Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/
Seorang perempuan menelungkupkan kepala di atas meja. Dari mulutnya terlontar igauan-igauan keras mengenai grafik pemeliharaan, grafik penghancuran, rencana regional, rencana tata ruang, konstruksi pembangunan negara-negara miskin.
Perempuan bernama Fitri itu seolah menjadi potret kegilaan kehidupan kota besar. Tekanan hidup membuat dia dan sebagian besar manusia urban lainnya merasa teralienasi bahkan oleh masa lalunya sendiri.
Untuk mengisi ceruk hati yang kosong mereka membentuk sebuah percintaan banyak segi. Meski tahu itu bukan bentuk ideal, namun mereka yang tercerabut dari akar tak sanggup untuk menolaknya.
Fenomena sosial seperti kegamangan sikap dan situasi psikologis masyarakat modern itu menggelitik naluri kreatif Teater Kami untuk mengangkatnya ke atas panggung. Kemudian dari tangan dingin seorang Harris Priadie Bah lahirlah sebuah pertunjukan teater yang mengharmonisasikan antara tubuh dan teks.
Lahir di Jakarta 20 tahun silam, Teater Kami memberikan sebuah warna yang berbeda di awal kemunculannya. Pengalaman bergabung dengan Teater Sae disebut-sebut sebagai salah satu latar eksplorasi tubuh yang dilakukan Harris.
“Berani tampil beda menjadi salah satu nilai lebih bagi Teater Kami. Di saat kelompok lain tenggelam dalam hiruk pikuk kecerewetan teks, mereka hadir dengan konsep minimalis, detail serta eksplorasi yang kuat terhadap tubuh,” kata Afrizal Malna, Minggu (14/12).
Teater Kami kemudian berangkat menjadi kelompok yang mengejar substansi. Bagi mereka, teater bukan sekadar narasi yang bertele-tele. Dengan detail tubuh yang sederhana pun mereka mampu menghipnotis penonton.
Afrizal mengatakan, dalam lingkungan teater di Jakarta, langkah yang diambih oleh Harris dan teman-teman terbilang istimewa. Maklum, ketika itu banyak kelompok teater yang disibukan dengan dialog yang berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk menggarap detail di tingkat tubuh aktor.
Kelebihan lain dari kelompok ini adalah tidak berlebihan dalam setting. Budaya visual yang tengah marak belakangan ini seringkali membuat para pekerja teater berlomba untuk mencipta setting yang gegap gempita, sementara teaternya sendiri menjadi terkubur.
Konsep setting minimalis yang diusung Teater Kami juga mendapat acungan jempol dari Halim HD. Ia mengakui kelebihan kelompok ini dari segi adaptasi ruang dan pemanfaatannya. “Ketika diundang ke Palu. Mereka mampu menggunakan ruang tamu sebagai tempat pertunjukan,” kata Halim.
Harris menuturkan bahwa konsep minimalis tersebut sebenarnya tercipta secara tidak sengaja. Sulitnya mendapatkan dana untuk pertunjukan membuatnya harus memutar otak, bagaimana membuat karya yang maksimal dengan modal kecil. “Maka terciptalah konsep pemanfaatan ruang dan penggunaan aktor yang minimalis,” ujar Harris.
Bahasa Simbol
Afrizal mengatakan, dengan gaya yang imajinatif Teater Kami mengusung ikon-ikon ke atas panggung. Bukan sebagai representasi sosial melainkan sebagai interpretasi mereka. “Mereka membawa pesan realis yang dikemas dalam pertunjukan imajinatif,” ujar penulis kumpulan puisi Teman-teman dari Atap Bahasa ini.
Contohnya dalam lakon Telur Matahari yang bercerita tentang wajah Indonesia setelah lima tahun reformasi. Taburan metafor sangat terasa pada pementasan yang naskahnya ditulis oleh Afrizal.
Misalnya saja pada adegan ketika dua orang sedang memperebutkan kursi (dalam makna sesungguhnya). Kemudian muncul orang ketiga yang ketika berhasil menguasai kursi, alih-alih diduduki kursi tersebut malah dibanting hingga berantakan.
Beragam makna bisa muncul dari adegan semacam itu. Tetapi, jika mengacu kepada bingkai besar pementasan sebagai upaya melakukan dekonstruksi terhadap berbagai ketidakpantasan di negeri ini, maka “kursi” (mungkin jabatan) telah membuat sebagian orang geram.
Pementasan tersebut ditutup secara tidak biasa dengan membanting semangka yang menyerupai bola dunia tepat di hadapan penonton. Suara bantingan yang menghentak menyadarkan bahwa bangsa ini tengah mengalami kesemrawutan.
Dalam tradisi Tionghoa, buah semangka yang dibanting merupakan bagian dari tata cara pada upacara kematian. Harris ingin menuturkan bahwa carut-marut di negeri ini akan berujung pada kedukaan yang mendalam.
Interpretasi personal yang digunakan Teater Kami seolah menjadi dua sisi mata pedang yang terkadang menjadi kelebihan, namun lain waktu dapat menjadi kekurangan. “Harris acapkali berlaku “sewenang-wenang” terhadap naskah orang lain dengan melakukan penafsiran ulang yang berlebihan,” kata Nur Zen Hae.
Misalnya saja pada pertunjukan Kunang-kunang yang naskahnya ditulis oleh penulis terkemuka Jepang, Suzue Toshiro. Dalam lakon tersebut Harris melakukan perombakan cerita secara besar-besaran. Naskah asli yang terdiri dari 14 adegan dipangkas menjadi 11 adegan (dua dihilangkan dan dua dijadikan satu).
Pertunjukan juga kerap menampilkan cerita yang tidak linier bahkan cenderung melompat-lompat. Satu adegan dengan adegan lain direkatkan oleh Ide, sehingga berpindah-pindah bagai gelombang radio.
Tengok saja pada lakon Kunang-kunang, adegan pertama dibuka fragmen antara Fitri dan Yanto. Lantas disambung dengan adegan kedua yang memperlihatkan kesibukan pasangan Jean Marais dan Faudiah Sari yang tengah menyorotkan senter mencari kunang-kunang.
Zen Hae menuturkan, upaya pembongkaran yang dilakukan Harris cukup menarik, caranya memilih dan mengedit naskah sehingga menghasilkan keseluruhan alur kisah. “Harris menggunakan adegan yang dianggapnya penting dan memangkas yang dianggap tidak,” ujar Zen Hae.
Pria yang sempat bekerja sama dengan Teater Kami untuk beberapa produksi ini mengatakan, penafsiran ulang yang dilakukan pewujud (penyebutan sutradara oleh Teater Kami) dapat merupakan bentuk kreativitas. Tetapi di sisi lain tindakan tersebut berisiko karena cerita yang ditampilkan tidak utuh.
Lebih lanjut Zen Hae melihat, Teater Kami sedikit terjebak dalam nada bicara robotik (dengan penekanan di akhir kalimat) yang menjadi ciri khasnya. “Memang gaya tersebut membedakan Teater Kami dengan kelompok lain, tetapi karena dilakukan secara berulang menjadi terasa membosankan,” kata lelaki yang menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Naskah Asing
“Hanya orang menos (gila) yang mau bertahan di dunia teater yang serbapaceklik,” kata Harris sembari terkekeh. Mungkin menertawakan diri sendiri karena dia termasuk segelintir orang yang hingga kini masih bertahan di dunia yang jauh dari gemerlap.
Tetapi tentu Harris tak ingin mati konyol. Supaya dapat bertahan ia harus pintar-pintar memutar otak. Untuk itu Harris memilih “jalan sempit” dengan melakukan pementasan-pementasan di kedutaan negara asing.
Cara yang ditempuh Harris ternyata cukup ampuh untuk mencetak rupiah guna membiayai pementasannya. “Tidak banyak, tapi setidaknya saya dapat memberikan uang lelah kepada para anggota,” ujar Harris.
Budaya memberikan uang lelah ditempuh oleh lelaki berusia 43 tahun ini mengubah anggapan bahwa pekerjaan teater berbeda dengan pekerjaan formal lainnya. Menurut dia, teater bukan sekadar hobi yang dikerjakan sebagai pengisi waktu luang. “Teater sama dengan pekerjaan lain yang membutuhkan loyalitas,” kata alumni Sekolah Teater dan Film (STF) angkatan 1986.
Harris juga tak keberatan bila kelompoknya dicap sebagai teater kedutaan asing karena dengan cara itulah dia bisa menyambung nafas untuk tetap menghidupkan teater. “Setidaknya setengah dari ongkos produksi bisa ditutup,” ujar pria yang duduk sebagai Sekretaris Program Dewan Pekerja Harian Dewan Kesenian Jakarta.
Dari kacamata berbeda Afrizal menilai, pemilihan naskah-naskah asing ini turut mempengaruhi cara bertutur Teater Kami. Jika pada awalnya mereka konsisten mengeksplorasi tubuh, lama-kelamaan mereka kembali terjebak pada teater naratif. “Padahal kekuatan Teater Kami terletak pada detail dan bahasa tubuh,” kata penulis buku Tak Ada Anjing dalam Rahim Ibuku ini.
Pola latihan yang tertutup ia duga menjadi salah satu penyebabnya. Lelaki yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara ini menilai pola latihan Harris yang tertutup seolah bekerja dalam kamarnya sementara teater merupakan kerja terbuka. “Masyarakat perlu mengetahui proses sebuah telur sebelum ia menetas menjadi ayam,” ujar Afrizal.
Lebih lanjut Afrizal memaparkan bahwa Teater Kami harus mengembangkan budaya diskusi maupun evaluasi dengan melibatkan orang lain di luar kelompoknya. “Ini merupakan langkah mencegah bangkrutnya kelompok teater akibat kehilangan medan kreatif,” ujar Afrizal.
Sementara itu, Halim menyayangkan bongkar pasang yang terjadi dalam tubuh Teater Kami. Meski hal itu lazim terjadi pada sebuah kelompok teater, tetapi ada baiknya sebuah kelompok memiliki keanggotaan yang mapan. “Masuknya orang baru membuat kelompok harus mengulang latihan dari awal,” kata Halim.
Regenerasi merupakan menjadi permasalahan tersendiri bagi dunia teater. Harris mengakui sulit sekali menemukan orang yang konsisten mengabdikan dirinya untuk kesenian terutama teater. “Bongkar pasang pemain merupakan salah satu cara, sebab saya tidak memiliki banyak anggota,” ujar Harris.
Rumusan bahwa teater sebagai seni dalam menjalani hidup atau teater sebagai panggilan jiwa, pada akhirnya memang terlampau sederhana untuk menggambarkan “kegilaan” sebagian orang untuk terjun bebas di dalamnya.
Semoga kerinduan Harris akan majunya dunia teater Tanah Air dapat tercapai, setidaknya seperti kunang-kunang yang menghapus kerinduan masyarakat urban dalam lakonnya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar