Mashuri*
http://mashurii.blogspot.com/
“Tapi aku tidak bisa menulis puisi kalau engkau menjamu tuhan dengan membunuh yang lain”
Afrizal Malna, dalam puisi Taman Bahasa
Puisi jelas berbeda dengan iman, tapi kadang juga bertemu dalam sebuah perjumpaan mesra. Tapi jangan andaikan pertemuan itu seperti sendok dan garpu di sebuah piring di meja makan, karena pertemuan itu kadang bisa berupa ngengat dan kertas, paku dan kayu, bahkan bisa serupa minyak dan air. Meski bisa pula bertemu seperti sepasang kekasih di ranjang pengantin. Tentu semua itu terkendali dalam ruang kemanusiaan. Tertemali oleh perspektif: kita ingin memanfaatkan puisi atau ingin membebaskannya dari pesan iman. Atau, kita ingin berpuisi dalam tudung iman. Kiranya, di situlah akar masalahnya ketika kita berhasrat memahami puisi-puisi modern yang berkumpar dan berpusat pada manusia.
Dalam konteks pemikiran modern, berpuisi adalah laku subyektif terhadap dunia, sebagaimana iman yang laku subyektif terhadap Tuhan. Keduanya adalah rentetan peluru yang berdesing dalam diri manusia yang sulit ditampik-musnahkan, karena keduanya mengandung jejak rekam dinamika kejiwaan yang menyusun psike manusia. Keduanya terselip dalam arketipe yang kadang jumbuh/saling tolak di dasar jiwa, yang kadang bisa berganti rupa begitu lewat ambang sadar dan kontrol diri.
Puisi Subversif Terhadap Iman?
Meski demikian, dalam sejarah manusia, pertemuan puisi dan iman adalah pertemuan yang indah. Kitab suci agama-agama besar begitu sastrawi dan puitis. Kisah-kisah yang teruntai dalam narasi pun termetrum dalam puisi. Bhagavad Gita, Al Kitab dan Alquran adalah contoh-contoh bagaimana Tuhan mengomunikasikan sabda lewat bahasa-bahasa puitis. Tuhan yang Jamal (Sang Maha Indah) itu telah merepresentasikan kalamnya dengan indah pula. Fakta tekstual atau meta tekstual ini kadang memang bisa menepis anggapan bahwa puisi itu bersifat subversif terhadap iman. Dalam Islam, hubungan iman dan puisi bergrafik naik-turun.
Watak subversif puisi terhadap iman-tauhid Islam itu bisa terdeteksi pada awal kemunculan Islam di Jazirah Arab. Pada masa-masa itu, perkembangan puisi pra Islam di Arab memang sudah taraf yang luar biasa. Penyair disebut-sebut sebagai Nabi tanpa wahyu yang bisa menjadi penghubung ‘langit’ dan alam raya. Festival puisi pra Islam di sekitar Ka’bah tahunan adalah bukti betapa maraknya puisi di jaman itu. Kemunculan Alquran yang puitis pun dianggap mengancam keberadaan mereka dan sampai kini pun disebut sebagai kitab syair terbesar. Kehadiran Alquran pun ‘mengancam’ eksistensi para penyair itu.
Bahkan dalam surat Asy-Syuara, Alquran dengan lantang menabuh genderang perang terhadap para penyair. Terdapat peringatan yang sangat tegas bagi para penyair yang menyimpang dari jalan Tuhan. Dengan sebuah ancaman yang tidak main-main, bahwa penyair itu bakal mendapatkan siksa.
Bagi kalangan formalis yang memegang syariat Islam secara doktriner, pehamanan pada beberapa data dan ayat yang mengacu pada kebebasan kreasi itu pun ditafsirkan secara harfiah. Artinya, tafsir yang berlaku adalah tafsir tunggal tanpa berusaha meruyak kembali adanya wacana dan konteks jaman yang berlaku. Mereka menganggap bahwa apa yang sudah di-nash (meski kadarnya mutasyabbihat) dan tidak bisa diganggu gugat, sebagai dalil yang sudah terabsahkan. Hanya saja, kesadaran itu terlalu normatif, padahal pada batas-batas tertentu wilayah sastra tidak melulu berwatak normatif. Kadangkala sastra juga berwatak subversif ketika menghadapi kemapanan yang membusuk. Ia juga memberi nilai lebih pada sisi manusia. Dengan kata lain, sastra sebagaimana pemikiran dan tafsir lain yang bersumber pada agama adalah hasil dari pemikiran dan olah pikir manusia.
Hanya saja, ketika hal itu ditarik pada tafsir kekinian dengan mengaitkannya pada konteks jaman, maka tidak bisa dipungkiri bahwa harus ada beberapa tahapan dalam penafsiran. Apalagi, dalam perkembangannya sastra juga menempati posisi sentral daalam hubungannya dengan iman (Islam). Apalagi jika menengok sejarah sastra sufi di negara-negara Islam, terutama Persia. Maka perlu ada pembacaan ulang terhadap konstruksi sastra-iman dalam konteks kekinian agar sastra tidak terjebak khotbah dan menghilangkan manusia dari sastra.
Pertemuan Puisi dan Iman
Dalam khasanah sastra dunia, genre sastra sufi adalah sebuah genre yang mengakar kuat dalam studi kesastraan Timur, baik yang dilakukan oleh para orientalis, maupun orang Timur sendiri. Di dalamnya, juga termaktub pernyataan munajat, atau ‘ungkapan’ ektase kepada Sang Khalik. Dalam masa-masa inilah pertemuan antara sastra dan iman terjadi dengan karib dan mesra.
Seorang sufi biasa mendendangkan ungkapan-ungkapan/ekspresi ke-Tuhanannya dalam bentuk syair. Maulana Jalaludin Rumi, Faridudin Atthar dan lainnya, adalah sebagian contoh untuk itu. Hanya saja, dalam hal ini, posisi mereka tidak bisa langsung vis a vis dengan penyair umumnya. Pasalnya, ungkapan ektase atau fana’ itu bukan ditujukan untuk bersyair, meski kapasitasnya adalah syair, karena mereka mengungkapkannya sebagai kerinduan seorang makhluk pada Sang Khalik dan menganggap syair sebagai dzikr. Selain itu, jika untaian ungkapan itu diungkap lewat syair, karena dengan kebertataan bahasa yang indah bisa menyentuh dan luruh ke sukma. Bukankah Alquran juga mengandung nilai sastra dan syair yang tinggi? Sejarah telah mencatat, para sufi telah melahirkan begitu banyak puisi. Tentu ini berbeda dengan penyair yang nyufi.
Dalam dunia sufi juga dikenal dengan karya berbentuk syair, baik itu matsnawi, rubaiyat, baik dalam bentuk ghazal atau diwan. Namun, harus dipahamu, bahwa syair tersebut sebagai sebuah dzikir. Menurut Muhammad Isa Waley, penggunaan syair untuk menyokong zikir didokumentasikan cukup baik, tentu dalam konteks sama’ (mendengar suara ilahi secara bersama). Contoh yang paling dikenal adalah karya Jalaludin Rumi (1207-1273) yakni Diwan Syamsi Tabriz. Syair disusun secara berirama dalam beberapa naskah, ‘tentu saja untuk memudahkan dan mensistematisasikan untuk digunakan dalam sama’.” Bahkan, penggunaan syair tunggal sebagai metode dzikr dengan mengasingkan diri sangat tidak lazim, juga sempat terekam dalam jejak sufi kembara, seperti kasus wali besar khurasan Abu Said bin Abi Khoir (w. 1049).
Syairnya yang terkenal adalah:
‘Tanpa-Mu, wahai kekasih, aku tak dapat tenang;
Kebaikanmu terhadapku tiada terhingga banyaknya
Sekalipun setiap rambut dalam tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur ke atas-Mu tidaklah akan mampu menyebutkannya’
Abu Said senantiasa mengulang syair itu. Dan ia berkata: “Atas keberkahan yang terkandung dalam syair tersebut, jalan menuju Tuhan terbuka lebar pada masa kanak-kanakku”.
Terkait dengan masalah doa dalam bentuk puisi dalam dunia sufi, Anemarie Schimmel menegaskan, gagasan bahwa doa adalah karunia Tuhan dapat dipahami dengan tiga cara yang berbeda, sesuai dengan konsep tauhid yang dianut dan dilaksanakan oleh sang sufi: a. Tuhan Sang Pencipta telah menakdirkan setiap kata doa; b. Tuhan yang bersemayam di hati manusia, menyapa dia dan mendorong supaya dia supaya menjawab; atau c. Tuhan Sang Wujud Tunggal adaah tujuan doa dan kenangan dan juga subyek yang mendoa dan mengenang. Perasaan bahwa memang doa itu diilhami oleh Tuhan, agaknya amat berkesan di antara generasi-generasi sufi yang pertama. Sangat dimungkinkan bila dalam hageografi sufi, terdapat kisah-kisah yang memuat bagaimana doa khusus itu langsung diajarkan oleh malaikat kepada seorang sufi/wali bersangkutan.
Bertumpu pada Spirit
Terkait dengan hubungan sastra dan iman (Islam), yang menarik adalah apa yang diungkapkan Sayyed Hossein Nasr, seorang pemikir Iran terkemuka. Secara implisit, ia menegaskan, seni Islam merupakan seni yang tumbuh dan berkembang di beberapa kawasan Islam, yang menggambarkan bagaimana kedalaman dan ketinggian spiritual Islam. Ada unsur yang melekat di dalamnya yaitu unsur spiritualitas. Seni ini jumbuh dan membaur dalam rangka sublimitas dari sebuah kerangka pendalaman dan penghayatan beragama. Sang Khalik sendiri sudah me-nash diri sebagai Al Jamal (Yang Maha Indah), sehingga dalam menyapanya juga seyogyanya dengan bahasa yang indah.
Tentu keindahan yang dimaksudkan adalah keindahan yang berdarah-daging sebagaimana manusia sebagai makhluk historis. Agar ketakutan yang diungkap oleh Afrizal Malna dalam tulisan ini tidak terejawantahkan dalam hidup kita kini, ketika tafsir Tuhan itu demikian parsial dan bermuara pada tafsir tunggal.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq!
*) Tulisan ini pernah dimuat di Surabaya Post.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar