Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
Membandingkan novel Sitti Nurbaya dengan karya sastra yang terbit melampaui zamannya dari belahan bumi mana pun, tentu saja dibolehkan. Begitu juga tak ada undang-undang yang melarang mencantelkan tema atau konteks novel itu dengan kondisi sosio-budaya yang terjadi pada masa kini. Bukankah kita –masyarakat sastra—meyakini, bahwa begitu karya itu terbit dan kemudian menyebar ke khalayak pembaca, seketika pula ia bebas dimacam-macami. Pembaca punya hak penuh memperlakukannya sekehendak hati, termasuk dalam hal memaknainya.
Resepsi sastra memberi kunci pemaknaan pembaca atas karya sastra: pada zamannya (sinkronis) atau yang berkembang dari zaman ke zaman (diakronis). Dulu, pada awalnya, tema Sitti Nurbaya sering dikaitkan dengan persoalan adat dan kawin paksa. Tetapi, belakangan, tema itu dianggap sudah kuno, kedaluwarsa, dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Maka dicarilah relevansinya dengan persoalan pendidikan, nasionalisme, bahkan juga feminisme. Begitulah pemaknaan atas sebuah teks akan terus menggelinding menabrak berbagai persoalan sejalan dengan perkembangan zaman.
Meski begitu, kita dapat memaklumi jika masih ada yang berpandangan konservatif. Sitti Nurbaya dan novel sezamannya dianggap sudah tuntas menyelesaikan tugasnya, purnabakti, pensiun alias menjadi lasykar tak berguna. Inilah contoh yang baik dari sebuah taklid yang meyakini, bahwa kiblat pendekatannya adalah senjata pamungkas yang ampuh. Ia dipercaya dapat menyelesaikan segala persoalan teks. Benarkah teks itu sudah lengkap dan di sana pengarang menemui ajalnya (the death of author)?
Sesungguhnya pandangan sempit semacam itu telah mereduksi kekayaan makna teks. Karya sastra diperlakukan sebagai artefak narasi yang sudah selesai. Seolah-olah ia lahir tanpa proses, tanpa ada kaitannya dengan masalah sosio-budaya yang menempel dan menjadi kegelisahan pengarangnya. Masalah yang melatarbelakangi dan harapan yang melatardepani pengarang, seolah-olah perkara yang tak penting. Oleh karena itu, tidak perlu pula dimasalahkan.
Setiap pengarang, selalu punya pretensi, niat, bahkan juga harapan atas sesuatu yang tersimpan dalam karyanya. Pretensi itu tidak terlepas dari persoalan latar belakang budaya, lingkungan masyarakat, kepercayaan atau agama yang dianut, dan ideologi yang hendak diselusupkan kepada khalayak pembaca. Di situlah pentingnya memaknai teks berdasarkan konteksnya. Pemahaman aspek ekstrinsikalitas karya itu akan bermanfaat untuk menyelam lebih jauh dan menggerayangi segala kekayaan teks selengkapnya. Jadi penelusuran teks Sitti Nurbaya dan karya sastra lain yang terbit pada zamannya perlu siasat dan cara pandang baru. Hanya dengan itu, ia tidak bakal menjadi benda sejarah yang beku. Orang pun membacanya tidak perlu dibayang-bayangi perasaan menggigil.
***
Sitti Nurbaya adalah satu contoh kasus. Ia merepresentasikan ide pengarang atas problem zamannya. Lihatlah prototipe Datuk yang sesat (Datuk Meringgih) yang mengeksploitasi warga sepuaknya atas nama kekayaan. Bukankah manusia model itu berlaku sepanjang zaman? Tetapi, seburuk-buruknya seorang Datuk –meski tak jelas kebangsawanannya—masih punya kesadaran kultural. Tak kehilangan jati diri. Ia pun harus berjuang ketika hak ulayat diganggu gugat. Maka, sistem pajak (belasting) yang diberlakukan Belanda di Ranah Minang, dipandang akan menghancurkan sendi-sendi kultural. Itulah salah satu faktor pemicu terjadinya pemberontakan pajak.
Cermati juga ideologi yang ditawarkan Sitti Nurbaya atas marjinalisasi peran kaumnya dalam kehidupan masyarakat dan pendidikan. Bukankah semangat itu pernah dilontarkan Kartini dan kini jauh lebih semarak dimeriahkan berbagai lembaga yang hendak membela kaum perempuan? Apakah dengan begitu gagasan Kartini dan Sitti Nurbaya harus dipensiunkan juga?
Syamsul Bachri adalah produk yang lain lagi. Ia orang “udik” yang takjub pada modernitas. Si Malin Kundang yang menafikan ninik-mamaknya. Maka, jadilah Kapten Mas untuk menyempurnakan ketercerabutan pada kultur yang melahirkannya. Bukankah itu gambaran reinkarnasi Malin Kundang? Kematian Kapten Mas dan Datuk Meringgih adalah pandangan ideologis pengarang untuk tidak menyerahkan masa depan kepada generasi muda yang lupa akar atau kepada generasi tua yang serakah dan aniaya pada perempuan. Keduanya sama brengsek.
Apa makna teks itu dalam konteks zamannya? Di sinilah pentingnya cantelan teks dengan konteks. Dikatakan Sartono Kartodirdjo (1975: 82), sejak dinaikkannya pajak rakyat tahun 1919—1921, pemerintah Belanda berhasil mengeruk untung sebesar 24 juta gulden setahun. Jumlah itu naik menjadi 28 juta gulden tahun 1922. Tahun berikutnya naik lagi menjadi 32 juta gulden, dan tahun 1925 meraup 34 juta gulden. Kekayaan yang diangkut dari bumi Nusantara inilah yang mengangkat Ratu Wilhelmina sebagai ratu terkaya di dunia setelah Ratu Inggris, Elisabeth.
Apakah kekayaan itu membawa berkah bagi pribumi? Pemberlakuan politik etis hanya dapat dinikmati segelintir elite. Sementara itu, kondisi rakyat makin berat karena kewajiban menyerahkan sebagian penghasilannya. Keadaan itulah yang jadi pemicu pecahnya gerakan pemberontakan lokal, di antaranya terjadi di Cimareme, Jawa Barat; Toli-Toli di Sulawesi Tengah; dan Padang, Sumatra Barat; selain beberapa usaha pemogokan pegawai pegadaian dan buruh kereta api (Sartono Kartodirdjo, 1990: 61; Deliar Noor, 1980: 215).
Di Padang sendiri, sekitar tahun 1923—1924, terjadi pula protes terhadap usaha pemerintah Belanda yang hendak menyewakan tanah kepada rakyat yang diakui sebagai tanah milik pemerintah. Padahal, menurut adat Minang, tanah yang hendak disewakan itu merupakan tanah milik keluarga batih, ninik—mamak. Salah seorang pemrotesnya adalah Abdul Muis—pengarang novel Salah Asuhan.
Apa yang dilakukan para sastrawan kita ketika mereka dilanda kegelisahan atas nasib yang menekan bangsanya? Mengusung karya-karya propaganda atau tendensius, pastilah akan dijerat sejumlah peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Harus ada siasat lain untuk menyelimuti kritiknya atas politik kolonial. Bersamaan dengan itu, pemerintah –untuk melanggengkan kekuasaannya— tidak menutup mata pada perkembangan penerbitan ketika itu. Ia menyadari bahaya yang mungkin muncul dari buku-buku bacaan terbitan swasta.
***
Pertanyaannya: Bagaimana mungkin novel-novel Balai Pustaka menyerang kebijaksanaan kolonial, padahal lembaga itu didirikan justru untuk menerbitkan buku-buku yang dapat mengangkat citra Belanda sebagai mesias yang akan membudayakan pribumi? Di sinilah keunikan sastra. Di sini pula tercermin, bahwa sastra mengangkat semangat zaman, merepresentasikan kegelisahan ideologis. Mari kita periksa.
Keberadaan Balai Pustaka atau Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de volkslectuur) 22 September 1917 yang menggantikan komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berdiri tahun 1908, sesungguhnya sebagai realisasi politik etis Belanda. Ada soal politik di balik itu, di samping sebagai usaha membendung pengaruh bacaan yang diterbitkan pihak swasta. Secara sepihak pemerintah Belanda menyebutnya sebagai Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar.
Proses perjalanan novel Indonesia sesungguhnya dimulai lewat novel-novel yang diterbitkan pihak swasta. Sebutlah beberapa di antaranya, Hikayat Amir Hamzah (1891), Hikayat Njai Dasima (G. Francis, 1896), Hikajar Kadirun (Semaun, 1920), Hikayat Soedjanmo (Soemantri, 1924), dan karya para penulis Cina Peranakan. Mereka itulah yang merintis dan mengembangkan sastra (novel dan cerpen) Indonesia modern. Claudine Salmon (Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 1985) mengungkapkan keberlimpahan khazanah sastra Indonesia karya para penulis Tionghoa. Bahkan, tahun 1909 terbit sebuah kumpulan cerpen berjudul Boekoe Tiga Hikajat yang disunting Goan Hong. Sejauh pengamatan, inilah antologi cerpen pertama dalam sejarah cerpen Indonesia.
Karya-karya sastra terbitan swasta itu dianggap berbahaya. Faktor ini pula yang mendorong pemerintah Belanda mendirikan Balai Pustaka. Dalam konteks itu, sangat mungkin sastrawan-sastrawan Balai Pustaka menyerap juga pengaruh karya-karya yang diterbitkan pihak swasta itu.
Harus diakui, kita tidak dapat menafikan peranan penting Balai Pustaka bagi perkembangan sastra Indonesia. Tetapi tak adil jika kontribusi penerbit-penerbit swasta dihilangkan begitu saja. Bagaimana mungkin sastra Indonesia lahir tanpa sebab, tanpa pengaruh yang melatarbelakanginya? Pemerintah Belanda memang sengaja membangun citra bahwa peranan penerbit swasta sebagai “Saudagar kitab yang kurang suci hatinya, penerbit tidak bertanggung jawab, agitator dan karya-karyanya sebagai bacaan liar,“ tujuannya semata-mata politis. Citra itu kemudian dilanggengkan R. Roolvink yang mengusung istilah Roman Picisan. Dalam kondisi itu, A. Teuuw dan sejumlah pengamat sastra Indonesia nyaris tidak pernah membuka mata pada karya-karya itu. Lebih parah lagi yang dilakukan para guru di sekolah yang menjauhkan novel-novel itu dari materi pelajaran sekolah.
Dalam Balai Pustaka Sewajarnya 1908--1942, dinyatakan bahwa sejarah berdirinya Balai Pustaka banyak persamaan dan perhubungannya dengan riwayat pengajaran di Indonesia. “Asal mula mendirikan sekolah-sekolah di Jawa bukanlah karena hendak memberi pengajaran yang selayaknya kepada rakyat melainkan hanya akan memenuhi kebutuhan pemerintah di dalam soal pegawai negeri, dengan Putusan Raja tanggal 30 September 1848 No. 95, Gubernur Jenderal diberi kuasa: “akan mengeluarkan uang dari anggaran belanja Hindia, f25000,- banyaknya dalam setahun untuk belanja sekolah-sekolah buat orang Jawa, terutama akan mendidik mereka yang akan jadi pegawai negeri.”
Pendirian sekolah-sekolah semata-mata bertujuan demi mempersiapkan tenaga pegawai pemerintahan, dan bukan bermaksud hendak mencerdaskan bangsa pribumi. Sekolah itu dirancang untuk mencetak tenaga pribumi dalam rangka mendukung administrasi sederhana dan tenaga terampil yang dapat dipekerjakan di pabrik-pabrik. Sekolah-sekolah didirikan dengan mengikuti pola penyebaran gudang-gudang kopi dan pabrik-pabrik milik pemerintah. Tahun 1850-an, dua tahun setelah keputusan Raja 30 September 1848, dibangun 16 buah sekolah rakyat. Letak sekolah-sekolah itu tersebar di daerah-daerah gudang kopi pemerintah. Dengan begitu, pemerintah tidak akan kesulitan mencari tenaga yang cukup terampil yang juga dapat membaca dan menulis (dalam bahasa Belanda) sekadarnya.
Pada tahun 1907, atas prakarsa Gubernur Jenderal Van Heutz mulai dibangun sekolah-sekolah desa untuk tiga tahun pelajaran. Biayanya dibebankan kepada aparat desa setempat, termasuk biaya pembangunan sekolah dan gaji guru. Pemerintah bertugas mengawasi dan mengurus alat-alat pelajaran, terutama buku-buku pelajaran. Dalam kaitan itulah, perlu didirikan lembaga yang dapat menyediakan buku-buku pelajaran dan bahan bacaan. Itulah salah satu alasan didirikan Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat (Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuuur) tahun 1908.
Dr. D.A.R. Rinkes, Kepala Balai Pustaka pertama menyatakan: “…janganlah hendaknya kepandaian membaca dan kepandaian berfikir yang dibangkitkan itu menjadikan hal yang kurang baik … Hasil pengajaran itu boleh juga mendatangkan bahaya kalau orang-orang yang telah tahu membaca itu mendapat kitab-kitab dari saudagar kitab yang kurang suci hatinya dan dari orang-orang yang bermaksud hendak mengharu. Oleh sebab itu bersama-sama dengan pengajaran membaca itu serta untuk menyambung pengajaran itu, maka haruslah diadakan kitab-kitab bacaan yang memenuhi kegemaran orang kepada membaca dan memajukan pengetahuannya, seboleh-bolehnya menurut tertib dunia sekarang. Dalam usaha itu harus dijauhkan hal yang dapat merusakkan kekuasaan pemerintah dan ketentraman negeri.”
Atas pertimbangan politik itu pula, maka Balai Pustaka dan tugas yang diembannya, lebih banyak didasarkan pada usaha menjalankan kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda di bidang pengajaran. Untuk keperluan itu, Balai Pustaka menerapkan sejumlah syarat bagi naskah-naskah yang akan diterbitkannya yang bertujuan melegitimasi kekuasaan Belanda di tanah jajahan. Melalui politik asimilasi, pemerintah bermaksud “membelandakan” cara berpikir kaum pribumi. Ini sejalan dengan pandangan I.J. Brugmans (1987: 183) yang menyatakan: ”Peradaban “barat” harus menerobos masuk ke penduduk yang bukan Eropa.”
Dalam kaitan itu, isi buku-buku terbitan Balai Pustaka secara umum sejalan dengan politik kolonial dalam melegitimasi kekuasaannya. Novel-novel terbitan Balai Pustaka merupakan contoh yang baik mengenai masalah itu. Hampir semua novel terbitan Balai Pustaka selalu memunculkan tokoh orang Belanda sebagai mesias atau dewa penolong. Sementara tokoh pemimpin lokal, seperti kepala desa, pemuka agama atau haji, digambarkan sebagai tokoh kejam, serakah, tidak adil, dan fanatik.
Sekadar menyebut beberapa contoh, periksa novel Azab dan Sengsara (1920). Tokoh Baginda Diatas, kepala kampung yang terkenal dermawan, tiba-tiba bertindak tidak adil dengan memutuskan hubungan cinta anaknya, Aminuddin dan Mariamin. Sitti Nurbaya (1922) menampilkan tokoh Datuk Maringgih yang busuk dalam segala hal, mendadak menjadi kepala pemberontak yang menentang perpajakan. Ia kemudian mati di tangan Samsul Bahri (Letnan Mas) yang sudah menjadi kaki tangan Belanda.
Dalam Muda Taruna (1922) karya Moehammad Kasim dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro, tokoh-tokoh Belanda benar-benar tampil sebagai dewa penolong. Hal yang sama terjadi dalam Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Lebih jelas dalam Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis. Konon, dalam naskah aslinya, Corrie du Busse adalah perempuan Indo-Belanda yang kemudian mati lantaran penyakit kelamin. Dari sekitar 70 buah novel yang diterbitkan Balai Pustaka sebelum merdeka, semuanya tidak ada yang menampilkan tokoh Belanda yang berperilaku buruk. Termasuk juga dalam Hulubalang Raja (1934) karya Nur Sutan Iskandar yang bersumber dari disertasi H. Kroeskamp yang mengangkat peristiwa tahun 1665-1668 di Sumatera Barat. Pertempuran para raja dengan kompeni berakhir secara damai hanya karena adik perempuan Hulubalang Raja, Andam Dewi, sudah menjadi istri musuhnya, Raja Adil.
Gambaran intrinsik itu sangat berbeda dengan karya sastra yang diterbitkan pihak swasta. Tidak sedikit tokoh Belanda yang digambarkan sebagai pemabuk, pemerkosa, penjudi, dan keluar masuk rumah bordil. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda sering terlibat langsung, baik yang menyangkut penyensoran naskah --seperti yang terjadi dalam Salah Asuhan-- maupun penyebarluasannya. Maka dapat dipahami jika buku-buku terbitan Balai Pustaka sangat berpengaruh dan lebih mengakar dibandingkan buku terbitan swasta.
Meski Balai Pustaka mengusung politik kolonial Belanda, tak sedikit sastrawan Indonesia yang justru memanfaatkan keberadaan lembaga itu untuk kepentingan menyelusupkan ideologi kebangsaan. Mereka secara cerdik menciptakan tokoh-tokoh karikaturis, tetapi di belakang itu, tersimpan makna lain yang justru hendak memberi penyadaran atas keterpurukan bangsa ini di bawah politik kolonial.
***
Selain Sitti Nurbaya yang hendak menggugat sistem pajak, pendidikan, dan penganiayaan atas kaum perempuan, novel Salah Asuhan juga sebenarnya menggugat sistem stratifikasi sosial yang diberlakukan pemerintah Belanda. Secara tematis Salah Asuhan mempertegas tema novel-novel sebelumnya, Azab dan Sengsara dan Sitti Nurbaya. Ia tidak lagi terkukung pada masalah adat, melainkan pada hubungan Timur (Hanafi) dan Barat (Corrie). Selain itu, Salah Asuhan dapat dipandang sebagai kritik Abdoel Moeis atas politik pemerintah Belanda dan orang (-orang) yang membelanda yang lupa akar dan takjub pada modernitas. Gambaran Samsul Bachri melekat pada diri Hanafi yang juga menjadi Malin Kundang. Itulah keprihatinan pengarang pada golongan terpelajar yang melupakan tanggung jawab kepada bangsanya sendiri.
Pembicaraan Corrie dengan ayahnya, Du Bussee, jelas hendak mengangkat ketidakadilan yang berlaku di tanah jajahan. Jika lelaki Eropa (: Belanda) dapat begitu gampang memelihara istri-istri simpanan (nyai-nyai), lalu mengapa pula ada semacam larangan bagi lelaki bumiputra yang hendak mengawini wanita Eropa?
Alasan yang dikemukakan Du Bussee yang mengutip kata-kata Rudyard Kipling, “Timur tinggal Timur, Barat tinggal Barat, dan tidaklah keduanya menjadi satu” (hlm 27) sesungguhnya merupakan pembenaran pada ketidakadilan rezim penjajah. Menurut Kipling, imperialisme bagaikan agama; ia merupakan “kekuatan pembudaya” (civilizing force). Salah satu kewajiban imperialisme adalah membawa misi “membudayakan orang-orang pribumi”. Ia harus bertindak sebagai “mesias”, sebagaimana yang menjadi misi sistem pendidikan kolonial di tanah jajahan.
Tindakan Hanafi yang memandang rendah bangsanya sendiri, juga merupakan pantulan pandangan Belanda terhadap bumiputra. Demikian pula perlakuan tak adil yang dialami Hanafi dalam usahanya memperoleh pengakuan haknya sederajat dengan bangsa Eropa adalah ironi bahwa bumiputra di negerinya sendiri, harus susah payah mengurusi soal haknya sebagai manusia.
Pada masa itu, kedudukan pribumi (inlander) dicitrakan sebagai golongan masyarakat yang berada setingkat di atas lumpur. Di atasnya lagi, ada golongan bangsawan, bangsa Asia Barat, Asia Timur (Cina dan Jepang), Indo Eropa, Kulit Putih, dan paling atas bertengger Belanda. Stratifikasi sosial itu, menempatkan bangsa Belanda begitu superior dan agung, dan mencampakkan posisi pribumi berada dalam kasta paling nista. Pencitraan ini efektif, karena ia berpengaruh secara psikologis.
Masalah ketidakadilan bangsa Belanda itu, terutama dalam memandang rendah bangsa Timur, tampak pula dalam peristiwa di kereta api yang ditumpangi Hanafi. “Seorang penumpang sedang membaca sehelai surat kabar Belanda yang terbit di Betawi, yang sudah masyhur bencinya kepada Bumiputera. Surat kabar itu memperkatakan hal pertunangan seorang studen bangsa Indonesia (Moeis tidak menyebut bangsa Bumiputra; MSM) di Nederland dengan seorang nona, yang sama-sama menuntut ilmu di sekolah tinggi dengan dia. Bukan sedikit nista dan maki dituliskan oleh surat kabar itu terhadap kepada kaum Bumiputera yang terpelajar terhadap kepada ethischepolitiek …”
Begitulah, dalam banyak hal, Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan tersirat mengangkat perlakuan tak adil bangsa penjajah. Samsul Bachri dan Hanafi adalah simbol bumiputra –Si Malin Kundang—yang tercerabut dari akar budayanya. Gambaran itu berbeda dengan novel-novel terbitan di luar Balai Pustaka yang tersurat menampilkan potret zamannya. Lihatlah semangat asimilasi dalam Bunga Roos dari Cikembang karya Kwee Tek Hoay. Cermati juga otokritik Gouw Peng Liang atas ketersesatan Lo Fen Koei, si bandar opium.
Sesungguhnya, berbagai persoalan tentang kebangsaan, pendidikan, asimilasi (pembauran) dan semangat mengusung keindonesiaan yang multietnik, sudah tercatat dalam sejumlah besar karya sastra yang terbit pada masa lalu itu. Ide pambauran yang pernah diusung Orde Baru, misalnya, justru sudah diterjemahkan dengan sangat baik dalam novel-novel peranakan Tionghoa. Begitu juga tentang pentingnya pendidikan dan semangat multikultural, dapat dijumpai dalam novel-novel Balai Pustaka sebelum merdeka dan novel terbitan swasta karya pengarang peranakan Tionghoa. Oleh karena itu, yang kini perlu disikapi atas sejumlah novel masa lalu itu adalah membaca dan menafsirkannya kembali dalam perspektif keindonesiaan. Jadi, jangan sekadar konon menurut kata orang. Tidak percaya? Bacalah sendiri!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar