Rabu, 24 November 2010

Kenapa Jean-Paul Sartre tetap Eksis?

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/


Terus terang matahari terang, aku menimba kenekatan darinya. Salah satu tulisanku yang terinspirasi olehnya bertitel “Realitas Masa Depan” di dalam buku “Trilogi Kesadaran”, pun ke bentukan lain mewarnai jiwaku.

Sedari angin ribut fenomenologi atau problematik filosofis Husserl dan metafisika tukang kisah Hegel, sampai hasrat selingkuh Heidegger. Sartre menciptakan kitab berlabel “The Psychology of Imagination” yang dituntaskan dalam tahanan Nazi, lantas mengarahkan pandanganya kepada Karl Marx, demi menjejakkan Eksistensialisme di muka bumi.

Yang diterbitkan Bentang di tahun 2000, diindonesiakan Silvester G. Sukur dengan judul Psikologi Imajinasi. Ialah gugusan gagasan yang menggerakkan diriku, menggemuli realitas dibalik kebendaan. Mendorongku menghatamkan soal-soal kerahasiaan pribadi, yang kian penuh percaya.

Jean-Paul Sartre lahir di Paris 12 Juni 1905, ayahnya perwira angkatan Laut Prancis, meninggal ketika Sartre berusia 12 tahun, sejak itu sudah mengakui ketiadaan Tuhan, sambil melahap perpustakaan kakeknya. Pada 1924, memasuki École Normale Supérieure, perguruan tinggi terselektif di Prancis, lulus meraih gelar Agregation The Philosophie 1929.

Bertemu Simone de Beauvoir, mahasiswi filsafat pada Universitas Sorbonne, lalu hidup serumah tanpa ikatan perkawinan. Bebijian filosofisnya disebar-luaskan ke ladang-ladang roman, sandiwara, karangan jurnalistik, sampai studi psikologi. Berkat bukunya “Les Mots,” mendapatkan hadiah Nobel Sastra, namun ditolaknya di tahun 1964.

Nietzsche, Sartre, pun orang-orang sejenis, alias warga kampus yang nekat dalam tuturan karyanya, paling aku sukai. Dengan begitu, mereka tak terpegangkap dalil-dalil akademis. Ketakpuasan itu malah menjebol krannya hingga menyemburkan mataair orisinalitas yang digelisahi, di dalam mengarungi naik-turunnya gelombang hayati.

Ku akui sedikit kesulitan berhadapan dengan Sartre sebagai obyek pembicaraan, sebab nyata selalu kurasai tak sekadar menatapi cermin atau bayangan tubuh di air sungai, tetapi lebih. Seakan membaca diri sendiri, menyimak hasrat serta letupan-letupannya menerbitkan kekuasaan berbahasa mandiri.

Setelah kemarin aku mewedarkan Absurditas Camus, kini kucoba mengurai Eksistensialisme Sartre. Soal nalar dan yang mengintrikinya, hampir setiap waktu aku bolak-balik antara Camus-Sartre. Bobot kedua orang ini kukira sama, pembelot, penganalisa hidup, merombak tatanan menata kepribadian intim berulang-kali. Serupa menulis di pantai berpasir kerap tersapu ombak, atau menyusun koin ibarat bocah yang dibuyarkannya sendiri demi keasyikan bermain.

Sisi tertentu, aku umpamakan saudara kembar yang ditakdirkan saling menghidupi laju pengetahuan. Kadang diriku mengalami kebingungan, Sartre kah yang kuhadapi atau Camus? Sampai suatu ketika ingin sangat menuliskan dialog imajiner mereka dikala pertemuan pada 2 Juni 1943, tepatnya berpisahnya faham di atas kedua tokoh tersebut.

Di sana aku lenyap, mereka pun lebur disaat melantunkan capaian-capaiannya, tersebab kata-kata merupakan wajah tersembunyi, mata seselidik hantu dan tuannya keinginan-keinginan membangun juga dapat menjadi hasrat perusak. Bagi Camus, jalan menuju kematian itu kesadaran, sedangkan Sartre punya anggapan, imajinasi ialah kesadaran.

Dalam usia dua belas tahun, kesepian ditinggal mati bapaknya, yang kerap mengolok-olok sikap religius ibundanya. Sartre menatapkan wajah ke buku-buku, membetulkan keyakinan, menyikapi soal sehari-hari demi menajamkan warna disukai. Kesunyian ini laksana tembok dingin membisu pengab ditumbuhi jamur-jamur pemikiran akan cakrawala kebebasan, dari ruang yang mengungkung kesendirian beserta mimpi berseliweran di lelangitan kamar.

Keheningan terisi sosok-sosok penyongkel peradaban, disertai suara-suara ganjil yang kelak menyempurnakan karyanya. Seakan keluar-masuk lubang kunci mengendarai cahaya, dan setiap ruang didiami, menawarkan kenikmatan berbeda. Pula bayangan tentang Peter atau Si Fulan itu, mengajarkan banyak hal yang nantinya diajak berdialog lebih serius, merambai kejiwaan manusia, pada tulisan-tulisan awalnya.

Sartre menggerayangi alam imajinasi, hingga terkuak lelapisan kesadaran, nafas-nafas insan berinteraksi atas dirinya dalam lingkaran sosial yang digumuli. Memasuki lorong-lorong dihidupi wewarna bayangan, menampilkan informasi terpenting jenjang penalaran, kala berhadapan obyek-obyek tengah terbangun, sedari bentukan benda- mulanya.

Yang digagaskan sebahan-bahan mentah bagi pondasi psikologi menentukan batas-batas pengalaman dengan lamunan, untuk hati kritis ini membahayakan. Tengoklah betapa keyakinan, iman terpancar segugusan masa depan, digoyang lewat berbagai hantu-hantu imaji, ataukah benar di atas tanjung kesaksian?

Aku anggap persoalan merisaukan sedari kegelisahannya menentukan, apakah umat manusia sudah sampai tetahap keilmuan mandiri, proses refleksinya sehabis menyetubuhi yang dihadapi. Ia tebarkan jala-jala kemungkinan, tercapai pengetahuan yang dapat disadap berbagai perkiraan, studi masa datang, antara wilayah kesadaran, di antaranya dan yang melampaui.

Persoalan mental tersebut, mengerubungi kerahasian anak-anak manusia menerbitkan penyesuaian-penyesuaian dalam kasus mengintriki jiwanya, disaat melayarkan sampan pelita hati-fikirannya. Kalau kumasukkan ke daerah puitik; bahasa yang dihadirkan kata-kata memiliki tingkatan kelas berbeda untuk menggiring para pembacanya. Dengan menampilkan corak duduk misalnya, penerimaan harus disesuaikan. Jika ingin menangkap seluruh magnetik dari tekanan nada-nada di dalamnya.

Olehnya sangat kentara dilihat dari bentukan sebuah karya, apakah warnanya selaras, atau njomplang tidak beraturan menimbulkan kesan dipaksakan. Di sini guna merambahi kejiwaan disamping sejarah yang diwedarkannya. Ruang-waktu mengandung perbagai rerupa, juga aturan tertentu bisa dijadikan patokan dari perasaan bernalar pada derajat imajinasi yang diterbangkan. Lantas tersembullah capaian kesepakatan ataupun penolakan, di atas jiwa-jiwa berbeda dalam dunia yang sama.

Para seniman yang bergerak di seni rupa, wujud olahan ciptanya dapat mudah ditangkap apa saja imajinasi yang merambahi kepalanya. Meski dalam karya bercorak realis, adanya penumpukan, dan manipulasi-manipulasi diperhalus oleh tingkatan kesabaran menunggui masa-masa kering cat minyak, pada wajah kanvas misalkan di dalam dunia lukisan.

Atau nalar-nalar koreografer tari menyuguhkan pernik-pernik balutan cahaya, di panggung menampilkan alam kesadaran. Yang menentukan nafasan penonton dalam ruang bacaan, jika disebutkan sebagai dimensi kalimah suatu karya sastra, serta sejenisnya.

Ini mengundang bersela tidaknya penikmat, dan dapat diambil garis lurus. Bahwa pecahan hidup, remuk-redam ditumbuki namanya gagasan, setelah melampaui teka-teki kenyang-laparnya kepribadian di hadapan meja kehidupan.

Secara sederhana, Sartre sudah hatamkan perihal kehalusan pribadi. Apa pun melatarbelakangi tetingkatan kesadarannya bernalar-berimajinasi, sebelum menentukan jawaban dalam ide besarnya, atas bintang “The Psychology of Imagination.”

Akibat tekanan pada usia belia, diejek kawan-kawan sebaya sebab lemah fisiknya, jiwanya terpaksa memasuki selubung rerahasia di atas. Itu terulang kembali mencipta perpecahan dirinya dengan Albert Camus yang absurd dimasa depannya. Seakan adanya bara api keabadian ditebarkan para surealis sebelumnya di ubun-ubunnya. Menjalar menerus di setiap cecabang penalaran bersatu jiwa, puncaknya menegakkan eksistensialisme.

Hasrat Sartre tak berjenis kelamin, alias diperluas tidak sekadar menyokong salah satunya; apakah maskulin atau feminin, atas faham didengungkannya. Tapi menyorongkan keduanya dapat eksis, oleh fitroh masing-masing. Atau pun kebetulan-kebetulan naluri disoroti cahaya gemilang dengan ujaran terkenalnya; “L’homme est condamné à être libre.” atau “human is condemned to be free.”

Ada semacam dendam bawaan berenergi positif mengupas ragawi insan, ini menjadikan peneletian sepenuh hayatnya. Mempersembahkan keseluruhan bangsa, ataupun bahasa imajinasinya, merasuki dialektika filosofis berargumentasi laksana racun merambati daging-darah kesadaran jaman.

Ia tak memakai kursi pengkhotbah di mimpir kemanusiaan, tapi dengan keasyikan gila senantiasa merasai keseluruhan indra, sampai terlupakan batas sesungguhnya dari sebuah papan datar penalaran. Namun tidakkah di sini keimanan, keyakinan diolek-olek dan kita dipaksa menelan kata-kata; “Apakah sebenarnya yang menggejala dalam diri manusia?”

Pola ini terbentuk tidak kurang hasil cetakan sang bapak yang selalu menghantui lelangkahnya, disamping ruang padat perpustakaan kakeknya, seorang guru besar pada Universitas Sorbonne tersebut.

Akhirnya, sikap penolakan terhadap anugerah Nobel sastra, menyempurnakan nilai-nilai ditancapkan pada keseluruhan hayatnya tetap eksis, dalam kehidupan yang berjubel imaji.

13 November 2010, Lamongan, Jawa.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati