Sayuri Yosiana
http://oase.kompas.com/
Saya sempat terpana saat membaca biografi penulis kisah anak-anak klasik yang terkenal lewat karyanya berjudul, Heidi. Penulis itu Johanna Spyre, yang sempat berkomitmen untuk tidak pernah membuka nama aslinya, dan segala bentuk publikasi yang ada kaitan tentang dirinya, kecuali soal karya-karyanya. Bahkan sebelum wafatnya, Johanna Spyre pernah meminta kembali surat-surat yang pernah dikirimkan pada sahabat-sahabat baiknya, dan membakar semua berkas tentang dirinya. Johanna berharap agar pembacanya lebih mengenal karya-karyanya daripada penulisnya sendiri.
Fenomenalnya novel Heidi membuatnya harus lebih membuka diri kepada publik. Termasuk tentang nama aslinya. Selama ini Johanna senang memakai nama berupa inisial saja. Sebelumnya dia menolak saat penerbitnya memintanya untuk membuat autobiografi dirinya. ( disadur dari novel, Heidi)
Jauh sebelumnya saya pernah beberapa kali membaca tentang penulis yang menolak membuka diri kepada publik. Lebih suka memakai nama samaran. Termasuk penulis tanah air. Kalau kita kembali membuka arsip tentang penulis-penulis tanah air dan perjalanan karya-karya sastra Indonesia, mungkin kita bisa menemukan dan mengetahui kembali siapa saja mereka yang selama ini pernah menggunakan nama inisial. Semua memang hak penulis dalam seberapa jauh batas pubikasi tentang dirinya yang perlu diketahuai umum. Dan tentunya seribu satu alasan lainnya yang hanya diketahui penulisnya sendiri, terlepas dari suka tidaknya publik pada prinsipnya tersebut.
Dalam dunia sastra, khususnya di ruang sastra maya, saya merasakan aura kompetisi yang enerjik dari para penulis, baik yang merasa dirinya pemula, menengah maupun yang sudah kita anggap senior dan sering kita sebut sebagai sastrawan. Ini merupakan fenomena yang bagus untuk perkembangan dunia sastra tanah air. Gairah menulis tumbuh gegap gempita dengan adanya wadah maya. Seperti situs-situs yang mengkhususkan diri pada perkembangan sastra. Baik milik pribadi maupun hasil kelola para sastrawannya sendiri. Termasuk komunitas sastra di situs-situs jejaring sosial.
Namun saya juga menemukan/merasakan aura tidak sehat dari para senior saya. Para sastrawan kita itu. Mungkin ini hanya persepsi saya pribadi. Karena sesungguhnya saya belum banyak mengetahui lebih jauh kedalam tentang apa yang sebenarnya terjadi diantara para sastrawan kita. Maka saya mencoba hunting lewat jejaring sosial, situs-situs apresiasi sastra, buku-buku atau majalah-majalah lama yang mungkin bisa membantu saya melihat situasi pada masa lalu. Keterbatasan pribadi, membuat saya menaruh harapan banyak pada sumber-sumber dari dunia maya. Media maya sedikit banyaknya menjadi area pembelajaran saya dalam melihat peta dunia sastra tanah air. Lebih mampu sedikit demi sedikit membuka mata, batin, dan telinga saya. Sekaligus sensitivitas terhadap dunia yang sarat dengan karya ini.
Saya, jujur saja agak sedih menemukan, bahwa dunia seni sastra yang konon lahir dari kelembutan rasa, dan kehalusan hati ini, ternyata penuh juga dengan makian-makian tak bermakna. Saya terkejut ternyata hal tersebut sudah berlangsung lumayan lama. Entah apa yang para sastrawan itu ributkan. Sepertinya dari persoalan pribadi sampai hasil karya yang menjadi kontroversi, atau ketidakmufakatan mereka terhadap segala sesuatu tentang perkembangan sastra tanah air. Hingga saya lihat mereka membentuk kelompok-kelompok tersendiri yang ironisnya bukan untuk saling bekerjasama, tetapi lebih banyak untuk saling mengejek satu sama lain, bahkan bertengkar tiada juntrungan dan habis-habisnya. Tentu saja tidak semua komunitas sastra melakukan hal seperti ini. Namun tak dapat dipungkiri ada kelompok-kelompok dengan nama besar yang mungkin hingga kini masih terlibat polemik sastra.
Ada apa dengan para sastrawanku? Bukankah mereka adalah teladan kami dengan segala anugerah talenta menulis mereka yang sama-sama gemilang, hingga kamipun bisa belajar lewat karya-karya mereka. KONON, menurut beberapa kawan saya, ingar bingar polemik sastra bukan hanya ada di ranah sastra kita. Tapi juga dunia. Jangan dikira peraih nobel dunia juga tidak penuh kontroversinya masing-masing. Baik skala nasional, sampai internasional.
Saat Pramudya Ananta Tour mendapat hadiah Magsaysay, beberapa rekannya yang tak sehaluan dan sempat merasa menderita diskriminasi di masa era orde lama, begitu gencar menolak penganugerahan tersebut. Pram dianggap tidak pantas mendapat penghargaan karena pernah dianggap terlibat dalam “pembantaian” rekan-rekannya sendiri dalam dunia sastra tanah air di masa Gestapo. Pram menolak dan menuntut digelarnya suatu pengadilan yang mensyaratkan dirinya juga boleh diberi ruang pembelaan diri agar fair. Itu hanya salah satu dari polemik yang pernah terjadi pada dunia sastra tanah air. Ya, polemik mungkin memang ada baiknya agar dunia sastra terlihat dinamis. Namun polemik yang hanya mementingkan ego dan kelompok sendiri agar lebih mendominasi dunia sastra tanah air dengan cara yang tidak fair, bukanlah polemik yang diharapkan generasi sastra berikutnya. Seperti juga yang terjadi pada kelompok-kelompok lainnya.
Dengan fenomena polemik sastra yang demikian dimasa sekarang, saya sempat berfikir untuk menjadikan dunia sastra saya sebagai sastra yang mandiri saja. Tidak bergantung pada sosok-sosok tertentu dalam menghasilkan karya. Mencoba berjuang sendiri dengan segala kebahagiaan dan kepedihan membentuk huruf-huruf agar menjadi karya yang utuh dari tangan dan sentuhan jiwa serta fikiran sendiri. Seperti yang sudah dilakukan teman saya.
Saya sendiri lebih memilih untuk tidak lagi terpengaruh pada polemik apapun diantara kisah-kisah lalu para sastrawan kita, maupun yang muncul kembali dimasa kini. Saya memutuskan untuk duduk manis, menulis sampai bungkuk, belajar online secara mandiri dan melepaskan diri dari komunitas dunia sastra. Saya tahu ini bukanlah keputusan bijak. Saya masih memerlukan secara langsung pembelajaran dan bimbingan mereka.
Namun saya tahu, setiap keputusan kita dimasa sekarang, pastinya akan berdampak pada situasi masa depan kita sendiri dan juga orang lain. Saya juga masih mengerjakan proyek pribadi berupa kumpulan cerpen, kumpulan puisi dan juga novel yang sampai sekarang masih saya kerjakan sesuai mood . Maklum saya mungkin bukan contoh yang bagus sebagai penulis, karena masih sangat bergantung pada mood dalam berkarya.
Saya membangun dunia sastra saya sendiri. Dengan segala konsekwensinya bagi perkembangan menulis saya. Saya tak punya channel pada penerbit manapun untuk mau membantu menerbitkan karya saya. Saya tahu harus “bersaing”dengan penulis lainnya agar karya saya tetap tegak berdiri dan mampu berkontribusi bagi banyak orang. Saya berharap, saya dan penulis lainnya tetap mampu saling bersinergis dalam menghasilkan karya. Berkompetisi dalam konteks untuk kebaikan sastra itu sendiri.
Bagaimanapun hidup itu adalah perjuangan untuk saling tegak. Bagus untuk saling menegakkan. Dan tidak malah saling menjatuhkan. Kritik adalah sebuah keniscayaan, dan karenanya harus diapresiasi dengan cerdas dan dewasa. Namun kita juga harus pandai-pandai membaca dan mencerna kritik. Penulis juga punya hak preogratif dalam karyanya. Dan karenanya punya juga hak jawab. Pada akhirnya kita hanya memerlukan kritikus sastra yang mampu juga mempertanggungjawabkan karyanya, seperti yang selalu dituntut kepada para penulis.
Saya sedih kalau ada kritikus yang suka seenaknya menjudge penulis sebagai cengeng dan manja hanya karena dia menangis saat karyanya dikritik. Apakah air mata menjamin bahwa si penulis akan langsung berhenti dalam berkarya? Dan menjamin bahwa sang penulis tidak terima hasil karyanya diminta dilempar saja ketempat sampah, misalnya?
Terlalu naif dan arogan kalau ada kritikus yang berfikir seperti itu. Siapapun mereka, penulis yang sudah banyak jam terbangnya, maupun yang baru memulai karirnya, pasti akan sangat bahagia dan bangga bila karyanya menjadi salah satu yang banyak diapresiasi lewat kritikan meskipun minim pujian. Penulis seperti ini pasti sadar kapasitas dirinya. Dan tak mungkin mengabaikan tiap saran dan masukan dari siapapun bila dia masih memerlukannya. Air mata yang jatuh karena kritikan adalah representasi dari jiwa halus sang penulis. Bukankah jiwa manusia pada dasarnya adalah terbuat dari sesuatu yang lembut dan kasat mata? Jadi, menangislah kalau kritikan yang datang memang sangat membuat luka. Tapi jangan membuat kita sebagai penulis lantas menjadi jatuh terpuruk dan ngambek tak mau berkarya lagi. Kalau itu yang terjadi, air mata yang datang bukanlah air mata ketulusan dalam menerima kritik. Tapi air mata yang datang dari ego pribadi karena merasa harus lebih baik, sudah hebat dan akhirnya satu pukulan langsung membuatnya K.O. Kita sebaiknya terima pembelajaran dari luar bukan untuk mengubah karya kita, tapi hanya sebagai cermin tanpa harus membongkar habis tulisan yang datang dari jiwa kita sendiri, hingga kehilangan ruh.
Kita penulis harus bebas merdeka dalam berkarya. Independent dalam dunia sastra kita. Percaya diri meskipun karya-karya kita banyak dipatahkan orang. Tetap semangat dan kembali menulis. Kita jugakan punya hak jawab dan tanggungjawab dalam mempertahankan karya. Maka catatlah dan simpanlah tiap kritkan dan terapkan dalam dunia kecil kita. Barangkali kedepannya akan jauh lebih baik.
Yang penting bagi saya pribadi, adalah PILIHAN dari banyaknya pilhan. Dan mau tak mau kita harus siap dengan segala resiko dari setiap pilihan . Karya kita tak mampu terbit dalam bentuk buku, atau ebook sekalipun karena keterbatasan kita dalam bergaul, atau karena kita memang memilih untuk menyimpannya sendiri, seperti yang dilakukan Emily Dickinson, sastrawan Amerika yang tak pernah mempublish karya-karyanya. (terimaksih untuk seorang kawan atas info ini) . Itu juga sebuah pilihan. Jadi ada sejuta alasan untuk sampai pada pilihan yang harmoni dengan jiwa dan logika kita.
Mengapa saya menulis tentang pilihan ini? Ya, karena saya masih sangat ingat bagaimana seorang sastrawan pernah mengatakan bahwa kita tak akan mungkin menerbitkan buku tanpa adanya koneksi atau channel pada pihak penerbit, atau tak adanya kata pengantar dari sebuah nama besar di dalam buku kita. Atau tidak adanya suatu komunitas yang mendukung kita dalam mempromosikan buku yang hendak kita terbitkan. Lalu seorang kawan baik, pernah bertanya pada saya di YM, mengapa saya tak pernah terlihat masuk komunitas sastra manapun? Mengapa saya seolah memisahkan diri? Saya tertawa. Siapa yang tidak mau masuk? Siapa yang sengaja memisahkan diri? Jujur saja, saya punya alasan pribadi untuk tidak mengikuti komunitas-komunutas sastra manapun. Yang ada dikota saya, maupun yang jauh diluar kota.
Alasan awal adalah karena adanya keterbatasan fisik yang tak memungkinkan saya untuk leluasa ke mana-kemana.
Alasan kedua adalah, karena prinsip pribadi yang sedikit banyaknya terinspirasi dari seorang teman penulis. Yakni, lebih memilih untuk belajar mandiri saja. Kasak-kusuk sendiri dalam dunia menulis saya.
Jungkir balik sendiri merangkai kata, mengolahnya dan menimbang-nimbang apakah sudah layak untuk dipublish? Pasti akan merasa lebih mudah menemukan roh sendiri dalam menghasilkan tulisan.
Tidak banyak terkontaminasi tangan luar. Semua adalah hasil tetes darah dan air mata sendiri. Baik ataupun buruknya. Juga hasil pemikiran dari belajar mandiri. Tentu saja sebagai seseorang yang baru belajar, awalnya tak mungkin sepenuhnya bersih dari kontaminasi luar. Saya sadari hal itu. Karena sebelumnya karya saya juga pernah diutak atik oleh seorang sastrawan besar agar terasa lebih memenuhi kaidah sastra. Dengan tekun saya mengikuti saran-sarannya. Namun setelah jadi, yang saya rasakan adalah semacam kekosongan roh dalam karya saya tsb. Memang jelas terlihat lebih baik bentuknya. Tapi itu bukan style saya. Tak saya temukan jiwa saya didalamnya. Kepuasan yang saya rasakan juga berbeda. Kesimpulannya adalah, bahwa itu bukan karya saya. Sejak itu saya mencoba untuk lebih percaya diri. Belajar dari membaca dan juga ikut kelas menulis agar karya saya bisa lebih baik lagi kedepannya. Tidak karena hasil utak atik tangan seseorang. Tapi dari hasil belajar mengasah kepekaan seni sendiri. Juga tentunya bukan murni jatuh dari langit. Karena tanpa hasil belajar dari dunia sastra luar, tak mungkin saya tertarik untuk membentuk dunia sastra sendiri. Maka pengalaman belajar secara individual, baiknya dijadikan pengalaman untuk mampu mencari dan menemukan gaya menulis kita. Saya yakin sudah banyak di antara teman-teman lain yang lebih dulu
melakukannya.
Menjaga agar karya dapat berdiri tegak dari tangan sendiri tidak semudah membalik telapak tangan, semua tentunya sudah memahami. Namun seorang teman penulis yang juga jurnalis pernah mengatakan, bahwa karya-karya yang baik pada akhirnya akan ditegakkan orang meskipun penulisnya sendiri sudah tiada. Dan selama hidupnya mungkin tak pernah mempublish karya-karyanya untuk umum dalam bentuk apapun.
Tentu bagaimanapun kita sebaiknya tetap berusaha mempublish karya-karya yang sudah kita buat dengan tubuh dan jiwa kita sendiri. Karena pastinya akan lebih bahagia bisa membagi fikiran dan imajinasi kita pada orang lain. Namun harus pula realistis, mengingat media-media cetak belum seterbuka media online/maya dalam mengangkat karya penulis pendatang. Tetaplah maju dan terus menulis untuk kepuasan batin dan mengasah kepekaan bahasa dalam situasi yang berbeda-beda. Maka dengan demikian kita telah membangun dunia sastra kita sendiri yang lebih independet. Kalau karya kita tidak dimuat, buat lagi yang lebih baik. Jangan tergantung pada penilaian-penilain yang tidak mampu kita jamin kefairannya dalam menilai sebuah karya.
Terlepas dari KKN nya media-media cetak dari hasil kedekatan kita pada para sastrawan yang umumnya juga para redaktur budaya itu sendiri. Karya bagus akan tetap diterima, bukan karena kedekatan kita pada sosok-sosok itu lagi, tapi murni pada kualitasnya.
Menulis adalah untuk bahagia dan membahagiakan orang lain. Mampu memberi kontribusi pemikiran bagi diri kita dan masyarakat luas. Maka menulislah dengan jiwa dan fikiran yang sehat. Agar hasilnya tidak sekedar karya mati. Tapi karya yang menghidupkan. Kalau sekarang karya kita belum bisa bicara banyak seperti para sastrawan itu, tak apa. Setiap karya akan menemui takdirnya masing-masing. Bukankah para nama besar itu dulunya juga bukan siapa-siapa? Maka yang perlu dipelajari dari mereka adalah kegigihannya dalam menghasilkan karya-karya bagus. Bukan sekedar kedekatan kita pada sosok-sosok terkenal itu yang membuat kita merasa eksis. Karenanya, biarlah karya-karya saya kelak menemukan takdirnya sendiri.
Keep writing !
Sayuri Yosiana, penulis lepas. Lahir dan besar di Jakarta. Hobi menulis dan membaca. Menyukai dunia seni, sejarah dan heritage. Bersama rekannya, mendirikan dan mengelola situs kesehatan holistik kabarsehat.com. Juga mengelola web pribadi sayuriyosiana.com dan spiritlifeholistik.blogspot.com. Bercita-cita menulis novel, kumpulan cerpen/prosa dan esai.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 27 September 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar