Weni Suryandari
http://www.kompas.com/
Surti menatap nanar setiap kendaraan yang lewat. Sesekali ia melambaikan tangannya pada setiap sopir, namun malam itu tak satupun sopir kendaraan berhenti. Ia sudah lelah dan mengantuk. Uang di sakunya hanya tinggal beberapa puluh ribu lagi, berarti ia harus mencari uang lagi untuk melunasi hutang biaya rumah sakit perawatan emaknya yang meninggal 1 bulan yang lalu dan harus ia tanggung sendirian sebagai anak satu-satunya yang tersisa dari dua bersaudara.
Di pinggiran jalan itu, kampung Gabus, sedikit agak ke arah ujung perempatan menuju jalur Pantura, adalah lokasi gerai wanita malam yang berdiri berjajar menanti pesanan para lelaki hidung belang. Warung remang-remang adalah tempat bagi mereka yang sudah lama bekerja menjadi wanita malam. Namun bagi Surti yang baru beberapa hari berada di situ, warung-warung itu asing baginya. Ia tak berani memasukinya. Kadangkala beberapa wanita berlenggak lenggok dengan sengaja jika terlihat ada sorot lampu mobil dari kejauhan.
Surti terpaksa mencoba mengikuti jejak para wanita malam itu. Pilihan ini sebenarnya membuat hatinya teriris. Apalagi di masa kecilnya, ia rajin ikutan mengaji pada Wak Salim tiap selepas Magrib. Ia sering membaca komik tentang siksa neraka dan alam kubur bagi pelacur dan pezina. Gambar gambar dalam komik yang terekam oleh memorinya sesungguhnya mampu membuat bulu kuduknya bergidik. Ia ketakutan sendiri sebenarnya. Surti tahu sedari kecil, bahwa tempat itu haram dikunjungi, karena banyak pekerja tuna susila. Hanya sedikit yang masih memegang teguh ajaran agama termasuk Emak dan keluarga Wak Salim tentu saja. Ia patuhi ajaran dari Wak Salim dan emaknya itu sampai kurang lebih hampir 1 bulan yang lalu. Keteguhannya runtuh. Ia minta ma’af pada Tuhan karena tak menemukan jalan lain yang harus ditempuhnya.
Kalau tidak begini, mana mungkin aku bisa mencicil hutang pada Wan Mahmud? Hutang sebanyak 1,5 juta? Sampai berapa lama hutang berbunga itu terlunasi? Untuk menjadi pembantu aku tak sanggup, paling-paling berapalah gaji seorang pembantu? Begitu pikir Surti. Ia menarik nafas panjang.
Surti berdiri lagi. Disibakkannya anak rambut di dahinya yang terurai di tiup angin. Ia menyetop sebuah mobil pik-up. Sang sopir berhenti, namun berjalan lagi meninggalkan gulungan debu yang menerpa wajahnya. Musim panas ini membuat debu jalanan semakin tebal bergulung-gulung. Ia mengibas-ngibaskan tangannya ke udara.
Surti duduk lagi. Ia berjongkok di bawah tiang listrik. Kadang duduk beralaskan batang pohon besar dan tua yang tumbang. Semilir angin malam sangat melenakan matanya untuk terpejam. Seharian ia mencuci dan menyetrika baju-baju tetangga yang menyewa tenaganya. Tiba-tiba suara klakson mobil mengaum keras mengagetkan. Surti tersentak, ia berdiri. Sebuah pick up berwarna biru yang tak bermuatan barang minggir dan berhenti tepat di depan Surti.
“Hei, kamu! Kamu yang waktu itu kuajak ya? Siapa namamu?” tanya sang sopir agak keras.
“Surti, Pak. Bapak mau membawa saya lagi?” Surti mencoba bersikap genit. Kadang ia tak sadar bahwa bedaknya seperti pupur zaman purbakala yang putih mengkilat seperti hantu dalam film film. Bibirnya yang tebal dan sexy dilapisi gincu yang tak diolesi merata. Surti tak pandai berdandan.
“Ya, ya.......kamu. Surti ya? Ikut aku!!” seru lelaki itu memerintah.
“Tapi Bapak mau bayar berapa dulu Pak? Kalau suka sama saya, ngasihnya yang gedean doong.! “ Surti merajuk genit. Bekerja begituan membuat Surti jadi belajar merayu. Ia kikuk.
“Ya, gampanglah itu. Ayo ikut! “ serunya sambil membuka pintu mobil dari dalam. Suara lelaki itu tak lagi garang. Surti mengalah. Ia naik juga ke dalam mobil bak terbuka yang joknya sudah lusuh, kempes dan agak robek di beberapa bagian. Lelaki itu, Mitro berperawakan besar dan berpakaian tidak selayaknya orang kampung situ. Lumayan rapihlah. Sehari-harinya ia bekerja sebagai montir mobil di bengkel miliknya. Mobil biru tua itupun adalah miliknya.
Kendaraan itu melaju kencang menembus kegelapan malam. Sepanjang jalan mereka terdiam dan tak saling berbicara sepatah katapun. Surti tak berani berkata-kata demi dilihatnya lelaki itu berwajah serius dan terlihat seolah memikirkan sesuatu. Satu jam kemudian kendaraan itu berhenti di sebuah tanah lapang. Berdua mereka turun dari kendaraan. Surti tak tahu ia sudah berada di mana. Gadis dusun itu tidak pernah ke mana-mana sedari kecil. Ia hanya hidup berdua dengan ibunya di kampung itu. Bapaknya sudah lama meninggal, ketika Surti masih berusia 4 tahun. Kakak lelakinya pergi entah ke mana dan tak pernah kembali lagi menengok dia dan ibunya. Bahkan Surti juga lupa seperti apa wujud sang kakak. Begitulah. Surti tak pernah pergi ke tempat yang lebih jauh dari kampungnya.
Berdua Surti dan Mitro menyusuri jalan setapak yang ditumbuhi ilalang cukup tinggi di bagian kanan dan kiri jalan. Di kejauhan sana ia melihat sinar lampu cukup terang dari sebuah rumah yang terletak di tanah lapang. Langkah kaki Surti kokoh nian mengikuti langkah Mitro yang berjalan cepat di depannya.
“Mau kemana kita Pak? Jangan jauh-jauh.............nanti aku susah pulangnya!” seru Surti.
“Nanti kan aku antar? Ikut aku dulu.....!” Mitro menengok dan berhenti sebentar.
“Tapi jangan macam-macam lo, Pak. Nanti aku lapor polisi.” suara Surti ketakutan. Ia ingin lari tapi jalan raya cukup jauh dari tempat itu. Apalagi ia juga tak begitu yakin apakah laki-laki ini jahat atau baik. Ia berkomat-kamit sendiri.
Dua hari yang lalu lelaki ini menyewanya. Tapi ajaibnya Surti tak disentuhnya sama sekali. Ia hanya disuruh mendengarkan semua cerita tentang mendiang ayahnya yang suka memukuli ibunya, tentang adiknya yang bekerja sebagai wanita pekerja malam kelas tinggi di ibukota dan sudah meninggal karena over dosis, tentang kekasihnya yang meninggalkannya dan menerima pinangan seorang taukeh pemilik toko bahan bangunan.
Jika dilihat-lihat, lelaki ini cukup gagah. Wajahnya putih bersih. Meskipun ia pekerja bengkel, tetapi perawakannya bukan seperti montir-montir pada umumnya. Hanya rambutnya saja yang terlihat agak ikal dan gondrong. Walaupun tampak kasar, kelihatannya ia orang terpelajar. Tapi Surti memang lugu dan tak bisa menilai. Berani berdiri memajang badannya buat lelaki hidung belang saja sudah merupakan hal yang luar biasa bagi Surti. Ia benar-benar nekat untuk itu.
“Assalaamu’alaikum..............Maaak.........??” Mitro sopan memanggil Emaknya.
“Alaikumsalam sudah pulang kamu Nak? Lilis mana? Ketemu nggak...??”
“Ayo tebak, ini siapa Mak? “ yang ditanya mengernyitkan alisnya. Ia menatap wanita muda di depannya. Bergantian perempuan tua itu menatap Surti dan kembali lagi menatap foto hitam putih di dinding. Wajahnya menampakkan raut bahagia. Ia memekik
pelan.
“ Lilis..............!!! “jeritnya. Ia ingin memeluk Surti. Surti tak menunjukkan reaksi apa-apa. Mitro merangkul bahu Emaknya.
“Anakku........Lilis....!” Si Emak sedih. Ia menangis memegangi tangan Surti yang berdiri mematung. Dirabanya wajah Surti, dibelai-belainya pipinya.
“Nah, Surti. Eh, namamu Surti ‘kan? Dengarkan, mengapa kamu aku bawa ke sini? Lihatlah foto itu. Kamu persis adikku yang meninggal karena overdosis.......” Mitro menjelaskan. Emaknya sibuk mengusap air mata, terduduk di sebuah kursi makan, tak mendengar perkataan Mitro. Surti menjadi rikuh dan tak mengerti harus berbuat apa. Ia memandangi foto itu lekat-lekat. Ia merasa seperti melihat dirinya di sana. Wajahnya bulat telur, berhidung bangir, dan bibirnya tebal berbentuk indah. Meskipun foto itu hitam putih, namun jelas Surti tahu ia berambut lurus dan panjang, sedangkan Surti berambut ikal tak beraturan.
“Jadi.........? Bapak ini tidak jadi make saya?” Surti bertanya polos.
“Betul sekali Surti! Aku tahu kamu orang baru disitu. Aku beberapa kali melewati tempat itu, dan kaget melihat adikku berdiri di situ. Tapi jangan kuatir. Kamu aku bayar.” Mitro menjadi lunak. Kali ini Surti tahu bahwa Mitro bukanlah orang jahat. Jadi ia merasa aman. Wanita tua yang dipanggil Emak masih duduk di kursi makan. Tertegun.
“Tapi.............aku harus berbuat apa Pak? ” Surti bertanya ragu sambil menatap wanita tua yang dipanggil Emak itu, sebagaimana Surti memanggil Emaknya sendiri. Emak menatap mereka berdua bergantian tak mengerti percakapan itu.
“Kamu tidak harus berbuat apa-apa, Surti. Aku menduga kamu adalah perempuan baik-baik. Kamu begitu kaku dan tak biasa bekerja begituan. Aku hanya ingin Emakku melihat kamu, Lilis, baik-baik saja.”
“Tapi....saya butuh uang untuk membayar hutang, Pak! Hutang saya banyak....” Surti hampir menangis. Terbayang wajah Wan Mahmud yang semula baik dan ramah tiba-tiba berubah bengis dan merongrongnya untuk segera membayar hutangnya.
“Hutang apa dan pada siapa? Kamu masih punya orang tua atau tidak?”
“Tidak, Pak.......Emak saya sudah meninggal 1 bulan yang lalu!” Surti mulai menangis. Matanya berkaca-kaca.
“Lalu hutangmu itu........hutang apa? Pada siapa?” Mitro tak sabar ingin tahu.
“Untuk melunasi biaya perawatan Emak saya waktu dirawat di rumah sakit.......” Surti menggigit bibir. Hidungnya kembang kempis menahan tangis.
Akhirnya Surti menceritakan semuanya dengan terbata-bata. Airmatanya mengalir deras, menganak sungai. Semua biaya perawatan Emak sudah dibayar oleh Wan Mahmud, lintah darat dikampungnya. Setiap pekan Surti wajib membayar hutang itu sebesar 200 ribu rupiah. Wan Mahmud tak mau tahu darimana Surti bisa mendapatkan uang itu. Hutang itu harus dibayar beserta bunganya. Meski ia sudah berusaha menjadi buruh cuci di siang harinya, tapi belum bisa mengumpulkan uang sejumlah 200 ribu pada akhir pekan. Itu sebabnya ia belajar bekerja begituan mengikuti jejak teman-temannya. Meskipun ia belum pernah mendapat pelanggan. Mitro menggeleng-gelengkan kepala mendengarkan cerita Surti. Si Emak hanya duduk dan menatap Surti yang dipanggilnya Lilis. Tangisnya mereda. Lilis tidak rindu pada Emak? Kenapa kamu diam saja Lis? Begitu batin Emak.
‘Nak......... Tinggallah di sini bersama Emak dan Mas mu. Jangan pergi lagi. Emak kangen sama Lilis. Jangan mau kerja begituan lagi, ya Nak.” Si Emak berkata lirih. Surti terdiam. Ia bingung kalau namanya harus diganti.
“Tapi........aku bayar hutang dari mana, Pak?” Surti bertanya pelan menengok Mitro. Ia tahu Emak tidak menyadari bisikan-bisikan itu. Pendengaran Emak kurang baik tampaknya.
“Gimana Mitro? Emak ingin dia tinggal di sini saja, jangan pergi ke Jakarta lagi.“ Emak bertanya pada Mitro yang tertunduk resah. Ia tahu Emaknya sangat kehilangan Lilis dan menderita malu akibat perbuatan Lilis di Jakarta. Mereka memilih tinggal di daerah itu, menyepi, menjauh dari tetangga dan omongan orang. Dengan kedatangan Surti, Mitro ingin bisa mengobati kesedihan ibunya yang seperti orang hilang ingatan. Selama ini Mitro tak pernah tega mengatakan yang sebenarnya tentang Lilis. Setiap hari Emak hanya mengusap foto Lilis dan menatap jalan raya mengharap kepulangannya. Dipandanginya wajah Emak yang tampak jauh lebih tua dari usianya. Emak tak pernah mau menerima kenyataan bahwa Lilis sudah di alam baka.
“Tapi kan yang penting Emak sekarang sudah tahu bahwa Lilis baik-baik saja. Lihat nih! Lilis sudah pulang. Ia ingin menengok Emak”
“Ya tapi Lilis nggak boleh pergi lagi, To....! Suruh adikmu itu tinggal di sini lagi.” Emak menangis lagi. Mitro menggigit bibir putus asa. Tentu sulit menyuruh Surti harus tinggal bersama mereka apalagi harus berganti nama menjadi Lilis.
“Mak.........apapun akan saya lakukan demi kebahagiaan Emak.” Mitro menyerah. Dipegangnya tangan Emak dan diciuminya berulang kali. Suaranya serak menahan tangis.
“Emak jangan khawatir. Lilis akan tinggal di sini lagi. Bagaimana Lis?” Mitro beralih menatap Surti yang tetunduk sedih.
“Saya malu, Pak......saya takut ....”
“Jangan panggil Pak lagi pada saya. Panggil saja Mas. Sekarang kamu tidur di sini, besok kuantar pulang untuk mengambil pakaianmu.” Mitro berkata tegas pada Surti. Tersirat kelegaan diwajahnya. Ia lega bisa mengobati kesedihan Emak.
Azan Shubuh baru saja usai. Surti mengintip Emak dan Mitro sholat berjama’ah. Surti merasa tak enak. Sudah hampir dua minggu ini dia tidak pernah sholat. Dipinjamnya mukena Emak. Kaku ia mengambil wudhu. Dicucinya wajah yang berlumuran bedak tebal itu. Wajahnya terlihat lebih segar dan cantik, persis seperti Lilis. Dengan gemetar ia memasang mukena itu. Ia ragu apakah Gusti Allah akan mengampuninya. Matanya sepat karena semalaman Surti tak bisa memejamkan matanya. Meskipun rumah ini terlihat indah, namun Surti merasa asing berada di sini.
“Lis.........habis sholat temani Emak masak nasi di dapur ya? Kamu belum lupa tugasmu kan? Bikinin nasi goreng untuk Masmu.” Emak berseru keras dari balik kamar.
“Iya, Mak.sebentar lagi!” Surti menyahut sambil melipat mukena. Hari itu ia merasa mendapatkan udara baru. Rasa pengapnya hilang......
* * *
Pukul sepuluh pagi itu, matahari tersenyum ceria menapaki pagi. Barulah jelas bagi Surti. Yang dilihatnya tanah lapang dipenuhi ilalang tadi malam, tak lain adalah kebun jagung milik Mitro. Tanah Mitro yang seluas itu ditanami jagung dan sebagian lagi padi. Rumah itu terlihat lebih megah dan indah di pagi hari. Mitro meluncur mengantar Surti pulang untuk mengambil pakaiannya dan menunjukkan rumah Wan Mahmud. Mitro ingin segera menyelesaikan urusannya dengan lintah darat itu.
“Hei, lintah darat keparat!! Berapa hutang Surti padamu? Kubayar lunas hari ini juga. Jangan pernah lagi kau ganggu Surti dengan tagihan hutangnya, mengerti??” Mitro berseru galak.
“Hai..........hutang nyawa dibayar nyawa, hutang duit dibayar duit? Surti dapat lelaki darimana? Wah, baru sebentar kerja gituan udah dapat pelanggan orang kaya.......” seringai Wan Mahmud menyebalkan.
Mitro ingin menonjok wajah lintah darat itu. Namun karena lelaki berpeci itu nampak lebih tua darinya, ia tahan kepalan tangannya. Surti mundur selangkah di belakang Mitro. Mitro mengeluarkan amplop dari balik jaketnya. Dilemparkannya amplop itu ke wajah Wan Mahmud keras-keras. Wan Mahmud berusaha menghindar, namun kalah cepat. Ia bersungut-sungut mengambil amplop itu di lantai. Sakit juga hidungnya terkena tamparan amplop itu.
Surti melangkah terburu-buru menuju rumahnya yang berjarak dua gang dari rumah lintah darat itu. Mitro mengikutinya. Ia mengeluarkan beberapa helai pakaian dari dalam lemari plastik yang beritsleting dan sudah robek tak bisa tertutup lagi. Ia memungut kresek hitam di atas tikar tidurnya dan memasukkan pakaian itu ke dalam kresek hitamnya. Rumah itu sungguh sempit dan berdebu. Di pojok langit-langit ruangan itu bertebaran sarang laba-laba. Beberapa lubang terdapat di bagian dapur yang berdinding bilik. Ia turunkan foto Emak waktu muda dulu, satu-satunya foto yang ia punya, dimasukkannya ke dalam kresek hitam yang berisi beberapa pakaian tadi. Surti menatap seluruh ruangan beberapa jenak sebelum menutup pintu rumah. Ia menghela nafas panjang, wajahnya terlihat hendak melepas ketegangan yang masih tersisa akibat pertemuannya dengan Mitro dan pertemuannya dengan Wan Mahmud tadi. Masa depan yang baru menghadangnya. Semua perasaan bercampur aduk di dadanya.
Siang itu juga mereka meluncur kembali ke rumah Mitro menemui Emak. Surti bahagia............sesungging senyumpun terukir di wajahnya yang tak berbedak lagi. Matanya terpejam kelelahan.. Mitro diam tak menoleh sambil mengendarai. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan yang juga akan dirasakan Emak nanti. Surti menggumam pelan, Ah...........sekarang aku berganti nama menjadi Lilis! Tak apalah, terserah Mas Mitro untuk mengatakan yang sebenarnya nanti, yang penting aku punya keluarga baru. Bisiknya pelan sepelan senandung dedaunan menyambut pagi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 28 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar