Sabtu, 27 Februari 2010

Ulat Dalam Sepatu

Arman A.Z.
http://www.lampungpost.com/

Apa yang saya apungkan dalam esai Cek Kosong Kesenian di Lampung (Lampost, [3-1]) sebenarnya bukan ihwal baru. Sayang, esai yang dimuat tak utuh itu (mungkin karena kepanjangan), direspons beberapa pihak bahwa fokusnya hanya anggaran. Mungkin karena istilah “cek kosong” yang kupakai. Padahal, titik tekan yang kuarah adalah regulasi atau kebijakan terhadap seni budaya di Lampung. Mungkin sejalan dengan apa yang disampaikan Iswadi Pratama tentang strategi kebudayaan di Lampung tahun 2010. Ihwal anggaran dan lain-lain adalah dampak susulan, turunan, atau akibat dari regulasi itu.

Kalaupun tetap menafsirkan sebagai anggaran, saya bukanlah yang pertama. Seniman (bukan cuma sastrawan) daerah lain sudah lebih dulu membahasnya. Telusurilah arsip sejumlah media massa daerah (Serambi Indonesia [30-11-2008], Surya [4-2-2007], atau Lampost [27-10-2008], dll). Atau yang kebetulan berdekatan (Pikiran Rakyat, [24-1]). Kalau dibilang ganjil jika seniman “merengekkan” anggaran; 2-9-2009 sejumlah seniman dan budayawan dari berbagai kalangan menemui Hidayat Nur Wahid di ruang rapat MPR. Selain membeberkan berbagai problem seni budaya di Indonesia, dalam pertemuan itu Radhar juga menyatakan bahwa seni budaya perlu dibiayai karena memang ada alokasi anggaran untuk itu (CSR perusahaan milik pemerintah dan swasta). Yang dituntut Radhar dkk. adalah regulasi yang jelas terhadap penyaluran anggaran pengembangan kebudayaan, bagaimana kesenian harus dibiayai, bagaimana dibuat regulasinya, dibuat infrastruktur industri kreatif yang kooperatif (okezone.com, detiknews.com). Tengok juga apa yang “dijanjikan” Menbudpar (indonesia.go.id, [26-10-2009]).

Memang, tugas dan kewajiban seniman adalah berkarya. Tapi, seniman juga punya hak untuk mengkritisi. Setahuku, anggaran kebudayaan itu bukan milik negara, melainkan milik rakyat yang dititipkan di kantong pemerintah. Sebagai abdi rakyat, pemerintah wajib mendistribusikannya dengan adil dan merata kepada pelaku-pelaku kesenian. Mau atau tidak menggunakan hak dan miliknya, itu soal pilihan. Selama ini parpol juga dapat anggaran, tapi apa hasilnya buat rakyat? Bandingkan lagi dengan anggaran pilkada/pilpres itu, apa hasilnya buat rakyat? Begitulah tanggapanku mengenai anggaran, yang merupakan dampak dari regulasi atau sistem.

Jika meragukan niat yang tak tulus dan apa yang sudah dilakukan seniman Lampung, ah, nanti dibilang air laut asin sendiri. Lebih baik tanyalah pada para seniman, berapa mereka mesti bayar sewa gedung kesenian yang berada bawah naungan instansi pemerintah. Bayangkan, seniman yang hendak berkesenian (latihan, pentas, launching, pameran) masih harus bayar sewa gedung yang peruntukan dan fungsinya memang untuk kesenian.

Buatku, ini miris. Hendak mendedikasikan diri buat kesenian pun mereka harus bayar di “rumahnya” sendiri. Mungkin itu pula yang membuat mereka mencari alternatif tempat lain untuk berkesenian. Silakan saja gedung itu disewakan/cari profit/PAD untuk keperluan nonkesenian, tapi jangan perlakukan hal serupa terhadap aktivitas kesenian kebudayaan.

Contoh lain, ketika Kober hendak pentas teater di Medan dalam rangka pertunjukan keliling 3 kota November lalu. Acara yang sudah dijadwal jauh hari tiba-tiba dibatalkan panitia setempat. Dalihnya, pada tanggal bersamaan gedung mau dipakai untuk acara instansi pemerintah. Dalam waktu mepet, Kober mesti cari alternatif tempat lain. Ini fakta kuatnya (atau buruknya?) kendali pemerintah–bukan cuma Lampung–terhadap program-program kesenian. Masih banyak contoh-contoh lain.

Apakah dua contoh itu berkaitan dengan anggaran? Rasanya tidak. Ini dampak dari regulasi, sistem, dan cara pandang terhadap kesenian. Ini ihwal seniman sebagai pihak yang dikalahkan birokrasi. Ini contoh simpel paradigma seni budaya di Indonesia lewat kacamata pemerintah. Janganlah mempersulit seniman, yang katanya melarat itu. Duh, tak usah jadi seniman pun, di negeri ini jauh lebih banyak yang melarat, yang jadi korban atau objek; mereka mengkritisi dalam berbagai bentuk, atau memilih apatis, acuh, dan pasrah.

Mengenai penghargaan, saya (mungkin juga teman-teman lain) tak tertarik acara puja-puji itu, sebagaimana saya tak pernah sekalipun tertarik memubazirkan hak suaraku untuk nyoblos dalam pilkada/pilpres. Banyak seniman di Lampung yang lebih layak dapat penghargaan, semisal Ibu Masnuna yang sampai tua mendedikasikan dirinya untuk sastra lisan. Saya lebih suka menyempatkan diri menonton pertunjukan seni, menyimak diskusi para seniman, mendengar agenda dan harapan mereka terhadap kesenian; sambil ngopi lampung dan terus menyantuni negara ini lewat pajak di setiap batang rokok yang kuisap.

Saya kutip kembali poin penting dalam tulisanku yang luput dimuat Lampost beberapa waktu lalu. Pertama, harus ada regulasi alternatif dan implementasi konkret terhadap nasib seni budaya di Lampung yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Jadi, sekali lagi, bukan cuma soal anggaran karena itu hanya salah satu dampak. Regulasi itu harus menyentuh prinsip-prinsip keadilan hingga tak muncul nuansa diskriminasi di kalangan pelaku seni di Lampung. Ini kalau dikaitkan dengan perda-perda. Sempatkan duduk bersama, rumuskan kembali relasi dan strategi kemitraan antara pemerintah, seniman, kelompok menengah. Kalau dibilang klise, apa sudah pernah atau kapan terakhir dilakukan? Kalau dibilang mustahil, apa yang tak mungkin di dunia ini?

Kedua, evaluasi, kritisi, bila perlu hentikan event seni budaya yang sifatnya seremonial, berorientasi menyelesaikan proyek, lalu data statistik penuh rekor itu lapuk dalam laci arsip, tapi tak berdampak jangka panjang terhadap kesinambungan seni budaya di Lampung.

Begitulah tanggapan singkatku. Semoga tak ditafsirkan lain lagi. Membaca satu per satu berita di media massa daerah itu sebelum menulis esai awal Januari itu, saya teringat cerpen Ulat Dalam Sepatu karya Gus tf Sakai yang dibuat menjelang reformasi 1998. Saya mesti meluangkan waktu untuk membacanya lagi. Mungkin pembaca yang budiman juga. Seizin penulisnya pula kupinjam judul cerpennya untuk jadi judul tulisan ini.

Akhirnya, aku percaya seniman di tiap daerah, termasuk Lampung, akan tetap setia berkarya. Merekalah yang akan merawat dan meruwat kesenian dengan caranya sendiri.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati