Rabu, 18 Agustus 2010

Posisi Negeri Pengarang di Jawa Timur

(Surat Terbuka Buat Arif B Prasetya, W Hariyanto, Fachrudin Nasrullah, Rahmat Giryadi)
S. Jai *)
http://ahmad-sujai.blogspot.com/

HAMPIR pasti tiada suatu negeri tanpa bayang-bayang penguasa. Fatalnya hal serupa terjadi pada negeri sastra—tempat berdiam puisi, prosa atau drama. Ini yang tertangkap dari sebalik ulasan kritikus sastra Arif Bagus Prasetyo tentang “Jawa Timur Negeri Puisi,” Jawa Pos 25 Juli lalu.

Prosa berada di bawah bayang-bayang puisi. Sementara ekspresi penyair berada di sebalik kurungan keengganan dan kemiskinan berbahasa Indonesia. Dengan kata lain visi kepenyairan lebih berada di bawah ketaksadaran ketimbang kesadaran akan—dalam bahasa Gadamer—bildung, weltanchauung, sensus communis, judgement, taste.

Artinya prosa Jawa Timur dapat dikatakan sedang koma atau luluh lantak di mata kritikus yang kini tinggal di Denpasar, Bali tersebut. Akan tetapi Arif tidak sendiri mensinyalir demikian. Tengara serupa terbit beberapa hari sebelumnya, Selasa 20 Juli 2010 dalam sebuah seminar “Arah dan Perkembangan Sastra di Jawa Timur.” Penyair Tjahjono Widianto mengaku terus terang tidak punya nyali membahas prosa oleh karena takut salah. Ia hanya membahas puisi-puisi Jawa Timur meski yang bersangkutan juga menulis prosa di media nasional.

Ada beberapa sinyal yang tak asing dari peristiwa sastra mutakhir tersebut di atas. Sedemikian kukuhnya mengakar dalam darah daging sastra kita hingga sulit dideteksi yang tumbuh kembang ini tumor, kanker atau daging segar. Yakni, tak lain terkait dengan posisi prosa dan puisi di satu sisi dan posisi pengarang, penyair dan kritikus di sisi lain.

Tentu ini hubungan wilayah perkembangan yang maha luas dan perlu pengkajian mendalam. Hanya saja keunikan peristiwa di atas setidaknya bisa ditangkap karakteristik dasar di sebalik gejala sastra tersebut. Bahwa sastra, puisi, prosa sebagai satu kenyataan, kemudian sastrawan, penyair, pengarang sebagai kenyataan lain, di samping media massa, pembaca, dan kritikus sebagai kenyataan berikutnya yang memiliki karakter tertentu pula.

Kritik Arif Bagus Prasetyo yang meneguhkan Jawa Timur sebagai negeri puisi hanya mendasari diri pada sudut pandang karakteristik posisi tersebut di atas, tanpa menumbuhkan kemungkinan karakteristik lain dari ruh sastra itu sendiri—yang sudah berangtentu sebagaimana dikemukakan sang kritikus sendiri, diakui ada. Meskipun sempat disinggung pula adanya penyair yang menulis prosa seperti Mardi Luhung, Mashuri dan Beni Setia.

Secara sederhana, sebetulnya apabila kritikus yang juga kurator “Sastra Indonesia Hari Ini: Jawa Timur” itu bersedia membalik karakteristiknya dengan menganalogikan bahwa ketiga sastrawan sebagaimana dicontohkan itu “menulis prosa dan menulis puisi,” saja tentu bakal kuasa membangkitkan orang-orang visioner dan menyusuri dunia sastra dengan mata yang berbinar.

Dengan karakteristik baru semacam ini, kritik sastra bakal terimplikasi lain disamping pada dirinya sendiri selaku kritikus. Termasuk implikasi terhadap kekayaan pembacaan sastra oleh kritikus-kritikus sesudahnya. Rupanya, manakala kritik atas sastra di Jawa Timur itu berlanjut maka visi prosa dalam hal ini kepengarangan, juga ekspresi kepenyairan bakal dipersalahkan tanpa suatu kejelasan konseptual. Tanpa menyadari kekurangpatutan atas kritik sendiri, bahwa sebetulnya kesalahan konseptual atas prosa dan puisi bakal lebih berbuah aib memalukan atas dunia kritik sastra.

Boleh jadi visi dan ekspresi prosa juga puisi kita salah arah. Akan tetapi kesalahan arah prosa dan puisi kita boleh jadi disokong oleh ketidakpahaman akan subtansi sastra. Tentu saja perihal amburadulnya subtansi sastra yang bertanggungjawab dan punya andil besar adalah kritikus sastra. Rendra pada 1982 menyerukan omong kosong pada kritikus sebagai jembatan penonton atau pembaca dengan seniman.

Perlu kita ajukan kembali pertanyaan mendasar apa sebetulnya relevansi kritikus atau penyair, prosais yang kemudian sanggup merangkap sebagai kritikus membedakan antara puisi dan prosa? Lalu, apa sesungguhnya masih ada relevansinya pembedaan atas prosa dan puisi?

Sudah barang tentu pertanyaan ini bisa diperdebatkan—terlebih bila menyangkut historiografi atas prosa dan puisi. Perdebatan bakal lebih mendalam manakala terkait pula dengan—dalam bahasa Adonis—perihal personifikasi, simbol, retoris, liris dan representatif pada karya sastra. Betapa Adonis terkejut saat mengulas karya Jibran Khalil Jibran atas bentuknya yang banyak seolah-olah Jibran ingin memberikan inspirasi bahwa bentuk yang banyak juga merupakan jenis pembaruan dan jenis melampaui masa lalu.

Jibran menulis cerita pendek yang relatif panjang, drama dialogis, makalah, cerita simbolik, ungkapan padat (kata-kata bijaksana, perumpamaan), biografi, qashidah prosa dan qashidah bermatra. Kiranya, bisa dimengerti mengapa pula sastrawan besar seperti Sutardji Chalzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad memilih menjadi prosais dan orang seperti Koentowijoyo, Arifin C Noer, Iwan Simatupang juga memperkenalkan diri sebagai penyair.

Bahwa puisi sebagaimana prosa itu seperti seperti Rosario atau butir tasbih yang kebetulan dirangkai dalam satuan melingkar dan boleh berbeda ukuran. Sementara manusia, penyair, pengarang itu doa dan sembahyangnya. Personifikasi ini bukanlah ungkapan seorang kritikus yang kemudian mengkritik seakan hanya pembaca yang berdoa dengan rosario atau butir tasbih saja yang lebih sahih menikmati puisi dan prosa.

Setiap sastra meski bermula dari persoalan mitos-mitos pribadi yang terpecahkan dan berkembang jauh menjadi problem keilmuan, di dalamnya sudah barang tentu memuat puisi, juga prosa. Ada puisi dalam prosa. Ada prosa dalam puisi.

Tanah Air Sastrawan

Sastrawan punya kemampuan penguasaan bahasa lebih baik dari yang bukan sastrawan. Kendati senantiasa haus akan penjelajahan wilayah baru bahasa. Akan tetapi lebih jauh, menulis sastra adalah suatu upaya menjaga diri agar tak kehilangan hak milik sebagai manusia. Yaitu, semacam cinta yang sesungguhnya, cinta yang berpuasa, cinta yang menahan diri agar terhindar dari kesepian, kecemasan. Cinta yang bisa mendengar dan merasakan jerit tangis, luka, bahagia, sampai dasar relung yang terdalam manusia—yang sulit diterjemahkan, disingkapkan dengan kata karena kata tak sanggup menampung kandungan isinya, juga yang tak bisa menemukan titik paling subtil dalam kata.

Saat itulah sastrawan tak sulit merondai pikirannya menempatkan diri pada tirai puisi. Berkat kata dalam puisi sastrawan tidak bersusah payah menghadirkan perasaan, intuisi, imajinasi, jiwa, kesadaran bahkan ruh—hal yang sangat manusiawi sekaligus mempribadi. Bahkan sebaliknya ia telah menemukan ruh, kesadaran, jiwa, imajinasi intuisi dan perasaan setiap kata sebagaimana ia temukan dirinya dalam kata.

Ya, sastrawanlah yang membabtiskan kata itu seperti manusia juga. Dia yang tahu jutaan kata-kata, miliaran buku-buku, tahu bagaimana harus hidup, menyela dan menyusun pikiran besar. Ia pun tahu, perlu kerendahatian untuk berjanji sebagai sastrawan memperlakukan kata seperti halnya terhadap manusia. Betapa ia tak akan tinggal diam saat menjumpai kenyataan seperti sekarang: Kata sudah demikian kejam menjadi pembunuh berdarah dingin yang menghabisi manusia, seluruh semesta, membantai sesama kata dan bahkan membunuh dirinya. Akibatnya, kematian terjadi dimana-mana. Kecuali bagi siapa saja yang bersih dan jujur.

Sastrawanlah yang tahu bentuk yang tepat ekspresi sastranya mana yang sanggup memboyong segala kemungkinan kata karena tabiat kata yang sudah ditentukan padanya—kurang ajar, purba, tidak saja seperti anak yang lahir yatim piatu tanpa bapak dan ibu, tetapi juga sombong dan tak mengakui manusia. Ia hanya tahu manusia, pengarang, penyair itu ada. Tapi dia hidup di dunianya sendiri yang sama sekali asing dan barangkali punya kitab sendiri, nabi-nabi sendiri.

Karena inilah takdir kata. Seperti manusia, ia tak sanggup mengajar kesempurnaan kendati Tuhan telah menciptakannya sebagai makhluk yang paling sempurna. Secara fisik ia bisa cacat bisa pula sehat jasmani, atau berbadan perkasa. Bukankah lebih mulia bila kita memanusiakan mereka seperti kenyataan sesungguhnya? Laiknya manusia utuh sebagaimana wakil pencipta di bumi ini?

Kadang-kadang ruh sastra itu tak peduli benar dirinya bermakna atau tidak. Sastrawan hanyalah diberi hak untuk mengajukan pertanyaan, bujuk rayu, kebijakan filosofis, dalam bentuk seindah mungkin, sedahsyat mungkin agar seolah kelak mendapat jawaban pasti atas segala tanya dan mengakhiri kegelisahannya.

Walhasil, sastrawan, penyair, pengarang, orang biasa semakin sulit dibedakan. Namun sangat mudah untuk membedakan antara puisi dan penyair, pengarang dan prosa. Bahwa puisi bukanlah apa-apa. Puisi hanya ditulis oleh penyair karena takdirnya. Demikian pula prosa.

Artinya, menjadi semakin sia-sia ketika mencoba menarik pemaknaan puisi, prosa yang bagus dan penyair, pengarang yang luar biasa. Barangkali sebangun dengan ungkapan TS Eliot, kesusastraan diukur dengan kriteria estetis, sedang kebesaran karya sastra diukur dengan kriteria di luar estetika.

Bahwa satu kalimat terakhir ini tak lain merupakan usaha untuk menjawab spirit prosa. Penulis artikel ini sendiri termasuk ragu dan berpendapat hampir seluruh puisi-puisi yang ada jangan-jangan itulah sebetulnya spirit prosa. Atau setidaknya puisi-puisi yang sukses luar biasa menggiring pembaca untuk menjadi sesuatu yang lain: prosa. Lalu dimana puisi? Bahkan tidak sedikit puisi-puisi yang menjungkirbalikkan korbannya—utamanya mahasiswa sastra, sastrawan, calon penyair, ahli sastra yaitu ketika tanpa sadar dirinya sebetulnya sedang dibaca oleh yang berpura-pura sebagai puisi. Pilih mana yang benar: membaca atau dibaca?

Lebih dari itu penulis artikel ini percaya bahwa mengarang adalah menipu diri sendiri demi untuk meraih kegelisahan hidup kepengarangan selanjutnya. Kedengarannya memang naïf dan gila: tampil gagah hidup miskin, di tengah kemiskinan di lautan kata, samudera bahasa di negeri ini, yang fatalnya juga masih hidup susah karena serba terjerat kemiskinan, juga terlilit utang. Inilah kejujuran untuk menipu diri sendiri. []

*) Penulis adalah pengarang.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati