Asarpin*
http://www.lampungpost.com/
DALAM beberapa bulan terakhir, ada yang unik pada diskusi sastra di Lampung. Beberapa pengarang tampaknya sedang serius merancang sebuah kredo tentang seni dan sastra yang “tergantung pada uang”. Kalau tidak ada anggaran dari pemerintah, maka seni dianggap akan mati. Seniman dan sastrawan mulai berkarya dengan mengharapkan jasa!
Memang, sejak “pahlawan tanpa tanda jasa” disematkan pada para guru, lalu dikritik di mana-mana, sekarang orang malas untuk disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau perlu jadi pengarang dengan puluhan bintang jasa dan bisa kaya raya. Para seniman kemudian mendekatkan diri pada kuasa modal dan mengorbankan integritas seni. Selain itu, upaya menginduk pada negara dianggap sah demi memperoleh suntikan modal.
Menjadi kaya tidak ada yang melarangnya. Saya bersimpati pada Pramoedya walau pun rumahnya sudah mentereng, dan amat mencolok dibandingkan dari rumah-rumah di sekitarnya. Tapi Pram tidak mengemis pada pemerintah. Tidak bikin proposal. Demikian pula Afrizal Malna. Penyair ini mungkin satu-satunya yang sudah punya nama besar dengan menghasilkan ratusan puisi yang mendapat apresiasi luas, tapi sekaligus paling melarat dan sampai sekarang tidak punya rumah. Ia tak punya uang kecuali mengharapkan hasil dari honor tulisan di koran, atau sebagai pembicara dalam diskusi tentang seni.
Dulu Afrizal masih bekerja di UPC Jakarta, dan mengandalkan honor Rp1,5 juta/bulan. Padahal Afrizal adalah salah satu pendiri UPC yang sumbangannya terhadap gerakan kaum miskin kota dengan warna budaya sangat dominan. Waktu kami masih tinggal serumah, beberapa kali Afrizal meminjam uang Rp10 ribu kepada saya untuk beli rokok. Ini cukup sering, tidak hanya kepada saya.
Afrizal sempat juga diselamatkan beberapa wartawan televisi yang memintanya membuat skenario film pendek. Tapi saya tahu betul bahwa Afrizal mau menggarap skenario film itu kalau tidak diatur dan diarahkan si pemesan. Ia ingin membuatnya dengan merdeka, agar bisa tulus.
Maka, agak ganjil kedengarannya kalau seniman dan sastrawan di Lampung meributkan soal anggaran. Kita semua sepakat bahwa pemerintah harus mengalokasikan dana untuk kegiatan seni dan sastra sama sebagaimana mereka memperlakukan politik, bahkan sudah sewajarnya jika perhatian pemerintah lebih terfokus pada soal seni, budaya, dan sastra, karena ini persoalan nilai. “Pada 2010 ini pemerintah harus memikirkan strategi kebudayaan di Lampung,” tulis Iswadi.
Sejak dulu, pemerintah kita memang tidak peka, tidak terbiasa berpikir keras, apalagi mau memikirkan strategi kebudayaan. Sementara senimannya sejak dulu “berkesenian secara melarat”, kata Taufiq Ismail. Tapi terlampau berharap pada gubernur atau wali kota, sekalipun mereka kita dukung saat pencalonan, bisa membuat ketergantungan yang tidak sehat, padahal sejak lama seniman hidup dengan memotong tali pusar ketergantungan.
Lagi pula, apa sih yang sudah dilakukan seniman dan sastrawan Lampung selama ini? Melihat cara-cara mereka mendesak pemerintah untuk memberi dana bagi perkembangan seni dan sastra di Lampung, terkesan mereka sudah banyak jasa dan perlu dihargai, seperti Sutardji dihargai oleh Pemprov Riau.
Sumbangan mereka terhadap perbaikan kualitas masyarakat Lampung tidak terlalu jelas. Selama ini mereka hanya mengharumkan nama Lampung di kancah pergaulan seni dan sastra nasional, tetapi hanya sebatas mengharumkan saja. Apanya yang harum, warganya, tradisinya, bahasanya, menjadi tidak jelas juga.
Kalau saja kegelisahan para seniman dan sastrawan Lampung itu terbit dari hati yang tulus, memikirkan seni dan sastra sampai berdarah-darah, saya sangat bangga. Tapi saya kira, tudingan yang dialamatkan kepada pemerintah selama ini, punya ekor yang panjang. Kritik yang bertubi-tubi kepada pemerintah kadang menyimpan motif yang tidak punya hubungan langsung dengan nasib seni dan sastra di tanah Lampung, tetapi lebih pada mengharapkan dana pribadi.
Munculnya puluhan sastrawan di Lampung dengan karya yang lumayan bagus, dan mendapat apresiasai nasional, justru karena mereka tidak menggantungkan hidup dengan dana dari pemerintah. Jangan-jangan kalau Pemprov atau Pemkot sudah ngasih dana, para seniman dan sastrawan kita akan bernasib sama dengan para aktivis LSM di Lampung yang kehilangan daya kritis. Tidak ada dana dari Pemprov selama ini justru sudah terbukti mampu melahirkan karya-karya dengan capaian estetika yang sip.
Harumnya nama Teater Satu di kancah nasional selama ini hampir tidak ada peran yang berarti dari pemerintah daerah. Anggaran kegiatan Teater Satu dan Kober memang tidak sepenuhnya mandiri, mereka masih menggantungkan dana dari luar. Namun keberadaan dana bagi dua komunitas teater di Lampung itu bukan persoalan pokok dan mendasar. Saya kira akan tetap lahir karya-karya hebat Iswadi dan Ari Pahala sekalipun sudah tidak ada lagi bantuan dari pihak luar.
Demikian pula Isbedy, Arman A.Z., Inggit, Lupita, Oyos, Dahta, dll., mereka sudah terbukti hebat walaupun masih sering melarat. Memang, dalam event atau acara yang tingkatnya nasional atau internasional, para sastrawan kita kadang masih harus buat proposal kepada pemerintah, walaupun akomodasi dan transportasi sudah disiapkan panitia.
Memang, dengan tidak adanya anggaran dari pemerintah, para seniman dan sastrawan kita menjadi pintar bikin proposal. Kepintaran dalam membuat proposal ini nyaris mengalahkan kepintaran para aktivis LSM. Mereka juga pandai membangun jaringan di kantor-kantor pemerintah atau swasta, yang sewaktu-waktu akan mereka “manfaatkan” untuk kepentingan mendapatkan dana. Kelebihan terakhir, adalah: kalau ada momentum pemilihan kepala daerah para sastrawan dan seniman kita menjadi tim sukses, tapi ketika jago mereka menang, hanya pahit yang mereka terima.
Uang benar-benar membutakan banyak orang. Uang juga senjata paling ampuh untuk menggerogoti idealisme para pengarang dan wartawan. Sukses tampaknya cuma bagian yang memperkokoh konspirasi dan harmoni musik dukacita. Para pengarang Lampung senantiasa menjadi biang keladi nasib dan sejarahnya sendiri.
Lagi-lagi saya teringat Pram, terutama satu kalimatnya dalam novel Bukan Pasar Malam: “Hidup di alam demokrasi membuat kita tak perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainnya. Sungguh–ini pun suatu kemenangan demokrasi. Dan kita boleh berbuat sekehendak hati kita, tapi kalau kita tak punya uang, kita akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi, engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi.”
Adakah Pram sedang bicara tentang filsafat uang? Pram bisa jadi berhutang pada ajaran Marx dan Simmel tentang filsafat uang. Dalam salah satu tulisannya, The Capacity of Present-day Jews and Christians to Become Free (1843), yang pernah dikutip St. Sunardi dalam pengantar buku A.B. Widyanta tentang sosiologi kebudayaan George Simmel, kita menemukan gagasan Marx tentang uang. Uang, kata Marx, adalah “Tuhan pencemburu bangsa Israel” (The jealous god of Israel). Tak ada Tuhan lain pun yang boleh ada di hadapan Dewa Uang.
Bisa jadi “uang menurunkan derajat semua Tuhan–dan mengubah mereka menjadi komoditas”, seperti kata Marx yang sekuler. Uang terbukti menjadi nilai dari segala sesuatu yang bersifat umum, dan tidak membutuhkan nilai-nilai lainnya. Oleh karena itu, uang telah merampas nilai kesejatian pribadi, juga merampas nilai sesungguhnya dari seluruh dunia; baik dunia manusia maupun dunia alam. Uang adalah esensi terasing dari kerja dan hidup manusia, dan esensi ini menguasai dirinya saat dia memujanya.
Di sini kita tahu mengapa Georg Simmel (1858–1918) terseret bayang-bayang Marx. Salah satu tesis Simmel terkenal–sekaligus menghubungkan dirinya dengan Marx–adalah tentang segalanya adalah uang. Kalau ini juga yang sedang mengancam para seniman Lampung, maka pilihan kita sekarang tinggal, “Serulah,” kata Asrul Sani: Serulah, supaya jangan ada yang sempat merindukan anggaran dengan mengorbankan ideal-ideal kesenian! Kemudian katakan: “Ia yang hendak mencipta, menciptalah atas bumi ini. Ia yang akan tewas, tewaslah karena kehidupan.”
*) Asarpin, pembaca sastra
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar