Jumat, 06 Agustus 2021

KEHADIRAN APRESIASI SASTRA (8)

Djoko Saryono
 
/0/
Kita bisa mendapatkan tiga keberadaan atau kehadiran apresiasi sastra. Pertama, ada umumnya kita merasa yakin bahwa sesuatu yang dinamakan apresiasi sastra itu hadir secara substansial dan mandiri walaupun kita belum mengetahui sosok dan jati  dirinya secara tegas. Kedua, pada umumnya kita merasa yakin bahwa apresiasi sastra berbeda dan dapat dibedakan dengan, misalnya, kritik sastra dan penelitian sastra. Kemudian ketiga, apresiasi sastra merupakan sosok tersendiri dalam dunia (penghadapan) sastra atau dunia penggaulan sastra yang harus diakui dan diabsahkan. Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya in abstracto atau by concept apresiasi sastra hadir secara substansial dan mandiri dalam dunia (penghadapan) sastra. Hal ini membawa risiko bahwa kehadiran apresiasi sastra harus diterima sebagai fakta walaupun secara operasional kita masih sukar menemukan sosok dan jati dirinya.
 
Pengakuan kehadiran apresiasi sastra tersebut lebih lanjut menimbul¬kan persoalan. Persoalan yang dimaksud bersangkutan dengan latar belakang keberadaan atau kehadirannya. Mengapa apresiasi sastra hadir dalam dunia (penghadapan) sastra? Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong kehadiran apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra? Secara dikotomis faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu (i) pendorong internal atau endogen, dan (ii) pendorong eksternal atau eksogen. Berikut ini dipaparkan kedua pendorong ini.
 
/1/
Yang dimaksud dengan faktor pendorong internal ialah faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang berasal dari karya sastra sendiri. Karya sastra memiliki kemampuan atau daya untuk ”memaksa atau mengharuskan” manusia atau masyarakat sastra untuk menggauli dan menggumulinya. Dalam hubungan ini karya sastra diperlakukan sebagai sosok hidup yang memiliki daya-diri untuk mengatur dirinya sendiri dan ”memikat” orang untuk menggauli dan menggumulinya, bukan sekadar barang mati (artefak) yang hampa daya yang dilecehkan oleh banyak orang.
 
Sebagai sosok yang hidup, dengan daya-dirinya sastra mampu mengembangkan dirinya sendiri. Sastra selalu gesit dan dinamis berkem¬bang menyertai sosok-sosok lainnya, misalnya politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan. Malahan karya sastra sering berkembang melesat mendahului dan meninggalkan semuanya. Karena itu, sastra mampu lebih dahulu mengintroduksi dan menyuguhkan sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya. Sistem berpikir dan pandangan hidup eksistensialisme, universalisme, kosmopolitanisme, dan pascamodernis¬me pertama-tama diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra. Pascamoder¬nisme yang sekarang mulai populer dan merasuk ke berbagai bidang diintroduksi dan disuguhkan oleh (dunia) sastra. Bahkan pandangan hidup Pancasila sudah diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra jauh sebelum sosok lain memikir¬kannya. Betapa tidak! Manifes Kebudayaan yang dilarang oleh rezim Soekarno, pada tahun 1963 sudah mencanang¬kan asas tunggal pandangan hidup yang berbunyi Falsafah kebudayaan kami Pancasila, sedangkan politik dan lain-lainnya baru mencanangkan¬nya pada pertengah¬an dasawarsa 1980-an pada masa rezim Soeharto. Hal ini menunjukkan bahwa sastra memiliki kemampuan sebagai pioner dalam kehidupan manusia.
 
Dengan daya-dirinya pula sastra mampu membangun, mendirikan, dan menegakkan dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia sosial, dunia ekonomi, dunia politik, dan dunia empiris lain. Dalam perjalanan hidup sastra dan manusia, tampak jelas bahwa sastra telah membangun dunia khas sastra yang kontempaltif, religius, imajinatif, ilahiah, penuh damai, penuh kejujuran, penuh kearifan, penuh teladan, dan sebagainya. Dunia seperti ini memberikan kenyamanan psikologis dan batiniah kepada manusia. Manusia dibebaskan dan dilepaskan dari kekerasan, kecurigaan, kemunafikan, kebohongan, kepura-puraan, kedengkian, kecemburuan, ketamakan, dan kesombongan, serta kecongkakan. Manusia dikembalikan kepada kesahajaan, kearifan, kebijakbestarian, ketenangan, kewaskitaan, kesigapan, dan kekhusukan. Manusia dibimbing untuk melihat wajahnya sendiri, wajah saudara-saudaranya, wajah teman-temannya, dan wajah manusia lainnya. Manusia dibimbing ke arah hablum minannas dan hablum minallah. Manusia dipandu menuju dunia penuh rahmatan lil alamin yang menyejukkan dan asri. Jadi, dunia sastra mampu mengembalikan manusia kepada hakikatnya sebagai hamba dan khalifah Allah (duh terpeleset gaya kotbah!)
 
Selain daripada itu, sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua peristiwa dan pengalaman yang empiris-natural maupun peng¬alaman yang nonempiris-supernatural; baik pengalaman res extenza maupun res cogitans. Dengan daya-dirinya malahan sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman sedih, gembira, menyenangkan, mengha¬rukan, mengerikan, kejam, sadis, dan sebagainya terekam, tersimpan, dan terawat dengan baik dalam sastra. Bacalah Doktor Zhivago (Boris Pasternak), Max Havelaar (Multatuli), Madame Bovary (Faulbert), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Bumi Manusia (Pramu¬dya Ananta Toer), Para Priyayi (Umar Kayam), Maut dan Cinta (Mochtar Lubis), Robohnya Surau Kami (A. A. Navis), Godlob (Danarto¬), Javid Namah (Muhammad Iqbal), Lelaki Tua dan Laut (Ernest Hemingway), Musyawarah Burung-burung (Fariduddin Attar), Sang Nabi dan Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran), Anna Karenina (Leo Tolstoy), dan Keindahan dan Kepiluan (Kawabata Yasunari) serta trilogi Oeidipus di Colonus, Oedipus Sang Raja, dan Oeidipus Berpulang (Sopochles) niscaya Anda akan menemukan peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang demikian beraneka ragam. Peristiwa dan pengalaman itu akan mengiankemarikan, mengharubirukan, membasahsejukkan, dan memekatajamkan nurani dan budi Anda!
 
Sejalan dengan itu, sastra juga mampu menawarkan dan menyuguhkan beraneka ragam pengetahuan. Sudah tentu pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya berbeda dengan pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkan oleh ekonomi, politik, sosial, dan sejenisnya. Pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya bukanlah pengetahuan keilmuan (yang dikemas dalam bahasa proposisional-jinak-kering, sistematika rasional dan bernalar, dan gaya yang hampir-hampir kaku sepenuhnya), melainkan pengetahuan khas sastra (yang dikemas dalam bahasa intensional-liar-penuh kemungkinan dan tafsiran, sistematika tekstural atau struktural yang memikat, dan gaya naratif-metaforis yang memikat). Pengetahuan khas sastra yang dimaksud adalah pengetahuan yang hidup, bagai bernapas, dinamis, dan terus bergerak yang harus ditangkap sendiri oleh manusia untuk dipenjarakan dalam nurani dan budinya. Bacalah karya-karya sastra yang sudah disebutkan di atas, niscaya akan dapat ditemukan, ditangkap, dan direbut beraneka ragam pengetahuan; pengetahuan literer, religius, etismoral, sosial, politis, psikologis, filosofis, dan sebagainya. Kadarnya tentu saja bergantung pada kadar perjuangan kita dalam menemukan, menangkap, dan merebutnya karena sastra memang tak menyuguhkan pengetahuan jadi kepada kita. Bukan pengetahuan siap-pakai yang disuguhkan sastra. Sastra mempunyai kemampuan khas dalam menyuguhkan pengetahuan kepada manusia.
 
Dengan pengalaman-pengalaman kemanusiaan dan pengetahuan-pengetahuan yang terdapat di dalamnya, sastra juga mampu menepuk dan mengingatkan manusia dari jalan tak semestinya. Sastra yang baik (dalam arti ditulis dengan penuh kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani dan budi manusia) selalu mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke jalan semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas kehidupannya. Karena itulah sastra mampu menjadi pemandu jalan menuju kebenaran hakiki. Sastra merupakan jalan ke empat menuju kebenaran, demikian dikemukakan oleh Prof. Dr. A. Teeuw, pemerhati dan pakar sastra Indonesia dari Belanda. Max Havelaar (Multatuli) telah mengingatkan dan menyadarkan kita akan adanya ketidakadilan dan kebobrokan sistem sosial dan hukum dalam praktik-praktik kolonialisme Belanda. Robohnya Surau Kami (A.A.Navis) mampu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa beribadah kepada Allah bukan hanya shalat di tempat-tempat ibadah, melainkan juga harus bekerja dan berhubungan dengan orang lain.
 
Sysiphus (Albert Camus) mampu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa bagaimanapun berat dan sia-sianya tugas dan pekerjaan kita, kita tak boleh mengabaikannya dan harus terus mengerjakannya. Kita diberi tuntunan agar mengerjakan apa yang memang seharusnya kita kerjakan, bukan hanya mengerjakan apa yang kita senangi. Javid Namah (Muhammad Iqbal) mampu menyadarkan kita bahwa manusia bukanlah sekadar makhluk badani yang fana, namun lebih dari itu, manusia adalah makhluk rohani yang abadi yang bisa mengembara ke alam adikodrati (supernatural), bertemu dan berbicara dengan manusia-manusia (yang kita putuskan) sudah mati. Pendek kata, sastra merupakan jalan sekaligus mata air kebenaran yang – dengan hikmah-hikmahnya – senantiasa mengingatkan dan menyadarkan manusia agar hidup lebih baik, benar, dan direstui oleh-Nya.
 
Tanpa harus mendedah dan memaparkan seluruh kemampuan yang oleh dimiliki oleh sastra, dengan kemampuan-kemampuan sastra yang dipaparkan tersebut di atas kita sudah bisa memahami bahwa sastra mempunyai kemampuan-kemampuan yang menghidupi dirinya dan dimanfaatkan untuk berdialog dengan manusia. Itulah sebabnya sastra mampu hidup terus-menerus sepanjang sejarah manusia, tak pernah mati. Fenomena ini menyebabkan manusia senantiasa ingin berinteraksi dengan sastra. Keinginan ini lebih jauh menimbulkan hubungan dialektis antara manusia dan sastra. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra.
 
/2/
Yang dimaksud dengan faktor pendorong eksternal di sini ialah faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra yang ada di luar karya sastra. Pengertian di luar karya sastra ini bisa berarti dalam pribadi atau diri manusia dan/atau institusi yang diciptakan oleh manusia. Dalam hubungan ini ada dua hipotesis. Pertama, bahwa manusia memerlukan sastra karena sastra dapat memenuhi keperluan hidupnya. Kedua, manusia menciptakan institusi-institusi tertentu untuk mewadahi keperluannya akan sastra. Institusi-institusi tertentu ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya sesuatu yang bersangkutan dengan sastra. Dengan demikian, sekali lagi, faktor pendorong eksternal kehadiran apresiasi sastra dapat berasal dari diri manusia dan institusi yang diciptakannya.
 
Sudah sejak lama para filsuf dan ilmuwan, misalnya Ernst Cassirer, Johan Huizinga, dan Muhammad Iqbal, mengingatkan bahwa manusia bukan hanya homo faber, homo economicus, dan animale rationale, melainkan juga homo ludens, homo fabulans, dan animal symbolicum. Karena itu, manusia tak hanya memerlukan kerja, makan, minum, mencari rezeki, dan semacamnya, tetapi juga memerlukan bermain, tertawa, bercerita, merenung, dan semacamnya. Bukan hanya badannya yang memerlukan santapan, tetapi juga sosok rohaninya memerlukan siraman. Bukan hanya tubuh, tulang belulang, daging-tulang, dan otot-ototnya saja yang harus dijamu dengan aneka ragam makanan, melainkan juga jiwa, nurani, dan budinya harus diguyur oleh berbagai ”kesejukan”. Dengan demikian, secara dikotomis dapat dikatakan bahwa manusia memerlukan hajat hidup badani dan hajat hidup rohani.
 
Agar dapat berkembang dan hidup dengan baik, lengkap dan laras, setiap hari manusia perlu memenuhi hajat hidup badani dan rohaninya. Hajat hidup badani dapat dipenuhi oleh nasi, air, roti dan sebagainya, sedangkan hajat hidup rohani tidak. Hajat hidup rohani hanya dapat dipenuhi oleh ajaran agama, cerita-cerita pengalaman manusia, imaji-imaji tentang berbagai realitas hidup, dan sejenisnya. Dalam hubungan inilah sastra dapat mengambil tempat, karena sastra merekam, menyimpan, dan merawat keperluan-keperluan hajat hidup rohani tersebut. Di dalam sastralah manusia dapat menemukan pengalaman-pengalaman kemanusiaan, imajinasi-imajinasi, dan sejenisnya untuk memenuhi hajat hidup rohaninya sehari-hari. Dalam fungsi seperti ini sastra dapat dianggap sebagai perkara sehari-hari yang tak beda dengan nasi, air, dan jajan. Sastra, nasi, air, dan jajan setiap hari sama-sama memenuhi hajat hidup manusia.
 
Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya manusia tak dapat dilepaskan atau terlepas dari sastra. Senantiasa manusia merasa perlu berinteraksi dengan sastra; setiap hari rasanya manusia butuh sastra meskipun kebutuhan ini sering dihadang oleh kendala-kendala sosial ekonomis dan persoalan-persoalan lain. Namun, jelas, dalam rohaninya selalu bergema kebutuhan akan sastra karena tanpa sastra ketandusan dan kekeringan rohani bisa terjelma. Tak mengherankan, masyarakat kita berduyun-duyun senang menonton wayang semalam suntuk meskipun esoknya harus bekerja. Tak mengherankan pula di dalam masyarakat kita tumbuh subur kegiatan-kegiatan berinteraksi dengan sastra. Hal ini bisa dilihat dalam tradisi mocopatan di Jawa, mabebasan di Bali, berbalas pantun di Sumatra, parikan di Jawa Timur, dan sebagainya. Selain itu, perhatikan pula perilaku orang-orang di terminal, stasiun, dan toko-toko buku. Mereka sering membaca buku-buku sastra dan/atau membolak-balik buku sastra.
 
Demikian pentingnya sastra dalam hidup manusia membuat manusia memasukkan sastra ke dalam institusi-institusi yang diciptakannya. Institusi-institusi pendidikan Indonesia, mulai jenjang terendah sampai jenjang tertinggi, memasukkan sastra ke dalamnya. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah, bahkan pendidikan tinggi mencantumkan” pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia. Mau tak mau institusi tersebut harus menyediakan prasarana dan menciptakan kegiatan yang dapat menunjang keberhasilan ”pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia. Buku-buku sastra, majalah-majalah sastra, lomba baca puisi dan cerpen, dan sebagainya kemudian diciptakan oleh berbagai institusi pendidikan di Indonesia.
 
Selain daripada itu, institusi-institusi sosial juga menaruh perhatian besar terhadap sastra. Berbagai institusi sosial justru menaruh perhatian khusus terhadap sastra. Di Indonesia tumbuh subur Dewan-dewan Kesenian, Taman-taman Budaya, dan Sanggar-sanggar Seni, misalnya Dewan Kesenian Jakarta, Taman Budaya Padang, Sanggar Bambu Yogyakarta, dan Pelangi Sastra Malang yang mengayomi dan menghidupi kesenian termasuk sastra. Wujud pengayoman dan penghidupan ini berupa berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan seni khususnya sastra, misalnya diskusi dan sarasehan sastra. Tumbuh subur juga di Indonesia pelbagai kelompok studi sastra dan dokumentasi sastra, misalnya Kelompok Studi Sastra Tegal, Himpunan Pekerja Seni Malang, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin, dan Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. Berbagai institusi sosial yang khusus sastra ini tentu saja secara ajek dan intensif melakukan kegiatan-kegiatan yang berurusan dengan sastra, misalnya dialog kesusastraan, sarasehan sastra, dan lomba baca sastra. Semua kegiatan yang dilakukan oleh institusi sosial tersebut selanjutnya mendorong kita untuk merenungkannya dan kemudian menamakannya apresiasi sastra.
 
Bersambung 9

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. http://sastra-indonesia.com/2021/08/kehadiran-apresiasi-sastra-8/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati