Sabtu, 28 Februari 2009

Lukisan Istanbul yang Melankolik

Imam Muhtarom*
http://www.jawapos.com/

Istanbul dan Pamuk merupakan satu kesatuan yang saling membentuk dalam proses kepengarangan Orhan Pamuk. Istanbul dengan latar sejarahnya yang pernah gemilang di bawah Kesultanan Usmani berabad lampau dan mengalami kemunduran di abad ke-20, pada saat Turki perlahan mengubah menjadi republik dan berkiblat ke Eropa; sementara di sisi lain Orhan Pamuk yang mengambil jalan hidup yang berseberangan dengan rata-rata keluarga kaya dengan memilih menjadi pelukis kemudian pengarang. Antara kota yang membentang kesejarahannya dan pilihan hidup Pamuk tersebut bisa dikatakan paduan yang memukau bagi novel-novel karya Orhan Pamuk di kemudian hari.

Apa yang membedakan seseorang yang menjalani kehidupannya sebagai seorang pengarang dan yang bukan pengarang terletak pada kemampuannya menghayati tempat di mana mereka hidup. Bagi yang bukan pengarang, kota sebatas panggung kontestasi ekonomi-politik yang berujung pada seseorang menjadi penghuni kelas yang bermartabat atau penghuni kelas yang tidak mendapat penghormatan alias menjadi papa di kotanya. Bagi yang bukan pengarang kota tidak lebih medan persaingan tak berujung bagi nasib penghuninya. Kota bak papan catur penuh kemungkinan antara kehidupan yang beruntung atau sial. Dalam arti ini, gambaran kota yang sering diasosiasikan dengan kejam atau penuh kemewahan ada pada pemahaman apakah kota tersebut dialami sebagai suatu penderitaan atau sebaliknya, penuh keberuntungan. Kota menjadi kering dan tidak memiliki makna yang mendalam di luar kategori sial atau beruntung.

Namun demikian, bagi mereka memilih jalan kehidupannya sebagai pengarang sebagaimana ditunjukkan dengan meyakinkan sekaligus indah oleh Pamuk, kota akan menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik dan pada titik-titik tertentu sangat bermakna dan hidup. Sebelum Pamuk mengetengahkan pendapat bahwa Istanbul merupakan kota yang paling berkesan sepanjang hidupnya, dia telah mengadakan penelusuran bagaimana para pengarang dan penyair terdahulu mengalami bagaimana Kota Istanbul hidup dalam karya maupun kehidupan pribadinya.

Istanbul yang terwujud dalam karya-karya Abulhak Sinasi Hisar, Yahya Kemal, Ahmet Hamdi Tanpinar, atau Resat Ekrem Kocu adalah para penulis yang Orhan Pamuk anggap berhasil menyelami jiwa kehidupan Kota Istanbul. Menurutnya, dalam karya maupun kehidupan keempat penulis tersebut Istanbul hadir dalam kenyataan yang melankolik. Sifat melankoli yang dirundung Istanbul setelah kota ini mengalami kemunduran dengan jatuhnya Kesultanan Usmani dan pada 1920-an dengan mengambil sistem republik dalam pemerintahan untuk mengelola Turki. Jalur nasionalis inilah yang mula-mula mengubah, bukan hanya seluruh aspek budaya dan politik di Turki, tetapi secara lebih spesifik mengubah secara mendasar Istanbul yang pada abad ke-19 menjadi tujuan utama para pelancong-penulis Prancis untuk mencari akar-akar oriental. Perubahan di Istanbul dengan memilih jalur nasionalisme ini tidak menghendaki adanya perbedaan dalam bahasa, etnik, selera, dan secara umum tentunya sebuah bentuk kebudayaan. Nilai-nilai chauvimisme yang dengan sengaja diperbolehkan oleh rezim berkuasa telah mematikan perlahan-lahan keanekaragaman dalam berbahasa di Istambul dan tentunya ini mematikan kebudayaan yang pernah menawan seantero Asia maupun Eropa.

Dalam masa Kesultanan Usmani, Istanbul tempat tumbuh suburnya berbagai bahasa dari orang Rusia, Armenia, Albania, Yunani, Prancis, Inggris --terutama daerah kekuasaan kesultanan. Setelah Republik Turki berdiri, terutama setelah kekalahan selama Perang Dunia I, sikap chauvimisme ini kian menguat dengan kehendak untuk mendirikan sebuah Turki yang tunggal. Dilematisnya, kehendak Turki yang tunggal secara politik menjadi mendua tatkala Turki berkeinginan untuk menjadi sekuler seperti Eropa. Kemenduaan ini menjadikan Turki dan secara khusus Istanbul membuat silang sengkarutnya identitas yang ingin dikenakan oleh warganya.

Dilematis dalam menentukan identitas inilah yang ditangkap keempat penulis yang disebutkan Orhan dan juga yang dialami Orhan Pamuk sendiri. Keinginan untuk menjadi Eropa dan keinginan untuk mencari identitas nasionalnya yang khas memerangkap mereka dalam sebuah situasi melankolik, murung atau h�z�n dalam bahasa Turki. Situasi melankolik ini terpapar di seantero Kota Istanbul. Bagi Pamuk, kemurungan ini terlihat pada jalan-jalan, gang-gang sempit di komunitas warga miskin, pelabuhan, asap-asap kapal di pantai Bosphorus, kemiskinan yang merajalela, bangunan-bangunan lama peninggalan Kesultanan Usmani yang terbengkelai, kehidupan warga kaya yang berorientasi barat tetapi gagal dan justru kering secara spiritual.

Ambivalensi yang merundung Istanbul terus-menerus semenjak jatuhnya Kesultanan Turki dan berdirinya Republik Turki ini secara serentak juga memengaruhi kehidupan Orhan Pamuk secara pribadi. Sepanjang halaman buku Istanbul, suasana melankoli membayang begitu pekat. Seolah Pamuk tidak memiliki satu titik pun untuk keluar dari perangkap melankoli yang terbentuk secara sosial dan politik dan seluruh penghuni Istanbul secara tidak sadar mengalaminya. Semenjak Pamuk bayi hingga ia berusia 20 tahun ketika ia memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Fakultas Arsitektur dan keinginannya untuk menjadi pelukis dan memutuskan hidup untuk menulis, suasana melankolik demikian kental.

Apa yang Pamuk alami kala ia lahir dengan membandingkan situasi yang berkembang saat itu, kala ia masih bocah, kala remaja, dan kala perantara menjadi dewasa, tak lain adalah gambaran suasana melankolik. Ia menggambarkan dirinya seorang yang tidak pernah mengalami suasana riang dan penuh kegembiraan kecuali ketika ia mabuk-mabukan bersama teman sekolah menengahnya dan menggoda gadis-gadis seusianya dengan kendaraan mewah ayah-ayah mereka. Semenjak remaja pun ia tidak memiliki sikap yang demikian optimistis sebagaimana yang terangkum dalam kehidupan kakaknya yang ia gambarkan sebagai tertib dan terampil terutama dalam kaitannya dengan pelajaran matematika dan fisika.

Dilematis dan ambivalensi antara kehidupan pribadi Pamuk dan suasana Kota Istanbul inilah yang menjadi dasar dari semangat novel-novel yang Orhan Pamuk tulis di kemudian hari. Suasana melankolik dan seakan tidak memiliki masa depan yang menghinggapi semua tokoh-tokoh novelnya dapat diperbandingkan dengan apa yang ia tuturkan dalam buku memornya ini. Sekalipun karya My Name is Red dan Snow mengambil latar waktu yang berbeda, dapat dirasakan kemurungan Kota Istanbul itu. Kemurungan yang menjadi tema semua novelnya memang dialami oleh semua warga Istanbul, tetapi yang menangkap jiwanya adalah seorang Orhan Pamuk. Dan tema kemurungan inilah yang kemudian ditangkap oleh juri Nobel Sastra yang mengantarkan Orhan Pamuk meraihnya pada 2006. (*)

---
Judul Buku : Istanbul, Kenangan sebuah kota
Penulis : Orhan Pamuk
Penerjemah : Rahmani Astuti
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 563 halaman
*)Peminat sastra dan kota.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati