemukan kritik gynocritics, ideologis, melakukan kajian terhadap sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita yang lebih menekanan perbedaannya dengan tulisan laki-laki. Kritik sastra feminis ideologis memusatkan perhatian pada cara menafsirkan teks yang melibatkan pembaca perempuan.

Yang dikaji adalah citra/stereotip perempuan dan meneliti kesalahpahaman mengenai perempuan. Kritik sastra feminis sosialis/marxis melihat tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra dari sudut kelas-kelas masyarakat, dan kritik sastra feminis psikoanalitik menolak teori Sigmund Freud dalam pengkajian karya sastra. Masih banyak ragam lainnya, seperti kritik sastra feminis lesbian, dan ras (etnik).

Memang sulit untuk menyangkal, bahwa ada banyak perubahan yang terjadi di dunia sastra Indonesia dalam kurun lima tahun terakhir. Salah satu gejala perubahan yang sering muncul menjadi diskursus publik adalah lahirnya para penulis perempuan dengan karya-karya yang dianggap menawarkan kebaruan, laris di pasaran, dan beberapa emansipatoris. Banyaknya pembahasan tentang karya para penulis perempuan memancing munculnya perdebatan tentang kualitas kritis dan emansipatoris dari karya-karya ini dalam kolom-kolom di media massa. Semuanya menjadi begitu riuh: banyak orang berbicara tentang perempuan, karya, dan intertekstualitas yang melingkupinya.

Gejala perubahan kedua berkait dengan sedemikian terbukanya akses media massa untuk para penulis ini. Lalu lintas yang dahulu sedemikian terjaga antara yang sastra dan yang bukan, yang tinggi dan yang rendah, yang kanon dan yang populer, sekarang ini bisa mereka lintasi dengan mudah dan tanpa beban. Mereka muncul di media massa tidak saja berkait dengan konsep atau gagasan tentang karya yang mereka publikasikan, tetapi juga-sering kali-berkelindan dengan kehidupan dan sejarah personal mereka. Tetapi, siapa yang mengira bahwa bayang-bayang perubahan itu telah terjadi sejak enam atau tujuh dekade yang lalu? Mengapa elan perubahan itu seperti melintas begitu saja tanpa jejak dalam perkembangan sastra Indonesia sering kali tak terlacak dan tak tercatat?

Dalam perkembangan ilmu sosial sekarang ini, nilai personal dari penelitian tentang perempuan merupakan sesuatu yang secara tidak langsung memberikan ciri khas bagi perspektif feminis. Pengalaman ditimbang sebagai “sesuatu yang tidak bebas gender”, yang berarti bahwa gender adalah elemen yang turut membentuk apa yang disebut sebagai pengalaman. Karenanya, pengalaman personal peneliti sebagai bingkai analisis merupakan bagian dari metodologi yang seharusnya dipertimbangkan sebagai nilai lebih.

Dalam pandangan Elain Showalter, ada sejumlah tahapan yang terjadi dalam perkembangan kritik sastra feminis. Tahap pertama, kritik sastra feminis, menganalisis berbagai citra stereotip perempuan dengan kritis. Kebanyakan kritikus menganalisis bagaimana kaum pria memandang dan menggambarkan perempuan. Tahap kedua, perhatian diarahkan kepada para pengarang perempuan dan menitikberatkan pada penemuan kembali para penulis perempuan yang terlupakan serta evaluasi ulang terhadap sastra oleh kaum perempuan. Tahap ketiga, berusaha memecahkan masalah-masalah teoretis, merevisi pelbagai asumsi teoretis yang telah diterima masyarakat mengenai membaca dan menulis yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki.

Relatif Baru

Memang, kritik karya sastra dengan perspektif feminisme boleh dibilang relatif baru. Paling tidak, seperti pernah dikatakan Soenarjati Djajanegara, sampai saat ini belum banyak kritikus sastra dan mahasiswa sastra yang menggunakan perspektif feminisme dalam melakukan kritik terhadap karya sastra. Kita tahu, pada awalnya karya sastra perempuan di Amerika pun pernah dianggap tidak ada artinya. Anggapan itu muncul dari stereotip bahwa perempuan pasti akan membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan persoalan domestik. Bahkan, kalau ada karya yang baik dan bisa menggugah pembaca perempuan, dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan dan kredibilitas pengarang laki-laki. Karena itu tidak mengherankan kalau pada awalnya pengarang perempuan di Amerika pun pernah menggunakan nama samaran laki-laki agar karya mereka bisa diterima masyarakat.

Paling tidak ada empat landasan yang bisa digunakan dalam kritik sastra dengan perspektif feminisme. Pertama, kelompok feminis yang berusaha menjadi kritikus sastra dengan melihat ideologinya. Mereka ini umumnya akan menyoroti persoalan stereotip perempuan. Kedua, genokritik yang mencari ja-waban apakah penulis perempuan itu merupakan kelompok khusus sehingga tulisannya bisa dibedakan dengan penulis laki-laki. Ketiga, kelompok feminis yang menggunakan konsep sosialis dan marxis. Logikanya, bahwa perempuan itu faktanya tertindas karena tidak memiliki alat-alat produksi yang bisa digunakan untuk bisa menghasilkan uang. Akibatnya, perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Keempat, menggunakan psiko-analisis yang diambil dari Sigmund Freud. Bagi kelompok feminis ini, perempuan iri terhadap laki-laki karena kekuasaan yang dimilikinya.

Karya sastra dapat disebut sebagai berperspektif feminis jika ia mempertanyakan relasi jender yang timpang dan mempromosikan terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara perempuan dan laki-laki. Tetapi tidak semua teks tentang perempuan adalah teks feminis. Demikian juga analisis tentang penulis perempuan tidak selalu bersifat feminis jika ia tidak mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan dengan relasi gender dan perombakan tatanan sosial. Feminisme bukanlah monopoli perempuan, seperti patriarki bukanlah monopoli laki-laki. Meneliti penulis laki-laki dan mencoba menganalisis relasi gender dan mempertanyakan tatanan sosial yang direfleksikan atau tidak direfleksikan atau dimis-refleksikan di dalamnya adalah analisis yang bersifat feminis sepanjang analasis itu diarahkan kepada tatanan relasi kekuatan antara laki-laki dan perempuan yang lebih seimbang.

Pada prakteknya dapat ditemui perempuan yang patriarkal dan laki-laki yang feminis. Penulis laki-laki dapat saja menulis teks yang berperspektif feminis dan menciptakan subyek perempuan yang tidak bisu, yang tampak, dan merupakan subyek yang setara. Menulis sebuah teks yang berperspektif feminis bukanlah berbicara mengenai moral (yang sengaja dibangun dengan wacana sosial yang berperspektif patriarki) namun lebih pada berpijak pada penyuaraan terhadap perempuan, pemberian ruang terhadap perempuan untuk menyuarakan keinginannya, kebutuhannya, haknya, sehingga ia mampu menjadi subyek dalam kehidupannya. ***

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati