Imam Muhtarom*
http://www.jawapos.com/
Istanbul dan Pamuk merupakan satu kesatuan yang saling membentuk dalam proses kepengarangan Orhan Pamuk. Istanbul dengan latar sejarahnya yang pernah gemilang di bawah Kesultanan Usmani berabad lampau dan mengalami kemunduran di abad ke-20, pada saat Turki perlahan mengubah menjadi republik dan berkiblat ke Eropa; sementara di sisi lain Orhan Pamuk yang mengambil jalan hidup yang berseberangan dengan rata-rata keluarga kaya dengan memilih menjadi pelukis kemudian pengarang. Antara kota yang membentang kesejarahannya dan pilihan hidup Pamuk tersebut bisa dikatakan paduan yang memukau bagi novel-novel karya Orhan Pamuk di kemudian hari.
Apa yang membedakan seseorang yang menjalani kehidupannya sebagai seorang pengarang dan yang bukan pengarang terletak pada kemampuannya menghayati tempat di mana mereka hidup. Bagi yang bukan pengarang, kota sebatas panggung kontestasi ekonomi-politik yang berujung pada seseorang menjadi penghuni kelas yang bermartabat atau penghuni kelas yang tidak mendapat penghormatan alias menjadi papa di kotanya. Bagi yang bukan pengarang kota tidak lebih medan persaingan tak berujung bagi nasib penghuninya. Kota bak papan catur penuh kemungkinan antara kehidupan yang beruntung atau sial. Dalam arti ini, gambaran kota yang sering diasosiasikan dengan kejam atau penuh kemewahan ada pada pemahaman apakah kota tersebut dialami sebagai suatu penderitaan atau sebaliknya, penuh keberuntungan. Kota menjadi kering dan tidak memiliki makna yang mendalam di luar kategori sial atau beruntung.
Namun demikian, bagi mereka memilih jalan kehidupannya sebagai pengarang sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan sekaligus indah oleh Pamuk, kota akan menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik dan pada titik-titik tertentu sangat bermakna dan hidup. Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya.
Istanbul yang terwujud dalam karya-karya Abulhak Sinasi Hisar, Yahya Kemal, Ahmet Hamdi Tanpinar, atau Resat Ekrem Kocu adalah para penulis yang Orhan Pamuk anggap berhasil menyelami jiwa kehidupan Kota Istanbul. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki. Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.
Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris --terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvimisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.
Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung atau h�z�n dalam bahasa Turki. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual.
Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya. Semenjak Pamuk bayi hingga ia berusia 20 tahun ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Fakultas Arsitektur dan keinginannya untuk menjadi pelukis dan memutuskan hidup untuk menulis, suasana melankolik demikian kental.
Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika.
Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini. Sekalipun karya My Name is Red dan Snow mengambil latar waktu yang berbeda, dapat dirasakan kemurungan Kota Istanbul itu. Kemurungan yang menjadi tema semua novelnya memang dialami oleh semua warga Istanbul, tetapi yang menangkap jiwanya adalah seorang Orhan Pamuk. Dan tema kemurungan inilah yang kemudian ditangkap oleh juri Nobel Sastra yang mengantarkan Orhan Pamuk meraihnya pada 2006. (*)
---
Judul Buku : Istanbul, Kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 563 halaman
*)Peminat sastra dan kota.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar