Catatan Kecil untuk Gagasan Besar
Maman S.Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
E.Ulrich Kratz (Peny.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), xxxix + 980 halaman (termasuk indeks)
Kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Inilah pertanyaan yang diajukan Ajip Rosidi yang kemudian dijadikan judul bukunya. Sesungguhnya, pertanyaan Ajip Rosidi itu tidaklah datang secara serta-merta. Ada persoalan yang melatarbelakanginya dan persoalan itu berkutat di seputar batas awal munculnya karya-karya sastra Indonesia yang memperlihatkan ciri-ciri kemodernan. Umar Junus, mengatakan bahwa sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928. Alasannya, bahwa “sastra ada sesudah bahasa ada” maka kehadiran sastra Indonesia ditandai dengan kelahiran bahasa Indonesia, yaitu ketika Kongres Pemuda kedua yang menghasilkan kesepakatan untuk mengakui “bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” yang lalu lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
Sementara itu, A. Teeuw, menempatkan kelahiran sastra Indonesia sekitar tahun 1920. Alasannya, “Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda daripada perasaan dan ide yang terdapat masyarakat setempat yang tradisional dan mulai berbuat demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan…. Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.” Lantaran adanya perbedaan itulah, boleh jadi, maka Ajip Rosidi menyodorkan gagasan lain yang berbeda dengan Umar Junus dan Teeuw. Lalu, bagaimana dengan gagasan Ajip Rosidi sendiri? Menurutnya, masalah kesadaran kebangsaan yang seharusnya dijadikan patokan. Dengan patokan ini maka lahirnya kesusastraan Indonesia modern adalah awal tahun 1920-an. Alasannya, pada tahun-tahun itulah para pemuda Indonesia, seperti Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, dan Sanusi Pane, mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaan dalam majalah Jong Sumatra. Demikian juga, kumpulan sajak Muhammad Yamin, berjudul Tanah Air terbit pula pada tahun 1922.
Semua pendapat itu, belakangan ini, digugat kembali. Apa yang dilontarkan Umar Junus, Teeuw, dan Ajip Rosidi, sesungguhnya menafikan keberadaan sastra yang muncul di media massa atau yang belum tercetak dalam bentuk buku. Akibatnya, sastra yang secara sosiologis hidup dan berkembang di tengah masyarakat, sebagaimana yang dapat kita cermati dari karya-karya yang dimuat di berbagai media massa yang terbit akhir abad XIX dan awal abad XX, luput dari catatan sejarah. Bahkan, lebih dari itu, sejumlah nama yang secara signifikan memberi kontribusi bagi pertumbuhan kesusastraan Indonesia, ikut pula ditenggelamkan. Kondisi inilah yang secara tragis menimpa kesusastraan Indonesia yang ditulis oleh para sastrawan peranakan Tionghoa dan sastrawan “kiri” yang karya-karyanya diterbitkan penerbit swasta. Karya-karya mereka secara sepihak dikategorikan sebagai karya-karya sastra Melayu rendah atau yang oleh pihak pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai “bacaan liar”.
Lalu, apa pula kaitannya masalah tersebut di atas di dalam konteks buku yang disusun Kratz ini? Justru dalam hal itulah, masalah yang segera muncul ketika kita mencermati buku ini adalah penempatan artikel pertama. Meskipun Kratz beralasan bahwa esai yang dipilihnya “bukanlah karya-karya yang melibatkan diri, misalnya, dalam diskusi tentang tanggal lahir sastra Indonesia …” lalu mengapa ia mengawali himpunan artikel dalam buku ini dengan “Poetoesan Congres Pemoeda Pemoeda Indonesia” yang menghasilkan Sumpah Pemuda dan bukan hasil kongres Budi Utomo atau artikel lain yang pernah muncul dalam media massa awal abad XX? Demikian juga, penjelasan mengenai Sumpah Pemuda yang terdapat pada artikel kedua “Sumpah Indonesia Raja” yang ditulis Muhammad Jamin, mengindikasikan pilihan Kratz yang terkesan hendak menempatkan bahwa kesusastraan Indonesia diawali pada 28 Oktober 1928. Jadi, penempatan kedua artikel itu di awal, niscaya bukan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita boleh berasumsi bahwa secara tersirat, gagasan Kratz patut dicurigai sejalan dengan gagasan Umar Junus dan belakangan Nugroho Notosusanto perihal awal lahirnya kesusastraan Indonesia. Padahal yang terjadi sebelum itu, terutama yang terekam dalam surat-surat kabar dan majalah akhir abad XIX dan awal abad XX, sebagaimana yang sudah disinggung tadi, merupakan bukti bahwa sastra Indonesia telah tersebar di berbagai media massa masa itu. Beberapa artikel itu menunjukkan, pemikiran mengenai sastra Indonesia sebagai bagian dari kultur masyarakatnya telah berkembang semarak dan menjadi bahan pemikiran para pengarang dan kaum terpelajar kita.
Demikianlah, penempatan kedua artikel itu saja sudah mengundang masalah. Jika memang Kratz hendak memilih sejumlah sumber sejarah sastra Indonesia abad XX, maka setidak-tidaknya ia mesti menampilkan artikel lain yang muncul awal abad XX, dan itu tidak susah dicari, karena memang bertebaran dalam surat kabar atau majalah waktu itu.
***
Di luar persoalan itu, secara keseluruhan buku ini, harus diakui, laksana sebuah rangkaian gagasan estetik mengenai sastra Indonesia abad XX. Sebuah panorama pemikiran yang coba mengangkat berbagai problem kesusastraan Indonesia dalam rentang waktu hampir satu abad. Dalam konteks itu, tampak jelas bahwa kesusastraan tidak sekadar produk imajinatif-estetik, melainkan juga sebagai bentuk lain dari pergulatan pemikiran yang merekam keterlibatkannya dalam berbagai aspek sosio-kultural zamannya.
Dalam “Kata Pengantar”, E. Ulrich Kratz mengandaikan bahwa sumber terpilih sejarah sastra Indonesia Abad XX itu, berisi berbagai pemikiran dan isu penting yang kerap dibicarakan dalam konteks sejarah sastra Indonesia Tentu saja yang dilakukan doktor pengajar Universitas London itu bukan tidak mengandung problem. Ia berhadapan dengan artikel-artikel lain yang terpaksa disingkirkan. Itulah konsekuensi yang harus diterima saat ia memilah, memilih, dan kemudian menyusunnya hingga terbentang arus pemikiran yang pernah hingar-bingar mewarnai dinamika perjalanan sastra Indonesia.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan Kratz sungguh merupakan sumbangan berarti bagi usaha penelusuran berbagai pemikiran mengenai kesusastraan Indonesia. Ke-97 tulisan yang dihimpun dalam buku ini, selain pernah dimuat dalam berbagai publikasi (buku, majalah, surat kabar, kertas kerja atau makalah) dalam rentang waktu 1928-1997, juga merupakan artikel yang mengangkat isu-isu penting yang beberapa di antaranya, justru berkembang menjadi polemik. Oleh karena itu, kita dapat menerima jika Kratz menyebut artikel-ertikel itu sebagai Sumber Terpilih.
Sementara itu dalam hal yang menyangkut pemilihan tema, Kratz tampak melakukannya secara sangat hati-hati. Sejumlah masalah yang pernah menjadi isu penting itu, berhasil dibentangkan secara tematis. Ia berusaha menjaga benang merahnya, meski di sana-sini tampak sistematikanya tak begitu lempang.
Lazimnya menghimpun tulisan-tulisan yang berlimpah, problemnya selalu muncul di seputar kriteria dan alasan pemilihan.
Setelah pemuatan artikel pertama dan kedua yang mengangkat ihwal Sumpah Pemuda, misalnya, Kratz memasukkan tulisan Nur Sutan Iskandar, “Peranan Balai Pustaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia.” Sebuah artikel yang pernah dimuat dalam Pustaka dan Budaya, No. 8, Th. II, 1960. Jika hendak mengangkat konteks Balai Pustaka, mengapa tulisan K.A.H. Hidding mengenai Balai Pustaka, dilupakan. Jika alasannya karena penulisnya bukan orang Indonesia, tulisan K. St. Pamuntjak (?), Balai Pustaka Sewadjarnja (1948), jauh lebih menggambarkan peran Balai Pustaka dalam penerbitan majalah, buku sastra, termasuk terjemahan, dan terutama dalam melahirkan sastrawan kita.
Hal lain juga terjadi pada pemilihan artikel dari majalah Poedjangga Baroe. Tulisan Armyn Pane, “Kesoesastraan Baroe I dan II” misalnya, tidak jelas dasar pemuatannya karena artikel Armijn Pane itu sebenarnya terdiri dari empat tulisan. Jika landasan pemilihan artikel itu: “karya-karya yang bergelut dengan soal perumusan kriteria dan sifat-sifat sastra Indonesia” (hlm. xvi), lalu mengapa empat artikel Amir Hamzah, “Kesoesasteraan I-IV” atau empat artikel Alisjahbana “Poeisi Indonesia Zaman Baroe I–IV” yang dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe periode yang sama, diluputkan?
Soalnya, artikel Amir Hamzah secara jelas hendak menegaskan konsep kesusastraan Indonesia yang tidak dapat lepas dari pengaruh kesusastraan tanah luar, meskipun yang dimaksud dengan tanah luar itu adalah kesusastraan Timur. “Kesoesasteraan Indonesia ini banjak dipengaroehi oleh kesoesasteraan tanah loear, tanah jang hampir dengan kepoelauan Indonesia. Tambahan poela tanah jang mengelilingi kepoelauan Indonesia ini kaja dalam ilmoe sastra.” Begitu pula artikel Alisjahbana, justru menjadi dasar pemikirannya mengenai kriteria puisi lama dan baru. Dalam konteks kebudayaan, ia juga bersambungan dengan artikel Alisjahbana “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” yang lalu berkembang menjadi Polemik Kebudayaan. Jadi, timbul pertanyaan, atas dasar apa artikel Amir Hamzah dan Alisjahbana itu disisihkan?
Persoalan lain menimpa pula artikel “Poedjangga Baroe”. Mengapa bagian Susunan Redaksi, Rupa, dan Langganan yang terdapat dalam artikel itu, dihilangkan? Boleh jadi masalahnya akan lain jika Kratz mengambil artikel aslinya (Poedjangga Baru, 1, Juli 1933) dan tidak berdasarkan Prospectus dalam buku yang disusun C. Hooykaas (1947). Jika itu pilihan Kratz, mestinya ada penjelasan serba sedikit mengenai perbedaan antara artikel yang dimuat Poedjangga Baroe dengan Prospectus yang terdapat dalam buku Hooykaas.
Mengherankan, Kratz tidak tegas menjelaskan kriteria pemilihan sejumlah artikel yang disusunnya itu. Ini berbeda dengan “Pendahuluan” dalam buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dan Majalah (1988: 21–43) yang pertanggungjawabannya begitu meyakinkan. Masalahnya menjadi lebih rumit jika kita mencoba menyisir kembali artikel-artikel yang bertebaran dengan rentang waktu yang sangat panjang itu. Secara keseluruhan, masalah inilah yang menjadi titik rawan kriteria penyusunan yang dilakukan Kratz. Bagaimanapun juga, pertanggungjawaban merupakan hal penting, meski penyusun punya hak penuh atas pilihannya. Jika Kratz memberi keterangan atas pemilihan artikel-artikel yang dihimpunnya, termasuk urutan pemuatannya, niscaya kesan subjektif dapat dihindarkan.
Sejumlah masalah itu tentu saja tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan kontribusi buku ini. Keseriusan Kratz dalam menghimpun serangkaian artikel dengan tema yang begitu beragam, menyodorkan banyak peluang bagi kita untuk melakukan penelitian lanjutan. Pemuatan empat artikel dari majalah Pedoman Masjarakat yang dipimpin Hamka, misalnya, menunjukkan bahwa Kratz tidak mengikuti mainstream sejarah kesusastraan Indonesia yang selama ini telah baku diajarkan di sekolah-sekolah. Kesusastraan Indonesia pada dasawarsa 1930-an jelas tidak hanya terpusat pada majalah Poedjangga Baroe, melainkan juga majalah lain yang terbit waktu itu, termasuk Pedoman Masjarakat terbitan Medan. Secara tersirat, Kratz terkesan hendak menawarkan keberadaan sastra di luar Balai Pustaka yang waktu itu semarak dengan Medan sebagai salah satu pusatnya.
Untuk periode zaman Jepang, Kratz memilih tiga artikel yang dimuat Keboedajaan Timoer, Djawa Baroe, dan Pandji Poestaka. Meskipun artikel lain yang lebih mewakili cukup berlimpah pada masa itu, terutama yang dimuat harian Asia Raja (1942–1945), setidaknya ketiga artikel itu memberi gambaran, bagaimana sikap para pengarang kita dalam berhadapan dengan kebijaksanaan Jepang di bidang kebudayaan. Malah, jika dimaksudkan untuk memberi gambaran keadaan kesusastraan zaman Jepang, tulisan H.B. Jassin “Kesusastraan di Zaman Jepang” sebenarnya jauh lebih representatif.
Mewakili perdebatan Angkatan 45, Kratz menampilkan delapan artikel. Sayangnya, artikel Chairil Anwar, “Angkatan 45” tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, artikel itu dimuat bersamaan dengan artikel Sitor Situmorang, “Angkatan 45” (Siasat, 6 November 1949). Dalam artikel itu, Chairil menegaskan, antara lain, “Angkatan 1945 harus merapatkan barisannja dan berusaha sekeras2nja untuk menegakkan selfrespect dan melaksanakan selfhelp. Pertjaja pada diri sendiri dan berusaha meneguhkan ikatan-sosial dikalangan bangsa Indonesia.” Jadi, artikel ini sedikitnya memberi penegasan pada sikap Chairil Anwar dalam melihat semangat Angkatan 45. Mengingat Chairil Anwar termasuk salah satu tokoh kunci Angkatan 45, maka amat disayangkan jika sikap dan pandangannya mengenai angkatan 45 yang menjadi tonggak penting dalam perjalanan (kebudayaan dan kesusastraan) bangsa ini, dilewatkan begitu saja.
Meskipun begitu, ke-8 artikel itu representatif mengangkat simpang-siur gagasan tentang konsepsi estetik-kultural yang melandasi sikap Angkatan 45. Salah satu artikel penting dalam pembicaraan Angkatan 45 adalah tulisan Rosihan Anwar, “Angkatan 1945 buat Martabat Kemanusiaan” yang dimuat Siasat, 2, 1948. Penting lantaran menurut banyak sumber, Rosihan Anwar yang pertama melansir penamaan Angkatan 45. Di sana juga ada artikel Jogaswara (Klara Akustia) “Angkatan 45 Sudah Mampus” yang kelak jadi polemik berkepanjangan dua kubu: humanisme universal dan realisme sosialis (Lekra).
Beberapa artikel lain mengenai Angkatan 45 sampai ke tulisan Jassin, “Angkatan 45” (Zenith, 3, 15 Maret 1951), sesungguhnya masih seputar perdebatan konsepsi dan penamaan Angkatan 45. Sampai awal tahun 1960-an, polemik itu melebar menjadi konflik ideologis antara sastrawan Lekra dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan. Jika ditarik benang merahnya, berbagai gagasan itu mesti dilengkapi pula “Mukaddimah Lekra”, lalu “Surat Kepercayaan Gelanggang” dan belakangan “Manifes Kebudayaan”.
Dasawarsa 1950-an merupakan masa yang paling demokratis, dan mulai kacau saat memasuki tahun1960-an. Perdebatan dan polemik terbuka yang menyangkut masalah sosial, politik, kebudayaan, termasuk sastra, hampir setiap hari menghiasi lembaran majalah atau surat kabar yang terbit waktu itu. Masalah yang jadi bahan perdebatan pun sangat beragam, mulai soal konsepsi estetik, fungsi sastra, tugas seniman, sastra populer, gagasan Angkatan Terbaru, sampai ke masalah hubungan sastra, ideologi, dan politik. Artikel-artikel yang dipilih Kratz cukup mewakili gambaran situasi sastra Indonesia masa itu, meski artikel-artikel dari kelompok sastrawan Lekra yang banyak menghiasi Zaman Baroe, Bintang Timur, Harian Rakjat, tidak dimasukkan dalam buku ini. Padahal, jika memang Kratz hendak membuat sumber terpilih sejarah sastra Indonesia abad XX, artikel dari golongan Lekra yang pernah dimuat dalam media-media massa itu sangat penting untuk melihat sikap dan pandangan ideologis sastrawan Lekra yang kemudian menjadi alat ukur mereka untuk mendengungkan gagasan realisme sosialisnya.
Memasuki zaman Orde Baru, kesusastraan Indonesia, di satu pihak memunculkan begitu banyak karya eksperimental, dan di lain pihak mendapat pengekangan terutama terhadap para sastrawan garis merah. Mereka yang dianggap musuh oleh golongan Lekra justru bersuara lantang menentang pelarangan buku-buku yang dilakukan pemerintah. Tetapi belakangan, ketika Pramoedya memperoleh hadiah Magsaysay, pembelaan itu malah jadi kontroversi. Jika kemudian muncul tanggapan pro dan kontra mengenai kepatutan atau ketidakpatutan Pramudya memperoleh hadiah itu, masing-masing mempunyai argumennya sendiri. Secara tersirat, kontroversi itu merupakan pertanda bahwa konflik ideologi yang terjadi tahun 1965-an antara para penanda tangan Manifes Kebudayaan dengan golongan sastrawan Lekra, belumlah berakhir. Sementara itu, arus eksperimentasi terus bergulir sampai tahun 1980-an. Abdul Hadi dan Korrie mencoba memberi label dengan nama Angkatan 70 dan Angkatan 80. Di luar itu, berbagai gagasan terus bermunculan menyemarakkan karya-karya yang terbit masa itu sampai ke persoalan Pram tadi.
***
Beberapa catatan tadi tentu saja tidak mengurangi kontribusi buku ini sebagai sumber penting dalam penelusuran berbagai gagasan yang pernah mewarnai dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia. Oleh karena itu, sungguh Sumber Terpilih yang disu-sun Kratz ini menawarkan berbagai pemikiran yang niscaya dapat menjadi sumber tulisan atau penelitian berikutnya. Masalahnya tinggal bagaimana kita memanfaatkan berbagai gagasan berharga itu untuk turut serta menyemarakkan dan memperkaya dinamika perjalanan kesusastraan Indonesia.
—————-
Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta: Gunung Agung, 1985).
Umar Junus, “Istilah dan Masa Waktu ‘Sastra Melayu’ dan ‘Sastra Indonesia’,” Medan Ilmu Pengetahuan, Juli 1960; 245–260.
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia 1. (Ende: Nusa Indah, 1980), hlm. 15–18.
Ajip Rosidi, Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir? (Jakarta:Gunung Agung, 1985; hlm. 6
Periksa Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa, (Jakarta: Gunung Agung, 1962); Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985); Leo Suryadinata (Peny.), Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 1996); Marcus A.S. dan Pax Benedanto, Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Nama-nama Semaun, Mas Marco, atau Tirto Adhi Soerjo, juga tenggelam dalam catatan sejarah sastra Indonesia.
Periksa sejumlah artikel dalam Soerat Kabar Bahasa Melaijoe (terbit di Surabaya, edisi pertama, 12 Januari 1856); Bientang Timoor (terbit pertama kali di Surabaya, 4 Januari 1865; 3 Januari 1866 ejaan nama majalah itu diganti menjadi Bintang Timor); Pembrita-Bahroe (1881–1896); Harian Tjahaja Moelia (1883–1884), serta sejumlah surat kabar lain yang terbit akhir abad XIX; Lihat juga Suripan Sadi Hutomo, Wajah Sastra Indonesia di Surabaya 1856–1994, (Surabaya: Pusat Dokumentasi Sastra Suripan Sadi Hutomo, 1995), hlm. 10–28.
Dalam konteks urutan pemuatan berbagai tulisan itu, kesan yang segera muncul adalah bahwa artikel-artikel itu disusun secara kronologis. Secara garis besar, sesuai dengan judul buku ini, Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX, urutannya adalah sebagai berikut: Tahun 20-an, Zaman Pujangga Baru, Zaman Jepang, Angkatan 45, Tahun 1950-an, Angkatan 66, Tahun 1970-an, dan Tahun 1980-an. Dalam kenyataannya, ada sejumlah artikel yang disusun secara tidak kronologis, sebagaimana yang akan kita lihat dalam pembicaraan berikutnya.
Tulisan-tulisan lain mengenai Balai Pustaka, periksa B.Th. Brondgeest, G.W.J. Drewes, T.J. Lekkerkerker, Bureau voor de Volkslectuur. The Bureau of Popular Literature of Netherlands India. What it is, and What it does. Batavia: Balai Pustaka, 1930 (?); “Apakah Balai Pustaka?: Kitab Peringatan Timbang Terima Pimpinan Balai Pustaka 12 Maart 1927”; “Apakah Balai Poestaka” (Pengantar bagi lid-lid Congres Bestuur Boemipoetera jang ke III waktoe mengoendjoengi Balai Poestaka (1930).
Tulisan Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe” dimuat secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 1 (Juli), 2 (Agustus), 3 (September), 4 (Oktober), Th. I, 1933.
Dimuat bersambung secara berturut-turut dalam Poedjangga Baroe, No. 12 (Juni) Th. I, 1933, No. 13 (Juli), 14 (Agustus), 15 (September), Th. II, 1934.
Dimuat bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 14 (Agustus), No. 15 (September), 17 (November), 18 (Desember), Th. II, 1934.
Ada kesan Kratz hendak mengurutkan pemuatan esai atau artikel dalam buku ini secara tematik kronologis, dimulai dengan “Sumpah Pemuda” dan diakhir dengan artikel Putu Wijaya (1997) “Pram” yang mengangkat seputar kontroversi pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer. Tetapi ternyata urutannya tidaklah seperti itu. Dalam hal ini Kratz tidak konsisten. Periksa misalnya artikel 7 (“Persatuan Indonesia” karya Sanusi Pane) dan 8 (“Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru” karya Sutan Takdir Alisjahbana). Tulisan Sanusi Pane justru dalam konteks memberi tanggapan atas tulisan Alisjahbana. Jadi, mestinya tulisan Sanusi Pane diurutkan setelah tulisan Alisjahbana, bukan malah sebaliknya. Kasus serupa terjadi juga pada pemuatan artikel 89 (“Angkatan 80 dalam Sastra Indonesia” karya Korrie Layun Rampan) dan artikel 90 (“Angkatan 70 dalam Sastra Indonesia” karya Abdul Hadi WM). Atas dasar apa artikel Korrie ditempatkan lebih awal dari artikel Abdul Hadi? Tak ada penjelasannya mengenai itu.
H.B. Jassin, “Kesusasteraan dimasa Djepang,” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 74–85. Artikel ini bertarikh 31 Juli 1946. Jadi, sangat mungkin artikel ini ditulis Jassin pada tanggal itu, mengingat artikel yang sama dengan penambahan mengenai Chairil Anwar dijadikan sebagai “Pendahuluan” buku Jassin, Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang, (Djakarta: Balai Pustaka, 1948: Cet. II, 1954), hlm. 1–27. Dengan demikian, untuk memberi “potret” kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang, artikel Jassin itu mestinya menjadi bahan pertimbangan betul.
Chairil Anwar, ”Angkatan 45,” Siasat, Gelanggang, 6 November 1949. Jika benar artikel ini tulisan Chairil Anwar, maka inilah karya terakhir Chairil Anwar dan pemuatannya justru setelah tujuh bulan Chairil meninggal, 28 April 1949.
H.B. Jassin, “Angkatan 45” Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay, (Djakarta: Gunung Agung, 1954), hlm. 189. Tulisan Jassin ini mula-mula dimuat dalam majalah Zenith, 3, 15 Maret 1951. Para pengamat umumnya mengutip artikel Jassin yang dimuat dalam buku yang terbit tahun 1954. Mereka yang mengutip artikel Jassin itu, antara lain, A. Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, Ende: Nusa Indah, 1980; hlm. 169), Keith Foulcher, Angkatan 45: Sastra Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Jaringan Kerja Budaya, 1994). Tulisan ini dengan perubahan di sana-sini, termasuk judulnya menjadi “Angkatan ‘45 dan Warisannya: Seniman Indonesia sebagai Warga Masya-rakat Dunia” kemudian dimuat dalam Asrul Sani 70 Tahun (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), hlm. 85–114. Pamusuk Eneste, Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 20. Semua sumber itu menyebutkan bahwa penamaan Angkatan yang mula dilansir Rosihan Anwar itu dimuat dalam majalah Siasat, 9 Januari 1949. Sementara Ajip Rosidi menyebutkan bahwa penamaan yang dilakukan Rosihan Anwar pertama kali pada tahun 1948. Dengan adanya artikel Rosihan Anwar itu, maka sangat mungkin justru dalam artikel inilah penyebutan Angkatan 45 dilakukan Rosihan Anwar, yaitu yang dimuat majalah Siasat, 2, 1948, dan bukan tahun 1949 sebagaimana yang dinyatakan dalam sumber-sumber di atas, termasuk yang dikemukakan H.B. Jassin.
Sejumlah nama yang diusulkan waktu itu, antara lain, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan sesudah Perang, Angkatan sesudah Pujangga Baru, Generasi Gelanggang, dan Angkatan Pembebasan. Yang kemudian diterima adalah penamaan Angkatan 45.
Kratz mengurutkan teks-teks itu sebagai berikut: “Surat Kepercayaan Gelanggang” (artikel ke-27), “Mukadimah Lekra” (artikel ke-49), dan artikel ke-64, 65, dan 66 adalah “Sejarah Lahirnya Manifes Kebudayaan”, “Penjelasan Manifes Kebudayaan” dan “Manifes Kebudayaan”. Sesungguhnya, publikasi Mukadimah Lekra (Agustus 1950) mendahului publikasi “Surat Kepercayaan Gelanggang” (bertarikh 18 Februari 1950, tetapi baru dipublikasikan dalam Siasat, 22 Oktober 1950. Jadi atas dasar apa Surat Kepercayaan Gelanggang ditempatkan lebih awal daripada Mukadimah Lekra. Kemudian mengenai Manifes Kebudayaan, mengapa pula sejarah dan penjelasannya harus ditempatkan lebih dahulu dari Manifes Kebudayaan itu sendiri? Kratz tidak menjelaskan masalah ini.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar