Donny Anggoro
http://oase.kompas.com/
Sebagai salah satu wilayah negara berkembang di Asia Tenggara, Indonesia terlibat dalam proses mencari kesepakatan untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan yang mereka punya. Adapun kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah warisan berbagai bentuk yang diterima sebagai identitasnya.
Susunan pemerintahan lokal misalnya tata cara keraton Yogyakarta dan Solo, bahasa, nilai-nilai kepercayaan, dan berbagai bentuk ekspresi seni budaya di berbagai tempat dipertahankan sebagai bagian dari warisan sejarah itu.
Proses perkembangan dan modernisasi dengan menunjukkan pergeseran masyarakat agraris-feodal menjadi masyarakat yang lebih bersifat perkotaan dalam beberapa kasus tertentu menunjukkan perkembangan berarti. Tataran nilai-nilai konvensional dalam kebudayaan tradisi pelan-pelan didobrak sehingga dalam perkara kesenian, hasil-hasil seni yang dihasilkan relatif lebih kontekstual agar terlihat gesit mengikuti perkembangan zaman.
Tapi di tengah-tengah perkembangan tersebut, kegamangan ternyata meliputi mereka. Antara kebudayaan tradisi dan populer ternyata “jalan di tempat” dengan ideologinya sendiri-sendiri. Kebudayaan tradisional berpegang teguh pada nilai leluhur sedangkan yang modern (kini banyak disebut generasi “X” dan generasi “MTV” yang sungguh-sungguh tercerabut dari tradisi) begitu asyik dengan “cita rasa global”nya sehingga segala perkakas kebudayaan masa lalu perlu dipangkas menjadi sesuatu yang terlihat sungguh-sungguh modern.
Contoh kecil misalnya sebuah karya novel yang dihasilkan dari masyarakat kosmopolit tentunya sulit mendapat pengakuan kritikus atas kreativitas yang dihasilkannya sehingga hanya novel-novel yang akrab dengan budaya lokallah yang diterima. Tapi begitu berhadapan dengan selera masyarakat yang bersifat diskriminatif, novel-novel pop relatif nyatanya lebih mudah mencapai penjualan best seller dibandingkan novel-novel yang dikenal kuat muatan lokalnya.
Mungkin dalam perkara karya sastra, cara pencapaian dalam kerangka eksperimental (avant-garde) masih bisa diterima kaum kriktikus sebagai cara lain berpijak dari ungkapan-ungkapan yang bersifat dalam tataran kerangka lama. Tapi ini pun juga pada kenyataan yang sulit lantaran bentuk-bentuk keprihatinan yang seharusnya tidak terjadi diterima sebagai noda, bukan sebagai contoh perkembangan yang tengah terjadi di masyarakat.
Baiklah, fakta bahwa masing-masing mereka hanya “jalan di tempat” tak dapat disangkal. Fakta “jalan di tempat” membuat dua wajah kebudayaan kita ini, tradisi dan populer kemudian memiliki potensi yang dikembangkan oleh masyarakatnya sendiri. Tapi betapa ajaibnya tatkala mereka sama-sama menghadapi realitas ternyata persoalan marginalitas juga yang menyelimutinya.
Masing-masing tiba-tiba menjadi teralienasi dengan kehidupan sosialnya. Yang lahir dari akar tradisi gagap tatkala berupaya meleburkan diri dengan modernitas. Anggapan-anggapan sinis seperti primitif, terlalu mengawang-awang (tidak kontekstual), tidak modern, dan kuno muncul sehingga ia ditinggalkan masyarakat modern.
Sedangkan yang lahir dari ketercerabutan akar budaya tradisi begitu sulit mencapai pengakuan kreatif dari kaum budayawan lantaran hasil seni yang dicapainya hanya bertumpu pada konteks kekinian dan kontekstual semata yang sama sekali jauh dari semacam nilai-nilai permenungan apalagi sejarah.
Hasil seni yang dihasilkan sebagai “kebudayaan pop” dengan kesan yang diberikan dari kata “populer” atau dengan kata lain menyangkut “massa” yang banyak kemudian dicaci sebagai “racun” dengan alasan “tidak membumi” karena telah meninggalkan tradisi.
Baiklah, alasan “tidak membumi” dapat diterima sebagai salah satu batasan mutlak. Tapi apakah kemudian para pelaku kebudayaan kontemporer yang notabene sedang mencapai pemikiran penggabungan antara nilai-nilai tradisi dan modern mudah mendapatkan pengakuan di tengah-tengah modernitas?
Dalam tulisan saya berjudul Nasionalisme? di majalah GONG, edisi 64/VI/2004 terbukti masih sulit dicapainya pengakuan itu. Keberhasilan grup musik Discus menembus label rekaman Italia, Mellow Records misalnya hanya diakui segelintir orang sehingga posisinya menjadi marginal walau sudah mengharumkan nama bangsa. Perjuangan sastrawan Pramoedya Ananta Toer agar masuk nominasi hadiah Nobel pun malah digerakkan Profesor Koh Yung Hun, seorang berkebangsaan Korea yang juga menggerakkan pusat budaya Indonesia di Korea.
Baiklah, kondisi ini membuat kita lebih mandiri sehingga tak perlu mengemis kepada pemerintah. Tapi, bukankah hal naif setelah berpeluh keringat, para pegiat kebudayaan tetap saja dalam posisi marginal? Atau memang persoalan kebudayaan belum dianggap penting?
Jurang pemisah dalam dua wajah kebudayaan kita ini menjadi sangat terbentang lebar. Yang tradisi mencela sebagai dampak buruk globalisasi, sedangkan yang berwajah modern mencelanya sebagai “potret-potret tulang berserakan” sehingga ia harus ditinggalkan dengan alasan “tidak keren”.
Ya, setiap seniman telah berusaha agar karyanya dapat muncul ke permukaan. Karya seni apapun bentuknya harus muncul masing-masing ke permukaan dalam kehidupan dunia modern, era informasi, dan globalisasi sekarang ini. Tapi setiap hasil karya seni tiba-tiba mempunyai jarak yang jauh dengan masyarakat penikmatnya walau untuk menyiasati tantangan dunia modern, masing-masing telah berupaya sekuat tenaga membungkus dirinya ke dalam formula bernama kitsch hingga menjadi satu kesenian yang dapat dikemas sebagai komoditi dagang.
Baiklah, untuk mencapai keuntungan komersial, barisan hasil seni yang lahir sebagai respon terhadap permintaan masyarakat perkotaan dapat mencapai perhitungan untung secara komersial dibandingkan barisan hasil seni yang lahir dari tradisi. Baiklah, untuk menyikapi modernisasi, pelbagai upaya agar dapat melebur kepada hitungan massal harus ditempuh.
Tapi, apalah artinya ketika dihadapkan kepada masyarakat yang rata-rata cenderung bersikap sangat diskriminatif, karena tahu apa yang mereka inginkan, dan tahu apa yang mereka mau, sehingga kegamanganlah yang kemudian melanda para pelaku kebudayaan.
Pertanyaan mengusik, benarkah ada yang salah dalam cara-cara penyampaian komunikasi dan sosialisasi sebuah modernisasi? Bukankah masing-masing memiliki ideologinya sendiri-sendiri agar diterima masyarakat? Bukankah jika meminjam istilah Mohammad Diponegoro dalam dunia sastra Indonesia “tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang menentukan sudut pandangan, dari mana cerita itu harus dilihat” sehingga masing-masing memiliki masyarakat pendukungnya sendiri-sendiri? Jika benar masing-masing telah memiliki ideologi dan masyarakatnya sendiri-sendiri mengapa masalah untuk menjadi marginal yang selalu menjadi hambatan?
Pola Sikap yang Keruh
Kebudayaan dalam dua wajah tadi telah disinggung dalam usaha meleburkan diri dalam perkembangan hasil karya seni. Bagaimana dengan pola sikap yang sedang berkembang? Hal inilah yang justru terlihat di masa sekarang malah semakin menunjukkan kekeruhan. Di zaman modern yang senantiasa tengah bergerak ini akan lebih mudah didapatkan potret-potret masyarakat sosial yang secara finansial sangat mampu mengapresiasi karya seni, tapi nyatanya mereka sendiri bahkan buta terhadap kesenian.
Kesenian dan profesinya dianggap kurang berarti dibandingkan pencapaian ekonomis. Sekedar contoh dalam kebijakan editorial media massa, rubrik kesenian, dan budaya cenderung terpinggirkan. Mungkin untuk mencapai kesepakatan kompromi, ada yang lalu menggabungkannya menjadi “seni & hiburan”. Tapi bagi ukuran media massa yang belum mapan secara ekonomis rubrik seni rata-rata dihilangkan jika semula memang ada sehingga hanya media massa tertentu yang relatif mapan mau menyediakannya.
Rubrik kesenian akhirnya terhimpit pada iklan, gosip selebritis, dan berita seks serta politik. Ia dianggap tidak efisien lantaran bobotnya hanya dibaca dan diterima oleh kalangan tertentu saja. Contoh lain lagi lebih banyak didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang orientasinya adalah bisnis. Bahkan, kegiatan pembisnisan lembaga pendidikan ini semakin parah dengan aspek komersialnya.
Komersialisasi sebetulnya membuat kita tak percaya akan fungsi utama pendidikan sebagai medium antara masyarakat dalam menghadapi era globalisasi. Komersialisasi pendidikan yang seolah menunjukkan kemajuan seperti dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah (Eko Prasetyo, Insist Press, 2004) sesungguhnya malah kemudian berujung pada kompleksitas sosial dengan makin meningkatnya jumlah pengangguran. Sedangkan lembaga-lembaga pendidikan seni yang ada cenderung minim peminat karena ia tak mampu menunjukkan perkembangan yang membuat masyarakat kemudian percaya dalam kerangka ekonomis.
Baiklah, ada sejumlah pemilik modal yang “melek seni” atau para pelaku kesenian mencoba membuat media seni sendiri dengan cita-cita luhur “atas nama kebudayaan”. Tapi itupun juga lungkrah tatkala penerbitan berkala seperti jurnal, majalah, dan buku-buku setiap terbitnya hanya menumpuk di gudang.
Baiklah, ada juga media massa yang relatif mapan menambah porsi rubrik keseniannya. Tapi konsekuensinya ia menjadi begitu “gemuk” lantaran begitu banyak misi yang ingin disampaikan. Beruntunglah dengan modal yang dimiliki ia mampu menerbitkannya dengan format lain misalnya menerbitkan buku bunga rampai antologi cerpen, puisi, atau esai terbaik versinya. Bagaimana kalau tidak, sedangkan penerbitan buku-buku semacam itu toh ternyata juga kurang laku?
Penghargaan kesenian juga umumnya masih rendah sehingga para pelaku kesenian mau tak mau terpaksa harus “bersembunyi” ke dalam profesi lain sebagai alasan untuk bertahan hidup. Baiklah, mereka dapat bertahan, bisa survive dengan kemampuannya berkompromi dengan selera massa. Tapi apa jadinya tatkala ia selalu terjebak dalam keraguan untuk mengadakan eksperimen karena antara seniman, kritikus, penerbit, dan masyarakat masih jalan di tempat seraya masing-masing mencari pembenaran atas “idiologi” yang dianutnya?
Contoh paling gawat dari pola sikap masyarakat yang makin berkembang akibat tercerabutnya akar tradisi adalah pemakaian bahasa asing supaya terlihat “keren” dan bergengsi. Wilson Nadeak dalam Judul Asing, Daya Pikat? (Kompas, 7 November 2004) meresahkan pemberian judul dengan bahasa Inggris dalam penerbitan kita akhir-akhir ini. Ia resah karena tak jelas apakah dengan pemberian judul tersebut (dengan huruf bahasa Indonesia yang dikecilkan) bagian pracetak tak sulit menangani desain dari penerbit aslinya sehingga lebih komunikatif untuk menjangkau pembeli menengah ke atas atau memang pasar ASEAN sudah mulai merambah negeri ini?
Modernisasi sebagai Gagasan
Setelah 350 tahun dijajah, banyak yang belum menyadari kebudayaan sebagai aset nasional dalam wacana besar dapat membangkitkan nasionalisme. Wujud kebudayaan tradisi yang ada memang diperhatikan pemerintah. Akan tetapi hasilnya masih dalam tahap pelestarian yang boleh dibilang tersempitkan pada kesenian daerah saja. Sosoknya pun boleh dibilang hanya menjadi aksesoris penyambut turis semata karena tak melebur pada perkembangan budaya di negerinya sendiri.
Sedangkan untuk menjawab tuntutan “masyarakat global” di negeri sendiri pentas kesenian begitu ramai dengan pelbagai aktivitas pusat kebudayaan dari luar negeri. Tapi bagaimana dengan Indonesia? Apakah kita punya pusat kebudayaan di luar negeri?
Umar Kayam dalam makalah kebudayaan yang pernah disampaikannya dalam Festival Ramayana di Pandaan tahun 1971 pernah melontarkan sebuah ide menjembatani dua wajah kebudayaan Indonesia. Penulis Seribu Kunang-Kunang di Manhattan ini menyampaikan gagasan modernisasinya yang terpengaruh ide David Apter. Menurut Apter, untuk mencapai modernisasi yang ideal ada dua kondisi yang dibutuhkan.
Pertama, satu sistem sosial yang akan mampu secara berkala mengadakan inovasi tanpa harus berantakan di tengah jalan. Kedua, ada satu kerangka sosial yang dapat memberikan ketrampilan dan pengetahuan yang diperlukan dalam teknologi. Umar Kayam sendiri kemudian menyimpulkan sistem sosial dalam kondisi pertama adalah sistem yang mampu mengembangkan unsur-unsur “lama” sehingga akan mungkin sekali peranan seni tradisi dalam keterlibatannya menciptakan infra-struktur guna menggalakkan pencapaian kondisi minimal yang ditawarkan. Sedangkan dalam kondisi kedua jika dapat dikembangkan lebih kreatif maka akan mungkin sekali seni tradisional masih bisa “ikut berbicara”.
Dalam teori yang dikemukakan Apter, dapat disimpulkan pergeseran masyarakat akan bisa berkembang lebih baik jika ada dialog yang memuaskan dengan unsur-unsur tradisional itu. Paling tidak rasa kegamangan yang terjadi akibat masing-masing terlampau yakin dengan ideologi yang dianut dan eksistensi yang dimilikinya dalam mengikuti perkembangan akhirnya dapat bertemu jika mengacu pada anggitan teoritis David Apter.
Missing Link dan Masalah Eksistensi
Heraclitus mengatakan bahwa manusia sesungguhnya sedang putus hubungan dengan sesuatu yang hakekatnya dekat dengan dirinya sehingga ia selalu terobsesi untuk menemukan kembali mata rantai yang hilang (missing link). William Barret mengemukakan ihwal missing link ini dalam Existensialism as A Symptom of Man Contempoary Crisis (“Spiritual Problem in Contemporay Literature”, Stanley Romain H. (ed) New York, Harper Torch Book. hlm. 139 sehingga ada usaha mempertanyakan arti dan tujuan hidup dalam kerangka menghadapi dua wajah kebudayaan yang sedang “asyik” berseberangan ini.
Missing link yang terjadi antara kebudayaan tradisi dan populer di sini jika merujuk pada William Barret umumnya terjadi antara dikotomi materialistik versus idealistik. Maka sulit ditolak di tengah krisis nilai yang melanda kehidupan, kita telah mengalami perubahan yang cenderung bertumpu pada kepentingan pragmatisme liberal. Homo economicus sebagai paham humanisme telah mempengaruhi pemegang kebijakan sistem bukan pada kompetensi.
Akibatnya segala sesuatu diukur secara ekonomis, begitu juga pada modernisasi sehingga produk-produk kebudayaan telah meninggalkan nilai-nilai luhurnya. Kalau kebudayaan tradisi “emoh” beranjak dari kekeliruannya, sedangkan kebudayaan populer serta merta juga meninggalkan sejarahnya sehingga masa lalu bukan dianggap sebagai cermin menyongsong masa depan.
Baiklah, sejarah telah mewariskan nilai-nilai adiluhung, akan tetapi kesalahan yang telah diperbuatnya misalnya cara-cara yang cenderung feodal dan sangat patronistik seperti ditinggalkan begitu saja sehingga dalam kebudayaan tradisi yang selalu diingatkan kepada anak cucu adalah kehebatannya, bukan pula kelemahannya.
Lewis W. Spitz seorang profesor sejarah dari Universitas Stanford dalam tulisannya Sejarawan dan Ia Yang Lanjut Usianya (God and Culture, D.A Carson/John D. Woodbridge (ed.), William B. Eerdmans Publishing Co. Diterbitkan versi Indonesianya menjadi Allah dan Kebudayaan oleh Penerbit Momentum, 2002) sudah mengingatkan bahwa seperti perkembangan semua umat manusia lainnya, sejarah pun memerlukan penglihatan ke depan seperti juga hikmat akan pandangan masa silam.
Baiklah, di antara kubu yang berseberangan itu masing-masing memiliki wujud eksistensinya. Sedangkan seorang eksistensialis menurut keyakinan Kierkegaard telah memiliki kebenaran mutlak dengan lompatan-lompatan yang dibuatnya.
Tapi, jika terus menerus melangsungkan atawa melanjutkan kehidupan adalah segalanya dalam ihwal eksistensi, guru besar filsafat New York, Profesor Sidney Hook berujar, telah ditentukan masa yang buruk bagi diri sendiri. Menurut Hook yang harus dihindari adalah kepercayaan pada kebenaran mutlak. Siapa yang mengira bahwa ia memiliki kebenaran mutlak akan melupakan batas-batas perspektif dalam rangka melihat atau menggambarkan sesuatu.
Nah, pertanyaannya sekarang apakah kita masih asyik melupakan batas-batas perspektif itu? Jika ya, sampai kapankah kita melupakannya?*
Rawamangun, Januari ‘05
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar