Jumat, 29 Oktober 2010

Main Mata dengan Kekuasaan

WARS WITHIN
Penulis: Janet Steele, @2005
Penerbit: EQUINOX dan ISEAS, xxxiv + 328 halaman
Peresensi: Martin Aleida*
http://www.gatra.com/

Menelisik seluruh halaman buku ini, versi Indonesia diluncurkan akhir bulan lalu, kelihatanlah batang tubuh Tempo pekat berbalur kompromi, untuk tidak mengatakan berserah diri kepada kekuasaan. Ketika akan menurunkan laporan mengenai peristiwa Tanjung Priok, September 1984, misalnya, penulis masalah nasional, Susanto Pudjomartono (SP), yang punya hubungan erat dengan L.B. Moerdani (LBM), ternyata lebih dulu minta izin kepada Panglima ABRI itu. Kedekatan dengan penguasa seperti itu bisa menimbulkan polarisasi sikap politik di kandang wartawan sendiri. Semacam “perang” kepentingan muncul dalam “episode Priok”.

Reporter (ketika itu), Bambang Harymurti (BH), memiliki rekaman pidato Amir Biki, yang jadi pemicu demonstrasi dan pertumpahan darah selepas salat subuh itu, tidak serta-merta menyerahkan tape kepada SP. Sebab ada kecemasan “kemungkinan SP akan menunjukkannya kepada LBM”. Sikap kompromistis, supaya bisa bertahan hidup, ini dipaparkan dalam kisah panjang yang ditulis Janet Steele dari George Washington University bahwa Tempo adalah “an independent magazine in Soeharto’s Indonesia” ternyata tak lebih dari sebuah sinisme yang tidak disengaja.

Setelah menikmati kehidupan pers yang relatif bebas sejak terbit pada awal Maret 1971, Tempo pertama kali dibredel tahun 1982. Pemimpin Redaksi Goenawan Mohamad (GM), dalam rapat yang diliputi suasana resah, dengan muka tegang menyerukan: “Tiarap…!” Strategi kelangsungan hidup dirancang, dan wartawan dianjurkan melobi para pejabat pemerintah. GM sendiri, bagaikan penyair-pertapa turun gunung, mendekati Menteri Sekneg Moerdiono. Mereka acapkali terlihat main tenis. Sikap menenggang penguasa menyebabkan banyak berita yang diketahui wartawan harus ditelan sendiri. Kata SP, “Hanya lima atau 10 persen yang bisa kami laporkan. Memantau berita (jadi) lebih penting dibandingkan menulis.”

Mengagumkan, juga bikin tercengang, untuk apa dan dikemanakan berita-berita itu kalau memang tak bisa dimuat? Disimpan di dalam file? Dioper ke wartawan-wartawan asing yang beroperasi di sini? Dijadikan bahan tawar-menawar? Atau mau ditulis kelak di suatu masa? Tak ada jawaban. Karena Janet yang sedang jatuh hati rupanya tidak tergoda bertanya mengenai cacat yang satu ini.

Tanpa pesaing yang berarti, Tempo bergelimang kemakmuran. Tahun 1993, GM mengumumkan niat mundur sebagai pemimpin redaksi, dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang nomor dua, wartawan flamboyan Fikri Jufri (FJ). Penulis masalah ekonomi dan bisnis yang tajam dan memikat ini adalah kutub yang lain. Dia tak punya pengikut, apalagi pengagum, sebagaimana GM. Niat GM untuk “lengser” menimbulkan guncangan pada biduk yang sedang berlayar laju. “Kalau ini adalah bagian dari strategi, maka orang yang berada di atas seharusnya tidak berdiri di pihak siapa pun. Goenawan adalah orang yang semacam itu. Tetapi Fikri tidak. Jadi, inilah yang telah menggoyang keseimbangan,” urai BH.

Kata-kata bersayap GM tentang “cita-cita kita yang sama mengenai jurnalistik”, yang dia ucapkan dalam rapat persiapan 15 Januari 1971, kurang dari dua bulan sebelum Tempo terbit (6 Maret 1971), telah terbang disapu angin lalu. Para wartawan yang dianjurkan melobi kanan-kiri ternyata telah lupa pulang ke rumah sendiri. Yang menuntun mereka bukan lagi “cita-cita kita yang sama”, melainkan Paduka Tuan yang menjadi teman dekat sekaligus sumber berita dan gantungan hidup di masa depan yang tidak pasti. Para wartawan terperangkap dalam kutub-kutub lobi mereka. Masing-masing wartawan tambah merapat dengan lobi dan kian mendurhakai tuan mereka.

Adapun di luar, laut gonjang-ganjing. Tahun 1988, Soeharto menggeser LBM dari Panglima ABRI menjadi Menteri Hankam. Tahun 1993, jabatan yang kurang penting itu dicopot pula. Walaupun tak terbuka, LBM dikabarkan telah memihak suara publik “di bawah tanah” dan bersikap kritis terhadap Soeharto. “Pembangkangan” tokoh militer ini mendorong Soeharto cari dukungan kalangan muslim, dengan Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), B.J. Habibie, sebagai perlambang.

Pada 11 Juni 1994, Tempo menurunkan laporan utama tentang pertikaian di pemerintahan seputar pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Harga belinya dianggap tidak pantas serta konflik Menteri Ristek B.J. Habibie dengan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Beberapa perwira tinggi, terutama dari Angkatan Laut, tidak setuju pembelian armada kapal bekas itu dan menganggap Habibie menggerogoti wewenang mereka.

Menurut FJ kepada penulis tinjauan buku ini, Tempo memutuskan laporan itu karena “uang rakyat yang tidak kecil telah disalahgunakan”. Itulah, katanya, pertimbangan rapat redaksi memilih, bukan kemauannya sendiri. Tetapi wartawan Tempo Agus Basri, penulis laporan utama mengenai Habibie dan ICMI, beberapa pekan sebelumnya kepada Janet Steele menyebutkan, dipilihnya topik kapal perang rongsokan dari Jerman Timur itu “punya maksud tertentu”.

Menurut Agus lagi, ketika tersiar kabar, satu dari kapal perang butut itu tenggelam dalam pelayaran ke Indonesia, FJ jingkrak-jingkrak bersyukur dan berteriak sinis, “Alhamdulillah!” Kelihatannya tak ada lagi yang lebih menyakitkan FJ daripada tuduhan kedekatannya pada LBM sebagai penyebab bencana pembredelan. Penyair yang dia kagumi, kawan seperjuangannya sendiri, GM, ikut meningkahi suara gendang yang menggiring Fikri hingga terpojok.

Agus Basri memoleskan warna yang buruk pada wajah teman sejawatnya sendiri, dengan menceritakan bahwa Max Wangkar, yang menulis laporan utama, “punya masalah dengan Habibie”. Max, katanya, Kristen, lulusan sekolah teologi. Dengan “analisis” pandir seperti itu, menurut Janet, jelaslah suasana dalam majalah itu sungguh telah dipenuhi racun dan bisa.

***

Wars Within hanya terpikat pada penggalan kedua dan terakhir dari sejarah Tempo. Sumbernya, selain GM, terlalu terpusat pada BH, yang sebenarnya baru tampil di babak kedua dari perjalanan hidup majalah itu. Memang, sebelum 1980-an, benturan dengan kekuasaan tidak begitu sengit. Tetapi peperangan melawan birokrasi internal cukup seru. “Raksasa” seperti Christianto Wibisono dan Usamah (karena kasus pemberitaan dan keuangan) sampai terjungkal. Dan di atas segalanya, orang setangguh sastrawan-wartawan Bur Rasuanto pun tak cukup kuat untuk bertahan.

Edisi pertama Tempo dicetak 12.500. Terjual habis. Terbitan kedua dilipatduakan. Habis! Awal 1980-an, tirasnya berkisar 160.000. Kemajuan pesat ini tidak diikuti manajemen yang baik. Jadwal terbit selalu telat. Bur, yang memimpin majalah itu ke dalam, kelimpungan menghadapinya. Berbagai kiat dilakukannya. Pernah ada “hadiah” sebulan gaji untuk yang paling produktif. Tapi, karena protes dari wartawan yang kalah, permainan itu distop.

Bur yang berdarah Komering itu tak tahan melihat naskah-naskah yang menumpuk. Di kantor cikal-bakal Tempo, Jalan Senen Raya, di seberang pegadaian sekarang, suatu hari yang nahas, Bur menyambar naskah yang menganggur. Dia memang penulis cepat. Tulisan yang dirampungkannya itu dia turunkan. Redaktur bersangkutan melapor kepada GM bahwa Bur menabrak prosedur. GM “ngalemin” si tukang protes.

Bur jadi naik darah. “Ah, kau juga…,” katanya berang, seraya melayangkan segelas kopi ke muka GM. Tapi luput, gelas itu pecah membentur dinding! GM tak tepercik setetes pun. Seminggu setelah “gelas terbang” itu, rapat besar digelar di Gedung Pembangunan Jaya, Jalan Thamrin, Jakarta. Eric Samola, pemimpin umum, menegaskan “tak ada harta milik perusahaan, sekecil apa pun, yang boleh dirusak”. Esoknya, dan untuk selamanya, Bur Rasuanto sudah tidak bersama majalah itu lagi.

Janet juga tidak menyinggung “idealisme” Tempo yang begitu memikat pada mulanya. Laporan-laporannya sering tidak ditemukan di koran atau media lain. Bahkan sempat jadi sumber berita bagi koran terpandang: Kompas, Sinar Harapan, The Straits Times Singapura, kantor berita AFP dan Reuters. Namun, melalui satu rapat di Wisma Tempo, Sirnagalih, dekat Puncak Pass, “bendera” kebanggaan itu diturunkan. Tak seperti biasa, GM membuka rapat dengan naskah di tangan. Intinya, perubahan orientasi, dari majalah yang dinanti-nanti karena beritanya eksklusif menjadi majalah yang “mengekor”. Beberapa wartawan menentang pembalikan haluan itu. Dengan segelintir oposisi dan floor yang mengamini GM, maka tumbanglah sudah “bendera” Tempo. Dia tinggal hanya sedikit lebih berharga dari rangkuman kliping koran.

Enam tahun Janet melakukan penelitian untuk proyeknya ini. Mungkin masih ada kesalahan yang kurang berarti dalam kisahnya tentang sepenggal sejarah pers dari satu negeri yang jauh. Dan dia menulisnya dengan empati, sementara orang lokal, terutama orang Tempo sendiri, belum sempat berpikir menuliskan riwayatnya sendiri yang begitu kaya dan sarat dengan ironi.

*) Wartawan Tempo 1971-1984
[Buku, Gatra Nomor 43 Beredar Kamis, 6 Septemberi 2007]

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati