Rabu, 04 Agustus 2021

Laut, Komodo, Sastra

Agus R. Sarjono *
 
Lamensia dunung notang
Suwe santek bonga bintang
Pang bulan batemung mata
 
Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi dan cahayanya. Lalu bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hassanud­din sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing (tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokkan­nya dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana.
 
Penyair Hamid Jabbar dengan tubuh tua dan geloranya yang muda asyik bermain-main membikin sajak, sejumlah kata dipetiknya dari tepian kapal, dipilih, diputarbalik dan dibuangnya kembali ke lautan. Penyair Jamal D. Rahman di geladak itu pula. Tiduran. Sesekali menelentang memandangi awan, sesekali telungkup melirik laut. Ia tidak tidak punya jarak yang kelewat panjang dengan masa remajanya yang baru kemarin. Mungkin ia menyuruk jauh ke masa kanaknya, bermain ombak di lautan Madura. Masa kanak yang biru, tempat berdiam danau-danau keharuan. Sedang aku terduduk juga di situ. Disergap keindahan dan termangu. Seorang anak gunung yang tak punya pengalaman dengan laut. Maka laut tak memberi tambatan pada kenangan: sepenuhnya misteri dan pesona antara ngeri dan bahagia.
 
Labuan Bajo makin jauh saja dan kemudian tenggelam di balik langit. Di kiri kanan kapal tumbuh tebing-tebing batu yang gersang dan seksi. Jauh di sana adalah Loh Liang, yang populer dengan nama pulau Komodo. Ada sejumlah legenda dan cerita rakyat di sana. Aneh, aku justru teringat pada pelayaran Oddyseus saat pulang menuju Ithaca. Tebing batuan yang menjulang, debur ombak yang kadang besar, langit biru, dan awan samudra justru membawa ingatan pada kisah Yunani yang jauh di sana. Mungkin seharusnya aku mengenang kisah Hang Tuah atau pelayaran Malin Kundang. Tapi siapa bisa mengatur asosiasi dan ingatan. Atau mungkin karena kisah Yunani padat dengan cerita tualang dan sekaligus merupakan perjalanan pulang menuju keteduhan rumah yang dihadang banyak rintangan dan berma­cam hambatan. Sedang Malin Kundang berisi kisah anak desa melarat yang sukses menjadi kaya kemu­dian tampil menjadi OKB (orang kaya baru) yang malu mengakui ibunya. Sementara Hang Tuah mem­bawa ingatan akan pelayaran dari seorang teruna dalam menjalani diri sebagai abdi negara. Dan nega­ra, belakangan ini adalah sebuah urusan yang tidak menarik.
 
Jika kisah Yunani itu membawa epos agung, maka negara kerap lahir dengan kisah telenovela dengan tragedi yang dibuat-buat tapi terus berke­lan­jut­an, dengan banyak paman, adik dan ipar yang ge­mar kasak-kusuk, culas dan jahat. Kisah-kisah tidak logis dan tidak menggugah semacam itu, tentu tak ingin diingat pada sebuah perjalanan mengarungi lautan di sebuah tempat indah 23456 km dari Jakarta. Dari pusat kisah-kisah telenovela dengan derita berlarat-larat dan bahagia yang dibuat-buat. Dalam telenovela bernegara itu pula berdesakan para Malin Kundang yang mendadak kaya yang mengidap rendah diri akut sehingga habis-habisan membung­kus diri dengan mobil mewah, setelan mewah, rumah mewah, namun dengan pikiran, jiwa, cita rasa, dan martabat yang compang-camping. Dengan kemewah­an kagetan itulah mereka mondar-mandir di depan hidung ibunya sambil menghinakannya.
 
Maka aku kembali mengenang Oddyseus yang baru usai berperang melawan Troya dengan penuh martabat, mengatasi rintangan perjalanan dengan penuh martabat, dan pulang ke rumah dengan penuh martabat pula. Mungkin itu sebabnya mengapa umumnya epos-epos Yunani menjadi epos besar, dan tragedi-tragedinya menjelma tragedi agung. Pada tragedi Yunani, tokohnya menjalani hidup dengan penuh martabat dan integritas, tak putus-putus berupaya menghindari malapetaka untuk menemu­kan akal sehat dan cahaya bagi manusia dan kemanu­siaan.
 
Oedipus, misalnya, begitu mendengar ramalan bahwa dirinya akan membunuh ayah dan menikahi ibu –sebuah tindakan yang merusak martabat kema­nusia­an– tanpa banyak pikir dia meninggalkan istana –yang dalam definisi Indonesia adalah pusat kekuasa­an, kemewahan dan hidup berkecukupan– tidak lain tidak bukan untuk mengindarkan diri dari bertindak lalim. Ia kemudian menjadi raja karena berhasil mele­paskan negeri itu dari wabah dan malapetaka. Sele­bih­nya adalah takdir yang keras. Hantaman telak pada keterbatasan daya manusia. Oedipus tanpa se­nga­ja membunuh ayah dan menikahi ibunya –ban­ding­kan dengan Malin Kundang yang dengan sengaja dan sadar menghianati ibunya. Begitu Oedipus tahu kesalahannya, tanpa banyak pikir ia meninggalkan ista­na dan menusuk kedua matanya menjadi buta.
 
Istana yang menjadi dambaan alam pikir Jawa dan Indonesia remeh belaka di mata para pahlawan Yu­nani dibanding martabat manusia. Sementara mar­tabat manusia remeh belaka di mata budaya Nusan­tara yang adiluhung luhur tanpa tanding dibanding kur­si kekuasaan dan istana. Maka kutepiskan saja ki­sah-kisah leluhur yang memalukan dan menjelma men­jadi kenyataan di pusat-pusat kekuasaan masa kini itu. Akupun tetap membayangkan diri serupa Oddyseus. Tapi tak ada monster dan dewa-dewa yang mengganggu perjalanan kami. Dan kami segera sampai ke Loh Liang dan disambut oleh Komodo dengan liur yang bertetesan mencium bau darah. Tapi komodo bukan monster dalam kisah Yunani, melain­kan komodo saja, yang meski ganas tapi lebih tahu batas di banding manusia Indonesia yang luhur ber­pan­casila. Bahkan penyair Taufiq Ismail yang adalah dokter hewan segera bisa menandai seekor komodo yang sakit lalu memegang-megang ekornya. Hampir saja dia mencoba membuka moncong komodo untuk memeriksa lidah dan matanya supaya dapat mem­beri­kan diagnosis yang tepat. Untung pawang komo­do segera mencegahnya, sebab siapa tahu Komodo itu salah duga dan menganggap penyair Taufiq Ismail bu­kan sebagai dokter yang sedang memeriksa kese­hat­an­nya, melainkan sarapan paginya yang istimewa.
 
Malam tiba. Sekumpulan babi hutan melintas di muka bilik kami. Jamal D. Rahman dengan riang mengambili buah asam dan memakannya sambil tak habis-habisnya mengagumi pohon siwalan masa kanaknya. “Yang itu pohon lontar. Habis berbuah pohon itu mati. Kalau dia hidup terus, berarti dia tidak berbuah”, ucapnya berlagak ahli. Esoknya kami tahu, bahwa di kampung nelayan Komodo, agak jauh dari Loh Liang, sama sekali tak ada dermaga. Jadi para nelayan kesulitan untuk menaik­kan dan menurunkan muatan dan hasil laut. Bela­kang­an kami tahu, banyak benar desa-desa nelayan yang tak memiliki dermaga. Negeri bahari yang luar biasa bukan? Tapi saya kira itu disengaja, agar para Malin Kundang yang sukses itu punya alasan untuk tidak pulang.
 
Sekembalinya ke Labuan Bajo kami mendengar berita para pekerja Indonesia dicambuki negeri te­tang­ga. Kamipun kemudian mencari penginapan de­ngan diam-diam. Tapi tetap saja ada yang mengenali kami dan langsung menyapa: “Bapak para sastrawan ya?”. Dengan malu kami jawab pertanyaan itu dengan “stttt”, lalu menghilang ke kamar masing-masing. Bagaimana lagi. Kami adalah sastrawan dari sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami akan bertemu dengan siswa-siswa SMU negeri yang rakyatnya dicambuk orang. Kami nyatalakan TV. Di sana, kami lihat presiden yang rakyatnya dicambuki orang, para menteri dari negara yang rakyatnya di­cam­buki orang, wakil-wakil rakyat dari rakyat yang dicambuki orang –tanpa cita-cita untuk mewakili rakyat menerima cambukan. Lalu lagu-lagu dari pe­nya­nyi sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami tidak tahan. Kami matikan TV dan ter­mangu.
 
Aku menangis diam-diam. Tengah malam aku keluar sendirian menuju pantai. Terkenang sekilas gadis Sumbawa berkulit anggur pegunungan yang membisikkan lawas di atas: “Jika kau rindu padaku/ Sibak atap pandang bintang/ Di bulan bertemu pandang. Dan rembulan bersinar dengan megahnya. Jajaran nyiur dan ombak yang berdebur pelan bagai dengkur perempuan sehabis persetubuh­an membikin malam menjadi hening, dan suci, dan kudus. Aku beringsut pelan-pelan, kembali ke kamar, tak sanggup menghadapi kesyahduan malam, tak mampu menerima bentangan keindahan dari sebuah negeri elok yang rakyatnya dicambuki orang.
***

*) Agus R. Sarjono, lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962. Namanya dikenal sebagai penyair, dan penulis esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Alamat blognya agusrsarjono.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2021/08/laut-komodo-sastra/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati