Rabu, 03 Desember 2008

Sastrawan dalam Kutukan

Budi P. Hatees
http://www.lampungpost.com/

Sewindu lalu, pada periode awal roda reformasi bergulir dan menerabas ke mana-mana, bukan cuma Presiden Soeharto yang terguling dari kursi kekuasaan, melainkan juga jutaan jiwa warga negara menjadi ragu akan banyak hal. Kepercayaan terhadap elite, tanpa pengecualian, luntur begitu drastis.

Orang-orang histeris, berteriak, dan melakukan apa saja untuk mendapatkan identitas baru. Pejuang-pejuang reformasi bermunculan, riuh, ribut, dan berlomba-lomba agar bisa dicatat dalam buku-buku sejarah pergerakan nasional.

Dalam priode yang hiruk-pikuk itu, kita mencatat banyak upaya membongkar dan mengungkap borok rezim penguasa Orde Baru. Para intelektual pun ikut gerbong kereta dan terseret arus penumpang yang kehilangan arah tujuan.

Reformasi meledak tanpa ada satu hal yang bisa ditandai, kecuali euforia-euforia yang menyesakkan dada. Tiap sebentar ada yang berteriak memaki rezim yang otoriter, korupsi yang merajalela, illegal logging, birokrasi yang busuk, dan moralitas yang bobrok.

Inilah iklim yang membuat sastrawan kita tercengang. Dinamika yang terjadi di luar perhitungan yang ada. Gerakan-gerakan sosial-politik menampakkan wajah yang paling brutal, orang menyampaikan aspirasi dengan memperbesar urat-urat lehernya, keributan pecah dan korban berjatuhan dengan luka-luka yang menganga. Kreativitas bersastra bak kehilangan tali kekangan, menerabas ke mana-mana dan menyentuh wilayah apa saja, tapi tidak satu substansi pun dapat ditandai kecuali bahwa inilah era ketika kebebasan berekspresi tidak lagi diperlakukan sebagai anak tiri.

Kebebasan menemukan bentuknya yang paling alami, tanpa sekat-sekat moral yang selama ini begitu kuat mencengkeram. Tetapi, kebebasan itu nyaris tidak memberi makna apa pun terhadap dunia kesusastraan, seperti ketika zaman revolusi perjuangan kemerdekaan memberi warna baru pada rasa sastra nasional.

Kesusastraan kita tidak mencatat, ada capaian-capaian estetika yang mengemuka pada masa ini. Penyair tetap menulis dengan metafora romatis seperti embun pagi, daun gugur, anggur pada gelas, sampan yang berlayar, kepak burung, penggali pasir, lumut, dll.

Cerpenis tetap gemar bicara soal buruh yang dipecat, pertengkaran keluarga, cinta tak terjawab, harapan yang pupus, meja di sebuah kafe, sinar bulan, dll.

Novel kita berkutat soal berahi. Karya-karya sastra dari berbagai genre itu lahir dan membuat sastrawan terangkat hingga sejajar dengan selebriti. Tetapi, kita tidak menemukan sesuatu yang begitu berarti, yang di dalam karya-karya sastra itu menyimpan dinamika reformasi itu sendiri.

Karya-karya sastra kita seolah mengabaikan situasi zamannya, tidak peduli pada dinamika masyarakatnya. Sastrawan-sastrawan kita sibuk membongkar-bongkar literatur lama yang dihasilkan dari dinamika kebudayaan asing.

Kita pun membaca Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan dengan sosok tokoh yang tidak berjejak di Indonesia. Kita membaca novel-novel Fira Basuki dengan sosok tokoh yang datang dari dunia ketika seks bukanlah masalah yang perlu dipermasalahkan. Kita membaca Cala Ibi dengan gaya bercerita yang sulit diterima logika ketimuran.

Para sastrawan kita seolah menegaskan pernyataan para pendahulunya, "Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia". Sepenggal kalimat yang kita catat sebagai peluruh bagi lahirnya Angkatan'45, menemukan euforianya kembali dalam diri para kreator sastra kita.

Tetapi, gemanya cepat meredup karena limpahan informasi dari berbagai literatur dan sumber-sumber data tak terbatas--hal yang tidak dimiliki para sastrawan saat melahirkan Angkatan'45--membuat para kreator sastra menjadi lebih tertarik mengurusi wilayah artifisial.

Mereka yang memiliki akses luas terhadap karya-karya sastra dunia, tampil ke permukaan dengan sangat bangga menyatakan diri sebagai "pembawa pembaruan". Warisan sastra nasional makin terabaikan gerakan-gerakan untuk menancapkan tonggak sejarah sastra yang baru.

Ironisnya, segala sesuatu yang mereka pandang "pembaruan", yang dibawa dengan keangkuhan seorang penemu dari tanah-tanah kelahirannya seperti Amerika Latin, ternyata sangat lapuk di daerah asalnya.

Dalam situasi seperti inilah Nirwan Dewanto menyimpulkan sejarah sastra cuma kumpulan kisah tentang asal-muasal dan rangkaian pembaruan dalam lingkup nasional, dari sudut pandang kiri atau kanan, hidup di alam bawah sadar para pencipta sastra di Indonesia. Pretensi nasional menjadi tempurung yang membuat sang katak tak mampu melihat cakrawala yang lebih baik.

Warisan sastra nasional menjadi beban, bukan berkah. Tetapi itulah beban yang seakan-akan menjadi rumus tentang titik-titik pembaruan berikutnya. Sejarah sastra yang merasuki alam bawah sadar, yang tidak lagi dibaca dekat-dekat, close reading, sehingga berubah menjadi setengah mitos.

Dalam tulisannya berjudul "Masih Perlukah Sejarah Sastra?" (Kompas, 4 Maret 2000), Nirwan menyerukan sastra kita tidak dibebani sejarah kebangsaan dan komitmen politik, tapi harus membuka diri terhadap pengaruh dan kontak sastra dunia. Bagai terhipnosis, sastrawan kita beralih haluan ke sastra dunia.

Ajaibnya, Nirwan Dewanto dengan tongkat sihirnya mengubah watak sastrawan kita menjadi tidak merasa hebat jika tidak menulis puisi seperti Dereck Walcott menulis. Asif Amini asyik bicara hal-hal lama dan usang tentang dunia sastra, mengungkit kedahsyatan sastrawan-sastrawan lama dari dunia yang jauh dalam menghasilkan karya.

Dari kecenderungan ini kita bisa menangkap satu hal, sebenarnya kita sedang bersusah-payah mengelap orientasi kebudayaan yang baru; bukan Barat bukan Timur. Tetapi, kebudayaan yang tumbuh dalam situasi zaman penuh kekangan oleh kolonialisme, seolah-olah mengamini tesis yang mengatakan di luar sosoknya yang kejam dan sadistis, kolonialisme mampu melahirkan dan menumbuhkan mentalitas kebudayaan dari orang-orang yang lama hidup dijajah.

Orientasi kebudayaan dari entitas yang lama tertindas, dan tidak memilki alternatif pintu untuk bisa lepas dan kabur dari bayang-bayang sang penindas.

Orde Baru bagi semua warga bangsa, tidak lebih bagus dibandingkan dengan kolonialisme. Keduanya menanam racun di urat darah kita, yang membuat kita menghabiskan energi hanya untuk melakukan perlawanan demi perlawanan, sehingga lupa untuk terus berkreativitas sebagai orang-orang profesional. Zaman reformasi, ternyata pula, tidak lebih bagus dari Orde Baru.

Yang kita saksikan, tumpukan manusia yang kehilangan pegangan dan kebingungan menentukan orientasi, tapi tidak pernah bisa mengelak dari tusukan dan tujahan globalisasi yang begitu tajam.

Memang, perkembangan sastra nasional menunjukkan kemampuan luar biasa dalam memproduksi karya-karya sastra. Tetapi, karya-karya sastra tersebut sejak kelahiran sampai peredarannya ke tangan masyarakat, sudah menolak segala bentuk teori-teori dalam berkesenian. Banyak intelektual membicarakan novel Saman bukan semata sebagai seni, tapi juga karya politik yang tidak berbeda dengan tesis-tesis para doktor sosiologi politik di negeri ini.

Niels Mulder dalam Southeast Asian Images: Toward Civil Society? (2003), menulis sebuah simpul, "Hal yang sangat menarik dari Saman adalah hubungannya yang meyakinkan antara dua tema yang sepintas lalu tak bertalian: Kekejaman Orde Baru dan keasyikan seks empat orang wanita yang bersahabat...."

Semua fakta ini menunjukkan sastrawan di Indonesia adalah sebuah posisi yang penuh kutukan. Mereka terus berkarya, tapi tidak bisa bebas dari persoalan yang dihadapi para pendahulunya. Persoalan yang mereka hadapi selalu berkisar antara sastra sebagai karya seni dan sastra sebagai risalah politik.

Pada aspek sosialisasi, mereka pun tidak bisa bebas dari kecenderungan "ikut berkelompok dan karenanya berpolitik dalam sastra" atau tidak mendapat tempat sama-sekali.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati