Rita Zahara
http://oase.kompas.com/
Lintang Widodareni M.Hum menikah dengan Rangga Pakusadewo M.A. 15 Februari 2003 pukul 08.00 WIB. Kupandangi tulisan bertinta emas itu di atas kertas undangan berwarna coklat muda.
“Ehmmmm”, kucium kertas itu dalam-dalam. Aroma parfum menyegarkan menusuk saraf-saraf hidungku. Kututup mata, kulambungkan khayalan. Diam-diam aku menikmati angan-angan. Ya, angan-angan, yang sebentar lagi menjadi kenyataan. Angan-angan yang indah dan wangi seperti kertas undangan itu.
Rangga Pakusadewo, Mas Dewo aku memanggilnya. Akhirnya akan menjadi suamiku. Dulu aku nyaris berputus asa kalau aku tak kan pernah memperoleh laki-laki seperti dia.
Cerdas, kritis, tidak neko-neko, sederhana, dan tidak sombong. Entah apa yang bisa menyatukan kami, yang jelas kami punya kesukaan yang sama yaitu berdiskusi.
Bagiku ini keputusan yang terlalu cepat. Menikah, setelah kami saling kenal kurang lebih enam bulan. Selama itu pula tak ada ritual khusus bagi kami sebagaimana biasanya orang berpacaran. Kami bertemu jika ada forum diskusi di komunitas tempat kami bernaung. Selebihnya kami bisa bertemu di kampus, itupun dengan teman-teman. Sepenuhnya kusadari, ini keputusan yang teramat cepat. Kuyakini ini berhubungan dengan usianya yang beranjak setengah baya, 48 tahun dan ia anak satu-satunya keluarga Pakusadewo. Ya Tuhan garis hidupku kah ini untukku. Pikiranku jauh melayang, mencoba mencari makna semua ini.
Jabatan tangan, ucapan selamat, pelukan, ciuman pipi kanan pipi kiri sampai gurauan murahan terlontar untukku menjelang hari pernikahan. Saudara dekat, saudara jauh, teman, sahabat, kolega atau apalah namanya yang lain turut gembira mendengarnya. Ada nada gembira sepenuh hati, tapi ada juga yang mengajakku untuk berpikir rasional.
“Lintang, apa kamu gak salah milih suami kayak dia. Dia itu udah uzur. Sekarang kelihatan masih kuat, tapi tunggu satu sampai dua tahun lagi, pasti udah kayak kakek-kakek. Masih banyak daun muda yang menjanjikan, ada Bang Zai, Mas Koko, Uda Firman atau yang sebaya sama kita ada Penta, Surya, apa Suparno yang dari dulu ngejar-ngejar kamu, tapi kamu tolak mentah-mentah. Mereka itu gak jelek-jelek banget kok, paling gak mereka itu cukup enak dilihat lah. Lagi pula mereka punya karir yang bagus, dan saat ini mereka udah gak mau pusing-pusing milih perempuan. Katanya, asal mereka dapat perhatian cukup itu sudah lebih dari segalanya.
Kamu itu apa kualat sama Suparno makanya malah dapat perjaka tua, hanya gara-gara dia bilang pengin kamu supaya jadi wanito. Wani ditoto, perempuan yang bisa ditata, diatur sama laki-laki, trus kamu marah-marah kayak kebakaran jenggot sama dia. Enggak mau lagi denger suaranya yang masih medok logat Jawanya itu“, Rini sahabatku selalu mengatakan demikian dan selalu menganggapku membuat keputusan gila..
“Apa kamu kehilangan akal sehat? kamu itu jauh lebih muda, kamu itu kayak anak sama bapak. Lah, kamu itu beda dua puluh tahun, sedang berkarir, masih punya banyak keinginan ini-itu yang belum tercapai. Lah kok mau-maunya nikah sama bujang lapuk yang patut dipertanyakan segala-galanya. Biar gimanapun, laki-laki itu patut dicurigai, kalau sampai umur segitu belum menikah. Kalau gak homo, frigid, pedofilia, impoten, atau mengalami gangguan seksual lainnya, lalu sejak dulu itu kebutuhan biologisnya disalurkan kemana?” Bu Mirna yang sering jadi penasehat spiritualku tiada henti mengatakan itu padaku.
“Laki-laki itu kalau sudah terlalu lama hidup sendiri, sudah mati rasa. Maksudnya sudah gak ada gairah sama perempuan. Apa kamu gak takut, kalau sebenarnya dia bukan laki-laki normal. Apa kamu yang gak normal?” tanya Pak Joko yang sudah kuanggap sebagai bapak sendiri.
Mengapa mereka sephobia itu?, mengapa mereka selalu memberi harga mati untuk menilai orang seperti Mas Dewo. Apa mereka pikir usia adalah segala-galanya untuk menikah. Aaaahhhh, kutarik nafas panjang, sambil membuang letih yang sangat karena memikirkan jalan berpikir mereka yang begitu naif untuk menilai seseorang. Aku semakin tak peduli dengan segala macam komentar yang kerap kudengar jika bertemu orang-orang yang mengetahui rencana pernikahanku .
* * *
“Kepiwaianku tampil di forum diskusi adalah salah satu hal yang membuat Mas Dewo tertarik padaku. Di antara peserta diskusi, akulah yang dianggap paling dewasa menguraikan dan memecahkan masalah. Bicaraku yang ceplas-ceplos dan terkesan urakan dianggap sangat menyenangkan. Tapi entahlah, jalan berpikirku yang sederhana justru dianggapnya rumit dan filosofis.
Kulihat wajahku semakin berseri-seri menyambut hari yang kunanti. Beberapa orang teman menganggapku sudah tak tahan mau menikah, tidak dewasa mengambil keputusan, egois, bahkan ada yang mengatakan aku dipelet karena tidak rasional memilih Mas Dewo. Kututup telingaku rapat-rapat, yang ada hanya satu bunyi yang kudengar, yaitu suara orangtuaku yang menyetujui pernikahan ini.
* * *
Aku tak banyak mengundang orang. Hanya teman-teman terdekat saja yang kuundang. Tidak ada ritual khusus seperti biasanya orang menikah. Tak ada janur kuning, tak ada makanan yang enak-enak apalagi panggung hiburan. Akupun hanya berdandan sederhana. Aku terus menghitung waktu, dari detik, menit sampai ke jam. Dan seakan tanpa kompromi, jarum jam terus berputar.
Kulihat warna make-up di wajahku sudah memudar dibasahi keringat. Keadaan semakin memanas. Jantungkupun kian berdegub. Dan degubannya kian kencang.
Kulihat temanku Onanong Thipommol yang datang jauh-jauh dari Thailand sudah bermandikan keringat karena kepanasan menunggu kapan acara dimulai. Kulihat juga Mas Joko tukang bakso langgananku di kampus yang juga kuundang, tertidur pulas di kursi dan wajah-wajah lain yang memancarkan keresahan. Aku berusaha menenangkan diri, walau suasana semakin riuh.
“Kriiing, kriiiiiiing, kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiing”, suara telepon berbunyi panjang. Nyaring bunyinya mampu membuat sekelilingku terperangah dan tersentak. Aku bergegas masuk ke ruang tengah rumah. Kuangkat gagang telepon yang mulai rusak itu.
“Lintang, ini aku Dewo. Lintannngg”. Mas Dewo memutuskan pembicaraan dengan nada yang miris. Aku tak pernah mendengar suaranya seperti itu.
“Mas, Mas Dewo, ada di mana? Kita semua sudah menunggu?” Aku bertanya dengan kecemasan yang memuncak.
“Lintanggg…………….”, suaranya bertambah miris, aku semakin cemas sambil melambungkan hal yang terburuk kan terjadi saat itu.
“Lintang, aku masih di Malang. Aku, akuuuu….”, suaranya mengecil, nyaris tak terdengar olehku dan kulihat wajah-wajah cemas sekelilingku semakin bertambah.
“Mas Dewo, sebenarnya ada apa?” aku bertanya sambil berusaha tenang meski tak bisa rasanya kusembunyikan karena kuyakini ada sesuatu yang tidak diinginkan.
“Kita tidak jadi menikah, aku berkata jujur semalam pada orangtuaku tentangmu, keluargamu dan tentang kita selama ini, jadi maafkan aku. Akuuu…”
Belum selesai Mas Dewo bicara, aku melepas gagang telepon tanpa berdaya.
Langsung kering rasanya kantung air mataku, sehingga tak ada sebulirpun air mata yang jatuh. Aku terdiam, seakan berada di dunia lain yang tak pernah kutapaki. Entah ada berapa pasang mata yang menyaksikkan tragedi ini. Mereka hanya menjadi saksi. Saksi yang tak mungkin bisa mengubah keadaan saat itu.
Sejak dulu aku menegaskan padanya bahwa aku akan selalu dikecam, dimaki, dilabel atau apalah namanya oleh masyarakat. Meskipun Mas Dewo terkagum-kagum dengan riwayat hidupku, dengan perjuanganku sampai aku bisa menyandang gelar master humaniora di perguruan tinggi terkemuka. Ia harus tunduk oleh keputusan yang seakan telah disepakati bersama. Meskipun kini aku memiliki status yang cukup dipandang oleh sebagian masyarakat, aku tetaplah anak seorang pelacur dan seorang residivis.
Menurut cerita, ibuku menghilang entah kemana setelah mengetahui bapakku di tembak mati oleh polisi intel di Kali Jodo karena berusaha melarikan diri. Ia telah lama menjadi buronan. Saat itu aku baru berumur satu hari. Aku dibuang oleh ibuku di Kampung Pedongkelan. Aku ditemukan oleh Pak Tukimin di pagi hari saat bintang timur masih terlihat di langit. Saat itu ia ingin buang hajat besar di jamban Danau Ria-Rio. Bapak yang sederhana itu sekarang kukenal sebagai ayahku dan Ibu Ngatinem ibuku. Meskipun mereka selalu hidup dalam kekurangan, aku selalu diberikan yang terbaik oleh mereka karena mereka memberinya dengan cinta dan kasih sayang. Dari mereka aku belajar tentang hidup, agama, etika dan moral.
Suatu hari di saat wisuda sarjanaku, mereka memperlihatkan foto orangtuaku dan menceritakan siapa asal-usulku. Terbang ke langit lapisan ke sembilan rasanya saat itu setelah mendengar dan mengetahui darimana asal-usulku. Serasa aku diluluhlantakkan oleh sesuatu yang nyaris tak pernah kuduga. Seminggu aku mengurung diri di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Aku merenungi garis hidupku. Aku berusaha bangkit dari keterpurukkan jiwa. Jiwa yang hancur berkeping-keping. Susah payah aku mengembalikan semangat hidup. Dan syukurlah semangat hidupku kembali, bahkan menggelegak.
Menurut Pak Tukimin, foto itu ditemukan dibawah ranjang ibuku. Keadaannya sudah lusuh kekuning-kuningan. Seorang wanita cantik berambut lurus panjang menggunakan sackdress sedang memegang sebatang rokok, duduk di bangku sofa dan menyilangkan kakinya dan seorang pria bertubuh kurus berambut model punk rock merangkulnya, ditangan kanannya memegang botol minuman. Anggap saja itu adalah bapakku. Karena ibuku memang tidak pernah diketahui siapa suami resminya. Yang jelas laki-laki yang ada di foto itu adalah yang terakhir bolak-balik di gubuknya yang dekat Danau Ria-Rio. Laki-laki itu sering dipanggil Fredi oleh ibuku, tapi kadang-kadang ibuku memanggilnya Komar. Dan kadang-kadang ada serombongan polisi yang mencari Udin dengan identitas yang sama seperti Fredi atau Komar itu. Yang jelas, warga Pedongkelan saat itu mengenal ibuku sebagai pelacur yang jika sedang tidak punya uang, suami tetanggapun diajak kencan walau hanya dibayar cukup untuk membeli nasi bungkus. Kadang tidak dibayarpun bersedia karena yang penting hasrat tersalurkan. Kebiasaan ini sudah menjadi candu, jika tidak berkencan kepalanya menjadi pening dan badannya terasa lemas.
Fredi atau Komar atau Udin, dikenal sebagai laki-laki yang pernah jadi buronan dan disembunyikan oleh ibuku. Berkat rayuannya yang begitu mantap, Fredi alias Komar alias Udin berhasil terselamatkan dari kejaran polisi. Sebagai balas budi, Fredi alias Komar alias Udin harus bisa menjadi tempat penyaluran hasrat ibu yang sulit terkendali. Hingga pada suatu hari saat mereka berkencan di gubuk, seorang tetangga yang sedang asyik mengintip mereka terpaksa memberi tahu kalau Fredi, alias Komar alias Udin sedang dicari polisi. Fredi tersentak lalu lari tunggang langgang, belum lengkap mengenakan pakaiannya ia langsung pamit pada ibuku, lalu pergi bersembunyi ke Kali Jodo.
Reni, Widodareni nama lengkapnya, meskipun sedang hamil selalu siap untuk dikencani. Entah sudah berapa banyak benih laki-laki yang betaburan di dalam rahimnya. Yang jelas aku tak akan pernah tahu terlahir dari pertemuan sperma dari laki-laki yang mana. Entah itu sperma supir truck, bandit, laki-laki hidung belang, om-om, kakek-kakek, anak ingusan atau laki-laki yang cuma sekedar mencari variasi seks karena saat itu ibuku terkenal sebagai pelacur yang permainannya cukup panas. Mendengar cerita dari orang yang pernah bermain dengan ibuku saja katanya mampu membangkitkan birahi. Yang lajang, yang beristri, yang tua, yang muda, tanpa banyak kompromi ingin segera mencoba.
Mereka penasaran karena menurut cerita, hampir semua laki-laki akan dibuat bertekuk lutut sebelum permainan selesai.
Cerita tentang pelacur Widodareni inipun baru kutahu dari Abah Yayat, sesepuh Kampung Pedongkelan yang saat itu menjabat sebagai Ketua RT. Ia tahu persis tentang kisah pelacur Widodareni, karena Reni sering membuat ulah. Reni yang sering jadi rebutan laki-laki terkenal dengan rayuannya yang begitu manis, cantik pula dan termasuk perempuan yang banyak digemari di kalangan laki-laki yang suka keberanian perempuan di atas ranjang. Tidak jarang terjadi pertengkaran di antara mereka hanya untuk memperebut waktu kencan bersama Reni.
Hari ini, 15 Februari 2003. Aku menyatakan diri bahwa aku tetap anak pelacur dan residivis. Pelacur Widodareni dan Fredi alias Komar alias Udin, residivis itu kuanggap saja sebagai bapakku. Aku menunggu entah sampai kapan hingga orang bisa melihat diriku seutuhnya sebagai Lintang Widodareni, yang menurut Pak Tukimin berarti Bintangnya Bidadari. Bukan Widodareni, pelacur Kampung Pedongkelan atau residivis yang entah siapa nama aslinyanya itu.
Jakarta Dalam Kontemplasi, November 2003 Menunggu Sahur
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar