Rabu, 24 November 2010

Komunitas Sastra di Indonesia: Tumbuh Bak Cendawan, Sirna Laksana Asap

Iwan Gunadi
http://riaupos.com/

Sejumlah kecil komunitas sastra membatasi anggotanya dengan “persyaratan” yang lebih khusus, sehingga hanya orang tertentu yang dapat menjadi anggotanya. Ada yang membatasinya dengan semangat gender, seperti Forum Sastra Wanita Merah Hitam Kuning (Tamening) di Padang (Sumatra Barat) dan Komunitas Sastra Dewi Sartika di Bandung, Jawa Barat. Ada pula yang hanya menerima buruh sebagai anggotanya, seperti Roda-Roda Budaya dan Budaya Buruh Tangerang, Banten. Ada pula komunitas yang anggotanya berlatar “profesi” yang sama, yakni pengamen jalanan, seperti Kompi. Institut Pramoedya di Bandung, Jawa Barat, dihuni para pembaca setia karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer. Ada pula komunitas sastra yang para anggotanya adalah penggandrung novel serial Harry Potter besutan JK Rowling. Tapi, karena minat mereka juga tak hanya satu, sebagian dari mereka, tetap menjadi anggota, pengurus, atau bahkan pendiri komunitas sastra yang lain.

Komunitas-komunitas sastra yang berbasis di kampus, sekolah, atau pesantren tentu punya anggota yang spesifik, yakni mahasiswa, siswa, atau santri. Komunitas-komunitas sastra itu ada yang menjadi bagian dari struktur organisasi unit kesenian yang resmi dibentuk perguruan tinggi, sekolah, atau pesantren masing-masing dan ada pula yang didirikan secara independen oleh sejumlah dosen, mahasiswa, guru, siswa, kiai, atau santri di masing-masing lembaga pendidikan itu. Unit kesenian di kampus, sekolah, atau pesantren tentu dihadirkan setiap institusi pendidikan untuk menyalurkan minat dan bakat setiap mahasiswa, siswa, atau santri di masing-masing lembaga itu sendiri sekaligus memberi perimbangan dan atau pengayaan terhadap pelbagai pengetahuan ilmu yang mereka terima dalam proses pembelajaran dan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kurikulum di masing-masing lembaga itu. Yang terbanyak tentulah komunitas sastra yang berbasis di kampus lantaran sekurangnya sejak Orde Baru hampir setiap kampus atau perguruan tinggi memiliki organisasi Unit Kesenian Mahasiswa (UKM). Pemicu utama lainnya tentulah keberadaan fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya di suatu kampus. Dan, hampir semua perguruan tinggi berbentuk universitas di Indonesia memiliki fakultas sastra atau fakultas ilmu budaya. Peran sastrawan yang tak menjadi bagian dari komunitas kampus juga tak dapat ditepiskan. Komunitas-komunitas sastra yang berbasis di kampus ini mampu memberikan kontribusi yang lumayan besar bagi perkembangan kesusastraan Indonesia sekurangnya selama sekitar 30 tahun terakhir.

Talent Cooter, Dewa Pemelihara Benih

Komunitas sastra sering diibaratkan sebagai habitat yang demokratis. Tak ada anggota yang berposisi lebih tinggi ketimbang anggota yang lain di luar konteks struktur organisasi. Tapi, walau tak banyak, ada saja anggota komunitas sastra yang menjadi titik as atau pusat dari komunitasnya. Anggota seperti itu biasanya punya pengaruh atau hegemoni yang lebih besar ketimbang anggota-anggota yang lain. Pada titik tertentu, hegemoni yang besar tampak dari sungkan atau “tak beraninya” para anggota yang lain membantah pendapatnya, misalnya. Pengaruh itu muncul bisa karena faktor pengetahuan atau karya sastra (otoritas kesastrawanan)-nya yang dinilai lebih unggul, hubungan yang luas, kepemilikan otoritas di rubrik sastra dan atau budaya media massa, kemampuan ekonomis yang besar, atau sekadar usia yang lebih tua atau senioritas. Dalam kaitan itu, tak heran jika Komunitas Utan Kayu (KUK) selalu diidentikkan dengan Goenawan Mohamad, Wowok Hesti Prabowo dengan KSI, Helvy Tiana Rosa dengan FLP, dan Gola Gong dengan Rumah Dunia. Sebelumnya, pada 1980-an, Putu Arya Tirtawirya selalu dikaitkan dengan Himpunan Penulis, Pengarang, dan Penyair Nasional (HP3N) dan Umbu Landu Paranggi selalu diidentikkan dengan Persada Studi Klub (PSK) di Jogjakarta pada 1970-an. Begitu pula dengan WS Rendra yang diidentikkan dengan Bengkel Teater, baik ketika masih di Jogjakarta maupun setelah Bengkel Teater pindah ke Depok, Jawa Barat, hingga sekarang.

Khusus untuk faktor pengetahuan, sejumlah nama dapat disebut karena kemampuan mereka dalam melatih atau mendidik. Misalnya, selain Umbu Landu Paranggi, ada Saini KM, Herman Ks, Diah Hadaning, Korrie Layun Rampan, Victor G Rusdiyanto, Piek Ardijanto Soeprijadi, dan Widjati yang laksana dewi atau dewa pemelihara benih kesastrawanan atau kesastrawatian. Tentu, tak semua dari mereka berkecimpung dalam “komunitas sastra” sebagaimana kita memahami KUK, KSI, FLP, dan Rumah Dunia, misalnya.

Puisi Bergemuruh, Karya Melimpah

Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Mereka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bahkan, akibat begitu banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia sedang mengalami inflasi penyair dan booming puisi. Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat “penyair” pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming yang muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya. Pemetaan yang dilakukan KSI tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa­ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual.

Sayangnya, semua itu hanya mampu diakses segelintir orang. Masyarakat luas tak mampu mengaksesnya. Satu hal itu terjadi lantaran masyarakat Indonesia tentu bukan pemburu buku. Dua, ketakmampuan mengakses tersebut terjadi lantaran karya-karya itu umumnya dicetak sangat terbatas. Bahkan, ada yang difotokopi hanya puluhan eksemplar.

Tiga, penyebarannya sangat sempit. Biasanya karya-karya itu hanya beredar dalam sejumlah komunitas yang memiliki jaringan dengan penerbit atau penulisnya. Paling sial —dan ini tak jarang terjadi— karya-karya itu hanya dinikmati anggota komunitas penerbitnya. Empat, kesadaran mereka untuk mendaftarkan karya-karya cipta itu sangat tipis. Akhirnya, pelbagai karya sastra lahir di pelbagai komunitas sastra bak cendawan di musim hujan dan jejaknya hilang laksana asap.

Puisi Dibaca, Diskusi Digelar

Lebih banyak komunitas sastra dengan kegiatan utama berdiskusi ketimbang komunitas sastra dengan kegiatan utama pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi (baca: deklamasi), musikalisasi puisi, atau teaterisasi puisi. Tapi, hal itu bukan jaminan bahwa kegiatan berdiskusi lebih banyak dilakukan ketimbang pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi.

Yang justru terjadi adalah sebaliknya: pementasan karya sastra, terutama pembacaan puisi, mendominasi berbagai kegiatan yang dilakukan komunitas-komunitas sastra di seluruh Indonesia. Diskusi formal atau informal, seminar, saresehan, pelatihan, penerbitan buku, dan jenis kegiatan lain tentang sastra yang diselenggarakan komunitas-komunitas sastra hampir selalu diselingi dengan kegiatan pementasan karya sastra, khususnya pembacan puisi. Bahkan, diskusi, seminar, saresehan, dan pidato yang membahas bukan tentang sastra tak jarang diselingi dengan aktivitas pementasan karya sastra, khususnya pembacaan puisi. Banyak demonstrasi buruh dan mahasiswa diselingi pembacaan puisi, termasuk demonstrasi mahasiswa yang akhirnya memaksa Soeharto mundur sebagai Presiden RI.

Kegairahan membaca atau mementaskan karya sastra seperti didedahkan di atas tentu tak lepas dari relatif terjaminnya kebebasan berekspresi. Di sisi lain, sambil meminjam terminologi dari buku Walter J Ong, Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, A Teew pernah menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia terimpit dilema di antara kelisanan dan keberaksaraan dengan kenyataan yang jauh lebih kompleks.

Kegiatan lain yang dominan dilakukan pelbagai komunitas sastra di Indonesia adalah berdiskusi. Ada sejumlah bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai berdiskusi dalam pembahasan ini. Mulai dari mengobrol, berdebat, seminar, saresehan, kongres, hingga bentuk-bentuk lain perbincangan yang memungkinkan peserta bertukar informasi, pikiran, dan perasaan; serta menyampaikan dan menerima pujian, tanggapan, saran, kritik, atau celaan dalam suatu topik tertentu.

Tak seperti kegiatan pembacaan atau pementasan karya sastra, kegiatan berdiskusi tak selalu hadir pada setiap kegiatan sastra. Selain sebagai kegiatan mandiri, kegiatan berdiskusi umumnya hadir pada kegiatan sastra dengan cakupan yang lebih luas. Pada pertemuan seperti itu, berdiskusi kerapkali menjadi kegiatan utama. Ada lumayan banyak nama yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti itu. Misalnya, dialog sastra, forum sastra atau sastrawan, festival sastra, jambore sastra, kongres sastra atau sastrawan, pekan sastra, pertemuan sastra atau sastrawan, silaturahmi sastra atau sastrawan, dan temu sastra atau sastrawan. Yang paling banyak digunakan adalah temu sastra. Cakupan peserta atau wilayahnya bisa satu daerah tingkat dua (kabupaten atau kota madya), beberapa daerah tingkat dua, satu daerah tingkat satu (provinsi), beberapa daerah tingkat satu, satu pulau, beberapa pulau, nasional atau se-Indonesia, beberapa negara serumpun (Melayu), dan bahkan ada yang bercakupan lebih luas dari itu. Acara-acara itu ada yang digelar hanya sekali, tiap tahun, atau tiap dua tahun. Tak semua kegiatan seperti itu diselenggarakan secara penuh oleh komunitas sastra. Kegiatan dengan skala yang lebih besar dan cakupan yang lebih luas lebih sering digelar oleh lembaga pemerintah, dewan kesenian, atau komunitas sastra yang memiliki jaringan yang luas dan dukungan finansial yang kuat, termasuk memiliki jaringan atau dukungan di lembaga pemerintah, dunia usaha, atau lembaga donor dari luar negeri. Tak heran jika jaringan atau dukungan tersebut menyempit atau melemah, kegiatan yang semula diniatkan dapat diselenggarakan secara rutin terpaksa menjadi beberapa kali saja atau bahkan hanya satu kali.

Melimpahnya Karya Sastra, Melemahnya Mutu?

Menerbitkan buku merupakan “kegemaran” lain komunitas sastra di Indonesia selain membaca puisi dan berdiskusi. Pemetaan yang dilakukan KSI menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek saja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Angka tersebut belum memasukkan jumlah buku yang diterbitkan Forum Lingkar Pena (FLP) yang baru berdiri pada 1997 di Depok, Jawa Barat. Ketika berulang tahun yang kesepuluh pada 2007, FLP pernah mengklaim telah menerbitkan lebih dari 500 judul buku selama rentang eksistensinya. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Kalau cakupan wilayah diperluas hingga seluruh Indonesia dan rentang waktu diperpanjang hingga masa mutakhir, tentu, jumlahnya akan jauh lebih dari angka itu. Melimpahnya karya sastra, sementara ini, memang menjadi sumbangan terbesar komunitas sastra bagi khazanah sastra Indonesia. Sebab, sekali lagi, begitu banyak karya sastra lahir di sana.

Menerbitkan buku sastra memang menjadi obsesi setiap komunitas sastra. Bahkan, bagi komunitas sastra yang punya dana lebih dari cukup, boleh jadi, hal itu merupakan suatu “kegemaran”. Pada sedikit komunitas sastra, obsesi dan “kegemaran” tersebut dibarengi dengan selektivitas yang ketat, sehingga mampu menghadirkan karya sastra yang mutunya terjaga. Pada banyak komunitas sastra yang lain terjadi hal yang sebaliknya. Maklum, banyak sastrawan dalam komunitas sastra menerbitkan buku sastra hanya bermodalkan keberanian dan kenekatan. Mereka tidak menguasai kata. Padahal, kata jugalah yang mereka tekuni setiap hari. Sedikit dari mereka memang berbakat dan atau memiliki intelektualitas yang cukup. Selebihnya adalah tanpa bakat dan intelektualitas.

Sayangnya, pelbagai kegiatan sastra yang dilakukan komunitas-komunitas sastra itu bergerak dalam frekuensi yang berubah-ubah, turun-naik, dengan intensitas perubahan yang berbeda-beda antara satu jenis kegiatan dan kegiatan lain, sejak 1970-an hingga akhir 2000-an. Situasi politik dan ekonomi tentu dapat ditengarai sebagai penyebab utama.

Di sisi lain, kesemarakan pertumbuhan komunitas sastra di Indonesia selama 30 tahun terakhir belum memperoleh kajian yang menyeluruh dan mendalam dari para peneliti, baik peneliti Indonesia maupun luar Indonesia. Will Derks, peneliti dari Belanda, memang pernah mengulas komunitas sastra yang hadir sebagai gerakan pada pertengahan 1990-an, yakni Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP), melalui tulisan bertajuk “Sastra Pedalaman: Pusat-Pusat Sastra Lokal dan Regional di Indonesia”, tapi RSP hanyalah salah satu riak penting dari dinamika komunitas sastra di Indonesia. Beberapa tahun belakangan ini, peneliti dari Jepang, Shiho Sawai, mencoba mengkaji fenomena komunitas sastra di Indonesia, tapi kajiannya lebih ke sisi pembiayaan (finansial)-nya. Bahkan, belakangan, perhatiannya lebih fokus ke sejumlah buruh migran di Hongkong yang bergiat menuis karya sastra. Meski begitu, bila upaya-upaya awal yang lebih spesifik itu terus dilanjutkan, kita tetap akan memiliki gambaran yang lebih menyeluruh dan komprehensif tentang dinamika perkembangan komunitas sastra di Indonesia.***

Iwan Gunadi
Sedang melakukan penelitian tentang komunitas sastra di Indonesia. Menulis esai sastra danbahasa di berbagai media. Pernah bekerja sebagai redaktur bahasa di beberapa media seperti Tabloid Penta dan Majalah InfoBank. Tinggal di Tangerang, Banten.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati