Halim HD *
Kompas, 09 Feb 2003
KENAPA teater tidak pernah surut dari kehidupan kaum muda, dan kenapa pula jalan itu yang menjadi pilihan bagi mereka untuk mencari dan menyatakan diri mereka? Hidup tampaknya bukan hanya untuk mencari pengisi sejengkal perut di antara kesulitan hidup dan jejalan iklan konsumtif yang selalu menggoda yang ada pada semua ruang. Namun, di situ pula saya menyaksikan, dengan rasa heran yang tak pernah selesai, luapan energi yang menggelegak yang tak pernah sirna dari kedalaman diri kaum muda yang menggabungkan energi mereka ke dalam berbagai grup teater: pencarian diri. Maka, teater menjadi suatu kawah yang menggodok diri mereka ke dalam gabungan arus energi yang tak pernah henti, yang mereka salurkan pula ke dalam kehidupan kemasyarakatan dan dalam proses kebudayaan.
Secara individual dan secara psikologis, teater bisa menjadi suatu proses dari pematangan seseorang kepada pilihan hidupnya yang akan datang; dia menjadi rentangan waktu dalam proses pengujian bagi pencarian kepribadian, dan di dalamnya kita dapatkan berbagai usaha secara individual maupun sosial untuk menyatakan diri secara bersama-sama. Namun, di situ pulalah soalnya; masalah yang tak pernah bisa kita mungkiri bahwa setiap pribadi memiliki kehendak dan tujuan masing-masing. Adakah keunikan, kekhasan kepribadian akan makin berkembang atau sirna di dalam proses pengelompokan, seperti “nasionalisasi massa” (meminjam ungkapan George Mosse, Universitas Wisconsin, dalam bukunya The Nationalization of the Masses, Cornell University Press, 1975) yang gemuruh dan menggerus siapa saja di dalam suatu proses politik dalam penggalangan massa partai ketika kampanye atau pada berbagai ritus politik lainnya?
Dalam suatu keluarga yang ideal kita menemukan suatu proses yang sangat menarik, ketika kedua orangtua tidak lagi memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan arah yang paling mendasar dan penting bagi kehidupan seorang anak di dalam pencarian diri mereka. Orangtua hanya sebagai “fasilitator” dalam proses arah yang akan dipilih oleh sang anak. Untuk itulah kebenaran terdapat dalam ungkapan yang bermakna luhur dari pujangga Lebanon, Kahlil Gibran: anakmu adalah panah yang lepas dari busurnya yang menembus kegelapan malam. Di situlah pencarian diri dan misteri kehidupan senantiasa dilakukan dan ditemui oleh setiap orang berdasarkan kapasitas masing-masing.
Erich Fromm, seorang sosialis-humanis di dalam uraiannya yang mendalam tentang hubungan manusiawi dalam bukunya yang sangat terkenal, The Art of Loving yang terbit empat dekade yang lampau mengungkapkan bahwa ada empat hal yang terpenting di dalam proses pengembangan kasih sayang, yang digambarkannya dengan contoh yang sangat menarik tentang hubungan antara orangtua dengan sang anak, yakni: “responsibility” (tanggung jawab), “care” (pemeliharaan), “knowledge” (pengetahuan), dan “respect” (rasa hormat). Adakah teater bisa dimaknai seperti itu pada proses dari setiap orang dalam pencarian dirinya di dalam kebersamaan? Ataukah dia hanya menjadi milik “sang pendiri”, “sang sesepuh”, “sang sutradara”, “sang penentu ideologis teater” yang bagaikan suatu rezim pada sebuah grup, yang pada akhirnya mengulang kembali lubang hitam sejarah berbagai grup yang pernah ada di bumi nusantara ini: raja-raja kecil, dengan sejumlah instruksi yang mesti dituruti. Dan lubang hitam itu makin terhunjam ke dalam kehidupan sosial ketika berbagai lembaga dan sarana demokratisasi tidak berjalan semestinya, dan teater tak mampu mengelakkan dirinya dari godaan untuk menolak kerakusan cara-cara kekuasaan.
Lihatlah sekeliling kita yang kini masih memprihatinkan di dalam kehidupan grup teaternya: fanatisme kelompok, ketidakmatangan di dalam perbedaan pendapat, kontrol yang dominan dari para senior yang menjadi kaum feodal baru, dan berbagai problematik sosial dan psikologis yang ada di dalamnya, yang kesemuanya mencerminkan realitas tentang ketidakpahaman di dalam memaknai teater sebagai jalan dalam kehidupan sosial. Tapi, kondisi seperti itu tidak mengurangi gairah kaum muda untuk menapaki jalan, atau sekadar untuk menjadi anggota sebuah grup. Adakah hal ini sekadar luapan emosional akibat kebuntuan lembaga sosial yang tak mampu menyalurkan berbagai inspirasi, gagasan, cita-cita, dan harapan kaum muda.
Tampaknya, dorongan menapaki jalan teater atau sekadar memasuki sebuah grup bersama teman-teman lainnya untuk bermain teater, bukanlah sekadar soal kebuntuan berbagai institusi sosial yang ada di lingkungan kaum muda. Ada hal yang lebih dari itu yang tampaknya terus menggelitik dan menggoda dirinya untuk memasuki dan menapaki wilayah itu, walaupun sekadar sekejap: sebuah panggung yang dibayangkan akan menampilkan dirinya, dan di situlah dia hadir bersama suatu dunia. Bayangan atau sejenis harapan seperti itu senantiasa menggoda kaum muda yang seakan-akan dunia dalam genggamannya ketika dia berada di atas panggung, yang oleh banyak orang dianggap sebagai kegamangan. Tapi, kondisi psikologis dan eksistensial seperti itu bukanlah hanya milik semata-mata kaum muda saja; di kalangan kaum tua pun senantiasa bermunculan godaan akibat post-power syndrome, yang justru bagaikan ketoprak humor yang sama sekali tidak lucu yang dipenuhi oleh berbagai “fatwa moral” yang instruktif tentang heroisme dan ketaqlidan tatanan kehidupan berdasarkan versi mereka yang tak lagi mampu menciptakan dirinya sebagai panutan sosial, yang pada saat yang sama mengalami berbagai gugatan dari kaum muda.
Panggung teater dan panggung sosial menjadi ajang, dan pada setiap saat di mana saja selalu bermunculan “kudeta terselubung” pada ruang-ruang publik, dan bahkan telah memasuki ruang pribadi, di dalam tatanan rumah tangga. Keretakan hubungan itulah yang tampaknya membawa kaum muda untuk mencari wilayah dan ruang bagi dirinya, ketika lembaga pendidikan, berbagai lembaga sosial menjadi mampat dan buntu serta lembaga keluarga yang tidak lagi memberikan kehangatan. Tapi, risiko untuk memasuki dan menapaki wilayah atau jalan teater itu membawa mereka kepada ikatan baru yang juga tak sepenuhnya ideal sebagaimana mereka bayangkan. Di dalam ruang dan wilayah teater itu sendiri telah ter/di-bentuk sejenis kekuasaan oleh para pendahulunya, yang bahkan kerap lebih keras daripada yang ada di luar wilayah itu. Ironi kehidupan sosial senantiasa terjadi di mana-mana.
Dengan idealisasi dan memperbandingkan serta membayangkan suatu komunitas teater sebagai wilayah yang beragam, yang menampung berbagai keunikan, kekhasan, dan menghormati adanya suatu misteri yang terselubung dalam proses pencarian seseorang yang berada di dalam grup atau jalan teater sebagai harapan yang kita lambungkan pada dunia itu. Adakah jika kita menerapkan perspektif idealisasi itu suatu hal yang mustahil pada grup-grup teater kita? Kita menyaksikan banyak sosok telah lahir, dari waktu ke waktu, sebagai pribadi dari jenis dan bentuk seni pertunjukan yang memang selalu sarat dengan penyajian dan pergulatan berbagai masalah kehidupan. Dan darinya pula setiap orang diharapkan bisa ngangsu kawruh, menimba makna dan nilai-nilai kehidupan, dan nglakoni sebagai proses pencarian jati diri individual maupun sosial.
Namun, realitas kehidupan jelas-jelas tidak semulus harapan yang kita bayangkan; ironi senantiasa pula terdapat di dalam dunia teater. Ada pula begitu banyak orang yang dirinya diidentikkan dengan grup yang memandang dan cara mengembangkan grup atau komunitas lalu menjadi paranoia: mencurigai berbagai perbedaan dan pilihan yang muncul dan datang dari seorang anggota grup/komunitas. Hidupnya sangat obsesif dan posesif terhadap grup, hampir-hampir mendekati fanatisme sektarian yang menggembleng setiap anggota grupnya untuk taqlid dan hanya menurut kepada arah yang diberikan oleh “sang pemimpin”, yang kebetulan juga mendirikan grup yang bersangkutan. Pada kasus lainnya, pada grup yang sudah sirna, dan atau yang sedang tumbuh, terdapat “feodalisme” yang ditancapkan untuk memberikan “bobot” kepada posisi seseorang yang merasa dirinya sebagai “sesepuh”, “sang paling ahli”, yang selalu menganggap dirinya memiliki sentuhan akhir sebelum segala sesuatunya berhadapan di panggung masyarakat.
Dengan dalih itu pula suatu grup teater ingin dikangkangi sebagai milik dirinya, dan sekaligus pula melakukan sensor atas berbagai pemikiran dan arus bawah yang datang dari anggotanya. Tentu selalu ada ungkapan yang menggebu-gebu tentang “keterbukaan”, “partisipasi anggota”, “bebrayan” (hubungan antar-saudara), “solidaritas”, “komitmen”, “dialog”, “diskusi”, yang kesemuanya itu tak lebih dan tak kurang pula bagaikan penjelasan juru penerang departemen di zaman rezim Soeharto-Harmoko, yang kayak “anjing menggonggong”, kata esayis-penyair Afrizal Malna, yang terlampau sadar kepada posisi dirinya bahwa dia memiliki “otoritas” sebagai pendiri (juga biasanya sebagai sutradara, penulis naskah, tentu juga sebagai “sang pemimpin”!). Dirinya ditabalkan sebagai “akar tunggang” dan sekaligus “masa depan” yang akan dan harus diraihnya. Maka para anggota grup teater hanya sekadar jadi “pelengkap penderita” yang notabene juga sebenarnya adalah ikut mendirikan dan ikut pula membesarkan grup yang bersangkutan. Lalu pertanyaan kita: ke mana pula prinsip dan proses “biarkan bunga-bunga berkembang bersama warnanya masing-masing?”
Jadi, betapa ringkih dan rapuhnya jarak-makna yang terbentang antara “grup teater” dengan “jalan teater”, yang kini di hadapi oleh setiap orang yang akan dan sedang mencari serta memahami misteri dan keunikan hidup yang dimaknai oleh usaha pencariannya ke arah kebersamaan. Mungkin dia yang tak mendapatkan tempat pada grup, bisa juga memaknai atau bahkan menjalani “jalan teater” yang sesungguhnya, bahwa hidup itu sendiri suatu “lahan teater” yang terbuka selebar-lebarnya dan senantiasa menampung siapa saja, yang memiliki tangan yang terampil, kaki yang kukuh, pikiran yang jernih dan terbuka serta perasaan mendalam dan kehendak yang tak mudah goyah, yang mendorong metabolisme di dalam dirinya untuk mengucurkan keringat yang bisa membasahi bumi dan tanah yang dipijak olehnya. Di situ pula kita akan menyaksikan tumbuhnya rerumputan dan pepohonan kebudayaan dan kehidupan yang memiliki akar yang lebih kuat dan mendalam.
Dan, teater, sebagaimana selalu saya pahami dan maknai pada kehidupan dan pertumbuhannya senantiasa secara nyata tampak sebagai daur ulang dari berbagai jenis batu nisan yang dipahatkan bagi kehidupan yang akan datang. Di situ pula kita menyaksikan torehan makna dari tangan-tangan yang menggeletarkan energi yang terus meraba tak henti-hentinya di dalam pencarian dan pemahaman misteri serta keunikan hidup.
*) Networker Kebudayaan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar