Selasa, 25 Mei 2021

Sastra Indonesia Menutup Abad

Dari Madura ke Pergaulan Dunia
 
Agus R. Sarjono
kompas.com
 
SEBAGAIMANA banyak segi dalam kehidupan di Indonesia, sastra pun memiliki kecenderungan kuat untuk serba memusat. Kecenderungan berkiblat ke pusat itu terlihat dalam banyak segi, baik segi tematik maupun estetik. Tema-tema protes sosial, misalnya, digarap dan ditulis sebagai reaksi dan tanggapan terhadap persoalan-persoalan yang hidup di pusat pemberitaan.
 
Padahal, persoalan-persoalan sosial-politik-budaya bertebaran di berbagai pelosok Indonesia dan sering kali memiliki kekhasan persoalan, keluasan tantangan, serta menuntut pemecahan dan pendekatan sendiri-sendiri. Kesempitan ekonomi yang dialami masyarakat urban dengan kesempitan ekonomi yang dialami masyarakat desa atau pengungsi tentunya berbeda. Problem budaya yang dihadapi masyarakat agraris dengan masyarakat pantai/nelayan juga tidaklah sama. Bahkan, pandangan dan penghayatan suatu kebudayaan terhadap cinta, perkawinan, dan religiusitas tidak sama dengan pandangan dan penghayatan kebudayaan lain.
 
Sementara itu, berbagai pencapaian sastra yang dilahirkan di banyak wilayah Indonesia, terutama di kota-kota, cenderung terserap oleh tema-tema dan persoalan umum sebagaimana diberitakan dan ditampilkan secara nasional melalui TV dan koran-koran. Kecenderungan ini akan membawa sastra ke wilayah yang serba umum, sehingga persoalan-persoalan sosial yang dijadikan tema sastra pun cenderung diangkat ke tingkat umum. Karena permasalahan yang digarap merupakan masalah umum-bukan masalah yang dekat dengan pengalaman konkret sastrawan, juga bukan permasalahan yang benar-benar menjadi bagian dari kecemasan hidup dan kegelisahan eksistensialnya-maka kedekatan sang sastrawan terhadap tema, masalah, dan pokok persoalan yang akan ditulis dan ditanggapinya melalui sastra pun menjadi serba umum dan kehilangan detail. Padahal, detail yang menentukan kualitas dan kemantapan suatu karya sastra.
 
Kecenderungan berkiblat pada pusat ini terlihat pula dari trend pemikiran dan penghayatan filosofis yang mendasari penciptaan sastra. Ketika pemikiran eksistensialisme menjadi mode dan bahan pembicaraan di berbagai forum (dan media) di pusat, segera saja trend ini merembes dan menjalari banyak sastrawan di pelosok Indonesia. Ketika sufisme dan sastra sufi sedang in dan ramai didiskusikan di forum dan media pusat, ramai pulalah sastrawan dari berbagai pelosok Indonesia sibuk bersufi-sufi. Hal yang sama terjadi pula ketika postmodernisme sedang merajalela di banyak forum dan media pusat, gelombang penulisan sastra yang ke-“postmo-postmo”-an menjadi wabah di mana-mana. Dalam seni rupa mudah sekali kita rasakan bagaimana instalasi-seperti juga burger dan ayam goreng Amerika-segera menjadi trend sampai ke desa-desa. Dan dari mana para pemikir dan sastrawan pusat itu berbelanja? Tidak lain tidak bukan dari mode yang sedang trend di Eropa dan Amerika. Tidak jarang mereka pun berbelanja secara cicilan, sehingga sering tidak lengkap dan terlambat pula.
***
 
KECENDERUNGAN yang sama bukan hanya terjadi di tingkat tema dan persoalan, melainkan juga di tingkat estetika. Tidak sulit bagi kita untuk mencium aroma para pendekar utama sastra di pusat dalam berbagai pencapaian sastrawan di berbagai pelosok Indonesia. Kerumitan dan gaya bersajak Afrizal Malna di Jakarta, misalnya, segera saja diadopsi dan menjadi bagian pada penciptaan sajak hingga ke pelosok Gunung Kidul dan Palembang sana. Gaya bersajak yang nglangut dan memanfaatkan berbagai globalisasi nilai dengan penggunaan bahasa yang purba pada Goenawan Mohamad ternyata juga diteladani dan merembes banyak sastrawan hingga ke Banyuwangi, Bali, dan berbagai pelosok Indonesia.
 
Tentu saja hal serupa terjadi pada estetika dan gaya bersastra Rendra. Tak lama setelah Rendra sukses besar dengan pementasan Oedipus, Arifin C Noer mencatat maraknya penggunaan grand style Yunani dalam banyak garapan teater di daerah-daerah. Bahkan, pementasan drama Malam Jahanam yang realis pun dipentaskan dengan gaya babad seperti yang dilakukan Rendra. Tidak sulit pula menemukan ramainya penggunaan gaya Teater SAE di banyak pelosok Indonesia sepanjang penghujung 1980-an dan awal 1990-an.
 
Tidaklah mengherankan jika kemudian kecenderungan pemikiran eksistensialisme, postmodernisme, nouveau roman Perancis, surealisme, absurdisme, dan sebagainya yang hidup dan dimamah di forum dan media pusat segera menjadi bagian yang akrab dan menjadi bagian penting pula dalam kehidupan sastra di berbagai belahan Indonesia. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara seorang penyair asal Cianjur, misalnya, dengan penyair Banyumas, Cirebon, Tegal, Semarang, Madura, Bali dan sebagainya. Jika berbagai penyair dengan berbagai sajaknya itu dipertukarkan dan dipisahkan dari asal dan tempat mereka tinggal, niscaya tidak ada perbedaan signifikan di antara mereka.
 
Salah satu penyebab utama kecenderungan ini tentu saja adalah pembangunan Indonesia yang serba memusat. Namun, ada sebab lain yang tak kalah pentingnya, yakni terbatasnya wilayah tematik yang dapat dan boleh digarap oleh para sastrawan Indonesia. Sudah cukup lama dunia kesenian umumnya, dunia sastra khususnya, ditekan dengan berbagai pembatasan baik eksplisit maupun implisit. Salah satunya adalah kecenderungan untuk menabukan dunia sastra menampilkan berbagai segi baik dan buruk dari bermacam sektor masyarakat, seperti dunia pengusaha, militer, guru, tokoh masyarakat, ulama, dan sebagainya.
 
Dengan begitu, persoalan-persoalan peka yang hidup di sekitar para sastrawan tidak membuat mereka tergoda untuk menuliskannya secara detail. Ada godaan untuk berpaling dari kenyataan keseharian yang mereka hidupi lantas menengok kenyataan diskursif yang mengemuka di pusat Indonesia dengan gaya dan pengungkapan yang cenderung tergoda oleh estetika yang juga hidup di pusat.
 
Jika pun ada perlawanan terhadap pusat, maka perlawanan tersebut lebih merupakan perlawanan struktur kelembagaan dan perlawanan manajerial. Ada kecenderungan untuk memperlawankan (membuat dikotomi) pusat-daerah sebagai sebuah tindakan politis kelembagaan, dan bukan perlawanan estetis dan kesadaran. Maka berbagai kegiatan besar yang bernuansa dan bercita rasa pusat pun digelar di berbagai kantung dan pelosok Indonesia dengan gaya Jakarta dan lahir untuk bersaing secara dikotomis dengan lembaga-lembaga pusat. Namun, kegiatan-kegiatan semacam itu ternyata lahir dari kesadaran dan cara bertindak yang sama sebangun dengan pusat, juga untuk memenangkan porsi pemberitaan di media-media pusat.
***
 
MELIHAT tantangan yang terbentang di depan mata, sudah masanya berbagai komunitas sastra di berbagai belahan Indonesia meninggalkan kebiasaan memusat tersebut. Sudah waktunya pula berbagai komunitas sastrawan di berbagai daerah lebih percaya pada pengalaman dan penghayatannya sendiri terhadap berbagai segi kehidupan yang konkret terjadi di hadapannya. Dengan begitu, dapat kita harapkan lahirnya karya-karya sastra yang mengolah persoalan-persoalan konkret yang lahir dari problem sejarah, budaya, ekonomi, sosial, dan politik di daerahnya masing-masing.
 
Persoalan-persoalan konkret yang dihadapi, dihidupi, dan dihayati langsung oleh sastrawan pada gilirannya akan mengharuskan sastrawan bersangkutan untuk mencari dan menemukan cara ucap (estetika) yang tepat bagi persoalan konkret yang mereka hadapi dan ingin mereka ejawantahkan melalui sastra. Dengan begitu, di bidang prosa, akan mereka temui tokoh-tokoh konkret yang akan mempengaruhi aspek penokohan dalam karya mereka. Mereka juga akan menemukan berbagai persoalan yang khas dan mendasar di lingkungannya yang akan berpengaruh pada cara mereka mengolah latar, tema, dan sudut pandang.
 
Di masa mendatang, justru karya sastra yang lahir dari kekhasan wilayahlah yang akan merebut perhatian di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Kita masih ingat tentunya dengan Derek Walcott, penyair pemenang Nobel yang menuliskan karya-karyanya dari persoalan konkret dan estetika yang lahir dari pedalaman Karibia. Tentu juga kita ingat Naguib Mahfoudz yang merebut Hadiah Nobel berkat novel-novelnya yang bercerita secara detail mengenai kampungnya, termasuk terutama warung teh tempat ia mangkal dan mencari inspirasi. Toni Morisson belum tentu dapat meraih Nobel jika ia menuliskan persoalan-persoalan umum Amerika. Hadiah Nobel diraihnya berkat penghayatannya dan keteguhannya untuk secara detail mengangkat persoalan warga kulit hitam dengan segala kesungguhan.
 
Di Indonesia tentu kita ingat pada Ahmad Tohari yang mendapat perhatian luas justru ketika ia berhasil menyelami persoalan yang hidup di kampungnya dan mengangkat persoalan pelosok Banyumas itu sebagai karya sastra. Dunia budaya santai Maduralah yang membikin sajak-sajak D Zawawi Imron bicara. Begitu pula dengan Linus Surjadi (almarhum) dan Pengakuan Pariyem-nya. Bahkan, Ayu Utami mendapat sukses lewat novelnya Saman bukan karena tetek-bengek persoalan globalisasi manusia lintas-budaya, laporan turistik taman Kota New York, atau surat-surat perselingkuhannya yang tak mencapai orgasme itu; melainkan justru karena penggambaran dan penghayatannya yang bukan main mengenai persoalan Prabumulih dengan segala tantangan psikologis, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan sekaligus kleniknya.
 
Maka, sastra Indonesia yang berpengharapan di masa depan adalah sastra yang lahir dari penghayatan habis-habisan terhadap persoalan-persoalan konkret yang terhampar di depan mata. Persoalan-persoalan konkret yang muncul dari konflik budaya, sosial, politik, ekonomi, dan psikologis di wilayah yang kecil dan terbatas tempat sang sastrawan hidup dan menemukan sumber inspirasi dan keterlibatannya di sana.
***

*) Agus R. Sarjono, seniman-penyair, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/02/sastra-indonesia-menutup-abad/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati