Minggu, 25 Januari 2009

Mengkritisi Kritik Sastra

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Harus terus digairahkan, di antara menderasnya karya-karya sastra Indonesia yang bermunculan.

Suatu kali, HB Jassin pernah berkata, "Seorang kritikus adalah manusia biasa." Kalimat yang dilontarkan kritikus sastra terkemuka ini dituliskan kembali dalam Resume Mata Kuliah Kajian Puisi: Sajak Mengundang Asosiasi, Bukan Interpretasi, pada blog komunitas anak sastra.

Apa kiranya yang membuat HB Jassin mengutarakan pernyataan ini? Apakah karena tuntutan terhadap seorang kritikus, terutama sastra, begitu beratnya sehingga membuat kritikus merasa terbebani. Seperti kata Kris Budiman, kritikus toh bukan nabi yang membawa pesan dari Tuhan untuk manusia. Jadi, bagaimana bisa kritikus diminta menjawab semua persoalan sastra. Meski dalam prakteknya, pengkritik haruslah orang yang memiliki wawasan jauh lebih luas daripada orang awam ataupun sastrawannya sendiri.

"Syarat mutlaknya jelas wawasan yang luas. Dia juga harus mampu berpikir interdisipliner," kata sastrawan dan dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi. Ini menjadi wajib ketika kritik sastra diharapkan memberi kontribusi kepada perkembangan sastra itu sendiri.

Tentunya syarat ini juga untuk mencegah adanya kritik sastra yang tidak memadai. Yaitu yang diistilahkan Nensi Suherman dalam www.kartunet.com tergolong kritik sastra memprihatinkan. Karena kritikus yang menulis kritik sastra tidak mendalami bidangnya secara sungguh-sungguh. Belum lagi isi kritik sastra yang kurang ilmiah, dan lontaran berupa kritik sastra yang obyektif, intuitif, serta pesan-pesan, lebih banyak menceritakan isi karya sastra tanpa ulasan yang harusnya menjadi faktor utama.

Padahal, ada masanya ketika kritik sastra bahkan mampu mengungkap keaslian sebuah karya. Karena sejak zaman dulu, banyak fenomena di mana karya yang dihasilkan sebenarnya merupakan sebuah bentuk penceritaan kembali dari satu karya yang telah hadir lebih dulu (already told). Dalam hal ini, kritik sastra berfungsi sebagai penengah antara karya asli dan kebudayaan pendukungnya. Hal ini dikemukakan dalam rosiadha.wordpress.com yang menulis Perkembangan Kedudukan Kritik Sastra dalam "Criticism as a Secondary Art" karya Murray Krieger.

Kritik seni, menurut Saut Situmorang yang memperluas definisi kritiknya kritikus Amerika MH Abrams, dinyatakan sebagai studi analisis bersifat interpretatif-evaluatif atas karya seni ataupun seorang seniman.

JJ.Kusni, menulis di Paris pada Februari 2004, seperti dimuat dalam www.freelists.org, mengenai kritik modern. Khususnya metode retrospektif Denis Diderot, penulis dan pemikir besar Perancis abad XVIII. Dengan metode tersebut, diharapkan kritik tidak terlalu jauh dari kenyataan. Boleh jadi dengan metode ini, kata JJ. Kusni, kita bisa membaca isi ide yang disampaikan penulis "sebelum" dan "sesudah karya itu ditulis".

Boleh jadi, karena adanya kaidah-kaidah tertentu yang tak tertulis dalam mengkritisi karya sastra dan ukuran kategori dalam kritik sastra, maka kritik sastra jadi tidak begitu diminati. Malah, Saut dengan sangat prihatin menyatakan tentang ketiadaan kritik sastra, apalagi sebuah tradisi kritik sastra, yang mendampingi perjalanan sejarah sastra berbahasa Indonesia. Benarkah sudah sekritis ini kondisi kritik sastra Indonesia?

Bekal Pengetahuan

"Saya tidak bersepakat dengan Saut Situmorang yang menyatakan kritik sastra telah mati. Kita memiliki tokoh-tokoh semacam Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Kesemuanya terus menulis untuk mewujudkan kritik sastra yang sehat. Berusaha memasuki teks sastra untuk diapresiasi. Ditafsirkan. Lihat saja tulisan Kris Budiman yang membahas puisi Mashuri dan Iyut Fitra. Tulisan tersebut cukup mampu menelaah dan memposisikan puisi dalam kerangka struktural. Dan setelah melalui penelaahan, baru diketahui, puisi Mashuri dan Iyut Fitra masih lemah dalam menjalin logika tekstual," kata kritikus sastra Ribut Wijoto.

Kris Budiman sendiri memilih untuk tidak memusingkan perkara siapa yang mampu, bisa dan boleh, serta akan mengkritik karya seni. Baginya, kritikus adalah juga pembaca. "Siapa saja yang pernah belajar kritik sastra silahkan menulis kritik sastra. Yang penting punya bekal keterampilan pengetahuan untuk membuat itu." Artinya, bagi Kris, tidak masalah apakah sang kritikus adalah jebolan Fakultas Sastra atau justru pelaku sastranya sendiri.

Secara jumlah, kritik sastra yang ditulis kalangan akademisi jauh lebih banyak. Sayang, kritik sastra yang akademik ini dianggap tidak banyak memberikan pencerahan terhadap pembaca sastra dan terhadap kesustraannya sendiri.

"Ada betulnya memang anggapan itu. Terutama kalau tolak ukurnya adalah media massa cetak, seperti koran, majalah, dan jurnal khusus seperti Horison. Karena yang muncul di media ini kan pasti lebih banyak praktisi. Yaitu sastrawan yang juga melakukan kritik. Situasi ini sebenarnya tidak ideal. Karena bagaimanapun ada unsur subyektif yang kemudian tak mampu lagi dibedakan apakah dia sedang mengkritik atau sedang memuji teman komplotannya atau sedang melakukan studi sastra. Karena kalau bicara mengenai kritik kan sebenarnya berbicara mengenai sebuah disiplin. Keilmuan yang berkembang kan di perguruan tinggi. Masalahnya tidak banyak orang di perguruan tinggi yang menerapkan kritik itu mendapatkan publisitas dari media massa cetak umum," kata Ibnu Wahyudi pada Jurnal Nasional.

Permasalahan makin kompleks ketika akademisi sastra yang semestinya menjadi pihak "ideal" dalam mengkritisi sastra karena dianggap kuat secara teori dan bebas keberpihakan justru tak pernah mengkritik dengan sungguh-sungguh.

Mayoritas Sampah

Seperti yang digambarkan oleh kritikus sastra Ribut Wijoto bahwa sampai saat ini, belum ada skripsi yang mampu mempresentasikan kritik sastra secara jernih dan argumentatif. "Mayoritas adalah sampah. Karena kesadaran mahasiswa sastra terhadap kritik sastra amat rendah. Mereka menyikapi skripsi sebagai tugas. Hal lain adalah kemampuan dosen. Banyak dosen sastra Indonesia yang hanya sibuk sebagai pegawai negeri. Mereka enggan mendatangi forum-forum sastra. Keilmuan mereka juga tidak beranjak. Baca buku teorinya hanya ketika masih kuliah. Artinya, dosen tidak mampu membimbing mahasiswa untuk menciptakan karya kritik yang cemerlang. Tapi tidak bisa dipungkiri, pasti ada satu atau dua skripsi yang memiliki kekuatan kritik sastra. Persoalannya, apakah pihak penerbit mau susah payah menyisir ke kampus-kampus."

Belum lagi miskinnya buku teori kritik sastra. Dalam literatur Kritik "Sakit' Sastra Indonesia dalam Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III 2008 di situs www.sastra-indonesia.com, Liza Wahyuninto menjelaskan bahwa hingga saat ini, kesusastraan Indonesia dapat dikatakan terus saja miskin buku-buku teori kritik sastra. Buku-buku teori yang ada, kebanyakan buku terbitan lama dengan pembicaraan yang tidak lagi mutakhir. Buku-buku terbitan lama itu pun sulit didapat karena jumlahnya sedikit dan dimiliki oleh kalangan terbatas.

Di sinilah Ibnu Wahyudi melihat adanya ketimpangan antara kritik sastra oleh pelaku sastra dan oleh sarjana sastra. Yaitu bahwa banyak dari kalangan sarjana sastra tidak punya sikap melihat sastra sebagai bagian kehidupan intelektual mereka.

"Banyak faktor yang menyebabkan kritik sastra ditinggalkan jauh di belakang oleh karya sastranya. Mungkin saja karena media untuk kritik sastra terbatas. Atau karena pendidikan sastra kurang baik. Dan faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sistem. Atau ada kondisi lain seperti persoalan ekonomi yang membuat kritik tidak ditulis orang. Jadi jangan menyalahkan akademisi atau sastrawan yang mengkritik. Boleh aja sastrawan menulis kritik seperti pelukis mengomentari pelukis lain. Kalau masalah subjektivitas, memang apa sih yang obyektif?" kata Kris Budiman yang tulisan-tulisannya, terutama mengenai sastra, gender, dan media, dipublikasikan di beberapa surat kabar, majalah, jurnal, dan buku bunga rampai.

Karena keterkaitan yang disampaikan oleh Kris ini, jadi terlihat bahwa tidak sesederhana itu menyimpulkan mengenai perkembangan kritik sastra di dunia perguruan tinggi. Faktanya, Ribut bersama teman-teman di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) termasuk dari salah satu produk akademik yang mayoritas adalah bekas mahasiswa Sastra Indonesia Unair Surabaya. "Tapi proses kreatif kami lebih banyak berada di luar kampus. Itu artinya, tidak ada keterkaitan langsung antara proses pengajaran dengan proses kreatif. Kami harus menciptakan sendiri forum-forum diskusi sastra. Tapi apakah kami ada kalau tidak ada Fakultas Sastra. Hal ini masih perlu diperdebatkan lagi."

Ketika kritik sastra akademik ternyata perlu ditambahi juga oleh proses kreatif yang seringkali malah membuat sang sarjana sastra mencemplungkan diri dalam pembuatan karya sastra. Itu artinya batas antara kritik sastra akademik dan non-akademik menjadi kabur. Mungkin ini merupakan bagian dinamika dari kritik sastra di Indonesia. Sebagaimana dinamika di mana sebuah kritik lama-lama menjelma menjadi karya sastra itu sendiri, seperti yang diungkapkan Ibnu.

Mencari Kritik Argumentatif

Tapi rupanya dinamika semacam ini terjadi juga di negara-negara Barat. Atau, lebih tepatnya, apa yang terjadi pada kritik sastra di Indonesia memang segala sesuatu yang terjadi di luar negeri. Bahkan, teori-teori yang dipakai dalam sebuah kritik sastra adalah teori yang berasal dari Barat. Biar bagaimana pun, budaya kritik sendiri memang bukan kepunyaan bangsa ini. Wajar kalau banyak dari kontennya memang mengacu ke Barat.

Pada pertengahan sampai akhir dasawarsa 1980-an, pernah ramai dibincangkan kemungkinan dilahirkannya kritik sastra Indonesia yang khas bercirikan keindonesiaan.

Beberapa istilah pun kemudian bermunculan. Satyagraha Hoerip, misalnya, melontarkan gagasannya dengan mengusung istilah Teori dan Kritik Sastra PDN (produksi dalam negeri). Yang lain menyebutnya dengan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. Apa pun istilahnya, kata Maman Mahayana dalam http://mahayana-mahadewa.com, telah ada perbincangan yang membahas perlunya dirumuskan teori dan kritik sastra yang tak lagi berkiblat ke Barat. Maman mengakui kalau teori dan kritik sastra Barat tidak dapat terhindarkan.

"Kalau kita baca karya Danarto dengan pendekatan luar negeri ya nggak cocok. Cuma metode kritik kita pinjam. Tapi, saya kira, meskipun pada tahun 70-an ada perdebatan antara kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra UI, M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, dan kritik Ganzheit dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman, para pengkritik sekarang juga sudah lupa. Teori ini jarang dipakai waktu mengkritik. Terutama kritik sastra di media massa cetak. Paling di jurnal khusus, tapi itu jarang," kata Ibnu lagi.

Meski begitu, di mata Ribut yang esai sastranya pernah jadi pemenang pertama pilihan Pusat Bahasa Depdiksnas, percobaan apresiasi karya sastra tetap penting. "Semakin banyak apresiasi tentu akan membuat situasi sastra bertambah ramai. Kondusif. Kita memang membutuhkan perspektif dan eksplorasi baru. Itu karena usia sastra modern Indonesia juga belum terlalu tua. Kita bisa menuliskan kritik sastra secara argumentatif dan mendalam saja sudah bagus. Jadi keinginan untuk menelorkan teori sastra sendiri adalah keinginan yang terlalu berlebihan."

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati