SEKS, SASTRA, KITA
Kumpulan Esei Goenawan Mohamad
Penerbit Sinar Harapan,
Cetakan I, 1980, 173 halaman
Peresensi : Th. Sumartana
http://majalah.tempointeraktif.com/
SASTRA Indonesia modern lahir dari induknya yaitu nasionalisme. Ia lahir dan dibesarkan bersama dengan anak-anak nasionalisme yang banyak. Pendidikan, institusi keagamaan, kegiatan sosial, ideologi, birokrasi, partai politik dan lain sebagainya. Ia turut merasakan kesakitan beranak bagi lahirnya suatu bangsa. Ikut pula berpasang surut bersama dengan peri kehidupan bangsanya. Ia merupakan bagian integral revolusi suatu bangsa yang menerobos keluar dari kungkungan isolasi masyarakat sukunya dahulu, dan dari penindasan bangsa lain.
Jelas, bahwa para pendukung sastra Indonesia modern adalah species yang bernama homo Indonesiensis. Dan sebagaimana persoalan yang dihadapi oleh gerakan nasionalisme di Indonesia, maka sastra Indonesia modern pun berada di sebuah jalan simpang tiga. Yaitu internasionalisme, nasionalisme dan daerahisme.
Sejak akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 telah muncul elite pendidikan baru di Hindia Belanda. Dengan munculnya elite pendidikan ini turut terangkat pula bahasa Indonesia sebagai bahasa intelektual. Ia terangkat dari bahasa pasar dan bahasa administrasi pemerintahan.
Kontinyuitas Tahun 1917 berdirilah Balai Pustaka, lalu muncul Pujangga Baru, 1933, sebagai upaya memenuhi tuntutan baru. Lahir pula Angkatan 45 yang gegap gempita dengan semangat perang dan revolusi. Angkatan tahun 50-an merupakan reaksi yang ingin hidup realistis dengan soal pedesaan dan kedaerahan. Dan yang terakhir adalah Angkatan 66.
Kelima angkatan dalam sastra tersebut resah menjawab tantangannya sendiri dan sibuk berpolemik satu dengan yang lain. Seluruh watak, citra serta semangatnya tumbuh dalam pergolakan dan persoalan lingkungan masyarakatnya. Antara tahun 1933-1963 terjadilah pergulatan batin yang intens yang kesemuanya muncul dalam sastra Indonesia modern, baik dalam bentuk puisi, prosa maupun telaah sastra.
Ternyata sastra Indonesia modern adalah sebuah kompleks yang besar. Dan amat rumit. Sastra Indonesia tumbuh secara spontan bagaikan tumbuhnya kota-kota tanpa rencana. Tak ada cetak biru, tak ada pola, tak ada tata sastra yang merancang perkembangannya. Tak ada instansi penanggungjawab. Dalam keadaan semacam ini maka ia mirip dengan suasana sebuah slum besar. Dan publik sastra Indonesia hanyalah mengenal sastrawan mereka sebagai nomor-nomor karya yang terserak-serak. Masing-masing berdiri sendiri tanpa hubungan.
Dalam kompleks besar tersebut, salah satu fungsi esensial kumpulan esei Goenawan Mohamad ini, ialah bahwa ia bisa menjadi semacam buku penunjuk jalan tentang sastra Indonesia dan tentang karya seni pada umumnya. Dalam delapan eseinya Goenawan Mohamad mencoba menelaah hasil dan persoalan kesenian Indonesia dari sejarahnya masing-masing.
Apa yang ingin ia tunjukkan adalah kontinyuitas. Kesusastraan Indonesia mempunyai satu sumbu, garis sumbu itu bisa ditarik dari kenyataan kesenian di masyarakatnya. Empat esei pertama khusus bicara tentang sastra. Salah satu pokok yang menarik adalah upaya Goenawan untuk mengidentifikasikan para sastrawan dalam strata sosial masyarakatnya serta publik peminatanya.
Agak berbeda dengan para penelaah lainnya ia menunjuk bahwa produsen karya sastra di Indonesia adalah sekelompok orang yang dibesarkan, dan hidup, sebagai bagian dari lapisan sosial yang justru tidak aman dengan strata atas masyarakatnya. Tapi, sementara itu, juga bukan bagian dari tingkat yanng bawah. Pada mereka terdapat pelbagai ciri satu kelas menengah yang sedang bergerak — paling sedikit karena pendidikan, kalau tidak karena asal-usul.
Dengan identifikasi semacam ini Goenawan lalu menarik garis yang amat konsekuen hampir dalam sekujur tulisannya yang menelaah hasil, persoalan, serta kontinyuitas karya sastra Indonesia. Kelas Menengah Bawah Pada bagian lain ia menyebut, bahwa dunia sastra Indonesia adalah dunia 15% penduduk Indonesia. Ia adalah kesusastraan kota. Ciri khasnya adalah pembacanya yang terbatas. Kesusastraan Indonesia adalah kesusastraan minoritas. Dan sastrawan Indonesia sebenarnya adalah ahli waris dari lingkungan kebudayaan yang belum sudah, yang bernama Indonesia, berada di antara masa silam yang menjauh dan masa depan yang belum pasti.
Dengan deskripsi tersebut maka Goenawan dengan leluasa dan tegas berbicara tentang tema sastra Indonesia yang bercirikan keraguan, kebimbangan, keterpencilan, keresahan, pemberontakan, keterasingan, dan lain sebagainya. Tema-tema tersebut menjadi sah. Penjabaran semacam ini tentu memberi kesan seolah-olah para sastrawan tinggal dalam suatu kompleks ghetto kelas menengah bawah yang terisolasi dari dunianya.
Dengan kata lain, Goenawan terasa kurang bicara soal heterogenitas serta gerak mobilitas mereka sebagai seniman. Tapi lepas dari alasan-alasan filosofis tentang fungsi karya sastra, mungkin “penemuan” Goenawan tersebut di atas dapat pula merupakan semacam legitimasi sosial bagi fungsi karya sastra itu sendiri di tengah masyarakatnya.
Ia selalu bergerak sebagaimana subyeknya yang resah mempertanyakan persoalan masyarakatnya. Di situ ia mendapat kebebasannya sebagai ‘orang luar’ yang tak terhisab dalam masyarakat. Tulisan lain yang amat menarik adalah tentang penyair Amir Hamzah. Goenawan menempatkan Amir Hamzah dalam konflik kreatif di lingkungan masyarakat pada masanya. Demikian pula ditampilkan konflik spiritual yang mendalam dari Amir Hamzah sebagai penyair besar Indonesia. Ia muncul sebagai penyair yang penuh ragu, seorang yang sendu dan penyabar. Yang berpolemik secara mental dengan dirinya sendiri.
Goenawan Mohamad bukanlah seorang dari kelompok kritisi ‘pendidikan’, bukan pula pemikir sastra ‘perjuangan’. Dan Amir Hamzah bukan seorang penyair partisan. Membaca bagian ini terlintas kesan adanya pantulan-pantulan proyektif antara Goenawan Mohamad dan Amir Hamzah, setidak-tidaknya dalam sikap spiritual menghadapi persoalan zamannya.
Dalam artikel ‘Kesusastraan Indonesia dalam kebimbangan’ penutupnya berbunyi “Untuk apa berdebat dan berpolemik, jika segala pendirian adalah nisbi?” Pertanyaan tersebut mungkin untuk sebagian kita kedengaran ganjil. Sebab bukankah sesuatu yang nisbi justru mestinya tinggal dalam nisbahnya dengan yang lain? Atau adakah sastrawan yang sadar diri (self-conscius) dan sadar tentang kenisbiannya akan menjadi self-sufficient? nisbi tanpa nisbah? Manifes Kebudayaan.
Namun, ketika kita membaca renungan Goenawan tentang Amir Hamzah dapatlah kita pahami dengan terang kenapa ia sampai kepada pertanyaan yang ganjil semacam itu. Posisinya itu pula yang mungkin turut menyebabkan kupasannya tentang film Indonesia, nyaris menjadi semacam pembelaan — seperti yang ia lakukan terhadap kehidupan teater mutakhir di Indonesia.
Sebagai eksponen Manifes Kebudayaan banyak kita harapkan Goenawan membahas kehidupan sastra tahun 60-an, sewaktu terjadi polemik sengit antara kubu ‘realisme sosialis’ dan ‘humanisme universil’. Pada tahap ini agaknya jalan simpang tiga yang klasik di zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan 45 dan Angkatan tahun 50-an sudah habis ditelusuri.
Pilihan tidak lagi antara internasiolisme, nasionalisme dan daerahisme. Akan tetapi pilihan ideologis yang menjangkau seluruh persoalan itu secara seutuh-utuhnya. Goenawan mengatakan bahwa Manifes Kebudayaan bagi sejumlah besar mereka adalah suatu usaha untuk memecahkan dilema itu secara kurang lebih berhasil. Tanggung jawab pribadi dipulihkan. Diakuinya bahwa Manifes bersikap skeptis terhadap ideologi bahkan cenderung anti-ideologi.
Ekspresi literer yang mutakhir dari kecenderungan semacam ini berpuncak dalam kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri yang bukan hanya anti ideologi, akan tetapi bahkan anti ide dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Itulah potret terakhir yang kita dapat tentang sastrawan Indonesia.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar