kompas.com
Kalau kehidupan petani diasosiasikan dengan desa agraris di Jawa, agak sulit membayangkan seorang anak petani bernama Diana, sebagaimana terdengar dalam lirik lagu Koes Plus berjudul “Diana”.
Banyak orang barangkali masih ingat lirik lagu itu: “Di gunung tinggi kutemui/ Gadis cantik putri paman petani/ Cantik menarik menawan hati/ Diana namanya manja sekali…”
Nama anak petani di Jawa umumnya berhubungan dengan mitologi agraris dari daerah ini, taruhlah seperti Pariyem, Parinem, Parinah, Sarinah, dan Sariatun. Bagaimana dengan Diana?
Indonesia bukan hanya Jawa. Kita hidup dalam suatu negara kesatuan dengan ribuan pulau, dengan beragam latar etnisitas, adat, budaya, dan sistem kepercayaan yang berbeda-beda. Sejak di sekolah dasar kita dipahamkan mengenai kebhinekaan negeri ini, berikut semboyannya, Bhinneka Tunggal Ika. Akan sangat jamak kita menemukan putri petani bernama Diana, Martha, Vonie, dan semacamnya. Taruhlah di wilayah Indonesia bagian timur.
Koes Plus, dengan personel terdiri atas Tonny Koeswoyo, Yon Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan Murry (menggantikan Nomo Koeswoyo dalam periode Koes Bersaudara), niscaya sangat paham hal ini. Bermusik sejak akhir 1950-an, anak-anak keluarga Koeswoyo dari Tuban, Jawa Timur, ini berada dalam dinamika dan kemelut sejarah Indonesia, termasuk dalam pasang surut kehidupan politiknya.
Jelas mereka bukan politisi. Mereka pemusik. Mereka seniman. Sebagaimana seniman, mereka menangkap semangat zaman, dan itu terefleksikan pada sebagian lagu mereka.
Dari kepingan-kepingan cerita yang bisa kami ingat dari para anggota Koes Plus itu, Diana agaknya diilhami oleh seorang cewek dari sebuah pulau besar di Indonesia bagian timur. Tonny (1936-1987), si genius dalam kelompok ini, sering menggubah lagu termasuk berdasar pengalaman yang diilhami adik-adiknya. Sang adik, Yon dan Yok yang masih sering kami jumpai saat ini, sambil tertawa membenarkan hal itu.
Bukan hanya “Diana”, juga lagu lain seperti “Andaikan Kau Datang”. Mengenang kembali lahirnya lagu itu, mereka seperti mengenang kekonyolan masa remaja dengan satu-dua kekasih pada saat bersamaan. Aha! Mungkin Anda punya pengalaman serupa. Maka, memikirkan salah satu kekasih yang saat itu sedang tak di tempat, muncullah lirik seperti ini: “… andaikan kau datang kembali/ Jawaban mana yang kan kuberi…”
Ada pula yang secara jelas mereka akui dari mana inspirasi berasal, misalnya lagu “Da Silva”. Lagu itu berhubungan dengan pengalaman Koes Plus di tengah peristiwa politik, ketika sekitar pertengahan 1970-an mereka diberangkatkan ke Timor Timur?kini Timor Leste. Lagu itu ditulis oleh Tonny berdasar inspirasi yang didapatnya dari seorang yang bekerja di Hotel Turismo, Dili.
Pengarang telah mati
Pertanyaan awam, apakah sebuah karya berarti biografi hidup si seniman? Apakah yang ditulis oleh seniman berarti persis seperti itu pengalaman hidup yang mereka alami?
Jawabnya tidak. Uraian teoretis dari filosof Perancis, Roland Barthes, yang namanya sering dihubung-hubungkan dengan pemikiran post-modernisme, mungkin bisa membantu menerangi masalah ini. Barangkali betul ada cewek bernama Diana tadi, atau pelayan Hotel Turismo bernama Da Silva. Hanya saja, begitu teks tadi -entah Diana, entah Da Silva- dibunyikan dalam tuts nada piano Tonny, segera Diana dan Da Silva tak lagi narasinya berkembang semata dari sudut pandang pengarangnya. Inilah titik paling kritis dalam dunia penciptaan, dunia kepengarangan, yang diuraikan Barthes dalam esainya yang paling terkenal dan paling banyak disalahpahami para pengarang Indonesia, yakni The Death of the Author.
Banyak yang mengira pemikiran Barthes mengenai hal itu dikarenakan orang sebenarnya hanya dengar judulnya dari orang lain, tak pernah membaca sendiri teks aslinya, bahkan tak pernah melihat bukunya mengartikan pengarang dianggap tidak boleh lagi campur tangan setelah karya selesai. Karya menjadi milik publik. Pengarang dianggap telah mati; the death of the author.
Padahal, Barthes sebetulnya hendak mengatakan, begitu suatu fakta dinarasikan tidak lagi dengan sudut pandang yang secara langsung mengacu realitas, tapi pada sesuatu yang intransitif, sebenarnya fakta atau kata tadi sudah tak punya fungsi lain kecuali sebagai simbol semata. Di situlah pengarang “mati”, dan kegiatan kepengarangan bermula. Kata dan simbol menemukan dunianya sendiri.
Diana adalah Diana dengan dunia sendiri, tanpa perlu ambil pusing mana ada anak petani bernama Diana. Da Silva adalah Da Silva, tanpa perlu kita mempertanyakan secara persis dari mana tokoh ini berasal.
Wilayah simbolik
Mengangkat lagu-lagu Koes Plus/Koes Bersaudara menjadi sebuah narasi dari suatu musikal berarti mentransformasikan fakta-fakta itu, yaitu lagu-lagu mereka, ke sebuah wilayah simbolik baru. Biarlah simbol-simbol itu beroperasi sendiri, menemukan dinamikanya sendiri, menemukan sosoknya sendiri dalam dinamika panggung musikal. Itulah yang kami harapkan pada musikal Diana.
Lagu-lagu Koes Plus/Koes Bersaudara begitu kaya ragam. Mereka telah menghasilkan berbagai tema: dari percintaan remaja hingga kecintaan terhadap tanah air seperti lewat rangkaian lagu Nusantara, petuah yang berhubungan dengan kebajikan seperti dalam lagu-lagu pop Jawa. Itu semua pasti tak lepas dari pengalaman para personelnya, yang hidup di tengah sejarah bangsanya dan secara intens merefleksikan pengalamannya. Ketika pengalaman hidup yang reflektif itu dituangkan ke dalam lagu dalam kancah hiburan pop, yang muncul kemudian adalah sebuah produk pop yang memiliki bobot reflektif.
Kalau masih ada nada sumbang bertanya mengapa Koes Plus, mungkin inilah jawabannya. Pemikiran post-modernis mencoba merekonstruksi sesuatu yang telah kita miliki, dianggap jadul dalam medan masyarakat kontemporer. Itu yang membuat harian Kompas tak ragu untuk memproduksi sebuah musikal berdasar lagu-lagu Koes Plus/Koes Bersaudara.
Koran juga produk kebudayaan massa. Dalam sebuah karya berbobot, kita bisa menemukan diri kita dalam kebudayaan massa, kebudayaan pop, yang biasanya dicibir orang…
7 Juli 2010.
http://sastra-indonesia.com/2011/08/diana-dan-roland-barthes/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar