Fatah Yasin Noor*
http://www.sastra-indonesia.com/
GELIAT dan pertumbuhan sastra Banyuwangi kontemporer, sebenarnya sudah dimulai sejak tahun-tahun awal 60-an. Ini dilakukan oleh sejumlah penyair Banyuwangi yang berkarya di luar Banyuwangi, seperti Armaya yang rajin menuliskan karyanya di Majalah Siasat tahun 1960 dan dalam antologi Manifes bersama Goenawan Mohamad yang diterbitkan Tintamas-Djakarta, 1963. Begitu juga yang dilakukan oleh Chosin Djauhari yang termasuk dalam Pujangga Baru. Di Banyuwangi sendiri, sejak tahun 70-an, geliat sastra mulai tumbuh dengan suburnya, baik sastra berbahasa Indonesia maupun yang berdialek daerah Using. Periode tahun 70-an ini diawali dengan kemunculan pembacaan dan apresiasi sastra di stasiun radio, yakni di RKPD (Radio Khusus Pemerintah Daerah) Banyuwangi. Puisi-puisi yang ditulis secara personala oleh sejumlah penyair Banyuwangi kemudian di bacakan di stasiun radio tersebut yang meluangkan waktunya dalam program sastra. Periode tahun 70-an ini, saya sebut saja sebagai “Periode RKPD”. Di situlah para penyair Banyuwangi membacakan puisi-puisinya dan mengapresiasi, di antara para penyair yang merintis pertumbuhan sastra di Banyuwangi adalah; Armaya, Hasnan Singodimayan, Pomo Martadi, Yoko S. Pasandaran, Slamet Utomo, dan Cipto Abadi. Puisi-puisi mereka tersebar di pelbagai media massa nasional. Misalnya Armaya dalam Bendera Sastra Jogja, Pomo Martadi di Pelopor Jogja. Sayangnya, di antara nama-nama yang saya sebutkan tadi, tidak ada yang memiliki antologi puisi tunggal, kecuali Hasnan Singodimayan yang telah menerbitkan novelnya berjudul Kerudung Santet Gandrung (Desantara, 2003).
Dari Periode RKPD itu, lahirlah penyair-penyair baru dalam kurun waktu 10 tahunan. Di awal tahun 80-an, muncul penyair-penyair bagus yang meneruskan perjalanan kesusastraan di Banyuwangi baik lewat acara program radio maupun di media massa. Di antara nama-nama penting itu adalah; Fatah Yasin Noor, Agus Aminanto, Gimin Artekjursi, Syamsul Hadi ME., Suhaili Bachtiar. Para penyair di awal tahun 80-an ini mengumumkan karya-karyanya di sejumlah media massa lokal dan nasional, juga di radio. Program radio yang memberi ruang sastra bukan lagi hanya di RKPD, melainkan radio Mandala AM Stereo pun membuka ruang program sastra dan apresiasi. Periode ini saya sebut sebagai “Periode Mandala”. Karya-karya penyair tahun 80-an ini memiliki sebentuk ciri khas tersendiri dibandingkan karya-karya penyair Periode RKPD. Fatah Yasin Noor dan Agus Aminanto yang karyanya telah dimuat di Bali Post dengan ‘penjaga gawang’ Umbu Landu Paranggi. Sedangkan Gimin Artekjursi telah berhasil menembus redaktur Majalah Sastra Horison. Pada periode ini juga, lahirlah penyair berbakat Nirwan Dewanto. Di usia yang masih belasan tahun, Nirwan Dewanto mendapatkan banyak pujian dari penyair-penyair gaek Banyuwangi. Nirwan Dewanto lahir di Banyuwangi dan bersastra pertama kali di Banyuwangi dalam pergulatan sastra lokal di Banyuwangi.
Lalu di tahun 90-an, yakni kemunculan karya-karya sastra dari para penyair di Banyuwangi semakin mendapatkan tempat yang lapang di dua stasiun radio sekaligus, yakni di RKPD dan Mandala AM Stereo. Muncul penyair-penyair di tahun 90-an ini, yakni Irwan Sutandi, M. Karyono, Adji Darmaji, Un Hariyati, Rosdi Bahtiar Martadi, Sentot Parijatah, Abdullah Fauzi, Iwan Aziez Syswanto S., A. Ardiyan, Taufik Walhidayat,
Dwi Pranoto, Tri Irianto, M. Solichin, Samsudin Adlawi, Iqbal Baraas, Yudi Prasetyo, dll. Nama-nama penting tersebut telah menyumbangkan karya dalam sebuah pertumbuhan yang cukup berarti bagi perkembangan sastra kontemporer di Banyuwangi, meski pada akhirnya sejumlah nama kemudian menghilang karena terseleksi secara alamiah. Sejumlah antologi puisi, buletin, dan majalah sastra di Banyuwangi diterbitkan. Di awal-awal, mereka menerbitkan antologinya dengan diketik secara manual lalu digandakan berupa lembaran-lembaran kemudian dibagi-bagikan. Di sampaing itu juga, mereka cukup rajin mengirimkan karya-karya mereka ke media-media massa, misalnya Sentot Parijatah yang juga wartawan Karya Dharma, sering menampilkan puisi-puisinya di Surabaya Post di tahun 1996, Samsudin Adlawi yang wartawan Jawa Pos, juga sering menampilkan karyanya di Jawa Pos. Sejumlah buletin yang diterbitkan secara terbatas dan diasuh oleh sejumlah sastrawan Banyuwangi, antara lain; Jurnal Lontar (1971, yang dipimpin oleh Pomo Martadi), Buletin Point (1980), Buletin Imbas (1990, dipimpin oleh Tri Irianto), Buletin Menara Baiturrahman (1990, dengan Pimrednya Fatah Yasin Noor ), Buletin Jejak (yang kemudian terbit sebagai Majalah Budaya Jejak, 1990 sampai sekarang, diasuh oleh Armaya dan Pimred Fatah Yasin Noor kemudian Iwan Aziez Siswanto S.), Majalah Seblang (berbahasa daerah Using), dan Buletin Baiturrahman (2000, dengan Pimred Abdullah Fauzi, Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S.), Lepasparagraph (2002, dikelola oleh Taufiq Wr. Hidayat dan Dwi Pranoto).
Sejumlah antologi tunggal diterbitkan oleh penyairnya sendiri juga oleh sejumlah lembaga sastra, di antaranya Abdullah Fauzi dengan antologi berbahasa Using Dubang (Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) 2002), dan antologinya berjudul Sayap (1990). Taufik Walhidayat menerbitkan antologi tunggal berjudul Labuh Rindu (1993), Iqbal Baraas dengan Sebuah Penawaran (Remas Jami’atul Hidayat, Genteng, 1990), Penjual Payung (Gelar Tikar, 1993), Bunga Abadi (1997), Tri Irianto dengan Waktu (1998), Adji Darmaji dengan Juru Angin (1980, puisi berdialek Using), Iwan Aziez Syswanto S., dengan Matahari Pecah Kembali (1993), Rembulan di Atas Gelombang (2005), Fatah Yasin Noor dengan Gagasan Hujan (2003), Dwi Pranoto dengan Penjaga Lokomotif (1996), Taufiq Wr. Hidayat dengan Sepasang Wajah (2002) dan Suluk Rindu (2004).
Penerbitan secara tunggal itu sangat terbatas karena diketik secara manual dan difoto kopi, hanya beberapa yang diterbitkan secara modern berupa buku dengan jumlah eksemplar yang cukup banyak. Keterbatasan itu membuat sejumlah antologi yang telah terbit hilang dari dokumentasi perpustakaan dan komunitas, bahkan penyairnya sendiri hingga kini melacak keberadaan karyanya, misalnya Abdullah Fauzi yang kehilangan antologi awalnya Sayap. Buruknya media penerbitan dan pendikumentasian karya sastra di Banyuwangi, tak dapat dipungkiri telah merenggut sejumlah karya berkualitas para penyair Banyuwangi yang menjadi tonggak sejarah awal pertumbuhan sastra kontemporer di Banyuwangi. Menyadari keterbatasan tersebut, terutama sangat terbatasnya dana, para penyair Banyuwangi menyiasatinya dengan membentuk komunitas sastra di Banyuwangi yang terkenal, yakni Komunitas Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) yang melakukan pertemuan rutin tipa hari Selasa. Komunitas ini didirikan oleh sejumlah peyair tua di Banyuwangi dan dikelola oleh penyair-penyair muda. Pendiri Selasa adalah Pomo Martadi dan dikelola oleh Samsudin Adlawi, Rosdi Bahtiar Martadi, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan, dan Iwan Aziez Syswanto S. Komunitas sastra ini juga telah melahirkan sejumlah penyair generasi terbaru, dan secara berkala menerbitkan buletin Imbas juga menerbitkan kembali Jurnal Lontar yang pernah terbit tahun 1971. Dari komunitas Selasa lahir antologi-antologi bersama, Cadik (Komunitas Selasa dan Komunitas Penyair Bali, 1998), Menara Tujuh Belas (Pusat Studi Budaya Banyuwangi, 2002), Dzikir Muharam (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2004), Tilawah (Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi, 2005). Kemudian Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi memiliki agenda rutin menerbitkan kumpulan puisi karya tunggal para penyair Banyuwangi setiap tahun, Suluk Rindu ( Taufiq Wr. Hidayat, 2004), Dzikir Debu ( Nuchbah Baroroh, 2005), Tasbih (Abdullah Fauzi, 2006).
Perjalanan yang panjang itu, saya sadari tak dapat saya paparkan secara detil lagi, hal ini tak lain karena keterbatasan data dan sumber. Namun paling tidak, pemaparan ini memberikan sebentuk gambaran besar perjalanan kekusastraan di Banyuwangi dihitung dari dimensi pergerakannya dari tahun ke tahun. Kesusastraan di Banyuwangi banyak diramaikan dengan proses kreatif generasi tahun 80-an dengan puisi, jarang sekali tercipta cerpen dan novel. Beberapa penyair gaek juga memberikan sebentuk kritik sastra bagi generasi di bawahnya, yakni Hasnan Singodimayan, Armaya, dan Pomo Martadi. Tiga nama tersebut sangat berperan penting di dalam pembentukan seorang penyair yang matang di Banyuwangi yang karyanya kemudian menjadi konsumsi secara nasional. Dari asuhan tiga orang sastrawan itu, lahirlah Fatah Yasin Noor, Iwan Aziez Syswanto S., Nirwan Dewanto, Samsudin Adlawi, dll.
Di samping itu pula, sastra pertunjukan juga mengalami puncaknya di tahun 1980-an. Ini ditandai di kota Genteng Kabupaten Banyuwangi, sebuah daerah pedesaan yang sering melahirkan karya-karya drama/teater. Komunitas teater di Genteng itu didirikan pada 1980 yang melakukan pelatihan-pelatihan teater di sekolah-sekolah. Komunitas itu kemudian diberi nama Gelar Tikar. Komunitas teater Gelar Tikar didirikan oleh sejumlah seniman di Genteng, yakni Totok Hariyanto, Sugito, Pak Azis, Pak Sa’roni, Pak Rifa’i, dan Iqbal Baraas yang masih berusia belasan tahun. Di tahun 1990-an, Gelar Tikar berubah nama menjadi Padepokan Gelar Tikar. Komunitas ini kemudian sangat rajin melakukan kegiatan sastra secara rutin di Genteng, mulai dari pementasan, penerbitan buku puisi bersama, pembacaan puisi, dan apresiasi sastra, baik di media cetak maupun di radio-radio komunitas. Ini juga merupakan bagian terpenting dalam perjalanan sastra di Banyuwangi. Sedangkan di Banyuwangi Kota, ditandai dengan munculnya Teater Tongkat Sandi yang dikelola oleh Abdullah Fauzi dan Agus Wahyu Nuryadi yang diasuh dan didanai oleh Armaya, juga Kasat Teater yang dikelola oleh Yudi Prasetyo, Fatah Yasin Noor, A. Ardiyan dan A. Saichu Imron di tahun 1990-an. Namun demikian, perkembangan seni sastra pertunjukan di Banyuwangi Kota tidak sebagus di Genteng, melainkan di Banyuwangi kota banyak menampilkan buku-buku dan media-media sastra komunitas.
Sekilas Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi
ADAPUN perjalanan sebuah langkah, tidak hanya terpaku pada bagaimana langkah itu digerakkan. Melainkan juga kita mesti mengukur secara obyektif nuansa gerak itu sendiri dengan kritis. Maka, barangkali menjadi penting di sini untuk saya mengupas sejumlah karya sastra (baca: puisi) di Banyuwangi dari tahun ke tahun yang terkumpulkan dalam media sastra di Banyuwangi, yakni Kertas Sastra Lontar dan Majalah Budaya Jejak. Adapun Lontar dan Jejak adalah media sastra yang paling bersejarah di Banyuwangi, berhubung kedua media sastra itu menjadi tempat proses kreatif sastrawan Banyuwangi, dan dari keduanya terlahir penyair-penyair nasional dari Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, Adji Darmadji, dll.
Karya sastra adalah sebuah gambaran ruang dan waktu atau sebuah kondisi aktual peradaban suatu masyarakat. Gampangnya begitu.
Di tahun 70-an, puisi-puisi yang ditulis oleh para penyair Banyuwangi sudah mengalami kematangan yang baik serta memiliki dunia khasnya sendiri di antara jutaan puisi yang pernah di buat di Indonesia di tahun yang sama.
Ada beberapa nama penting yang karyanya perlu saya kupas dalam tulisan ini. Beberapa nama tersebut menjadi penting karena di awal tahun 70-an mereka telah menancapkan bentuk awal perpuisian di Banyuwangi sebagai embrio generasi berikutnya, juga mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat berarti di dalam menyuburkan dinamika kesusastraan di Banyuwangi. Beberapa nama penting tersebut adalah Armaya, Hasnan Singodimayan, dan Pomo Martadi. Seringkali Armaya mengeluarkan dana yang tidak sedikit dari saku pribadinya untuk membiayai penerbitan buku dan kegiatan-kegiatan sastra di Banyuwangi. Sedangkan Hasnan dan Pomo seringkali melakukan sebentuk kritik sastra dan membentuk penyair-penyair baru. Tiga nama tersebut adalah penyair dan sastrawan nasional yang karyanya patut diperhitungkan. Armaya sendiri besar di Solo dan proses kreatifnya seangkatan dengan W. S. Rendra (mereka satu kelas di SMA dan teman akrab), Hartojo Andangdjaja, Mansur Samin, dan Taufiq Ismail. Beberapa karya Armaya tergabung dalam antologi nasional bersama Goenawan Mohammad, Hartojo Andangdjaja, dll. dalam antologi 30 sajak yang diambil dari karya Armaya yang dimuat dalam Majalah Siasat. Antologi tersebut berjudul Manifes (Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963).
Ada yang perlu dicatat jika mengupas karya-karya penyair Banyuwangi di awal-awal tahun 1960 sampai tahun 1970-an, yakni gaya ucap banyak terpengaruh dialek Banyuwangi asli, yakni dialek Using. Kecuali puisi-puisi awal Armaya, karya Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan sangat kental dengan gaya pengucapan berdialek Using Banyuwangi. Armaya menulis puisi, esai, dan prosa. Begitu juga dengan Pomo Martadi, dia produktif menulis puisi dan sangat jarang menulis prosa, penulis esai yang rajin serta penulis berita yang sangat teliti. Sedangkan Hasnan Singodimayan lebih produktif menulis esai dan kritik seni juga prosa. Amat jarang sekali menemukan puisi karya Hasnan, kecuali beberapa saja dalam hitungan jari. Penulis nasional ini seringkali menjadi tempat berlabuh para akademisi untuk menimba referensi kebuayaan lokal Banyuwangi.
Puisi Armaya di tahun 1960 banyak mencatat kerinduannya terhadap Banyuwangi. Seperti halnya penggalan puisinya berikut:
Bila Aku Pulang
(buat ibu & yunda)
Bila aku pulang ke kampung untuk kesekian kalinya
selalu kutemui si Luri dan Hasnan
cerita dan ketawa]meminum musim-musim yang terus berjalan
……..
(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)
atau:
Nostalgia
Terekam rindu dan warna bianglala
sejemput sejarah
Banyuwangi yang biru
Banyuwangi tempat bicara
sempat mengharu biru
dan
semangat menggebu gebu
kesenian wajah tersendiri
gandrung, angklung, rebana
semua dalam sebuah makna
kebenaran! Milik siapa saja
Bandung, 1982
(Sumber: Buletin Bendera Sastra. No.2, April 1982. Terbit di Bandung).
juga
Kepergian
Pagisubuh di mana rumah itu telah kami tinggalkan
mentari lelap tidur di telanjang kabut
tak jauh tak beda suara bunda membentak
–he anak durhaka tinggalkan bumi berbasah darah ini
pembunuhan tanpa cinta menembus liang hatinya
……..
(Sumber: Manifestasi; Antologi 30 sadjak. Penerbit: Tintamas-Djakarta, 1963)
dan
Segenggam Permata
Aku terus berjalan
di semenanjung jalan ular
antara ranting-ranting rapuh berguguran
dalam cahaya bongkahan jurang
aku dapatkan permata di perutnya
warna warni bintang
merah menyala
sisi sisik ular keemasan
berdesir angin lautan
hutan diam
bersimpuh usapan tangan
bayangan pepohonan
terbelenggu ruang dan waktu
…….
Banyuwangi, 2002
(Sumber: Buletin Baiturrahman. No11, Oktober 2002.Penerbit: Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi).
Demikian beberapa kutipan sajak-sajak Armaya. Paling tidak, dapat kita telusuri, bahwa gaya khas Armaya tidak terlepas dari gaya sajak yang sederhana dan menggambarkan kerinduan orang rantauan akan desa. Aktualitas desa menjadi desah yang cukup erotis di dalam sajak-sajak awal Armaya.
Adapun sajak-sajak Pomo Martadi, memiliki bentuk dan pengucapan yang sederhana, dinamis, namun terkadang rumit dalam pemaknaannya. Sajak-sajak Pomo Martadi seringkali menjadi bahasan penting di dalam forum-forum sastra di Banyuwangi. Sajak-sajak Pomo juga telah banyak mendapatkan perhatian yang serius dari generasi sesudah tahun 90-an, dan tidak jarang penyair-penyair Banyuwangi sesudah Pomo mengalami keterpengaruhan dengan sublimasi sajak-sajak Pomo. Beberapa yang mungkin perlu saya kutip:
Puisi Tersisihkan
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi, tersisihkan ini
jang tertinggal sepi
dipanggang teriknja sedjuta mentari duka
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
angin malam menderai menerpa djantung jang letih
teriringkan pula njanjian hati
tapi masih kau lagukan djuga
lagu kemengan dan kebebasan
djangan tjoba engkau tak mengerti, sajang
baris puisi tersisihkan ini
jang telah terkapar dipintu hatimu
ah, terbangkit aku dari semua mimpi
ini bukan satu keachiran
sebab harapan masih mau bitjara
bintang2pun mau mengerdip
dan malampun mau temaram
(Sumber: Lontar, kertas sastra dan budaya. Edisi 01, Nopember 1971).
juga
Berita Utama Koran Sore
jika benar pedang bermata dua itu terlempar
ke dasar jurang dan hanya bisa dilihat lewat
cahaya bulan, berarti benar korban pemerkosaan yang
ditemukan terkapar dan berdarah di perbatasan
kota pagi tadi adalah pemiliknya yang tak
pernah melepas penutup mata dan tak lupa
membawa neraca yang kemarin sore masih tampak
membagi-bagikan payung kepada setiap orang
yang melewati jalan desa itu
langit tiba-tiba dikerubung mendung
bendera setengah tiang tanda berkabung
siapa di antara laki-laki berjubah
bulu gagak yang kaki dan tangannya berlumur
jelaga itu patut diajukan sebagai tersangka,
atau bisa jadi ketiganya jika terbukti ikut
melakukannya orang-orang di kedai kopi tampak lega
peristiwa itu menjadi berita utama koran sore
apalagi terulas di tajuk rencana dan halaman opini
tak heran jika mereka tak habis berbisik
ketika mempelesetkan kepanjangan empat huruf
sebuah singkatan pada judul buku lama berwarna hijau
Jember-Banyuwangi, Juli 1996
(Sumber: Lepasparagraf. Edisi 2/2/05)
Sajak-sajak Pomo terasa pekat, namun dengan gaya ucap yang sederhana. Banyak sajak-sajak Pomo adalah sebuah misteri peristiwa yang digali secara pekat dari faktualitas kejadian umum. Seringkali saya bertanya apa maksud diksi-diksinya puisinya yang terdengan ‘aneh’ itu kepada Pomo, dan dia menjawabnya dengan sebuah jawaban yang juga aneh namun terkesan tidak terlalu penting berkaitan dengan sajaknya. Tapi, menanyakan hal ini kepada Pomo menjadi sesuatu yang menarik, karena kemudian akan berlanjut dengan sebuah kisah panjang dalam setiap sajak-sajaknya, yakni kisah-kisah personal yang secara umum memiliki sebentuk keterkaitan yang lain. Ada sisi absurditas yang terbangun namun tak berkental-kental dalam filsafat. Ia adalah sebuah sajak yang sempurna dan memiliki ciri khas yang unik. Dan ketika beliau sudah meninggal dunia, maka saya pun kehilangan orang yang begitu sangat teliti dan antusias membahas sastra serta dunia tulis menulis. Pomo Martadi menggoreskan sajak-sajak yang menjadi sumber inspirasi penyair-penyair Banyuwangi generasi terkini di Banyuwangi.
Lalu Hasnan Singodimayan. Sebagaimana saya sebutkan, Hasnan sangat jarang menulis puisi. Dia lebih tekun menulis esai sastra dan kesenian, prosa dan drama. Namun dapat kita lihat karya-karya prosa Hasnan, seperti novelnya Kerudung Santet Gandrung yang diterbitkan Desantara laku hampir lima ribu copy. Prosa yang ditulis Hasnan banyak menggambarkan kegamangan dan kegelisahan spiritual dari seorang pecinta dan penjaga tradisi ketika harus berhadapan dengan nilai-nilai keyakinan beragama serta kekinian masyarakat. Hasnan mencoba membenturkan nilai-nilai tradisi dengan nilai-nilai agama yang selama ini diyakini yang terkesan membatasi ruang gerak tradisi setempat. Barangkali mirip dengan yang dilakukan DR. Chaim Potok yang mencoba membenturkan nilai-nilai Yahudi dengan kekinian ilmu pengetahuan serta aktualisasi jaman.
Lontar dan Jejak
Pada tahun 1971, Banyuwangi menerbitkan kertas sastra dan budaya yang bernama Lontar. Nama tersebut diberikan oleh Pomo Martadi. Media sastra pertama di Banyuwangi ini menjadi media utama yang sangat penting dalam proses kreatif penyair-penyair Banyuwangi hingga tahun 1983. Media sastra Lontar ini diterbitkan secara stensil seukuran saku dengan ketik manual oleh Blambangan Sastra dan Teater Club. Sejumlah nama penyair awal dan yang sudah gaek menjadi dewan redaksinya, yakni: Sudh Widjaya, Arbowati HS., Djoko Sp., S. Ghandiarto, Ds. Lubdhoko, Ririn Ma., Tjipto Abadi, Pomo Martadi, Hermin Hs., Mh. Sutikno, Rumaniyati, Zdulfiqar Awwami. Beralamat di: Djl. Sritandjung-Banjuwangi. Diterbitkan sekali sebulan 14 halaman, ditjetak pada Djawatan Penerangan Kabupaten Banyuwangi.
Lontar menjadi media sastra perdana di Banyuwangi yang telah melahirkan nama-nama penyair dan penulis Banyuwangi, seperti Nirwan Dewanto, Fatah Yasin Noor, Gimien Artekjursi, dll. Media sastra ini diasuh oleh Hasnan Singodimayan dan Pomo Martadi. Pomo Martadi seringkali menulis kritis sastra dan juga puisi di Lontar, sedangkan Hasnan banyak menciptakan penyair-penyair baru dengan esai-esai saastranya di samping juga mengupas secara mendalam mengenai kebuayaan lokal Banyuwangi. Lontar terus berkembang dari tahun ke tahun, hingga pada tahun 1980, Lontar sudah digarap dengan komputer dan dengan lay out yang lebih rapi.
Media sastra Lontar ini menjadi barometer kesusastraan modern di Banyuwangi, di mana penyair-penyair baru bermunculan dan dialog-dilaog sastra serta pertunjukan digelar oleh redaksi Lontar atau BSC (Blambangan Sastra dan Teater Club). Di tahun 1983-1984, Fatah Yasin Noor tiba di Banyuwangi dari studinya di Djogja. Nirwan Dewanto mengirimkan sajak-sajak awalnya ke Lontar, dll. Dua nama baru itu karya-karyanya menjadi bahasan penting dalam tiap pertemuan. Tak kurang Hasnan dan Pomo membahas karya-karya mereka dalam tulisan maupun dalam setiap pertemuan. Generasi Lontar adalah generasi orisinil yang memcetak penyair-penyair Banyuwangi modern di tahun 1970 sampai tahun 1983. Dengan minimnya pendanaan dan di samping itu banyak pengurus BSC yang ke luar kota untuk mencari nafkah, Lontar berhenti terbit pada edisi 23 tahun 1983. Sejak itu tahun 1983, media sastra cetak di Banyuwangi tidak terbit. Kesusastraan kembali lebih marak dibacakan dan diulas secara lisan di radio-radio lokal di Banyuwangi.
Baru di tahun 1990-an, muncul kembali komunitas sastra yakni Selasa (Senantiasa Lestarikan Sastra) Banyuwangi. Banyak di antara aggota komunitas adalah penyair-penyair generasi tahun 1990, atau para pemula. Namun, keberadaan Selasa tetap tidak lepas dari tangan dingin Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan. Nama Selasa diberikan oleh Pomo Martadi, dan komunitas ini kemudian menerbitkan media cetak sastra, yakni menerbitkan kembali Lontar dalam bentuk majalah. Edisi pertama, setelah mati sejak 1983, Lontar pada tahun 1998. Namun sayangnya, setelah edisi perdana di tahun 1998 itu, majalah ini tidak terbit lagi.
Lalu komunitas sastra yang dikelola Armaya yang beranggotakan tiga orang saja, yakni Iwan Aziez Siswanto S., Fatah Yasin Noor, Abdullah Fauzi, menerbitkan Buletin Menara Baiturrahman. Sebuah buletin Jum’at yang diterbitkan oleh Yayasan Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi itu dikelola oleh tiga orang tersebut, dan secara langsung dibiayai oleh Armaya ditambah dengan dana yayasan. Hanya bertahan kira-kira setahun, buletin ini pun mati. Namun kembali terbit Buletin Jejak, mati lagi, kemudian terbit Buletin Baiturrahman hingga mati pada tahun 2004. Buletin-buletin masjid yang hanya empat halaman itu banyak memuat karya-karya sastra penyair Banyuwangi di tengah sangat keringnya pemuatan karya-karya sastra di media cetak di Banyuwangi. Sempat beberapa bulan lamanya, Radar Banyuwangi, koran yang diterbitkan Jawa Pos Group di Banyuwangi menyediakan secuil halamannya untuk puisi, karena kebetulan Samsudin Adlawi, penyair generasi terbaru Banyuwangi menjadi pimpinan redaksi Radar Banyuwangi.
Tahun 2000-an, Armaya mendirikan PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi). PSBB kemudian banyak menerbitkan karya-karya sastra modern di Banyuwangi dan puisi-puisi berdialek Using, esai-esai budaya, buku-buku sejarah, dan pengenalan kesenian Banyuwangi. PSBB tidak dikelola secara profesional, sehingga pendanaan bersumber langsung dari saku pribadi Armaya dan beberapa donatur saja. Lalu di tahun 2002, berdirilah DKB-R (Dewan Kesenian Blambangan Reformasi) yang diketuai oleh Fatah Yasin Noor. DKB-R ini kemudian menerbitkan Majalah Budaya Jejak yang terbit secara rutin hingga akhir tahun 2006. Di dalam majalah Jejak banyak termuat karya-karya penyair Banyuwangi, cerpen, esai sastra.
Pada akhir tahun 2006, Majalah Budaya Jejak berhenti terbit. Hal ini karena tim redaksi sudah mengalami perpecahan dikarenakan kesibukan mencari nafkah keluarga. Hingga kini, Armaya merasa kehilangan anak-anak didiknya dalam dunia sastra, sehingga dengan usianya yang sudah kepala delapan, beliau kebingungan orang untuk menerbitkan secara tehnis majalah sastra dan budaya yang ada dalam kehendak hatinya.
Dan di tahun 2008 ini, di Banyuwangi samasekali tidak ada media sastra, baik cetak maupun elektronik, tidak terbit lagi majalah/media dan buku-buku sastra di Banyuwangi, tidak ada radio yang ngomong sastra di Banyuwangi. Ini merupakan sebuah kemunduran yang aktual dari tahun-tahun lalu yang begitu subur dan menggebu menggairah. Sebentuk kemundulan yang aktual mengingat para penyair atau sastrawan di Banyuwangi terbilang tidak sedikit untuk ukuran sebuah daerah kabupaten, yakni kabupaten paling ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Semoga kekeringan ini segera berakhir.
Banyuwangi, 2010
Esai ini disampaikan pada acara bedah buku puisi “Rajegwesi”, karya Fatah Yasin Noor, diselenggarakan oleh Komunitas Lembah Pring pada acara Geladak Sastra # 8, minggu, 26 September 2010 di Sanggrah Akar Mojo Ds. Sajen Pacet, Mojokerto.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar