Budi P. Hatees
http://www.lampungpost.com/
Sewindu lalu, pada periode awal roda reformasi bergulir dan menerabas ke mana-mana, bukan cuma Presiden Soeharto yang terguling dari kursi kekuasaan, melainkan juga jutaan jiwa warga negara menjadi ragu akan banyak hal. Kepercayaan terhadap elite, tanpa pengecualian, luntur begitu drastis.
Orang-orang histeris, berteriak, dan melakukan apa saja untuk mendapatkan identitas baru. Pejuang-pejuang reformasi bermunculan, riuh, ribut, dan berlomba-lomba agar bisa dicatat dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional.
Dalam priode yang hiruk-pikuk itu, kita mencatat banyak upaya membongkar dan mengungkap borok rezim penguasa Orde Baru. Para intelektual pun ikut gerbong kereta dan terseret arus penumpang yang kehilangan arah tujuan.
Reformasi meledak tanpa ada satu hal yang bisa ditandai, kecuali euforia-euforia yang menyesakkan dada. Tiap sebentar ada yang berteriak memaki rezim yang otoriter, korupsi yang merajalela, illegal logging, birokrasi yang busuk, dan moralitas yang bobrok.
Inilah iklim yang membuat sastrawan kita tercengang. Dinamika yang terjadi di luar perhitungan yang ada. Gerakan-gerakan sosial-politik menampakkan wajah yang paling brutal, orang menyampaikan aspirasi dengan memperbesar urat-urat lehernya, keributan pecah dan korban berjatuhan dengan luka-luka yang menganga. Kreativitas bersastra bak kehilangan tali kekangan, menerabas ke mana-mana dan menyentuh wilayah apa saja, tapi tidak satu substansi pun dapat ditandai kecuali bahwa inilah era ketika kebebasan berekspresi tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri.
Kebebasan menemukan bentuknya yang paling alami, tanpa sekat-sekat moral yang selama ini begitu kuat mencengkeram. Tetapi, kebebasan itu nyaris tidak memberi makna apa pun terhadap dunia kesusastraan, seperti ketika zaman revolusi perjuangan kemerdekaan memberi warna baru pada rasa sastra nasional.
Kesusastraan kita tidak mencatat, ada capaian-capaian estetika yang mengemuka pada masa ini. Penyair tetap menulis dengan metafora romatis seperti embun pagi, daun gugur, anggur pada gelas, sampan yang berlayar, kepak burung, penggali pasir, lumut, dll.
Cerpenis tetap gemar bicara soal buruh yang dipecat, pertengkaran keluarga, cinta tak terjawab, harapan yang pupus, meja di sebuah kafe, sinar bulan, dll.
Novel kita berkutat soal berahi. Karya-karya sastra dari berbagai genre itu lahir dan membuat sastrawan terangkat hingga sejajar dengan selebriti. Tetapi, kita tidak menemukan sesuatu yang begitu berarti, yang di dalam karya-karya sastra itu menyimpan dinamika reformasi itu sendiri.
Karya-karya sastra kita seolah mengabaikan situasi zamannya, tidak peduli pada dinamika masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan kita sibuk membongkar-bongkar literatur lama yang dihasilkan dari dinamika kebudayaan asing.
Kita pun membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan dengan sosok tokoh yang tidak berjejak di Indonesia. Kita membaca novel-novel Fira Basuki dengan sosok tokoh yang datang dari dunia ketika seks bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan. Kita membaca Cala Ibi dengan gaya bercerita yang sulit diterima logika ketimuran.
Para sastrawan kita seolah menegaskan pernyataan para pendahulunya, "Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia". Sepenggal kalimat yang kita catat sebagai peluruh bagi lahirnya Angkatan'45, menemukan euforianya kembali dalam diri para kreator sastra kita.
Tetapi, gemanya cepat meredup karena limpahan informasi dari berbagai literatur dan sumber-sumber data tak terbatas--hal yang tidak dimiliki para sastrawan saat melahirkan Angkatan'45--membuat para kreator sastra menjadi lebih tertarik mengurusi wilayah artifisial.
Mereka yang memiliki akses luas terhadap karya-karya sastra dunia, tampil ke permukaan dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai "pembawa pembaruan". Warisan sastra nasional makin terabaikan gerakan-gerakan untuk menancapkan tonggak sejarah sastra yang baru.
Ironisnya, segala sesuatu yang mereka pandang "pembaruan", yang dibawa dengan keangkuhan seorang penemu dari tanah-tanah kelahirannya seperti Amerika Latin, ternyata sangat lapuk di daerah asalnya.
Dalam situasi seperti inilah Nirwan Dewanto menyimpulkan sejarah sastra cuma kumpulan kisah tentang asal-muasal dan rangkaian pembaruan dalam lingkup nasional, dari sudut pandang kiri atau kanan, hidup di alam bawah sadar para pencipta sastra di Indonesia. Pretensi nasional menjadi tempurung yang membuat sang katak tak mampu melihat cakrawala yang lebih baik.
Warisan sastra nasional menjadi beban, bukan berkah. Tetapi itulah beban yang seakan-akan menjadi rumus tentang titik-titik pembaruan berikutnya. Sejarah sastra yang merasuki alam bawah sadar, yang tidak lagi dibaca dekat-dekat, close reading, sehingga berubah menjadi setengah mitos.
Dalam tulisannya berjudul "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" (Kompas, 4 Maret 2000), Nirwan menyerukan sastra kita tidak dibebani sejarah kebangsaan dan komitmen politik, tapi harus membuka diri terhadap pengaruh dan kontak sastra dunia. Bagai terhipnosis, sastrawan kita beralih haluan ke sastra dunia.
Ajaibnya, Nirwan Dewanto dengan tongkat sihirnya mengubah watak sastrawan kita menjadi tidak merasa hebat jika tidak menulis puisi seperti Dereck Walcott menulis. Asif Amini asyik bicara hal-hal lama dan usang tentang dunia sastra, mengungkit kedahsyatan sastrawan-sastrawan lama dari dunia yang jauh dalam menghasilkan karya.
Dari kecenderungan ini kita bisa menangkap satu hal, sebenarnya kita sedang bersusah-payah mengelap orientasi kebudayaan yang baru; bukan Barat bukan Timur. Tetapi, kebudayaan yang tumbuh dalam situasi zaman penuh kekangan oleh kolonialisme, seolah-olah mengamini tesis yang mengatakan di luar sosoknya yang kejam dan sadistis, kolonialisme mampu melahirkan dan menumbuhkan mentalitas kebudayaan dari orang-orang yang lama hidup dijajah.
Orientasi kebudayaan dari entitas yang lama tertindas, dan tidak memilki alternatif pintu untuk bisa lepas dan kabur dari bayang-bayang sang penindas.
Orde Baru bagi semua warga bangsa, tidak lebih bagus dibandingkan dengan kolonialisme. Keduanya menanam racun di urat darah kita, yang membuat kita menghabiskan energi hanya untuk melakukan perlawanan demi perlawanan, sehingga lupa untuk terus berkreativitas sebagai orang-orang profesional. Zaman reformasi, ternyata pula, tidak lebih bagus dari Orde Baru.
Yang kita saksikan, tumpukan manusia yang kehilangan pegangan dan kebingungan menentukan orientasi, tapi tidak pernah bisa mengelak dari tusukan dan tujahan globalisasi yang begitu tajam.
Memang, perkembangan sastra nasional menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memproduksi karya-karya sastra. Tetapi, karya-karya sastra tersebut sejak kelahiran sampai peredarannya ke tangan masyarakat, sudah menolak segala bentuk teori-teori dalam berkesenian. Banyak intelektual membicarakan novel Saman bukan semata sebagai seni, tapi juga karya politik yang tidak berbeda dengan tesis-tesis para doktor sosiologi politik di negeri ini.
Niels Mulder dalam Southeast Asian Images: Toward Civil Society? (2003), menulis sebuah simpul, "Hal yang sangat menarik dari Saman adalah hubungannya yang meyakinkan antara dua tema yang sepintas lalu tak bertalian: Kekejaman Orde Baru dan keasyikan seks empat orang wanita yang bersahabat...."
Semua fakta ini menunjukkan sastrawan di Indonesia adalah sebuah posisi yang penuh kutukan. Mereka terus berkarya, tapi tidak bisa bebas dari persoalan yang dihadapi para pendahulunya. Persoalan yang mereka hadapi selalu berkisar antara sastra sebagai karya seni dan sastra sebagai risalah politik.
Pada aspek sosialisasi, mereka pun tidak bisa bebas dari kecenderungan "ikut berkelompok dan karenanya berpolitik dalam sastra" atau tidak mendapat tempat sama-sekali.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar