Senin, 15 Juni 2009

Dunia Puisi dan Iman

Mashuri*
http://mashurii.blogspot.com/

“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”

Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa

Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.

Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.

Puisi Subversif Terhadap Iman?

Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.

Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.

Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.

Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.

Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.

Pertemuan Puisi dan Iman

Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.

Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.

Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).

Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.

Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.

Bertumpu pada Spirit

Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.

Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!

*) Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati