Minggu, 18 Juli 2010

Tubuh Kota dalam Representasi Seni Pertunjukan ”Outdoor”

Sepotong Catatan dari Journal of Moment Arts 2003 di Makassar
Yanto le Honzo
http://www.sinarharapan.co.id/

Journal of Moment Arts (JOMA) adalah program rutin tahunan yang diadakan Sanggar Merah Putih Makassar. Tahun ini adalah kali keempat mereka mengadakannya, mulai tanggal 20-25 Oktober 2003. Untuk tahun ini, mereka memilih wilayah kesenian outdoor sebagai pernyataan dan ekspresi berkesenian, dengan tema ”Kota dalam Tubuhku”. JOMA menempatkan visinya pada ruang-ruang publik kota dalam memandang seni pertunjukan sebagai representasi dari kebudayaan kota.

Selain peserta dari Makassar dan sekitarnya, mereka juga mengundang beberapa seniman untuk meramaikan acara tersebut. Semua peserta dari luar Makassar kemudian mereka inapkan di dalam kompleks Benteng Fort Rotterdam(FR) yang dulunya pusat Kerajaan Makassar dan menjadi tempat pengasingan P. Diponegoro. Benteng itu langsung berhadapan dengan pantai Biring Kassi (BK), yang juga tidak terlalu jauh dari gedung kesenian Societeit de Harmonie.

Acara JOMA secara resmi dimulai sejak 20 Oktober pagi hari, meski kenyataannya pada malam sebelumnya, Halim HD dari Solo sudah melakukan performance dengan cara berjalan dari bandara Hasanuddin ke gedung kesenian yang berjarak lk. 20 km, sejak dia turun dari pesawat udara. Semacam napak tilas setelah beberapa tahun lalu dia menetap sementara di Makassar.

Pagi hari, menjelang kedatangan matahari dari ujung timur, diadakanlah apanaung ri je’ne, yaitu upacara turun ke air. Semua peserta dari benteng FR. beriring berbaris menuju ke pantai BK dengan mengenakan kain sarung. Upacara dipimpin Ridwan Aco, seorang koreografer dari Makassar. Di dalam iring-iringan itu ada tujuh tampah berisi sesaji yang masing-masing terdiri dari beberapa kepal ketan berwarna dan sesisir pisang. Tiba di pantai, sesaji ini akan dilarungkan. Juga tujuh dupa yang dibawa seorang satu. Tapi sebelum itu, ada sebuah performance upacara ritual oleh Ridwan Aco dengan judul ”Mencari Sumber Mata Air”.

Kentongan Bambu

Sebuah kentongan bambu bisa bermakna apa saja tatkala dibunyikan. Bisa bernada panggilan, kematian, atau kebakaran. Oleh Arifin Manggau, pemusik Makassar, kentongan kemudian menjadi sesuatu yang lain. Dengan kentongan, dia ingin berbicara, bahwa kita harus waspada, baik terhadap diri sendiri juga generasi yang akan datang. Maka banyak kentongan dia buat dan dibawanya itu ke sekolah dasar Mangkura di Jl. Botolempangan. Dia menamakan repertoar musiknya ”Waspada dalam Irama Kebersamaan”.

Bersama teman-temannya, dia bunyikan kentongan-kentongan itu di halaman sekolah dasar. Mereka bunyikan itu hingga menarik perhatian murid-murid. Dengan cara yang komunikatif, beberapa murid lalu merespons untuk ikut membunyikan. Bebunyian itu terus berlangsung sampai masuk ke halaman. Akhirnya semua kentongan dimainkan oleh murid-murid itu menjadi irama yang riuh penuh semangat. Arifin mampu mengajak anak-anak SD Mangkura terlibat dan aktif. Kewaspadaan yang awalnya menjadi tema utama, berubah menjadi optimisme dan keriangan. Dalam hal ini, tema menjadi tidak penting, tapi Arifin cukup berhasil untuk memancing respons penontonnya, yaitu anak-anak SD.

Zulkifli Pagessa (Uun), perupa dari Palu yang biasa mengorganisasi acara kesenian di daerah Palu dan Donggala, membuat suatu ritual dengan judul ”Metamegalithikum 6.0”. Seorang perempuan terbungkus plastik hitam, dengan tubuh penuh gambar simbol Kaili di sekitar Teluk Palu, berjalan dengan membawa piring berisi seonggok hati. Uun mengiring di belakang sebagai penjaga. Mereka berjalan kaki ke arah barat, menuju gedung kesenian, di bawah siang Makassar yang garang menyengat. Kepada setiap orang yang terlewati, perempuan itu menawarkan, ”Ini nuraniku, makanlah sepuas hatimu”.

Di pantai BK, sambil menikmati matahari di sudut barat, di antara deretan perahu yang tertambat di ayun gelombang, Katharina dari Swiss dengan dibantu Fitri memulai pertunjukan gerak di atas perahu dengan judul ”Missing Home”. Sebuah eksplorasi gerak yang ingin bicara tentang tubuh-tubuh yang kehilangan rumah ketika harus ada yang mengemudikan berlangsungnya kehidupan di dalam rumah. Ketika tubuh harus terombang-ambing diempas gelombang, bagaimana rumah harus dijaga, bahkan saat waktu telah senja dan terang mulai redup.

Ke arah Selatan dari pantai BK, kita akan menemui pantai Losari yang ramai dan terkenal itu, tempat para warga kota bercengkerama, berkencan sambil memandang matahari yang lingsir ke laut, atau merasakan desiran angin laut malam. Ternyata suasana pantai itu menjadi kegelisahan seorang penari Makassar, Ani Satriani. Dengan judul ”Good Night”, Ani berjalan perlahan di atas dudukan beton yang sempit dengan iringan gitar, pui’-pui’ dan kendang. Bersumber dari gerak tari Pakarena, Ani ingin mengungkapkan kegelisahannya bagaimana napas Makassar sudah hilang dari pantai Losari, menjadi sekedar tempat kencan dan musik dangdut yang mewarnai hari-hari di pantai Losari.

Di sebelah kanan pintu gerbang benteng FR, ada reruntuhan bangunan yang terbiarkan merana. Pagi itu, di hari ketiga JOMA, jam menunjukkan angka 8. Sutradara Teater Tetas Jakarta, AGS. Arya Dipayana (Aji) sudah sibuk merajang bumbu dan mengaduk bubur. Di tangga bambu yang sudah rusak dan tersandar di tembok, terpampang kertas karton putih bertulis ”I Love You My Son”. Di atasnya terselempang kain warna merah. Aji ingin membagi sebagian dari rahasia pribadinya ke ruang publik yang baru dia kenal. Sebuah biografi kepedihan dan kerinduan seorang ayah, ketika dia tidak bisa lagi menemui anak satu-satunya saat dia harus mengalami keruntuhan rumah tangganya. Dan anaknya, terbawa bekas isterinya, sementara dia tahu, anaknya paling suka dengan bubur ayam buatan dia. Kompleks benteng yang luas dan terbuka; sebuah ruang publik, tiba-tiba kemudian menyempit menjadi ruang pribadi Aji, di mana para penonton ikut merasakan kegetiran yang meruap. Ada yang membantu mengiris ayam, menggoreng kedelai. Ada yang ikut mengaduk bubur. Semua menjadi bagian dari diri Aji. Dia terus bercerita tentang keluarganya, tentang anak yang dirindukannya, tentang duka yang terpendam selama bertahun-tahun.

Ketika bubur sudah jadi, dan semua menikmatinya sebagai sarapan pagi, menikmati bubur ayam duka cerita Aji, tiba-tiba datang empat polisi yang sedang mencari seorang pelaku penganiayaan yang terjadi tadi malam. Dan ternyata, pelaku itu adalah Aji sendiri. Di antara kegemparan itu, Aji diborgol dan dibawa petugas keluar benteng, diiringi puisi yang dibacakan oleh Yanto le Honzo.

Menjelang jam 22.30 WIB, obor-obor dari botol telah berjajar setengah melingkar di bawah pohon, di depan kafé di pantai BK. Sebuah karya tari Fitri Setyaningsih dari Solo yang berjudul ”Kali” dibawakan oleh Fitri sendiri dengan dibantu oleh Katharina. Sebuah tarian kontemporer dengan dasar gerak tari jawa yang menggambarkan tentang penyembuhan seseorang saat dia sedang kerasukan roh halus. Sebuah proses penyembuhan dengan siraman dari air kendi dan beras yang ditebar-tebar ke segala penjuru dengan disertai kepingan uang logam.

Ibu Andi Ummu Tunru, seorang penari tradisi yang mempunyai sanggar tari di daerah Parantambung, di pinggiran kota Makassar. Di situ ada baruga kaluarrang atau pendopo besar, tempat mereka berlatih tari. Andi Ummu menjamu peserta JOMA dengan sebuah tarian dengan judul ”Appatala”, yang artinya perjamuan, dan ditarikan oleh Andi Ummu sendiri dengan intensitas seorang penari yang sudah ‘menjadi’: kesenian sebagai jalan hidup.

Pantai BK ternyata adalah ruang publik yang menarik perhatian sebagian peserta JOMA 2003 ini, sehingga Asia Ramli Prapancha pun, sutradara Teater Kita Makassar, juga memanfaatkannya bagi pertunjukannya hari kelima. Di pelataran depan kafe, Asia memanfaatkannya sebagai ruang bermain bagi orang-orang yang ingin dengan bebas terlibat pertunjukan sore itu. Setiap orang bebas menyikapi area itu sebagai ruang bermain, seperti judulnya ”Aku Bermain di Ruang Kecil Ini”. Setiap orang bisa bermain dengan seluruh mimpi dan pengalaman hidupnya masing-masing. Berpesta untuk dapat melepaskan hari-hari yang penat dan melelahkan. Seperti keriuhan pesta jalanan festival Rio de Jenairo yang penuh musik dan tarian.

Dalam sejarahnya, P. Diponegoro pernah diasingkan di dalam benteng FR, sampai dia meninggal. Hal itu menjadi inspirasi bagi Agung Wibowo dari Semarang, dalam pertunjukannya.

Di pasir pantai, ada lima tiang salib. Di depannya seseorang berjubah putih dengan gerakan kuda kepang melompat-lompat gelisah. Perlahan tiang-tiang salib mulai terbakar. Lelaki itu terus berlari hingga lelah tersungkur di tepi jalan dan merangkak sampai di depan pintu benteng. Saat itulah, tali-tali mulai diikatkan di kedua kaki dan tangannya, dan dalam kelelahan, dia berjalan masuk ke benteng dengan iringan lagu Indonesia Raya dari tape, menuju ke tempat di mana P. Diponegoro pernah tinggal. Di situ, dilakukan prosesi tabur bunga bagi sang pahlawan.

Sabtu siang di Mal Ratu Indah. Sebuah performance mulai dimainkan oleh Yanto berdasarkan ide dan gagasan Yudi A. Tadjuddin, sutradara Teater Garasi Yogya. Dia menawarkan pada pengunjung mal untuk membantunya meniupkan balon, ”Karena aku orang asing di kota itu, dan aku selalu merasa takut dengan segala yang terjadi di kota itu. Maka aku butuh penanda untuk melihat diriku. Balon itulah penanda diriku. Jika aku melihat orang membawa balon, maka aku tahu, itulah diriku”.

Yanto terus mencari orang yang mau menolongnya untuk meniupkan balon yang dia bawa dan diikatkan ke tubuhnya. Di mal, di warung rokok, di angkutan umum, jalanan, di kantor polisi, di taman. Dan dia kembali ke benteng FR dengan balon-balon yang bergelantungan di tubuhnya.

Di pantai BK, ada panggung kecil beratap yang tertancap di antara air pantai. Ada seseorang dengan biola di situ, memandang matahari. Di pasir, beberapa orang mulai memainkan kendang. Sabtu sore itu, pertunjukan outdoor terakhir acara JOMA 2003, repertoar panjang musik dari Maskur el Elief, pemusik dari Gowa. Matahari terus merambat turun tepat di atas Pulau Kahyangan, diantar gesekan biola dan rampak kendang dalam sebuah komposisi ”Mengantar Matahari Terbenam: Fade I Will Find Spark In The Dark”. Senja telah tiba, pertanda selesailah pesta kesenian itu. Makassar mulai bersemburat cahaya merkuri.

Malam sudah meninggi. Jalanan kian riuh dalam suasana malam minggu. Pantai Losari penuh dengan orang-orang yang ingin menikmati desir malam di bibir kota.

Penulis adalah pekerja teater.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati