Eka Kurniawan
http://www2.kompas.com/
”Aku menemukanmu dalam pelarian,” tulis Intan Paramaditha dalam pembukaan cerita pendek Mak Ipah dan Bunga-Bunga, (Sihir Perempuan, Kata Kita, 2005). Perhatikan dengan saksama kalimat pembuka itu. Siapa yang sedang dalam pelarian? Aku atau kamu, atau keduanya? Kalimat yang tak memberi kepastian apa pun seperti itu dengan mudah kita temukan dalam hampir setiap buku kumpulan cerpen atau novel yang datang dari para penulis generasi paling mutakhir.
Perhatikan pula satu cuplikan kalimat dari cerpen Cakra Punarbhawa Wayan Sunarta (Cakra Punarbhawa, Gramedia Pustaka Utama, 2005) ini: ”Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Siapa yang suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu? Guru bahasa kita yang baik di sekolah pasti akan mencoret kalimat seperti itu, sebagaimana mungkin akan dilakukan oleh editor-editor terbaik kita. Kalimat tanpa subyek dianggap bukan kalimat yang baik. Tapi, benarkah kalimat-kalimat tak lengkap seperti itu tak termaafkan sama sekali?
Izinkan saya menambah dua contoh lagi. Puthut EA dalam Kitab Salah Paham (Dua Tangisan pada Satu Malam, Penerbit Kompas, 2003) menulis: ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang.” Meski kita bisa menebak dengan tepat maksud kalimat itu, paling tidak sebuah pertanyaan masih bisa diajukan kepadanya: siapa yang membuat beberapa lubang? Jawabannya bisa rokoknya yang masih menyala atau kaus oblong yang lusuh. Dengan kata lain, kalimat tersebut bahkan masih bisa menyesatkan.
Dan, ini sebaris kalimat yang dicuplik dari cerita pendek Lubang Hitam Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto, Kata Kita, 2004): ”Dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, baju obral, empat dollar.” Sejenak kita akan mengira ini merupakan kalimat majemuk, gabungan dari tiga kalimat: dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai; dia kenakan baju obral; dan dia kenakan empat dollar. Tapi, apa maksudnya ”dia kenakan empat dollar”? Aha, ternyata yang dimaksud Linda adalah ”dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, yang adalah baju obral, dan harganya empat dollar”. Lagi-lagi kalimat menyesatkan, tapi dengan mudah kita segera tahu maksudnya, dan segalanya (dibuat) terang-benderang kembali. Mengapa?
Kalimat-kalimat tak lengkap, atau kalimat gelap (dengan asumsi kalimat-kalimat tersebut tidak bersifat terang dan jernih), sangat mudah kita jumpai dalam ragam bahasa lisan. Dalam lisanan, semua masalah tata bahasa semacam itu termaafkan disebabkan munculnya satu anasir: konteks. Konteks inilah yang biasanya mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap dan memberi cahaya bagi kalimat yang gelap. Sepotong kalimat, ”Sepi,” misalnya, barangkali tak memberi penjelasan apa pun disebabkan kalimat tersebut tak menampilkan subyek. Namun, jika kalimat itu dikatakan sambil melihat rumah tanpa penghuni dan tanpa cahaya, pendengarnya bisa segera mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap tersebut dengan sebuah konteks: ”Rumah itu sepi.” Rumah itu menjadi subyek yang tak terucapkan. Apakah dalam ragam bahasa tulis juga ada konteks?
Konteks dalam bahasa tulis muncul dalam bentuk yang lain. Kutipan cerpen Wayan Sunarta di atas, jika dilengkapi dengan kalimat sebelumnya, akan menjadi begini: ”Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Dalam kalimat pertama kita menemukan ayahku sebagai subyek. Di sini penulis seperti meminta kita agar menyimpan informasi itu untuk sesekali dipergunakan kembali sebagai pengisi ruang kosong. Maka, ketika kita menghadapi kalimat kedua, pembacaannya akan menjadi: ”Ayahku suka becengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Wayan bermain dengan ruang kosong yang meminta kita menebak dan kemudian mengisinya.
Operasi yang berbeda dilakukan oleh Intan Paramaditha. Ketika kita menghadapi kalimat ”aku menemukanmu dalam pelarian,” kita tak dibekali apa pun sebagai penerang untuk membuat kalimat tersebut benderang. Sebaliknya, justru kita diminta menyimpan kalimat gelap itu dan di sepanjang cerita, Intan perlahan-lahan menerangi kalimat tersebut. Demikianlah akhirnya kita tahu, atau mencoba tahu, bahwa yang dalam pelarian adalah si aku. Aku adalah pengantin baru yang melarikan diri dari tetek-bengek pestanya.
Permainan bahasa ini—tentu dalam pengertian yang agak berbeda dengan language games Wittgenstein—sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa kita temukan dalam tradisi sastra yang jauh lebih lama. Ini serupa dengan ruang kosong dalam lukisan: kanvas yang dibiarkan tak tersentuh cat. Atau seperti jeda di dalam musik. Namun, dalam tradisi prosa mutakhir kita, saya menemukan pemanfaatannya dalam cakupan yang mencengangkan. Penulis-penulis ini tak khawatir dengan ketersesatan. Mereka barangkali bahkan menganggap ketersesatan, karena ruang kosong yang gelap, sebagai strategi yang penuh kesadaran. Ia menjelma menjadi sejenis misteri dalam cerita detektif atau hantu dalam cerita horor yang kita tunggu kemunculannya.
Dalam kutipan kalimat Linda Christanty, kita diminta bermain tebak-tebakan hubungan tiga frasa ”mantel berkerah bulu cerpelai”, ”baju obral”, dan ”empat dollar”. Sejak awal kita seperti diingatkan bahwa kalimat tersebut meminta untuk tidak dibaca sebagaimana biasanya, apa yang dimaksudnya tidak sebagaimana apa yang tertulis di sana. Prosa-prosa ini jelas tidak ditujukan kepada para pembaca yang malas, pembaca yang tak ingin diajak bermain tebak-tebakan, sebab jebakan tak hanya ada di tingkat cerita, tapi bahkan di tingkat kalimat, klausa, frasa, atau mungkin kata.
Kita seolah menghadapi titik tiga di antara frasa-frasa tersebut dan, seperti dalam kalimat Intan, akan diisi sementara kita melanjutkan pembacaan kalimat berikutnya: ”Menurut penjualnya, milik artis terkenal Carole Lombard. Hah? Yang benar saja! Lombard sudah lama mati. Baju ini sempat mampir di mana sebelum masuk toko loak?” Rentetan kalimat itu mengisi ruang kosong dan akan terbaca ringkas menjadi mantel berkerah bulu cerpelai itu baju obral. Dan, kalimat selanjutnya: ”Dia kirim mantel tersebut ke penatu, biar karbon tertraklorida mematikan kuman-kuman yang bersembunyi di situ”, semakin memperkuat kesan loak dan ujung-ujungnya murah. Ia merujuk ke frasa empat dollar.
Dan bagaimana dengan kalimat ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang”? Kita tahu bisa membuat frasa ”[puntung rokoknya yang masih menyala] jatuh [...] dan membuat [...]” sebagai frasa predikat/kata kerja, dan tampaknya inilah yang dimaksud. Namun, kata membuat barangkali bisa juga diberikan kepada frasa yang lain: ”[kaus oblong yang] lusuh dan membuat [...]”. Puthut tidak memberi penjelasan apa pun untuk meneranginya di kalimat berikut (atau sebelumnya): ”Aku ingin menolongnya, tapi kepala ini berat rasanya, dan ia sendiri tidak merasa kepanasan.”
Kata kepanasan mungkin membawa kita ke asumsi bahwa puntung rokok itulah yang membuat lubang meski kita dihadang masalah lain: kita tak tahu di mana puntung rokok membuat lubang, dan seandainya menebak lubang itu di kaus oblong, kita tak tahu itu kaus oblong siapa sehingga bisa jadi tak berhubungan dengan potongan kalimat ia sendiri tak merasa kepanasan. Dalam kalimat Puthut, kita menemukan pemanfaatan kalimat ”misterius” yang begitu maksimal, permainan tebak-tebakan yang nyaris tanpa akhir, dan ia tak merasa perlu memiliki nafsu untuk memberinya penerang yang benderang.
Pengarang sudah mati dan pembacalah yang harus membawa obor di kegelapan kuburan. Bagi saya, ini adalah daya tarik luar biasa dari prosa kita belakangan hari ini, membuat saya ingin mengulang tak hanya pembacaan sebuah cerita pendek atau novel, tapi bahkan sebaris kalimat, sambil bertanya-tanya apa yang bisa saya temukan di sana.
Kegiatan intelek
”Membaca merupakan aktivitas yang lebih intelek daripada menulis,” kata cerpenis Jorge Luis Borges.
Barangkali dalam rangka menghormati peran pembaca sebagai pemegang kuasa mutlak pemaknaan, penulis-penulis prosa kita ini tak merasa perlu membuat segalanya benderang. Usaha membuat makna yang seterang-terangnya bisa dikatakan sia-sia sebab pada akhirnya akan selalu ada pembacaan yang berbeda. Ada persepsi yang lain. Dan, bahwa tak ada sesuatu pun yang tanpa makna. Demikianlah saya pikir bagaimana ruang-ruang kosong dan gelap dalam prosa merupakan suatu perayaan atas pembacaan dan pemaknaan. Di sini tak hanya pembaca, tapi juga penulis mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan persepsi dan, pada akhirnya, makna. Dengan kata lain, ini merupakan usaha para penulis mengambil kembali peran inteleknya tanpa harus merebutnya dari pembaca.
Saya ingin memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan ini dalam penggunaan mereka atas metafora, misalnya, jika apa yang mereka lakukan masih bisa kita anggap sebagai metafora.
Djenar Maesa Ayu dalam Waktu Nayla (Mereka Bilang, Saya Monyet!, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membayangkan akhir waktu dengan kalimat: ”… jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.” Bagian dirinya berubah jadi abu relatif mudah dibayangkan sebagai momen kematian, barangkali kematian di panggung kremasi, atau Djenar membayangkan mayat di kuburan yang hancur menjadi tanah juga sebagai abu. Namun, bagaimana dengan jam tangan yang jadi sapu dan sedan yang jadi labu? Itu bukan gambaran yang umum mengenai kematian, paling tidak bagi saya. Djenar seolah menantang kita untuk menciptakan suatu persepsi lain mengenai kematian dari kalimat tersebut. Saya membayangkan, misalnya, barangkali di akhir waktu perempuan seperti Nayla akan berakhir serupa penyihir. Sapu mengingatkan saya kepada sapu terbang nenek sihir dan labu mengingatkan saya kepada malam Halloween. Dan, abu adalah mayat penyihir yang dibakar. Ingat, Nayla telah divonis hidupnya tak lama lagi. Itu serupa kutukan.
Zen Hae dalam Taman Pemulung (Rumah Kawin, Kata Kita, 2004) menulis sebaris metafora mencengangkan: ”Sembari menikmati suara azan zuhur [...]. Suara azan itu seperti air liur. Meleleh. Bersekutu dengan hujan.” Mencengangkan sebab, pertama, saya harus bersusah-payah membayangkan suara azan (yang) meleleh. Barangkali suara yang berleret-leret, mengalir pelan dan panjang. Kedua, saya juga harus bersusah-payah membayangkan menikmati suara azan (yang) seperti air liur. Sangat sulit membayangkan saya bisa menikmati air liur. Air liur bagi saya cenderung menjijikkan untuk dinikmati. Namun, saya mencoba membacanya kembali dan membacanya dengan cara lain. Saya mencoba membayangkan azan sebagai waktu dan meleleh membuat saya teringat kepada jam-jam Salvador Dali yang meleleh. Saya tak yakin apakah itu yang dimaksud Zen Hae, tapi membacanya dengan cara seperti itu memberi kesenangan tertentu, membayangkan dunia ”Taman Pemulung” menjadi semakin surealis.
Bandingkan contoh-contoh tersebut dengan pandangan umum tentang metafora. Saya akan mencomot satu dari Cassel’s Dictionary: ”… a word is transferred in application from one object to another, so as to imply comparison.” Atau dari yang versi Indonesia, Kamus Istilah Sastra karya Abdul Rozak Zaidin dkk terbitan Balai Pustaka ini: majas yang mengandung perbandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Kata kuncinya: perbandingan. Kata ini menyiratkan akan adanya satu keparalelan. Dan, biasanya, metafora dipergunakan untuk memperoleh kesan lebih terpahami, atau lebih memperkuat efek yang dimaksud.
Harimau dan kucing besar adalah perbandingan yang bersifat paralel. Mata hari (matahari) adalah perbandingan untuk bintang kate kita yang sebelumnya dikenal sebagai surya. Kemudian lihat kembali suara azan yang seperti liur atau jam tangan yang jadi abu untuk menggantikan akhir waktu. Metafora di sini tak serupa dengan perbandingan yang paralel, tidak pula untuk memperjelas maupun memperkuat efek. Bagi saya, metafora-metafora ini lebih tampak sebagai penciptaan persepsi lain yang telanjur kita kenal mengenai azan maupun akhir waktu. Sebenarnya Aristoteles sudah mengatakannya jauh-jauh hari dalan Poetics: metafora adalah tranferensi term dari satu hal ke hal lainnya: genus ke spesies, spesies ke genus, atau spesies ke spesies, atas dasar analogi.
Definisi ini jauh lebih longgar. Perhatikan kembali kata ini: analogi. Analogi tak hanya menyiratkan perbandingan, tapi juga kias, bahkan persepsi. Analogi tak hanya melulu menuntut perbandingan yang paralel, tapi bahkan hal-hal yang sangat tidak serupa. Kita sedang menghadapi pergeseran penciptaan metafora (atau kembali ke wataknya yang lebih kuno). Surya bukan lagi sekadar mata hari, mungkin bisa pula sebagai komputer rusak. Dan harimau boleh jadi malam keparat.
Kita, penulis dan pembaca, bersekutu dalam mereka ulang bayangan mengenai azan dan akhir waktu. Dengan kata lain, mencari kembali, dan terus kembali sebab memang dibiarkan menjadi begitu labil, apa yang kita sebut sebagai realitas. Dan, pada akhirnya: makna.
Perhatikan pula cerpen yang tampak profetis ini: Air Raya (Perempuan Pala, Aky Press, 2004) karya Azhari. Ditulis beberapa saat sebelum tragedi ”air raya” sungguhan di Aceh, cerpen ini tak sekadar suatu simbolisme semata. Ia adalah persekutuan ajaib antara banjir besar, kapal yang terus tumbuh, Nuh, bapak yang pergi, anak dan ibu yang menunggu di rumah, yang satu sama lain tampak tak memiliki hubungan apa pun. Senyatanya memang begitu. Dua kisah berbeda, tentang pelayaran Nuh dan tentang keluarga yang terimpit perang saudara, berkelindan menciptakan makna fiksi yang hanya bisa diketahui pembacanya seorang demi seorang. Demikianlah, alih-alih membuat cerita pendek menjadi segepok pesan yang centang-perenang, karya-karya ini membiarkan dirinya jadi puzzle yang pembaca sendiri tahu maknanya.
Dengan cara yang agak berbeda mengenai pemaknaan ini, Raudal Tanjung Banua memilih menyodorkan peristiwa biasa: tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan (Rumah-Rumah Menghadap Jalan, dalam Parang tak Berulu, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Peristiwa umum yang disodorkan untuk dimaknai ulang.
Rasional dan positivistik
Zaman modern dihiasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang rasional dan positivistik. Apa yang tersisa dalam tradisi itu di dunia sastra? Realisme mungkin sudah banyak ditinggalkan. Omong-omong tentang orisinalitas mungkin sudah sangat membosankan. Meskipun banyak penulis masih mempergunakannya, mereka membicarakannya dengan penuh kecemasan, atau dilihat orang dengan penuh kecurigaan. Namun, realisme dan orisinalitas bukan satu-satunya hal yang masih tertinggal dari tradisi rasional dan positivistik ini. Tuntutan akan suatu kalimat yang terang dan jernih jelas merupakan bawaan tradisi serupa itu. ”Clear and distinct,” kata Descartes.
Sifat-sifat ”terang”, ”jernih”, dan ”tepat” jelas menyiratkan adanya suatu makna yang tunggal. Siapa pun pembaca yang menuntut hal semacam itu merupakan pembaca yang gagap menanggung beban otonominya sendiri. Pembaca seperti ini juga merupakan pembaca yang cenderung sinis terhadap kelisanan dan terutama terhadap kelisanan dalam keberaksaraan, serta mengagungkan yang sebaliknya.
Sikap-sikap seperti itu tampak semakin luntur dalam kepenulisan para penulis generasi terkini. Tanpa beban dan bahkan cenderung bersikap enteng, Dina Octaviani mereka ulang cerpen William Faulkner Setangkai Mawar untuk Emily dalam cerpennya sendiri yang berjudul Setangkai Mawar dari Emily (Como un Sueno, Orakel, 2005). Demikian pula Gunawan Maryanto (Bon Suwung, Insist Press, 2005), misalnya, menulis ulang mitologi Jawa lama dalam ”Jangan Bilang-bilang Kala” (dari Centhini), ”Serat Padi” (Serat Cariyos Dewi Sri), atau cerita orang lain dalam Lantana (dari Simfoni Pastoral, Andre Gide).
Saya pikir antara kalimat-kalimat yang tak taat tata bahasa sebagaimana contoh-contoh di awal hingga reka ulang cerita di contoh-contoh akhir, semuanya menyiratkan hal yang sama: merayakan pembacaan, dan akhirnya sekali lagi, makna. Atau dengan kata lain: merayakan ketersesatan.
*) Penulis Novel dan Cerita Pendek, Menyelesaikan Studi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar