Jumat, 27 Maret 2009

Merayakan Pembacaan

Eka Kurniawan
http://www2.kompas.com/

”Aku menemukanmu dalam pelarian,” tulis Intan Paramaditha dalam pembukaan cerita pendek Mak Ipah dan Bunga-Bunga, (Sihir Perempuan, Kata Kita, 2005). Perhatikan dengan saksama kalimat pembuka itu. Siapa yang sedang dalam pelarian? Aku atau kamu, atau keduanya? Kalimat yang tak memberi kepastian apa pun seperti itu dengan mudah kita temukan dalam hampir setiap buku kumpulan cerpen atau novel yang datang dari para penulis generasi paling mutakhir.

Perhatikan pula satu cuplikan kalimat dari cerpen Cakra Punarbhawa Wayan Sunarta (Cakra Punarbhawa, Gramedia Pustaka Utama, 2005) ini: ”Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Siapa yang suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu? Guru bahasa kita yang baik di sekolah pasti akan mencoret kalimat seperti itu, sebagaimana mungkin akan dilakukan oleh editor-editor terbaik kita. Kalimat tanpa subyek dianggap bukan kalimat yang baik. Tapi, benarkah kalimat-kalimat tak lengkap seperti itu tak termaafkan sama sekali?

Izinkan saya menambah dua contoh lagi. Puthut EA dalam Kitab Salah Paham (Dua Tangisan pada Satu Malam, Penerbit Kompas, 2003) menulis: ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang.” Meski kita bisa menebak dengan tepat maksud kalimat itu, paling tidak sebuah pertanyaan masih bisa diajukan kepadanya: siapa yang membuat beberapa lubang? Jawabannya bisa rokoknya yang masih menyala atau kaus oblong yang lusuh. Dengan kata lain, kalimat tersebut bahkan masih bisa menyesatkan.

Dan, ini sebaris kalimat yang dicuplik dari cerita pendek Lubang Hitam Linda Christanty (Kuda Terbang Maria Pinto, Kata Kita, 2004): ”Dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, baju obral, empat dollar.” Sejenak kita akan mengira ini merupakan kalimat majemuk, gabungan dari tiga kalimat: dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai; dia kenakan baju obral; dan dia kenakan empat dollar. Tapi, apa maksudnya ”dia kenakan empat dollar”? Aha, ternyata yang dimaksud Linda adalah ”dia kenakan mantel berkerah bulu cerpelai, yang adalah baju obral, dan harganya empat dollar”. Lagi-lagi kalimat menyesatkan, tapi dengan mudah kita segera tahu maksudnya, dan segalanya (dibuat) terang-benderang kembali. Mengapa?

Kalimat-kalimat tak lengkap, atau kalimat gelap (dengan asumsi kalimat-kalimat tersebut tidak bersifat terang dan jernih), sangat mudah kita jumpai dalam ragam bahasa lisan. Dalam lisanan, semua masalah tata bahasa semacam itu termaafkan disebabkan munculnya satu anasir: konteks. Konteks inilah yang biasanya mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap dan memberi cahaya bagi kalimat yang gelap. Sepotong kalimat, ”Sepi,” misalnya, barangkali tak memberi penjelasan apa pun disebabkan kalimat tersebut tak menampilkan subyek. Namun, jika kalimat itu dikatakan sambil melihat rumah tanpa penghuni dan tanpa cahaya, pendengarnya bisa segera mengisi ruang kosong dalam kalimat tak lengkap tersebut dengan sebuah konteks: ”Rumah itu sepi.” Rumah itu menjadi subyek yang tak terucapkan. Apakah dalam ragam bahasa tulis juga ada konteks?

Konteks dalam bahasa tulis muncul dalam bentuk yang lain. Kutipan cerpen Wayan Sunarta di atas, jika dilengkapi dengan kalimat sebelumnya, akan menjadi begini: ”Ayahku nelayan tua bermata ungu. Suka bercengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Dalam kalimat pertama kita menemukan ayahku sebagai subyek. Di sini penulis seperti meminta kita agar menyimpan informasi itu untuk sesekali dipergunakan kembali sebagai pengisi ruang kosong. Maka, ketika kita menghadapi kalimat kedua, pembacaannya akan menjadi: ”Ayahku suka becengkerama dengan ikan, ombak, rasi biduk dan perahu.” Wayan bermain dengan ruang kosong yang meminta kita menebak dan kemudian mengisinya.

Operasi yang berbeda dilakukan oleh Intan Paramaditha. Ketika kita menghadapi kalimat ”aku menemukanmu dalam pelarian,” kita tak dibekali apa pun sebagai penerang untuk membuat kalimat tersebut benderang. Sebaliknya, justru kita diminta menyimpan kalimat gelap itu dan di sepanjang cerita, Intan perlahan-lahan menerangi kalimat tersebut. Demikianlah akhirnya kita tahu, atau mencoba tahu, bahwa yang dalam pelarian adalah si aku. Aku adalah pengantin baru yang melarikan diri dari tetek-bengek pestanya.

Permainan bahasa ini—tentu dalam pengertian yang agak berbeda dengan language games Wittgenstein—sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Bahkan, bisa kita temukan dalam tradisi sastra yang jauh lebih lama. Ini serupa dengan ruang kosong dalam lukisan: kanvas yang dibiarkan tak tersentuh cat. Atau seperti jeda di dalam musik. Namun, dalam tradisi prosa mutakhir kita, saya menemukan pemanfaatannya dalam cakupan yang mencengangkan. Penulis-penulis ini tak khawatir dengan ketersesatan. Mereka barangkali bahkan menganggap ketersesatan, karena ruang kosong yang gelap, sebagai strategi yang penuh kesadaran. Ia menjelma menjadi sejenis misteri dalam cerita detektif atau hantu dalam cerita horor yang kita tunggu kemunculannya.

Dalam kutipan kalimat Linda Christanty, kita diminta bermain tebak-tebakan hubungan tiga frasa ”mantel berkerah bulu cerpelai”, ”baju obral”, dan ”empat dollar”. Sejak awal kita seperti diingatkan bahwa kalimat tersebut meminta untuk tidak dibaca sebagaimana biasanya, apa yang dimaksudnya tidak sebagaimana apa yang tertulis di sana. Prosa-prosa ini jelas tidak ditujukan kepada para pembaca yang malas, pembaca yang tak ingin diajak bermain tebak-tebakan, sebab jebakan tak hanya ada di tingkat cerita, tapi bahkan di tingkat kalimat, klausa, frasa, atau mungkin kata.

Kita seolah menghadapi titik tiga di antara frasa-frasa tersebut dan, seperti dalam kalimat Intan, akan diisi sementara kita melanjutkan pembacaan kalimat berikutnya: ”Menurut penjualnya, milik artis terkenal Carole Lombard. Hah? Yang benar saja! Lombard sudah lama mati. Baju ini sempat mampir di mana sebelum masuk toko loak?” Rentetan kalimat itu mengisi ruang kosong dan akan terbaca ringkas menjadi mantel berkerah bulu cerpelai itu baju obral. Dan, kalimat selanjutnya: ”Dia kirim mantel tersebut ke penatu, biar karbon tertraklorida mematikan kuman-kuman yang bersembunyi di situ”, semakin memperkuat kesan loak dan ujung-ujungnya murah. Ia merujuk ke frasa empat dollar.

Dan bagaimana dengan kalimat ”Puntung rokoknya yang masih menyala jatuh di kaus oblong yang lusuh dan membuat beberapa lubang”? Kita tahu bisa membuat frasa ”[puntung rokoknya yang masih menyala] jatuh [...] dan membuat [...]” sebagai frasa predikat/kata kerja, dan tampaknya inilah yang dimaksud. Namun, kata membuat barangkali bisa juga diberikan kepada frasa yang lain: ”[kaus oblong yang] lusuh dan membuat [...]”. Puthut tidak memberi penjelasan apa pun untuk meneranginya di kalimat berikut (atau sebelumnya): ”Aku ingin menolongnya, tapi kepala ini berat rasanya, dan ia sendiri tidak merasa kepanasan.”

Kata kepanasan mungkin membawa kita ke asumsi bahwa puntung rokok itulah yang membuat lubang meski kita dihadang masalah lain: kita tak tahu di mana puntung rokok membuat lubang, dan seandainya menebak lubang itu di kaus oblong, kita tak tahu itu kaus oblong siapa sehingga bisa jadi tak berhubungan dengan potongan kalimat ia sendiri tak merasa kepanasan. Dalam kalimat Puthut, kita menemukan pemanfaatan kalimat ”misterius” yang begitu maksimal, permainan tebak-tebakan yang nyaris tanpa akhir, dan ia tak merasa perlu memiliki nafsu untuk memberinya penerang yang benderang.

Pengarang sudah mati dan pembacalah yang harus membawa obor di kegelapan kuburan. Bagi saya, ini adalah daya tarik luar biasa dari prosa kita belakangan hari ini, membuat saya ingin mengulang tak hanya pembacaan sebuah cerita pendek atau novel, tapi bahkan sebaris kalimat, sambil bertanya-tanya apa yang bisa saya temukan di sana.

Kegiatan intelek

”Membaca merupakan aktivitas yang lebih intelek daripada menulis,” kata cerpenis Jorge Luis Borges.
Barangkali dalam rangka menghormati peran pembaca sebagai pemegang kuasa mutlak pemaknaan, penulis-penulis prosa kita ini tak merasa perlu membuat segalanya benderang. Usaha membuat makna yang seterang-terangnya bisa dikatakan sia-sia sebab pada akhirnya akan selalu ada pembacaan yang berbeda. Ada persepsi yang lain. Dan, bahwa tak ada sesuatu pun yang tanpa makna. Demikianlah saya pikir bagaimana ruang-ruang kosong dan gelap dalam prosa merupakan suatu perayaan atas pembacaan dan pemaknaan. Di sini tak hanya pembaca, tapi juga penulis mencoba menemukan kemungkinan-kemungkinan persepsi dan, pada akhirnya, makna. Dengan kata lain, ini merupakan usaha para penulis mengambil kembali peran inteleknya tanpa harus merebutnya dari pembaca.

Saya ingin memperlihatkan kemungkinan-kemungkinan ini dalam penggunaan mereka atas metafora, misalnya, jika apa yang mereka lakukan masih bisa kita anggap sebagai metafora.

Djenar Maesa Ayu dalam Waktu Nayla (Mereka Bilang, Saya Monyet!, Gramedia Pustaka Utama, 2002) membayangkan akhir waktu dengan kalimat: ”… jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu.” Bagian dirinya berubah jadi abu relatif mudah dibayangkan sebagai momen kematian, barangkali kematian di panggung kremasi, atau Djenar membayangkan mayat di kuburan yang hancur menjadi tanah juga sebagai abu. Namun, bagaimana dengan jam tangan yang jadi sapu dan sedan yang jadi labu? Itu bukan gambaran yang umum mengenai kematian, paling tidak bagi saya. Djenar seolah menantang kita untuk menciptakan suatu persepsi lain mengenai kematian dari kalimat tersebut. Saya membayangkan, misalnya, barangkali di akhir waktu perempuan seperti Nayla akan berakhir serupa penyihir. Sapu mengingatkan saya kepada sapu terbang nenek sihir dan labu mengingatkan saya kepada malam Halloween. Dan, abu adalah mayat penyihir yang dibakar. Ingat, Nayla telah divonis hidupnya tak lama lagi. Itu serupa kutukan.

Zen Hae dalam Taman Pemulung (Rumah Kawin, Kata Kita, 2004) menulis sebaris metafora mencengangkan: ”Sembari menikmati suara azan zuhur [...]. Suara azan itu seperti air liur. Meleleh. Bersekutu dengan hujan.” Mencengangkan sebab, pertama, saya harus bersusah-payah membayangkan suara azan (yang) meleleh. Barangkali suara yang berleret-leret, mengalir pelan dan panjang. Kedua, saya juga harus bersusah-payah membayangkan menikmati suara azan (yang) seperti air liur. Sangat sulit membayangkan saya bisa menikmati air liur. Air liur bagi saya cenderung menjijikkan untuk dinikmati. Namun, saya mencoba membacanya kembali dan membacanya dengan cara lain. Saya mencoba membayangkan azan sebagai waktu dan meleleh membuat saya teringat kepada jam-jam Salvador Dali yang meleleh. Saya tak yakin apakah itu yang dimaksud Zen Hae, tapi membacanya dengan cara seperti itu memberi kesenangan tertentu, membayangkan dunia ”Taman Pemulung” menjadi semakin surealis.

Bandingkan contoh-contoh tersebut dengan pandangan umum tentang metafora. Saya akan mencomot satu dari Cassel’s Dictionary: ”… a word is transferred in application from one object to another, so as to imply comparison.” Atau dari yang versi Indonesia, Kamus Istilah Sastra karya Abdul Rozak Zaidin dkk terbitan Balai Pustaka ini: majas yang mengandung perbandingan yang tersirat yang menyamakan hal yang satu dengan hal yang lain. Kata kuncinya: perbandingan. Kata ini menyiratkan akan adanya satu keparalelan. Dan, biasanya, metafora dipergunakan untuk memperoleh kesan lebih terpahami, atau lebih memperkuat efek yang dimaksud.

Harimau dan kucing besar adalah perbandingan yang bersifat paralel. Mata hari (matahari) adalah perbandingan untuk bintang kate kita yang sebelumnya dikenal sebagai surya. Kemudian lihat kembali suara azan yang seperti liur atau jam tangan yang jadi abu untuk menggantikan akhir waktu. Metafora di sini tak serupa dengan perbandingan yang paralel, tidak pula untuk memperjelas maupun memperkuat efek. Bagi saya, metafora-metafora ini lebih tampak sebagai penciptaan persepsi lain yang telanjur kita kenal mengenai azan maupun akhir waktu. Sebenarnya Aristoteles sudah mengatakannya jauh-jauh hari dalan Poetics: metafora adalah tranferensi term dari satu hal ke hal lainnya: genus ke spesies, spesies ke genus, atau spesies ke spesies, atas dasar analogi.

Definisi ini jauh lebih longgar. Perhatikan kembali kata ini: analogi. Analogi tak hanya menyiratkan perbandingan, tapi juga kias, bahkan persepsi. Analogi tak hanya melulu menuntut perbandingan yang paralel, tapi bahkan hal-hal yang sangat tidak serupa. Kita sedang menghadapi pergeseran penciptaan metafora (atau kembali ke wataknya yang lebih kuno). Surya bukan lagi sekadar mata hari, mungkin bisa pula sebagai komputer rusak. Dan harimau boleh jadi malam keparat.

Kita, penulis dan pembaca, bersekutu dalam mereka ulang bayangan mengenai azan dan akhir waktu. Dengan kata lain, mencari kembali, dan terus kembali sebab memang dibiarkan menjadi begitu labil, apa yang kita sebut sebagai realitas. Dan, pada akhirnya: makna.

Perhatikan pula cerpen yang tampak profetis ini: Air Raya (Perempuan Pala, Aky Press, 2004) karya Azhari. Ditulis beberapa saat sebelum tragedi ”air raya” sungguhan di Aceh, cerpen ini tak sekadar suatu simbolisme semata. Ia adalah persekutuan ajaib antara banjir besar, kapal yang terus tumbuh, Nuh, bapak yang pergi, anak dan ibu yang menunggu di rumah, yang satu sama lain tampak tak memiliki hubungan apa pun. Senyatanya memang begitu. Dua kisah berbeda, tentang pelayaran Nuh dan tentang keluarga yang terimpit perang saudara, berkelindan menciptakan makna fiksi yang hanya bisa diketahui pembacanya seorang demi seorang. Demikianlah, alih-alih membuat cerita pendek menjadi segepok pesan yang centang-perenang, karya-karya ini membiarkan dirinya jadi puzzle yang pembaca sendiri tahu maknanya.

Dengan cara yang agak berbeda mengenai pemaknaan ini, Raudal Tanjung Banua memilih menyodorkan peristiwa biasa: tentang rumah-rumah menghadap jalan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu menerima kepulangan (Rumah-Rumah Menghadap Jalan, dalam Parang tak Berulu, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Peristiwa umum yang disodorkan untuk dimaknai ulang.

Rasional dan positivistik

Zaman modern dihiasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang rasional dan positivistik. Apa yang tersisa dalam tradisi itu di dunia sastra? Realisme mungkin sudah banyak ditinggalkan. Omong-omong tentang orisinalitas mungkin sudah sangat membosankan. Meskipun banyak penulis masih mempergunakannya, mereka membicarakannya dengan penuh kecemasan, atau dilihat orang dengan penuh kecurigaan. Namun, realisme dan orisinalitas bukan satu-satunya hal yang masih tertinggal dari tradisi rasional dan positivistik ini. Tuntutan akan suatu kalimat yang terang dan jernih jelas merupakan bawaan tradisi serupa itu. ”Clear and distinct,” kata Descartes.

Sifat-sifat ”terang”, ”jernih”, dan ”tepat” jelas menyiratkan adanya suatu makna yang tunggal. Siapa pun pembaca yang menuntut hal semacam itu merupakan pembaca yang gagap menanggung beban otonominya sendiri. Pembaca seperti ini juga merupakan pembaca yang cenderung sinis terhadap kelisanan dan terutama terhadap kelisanan dalam keberaksaraan, serta mengagungkan yang sebaliknya.

Sikap-sikap seperti itu tampak semakin luntur dalam kepenulisan para penulis generasi terkini. Tanpa beban dan bahkan cenderung bersikap enteng, Dina Octaviani mereka ulang cerpen William Faulkner Setangkai Mawar untuk Emily dalam cerpennya sendiri yang berjudul Setangkai Mawar dari Emily (Como un Sueno, Orakel, 2005). Demikian pula Gunawan Maryanto (Bon Suwung, Insist Press, 2005), misalnya, menulis ulang mitologi Jawa lama dalam ”Jangan Bilang-bilang Kala” (dari Centhini), ”Serat Padi” (Serat Cariyos Dewi Sri), atau cerita orang lain dalam Lantana (dari Simfoni Pastoral, Andre Gide).

Saya pikir antara kalimat-kalimat yang tak taat tata bahasa sebagaimana contoh-contoh di awal hingga reka ulang cerita di contoh-contoh akhir, semuanya menyiratkan hal yang sama: merayakan pembacaan, dan akhirnya sekali lagi, makna. Atau dengan kata lain: merayakan ketersesatan.

*) Penulis Novel dan Cerita Pendek, Menyelesaikan Studi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati