Sunlie Thomas Alexander *
lampungpost.com
SUATU pagi di tahun 1970, sastrawan Jepang Yukio Mishima bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer menyerbu markas Kementerian Pertahanan di Tokyo. Usai berpidato tentang Jepang yang kehilangan keagungan klasik, di hadapan perwira tinggi yang disanderanya, penulis novel Senandung Ombak dan Kuil Kencana itu pun menjalankan seppuku. Seorang pengikutnya yang disebut khaisakunin kemudian memenggal kepalanya.
Syahdan, kematiannya itu adalah sebuah rasa masygul terhadap westernisasi dan kelemahan Jepang yang menurutnya telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.
Untuk kita, bunuh diri Mishima mungkin sebentuk nasionalisme sempit yang menakutkan, tapi sebagai seorang pejuang (warrior) dalam perspektif Jepang lama, apa yang ia lakukan tentunya sesuatu yang menggetarkan bagi sebagian orang. Mishima adalah pendukung politik sayap kanan, pujaannya pada semangat berani mati para samurai masa silam telah mendorongnya membentuk organisasi Tatenokai yang berupaya mengembalikan keagungan kaisar dan kejayaan para samurai.
Kebangkitan Asia-Afrika
Nasionalisme memang tak sesederhana selembar bendera dikibarkan dan lagu kebangsaan dikumandangkan. Dalam perspektif Barat, ia dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Yang mana dalam hal ini, ia memiliki kapasitas memobilisasi massa lewat janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas.
Sebagai penemuan sosial paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah selama seratus tahun terakhir, boleh dikatakan tak satu pun ruang sosial di muka bumi terlepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, di sini jalan sejarah tentu saja lain sama sekali.
Namun sebagai negara dengan bangsa yang homogen, nasionalisme Jepang tak lain adalah kesinambungan genealogi kekaisaran Jepang selama berabad-abad. Memang, di zaman feodal (1200-1600) banyak terjadi kekacauan di seluruh penjuru negeri Jepang akibat perebutan kekuasaan oleh kelas prajurit. Tetapi kedudukan Kaisar sebagai pemersatu negeri toh tak tergoyahkan hingga kini. Kendati setelah Perang Dunia II misalnya, gelar “dewa” sang kaisar konon telah dilucuti Jenderal McArthur dari Amerika Serikat.
Dengan demikian, nasionalisme Jepang lebih dekat kepada nasionalisme romantik (disebut juga nasionalisme organik). Ia adalah perwujudan budaya etnis yang menempati idealisme romantik; tatkala cerita tradisi direka sebagai sebuah konsep. Bukankah “nation” sendiri berasal dari kata Latin, “natio” yang mengakar pada kata “nascor” (saya lahir) di mana semasa Kekaisaran Romawi, kata ini digunakan untuk mengolok-olok orang asing?
Karena itu dalam etnonasionalisme, kita pun menemukan bagaimana fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dari sudut pandang inilah, nasionalisme adalah konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa silam yang disebut sebagai “ethnie”, suatu kelompok sosial terikat perangkat kultural yang meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Sehingga di sini, gerakan politik nasionalisme merupakan sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya.
Hal ini berbeda dengan banyak bekas jajahan Barat–bersuku-bangsa majemuk–di Asia-Afrika yang mana nasionalismenya merupakan sebuah sikap poskolonial. Atau meminjam Ben Anderson dalam “Imagine Community”, adalah hasil emulasi dari apa yang telah disediakan oleh sejarah nasionalisme di Eropa. Lahir dari perasaan senasib-sepenanggungan; berdasarkan suatu image mengenai kesatuan bersama. Nasionalisme semacam ini di banyak negara Asia-Afrika adalah jawaban yang mengemuka sejak akhir abad 19 atas perasaan tertindas. Ia pun lekat dengan “kebangkitan”.
Maka pernah di Indonesia, Bung Karno dengan berapi-api berpidato tentang “kepribadian nasional” dan karena itu politik demokrasi liberal yang “kebarat-baratan” dan segala corak pemikiran yang “tak autentik/tak nasional” haruslah dibuang karena bakal meracuni bangsa. Akibatnya musik “jingkrak-jingkrak” The Beatles pun diharamkan, kran kebebasan terbendung sehingga nasionalisme pun menjadi collective identity yang berfungsi sebagai instrumental dalam berinteraksi dengan sosial grup lain demi kepentingan mobilisasi politik.
Padahal, kendati bertumbuh pada budaya lokal sebagaimana negara-negara Asia-Afrika lainnya, Indonesia, baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya tak lepas dari produk kolonialisme yang diilhami oleh semangat modernitas dengan budaya Barat sebagai sumber inspirasi utama.
Persoalan nasionalisme Jepang berpijak lebih jauh ke masa lampaunya. Dalam sejarahnya, politik isolasi yang pernah dijalankan Keshogunan Tokugawa tak lain juga sebentuk ekspresi nasionalisme. Selama 200 tahun sejak 1633, Jepang menutup pintu ke dunia luar sebagai akibat kecemasan akan penyebaran pengaruh Barat dan Kristen.
Dalam kasus Jepang, proses pertemuan dengan Barat dan modernisasi selepas keberhasilan Komodor Perry memaksa shogun menandatangani perjanjian dagang dengan Amerika yang kemudian mencetuskan Restorasi Meiji, telah timbul perdebatan tentang seberapa banyak Jepang dapat meminjam kemajuan peradaban Barat. Dalam waktu singkat setelah 1868, sebagian besar orang Jepang pun berubah dari xenofobia ke xenophilia. Yang tak hanya mengadopsi banyak aspek luar peradaban Barat seperti dansa ballroom, juga mengadopsi banyak ide-ide dan lembaga-lembaga Barat sebagai oligarki Meiji dengan menerapkan kebijakan fukoku ky’hei (negara kaya, militer yang kuat) untuk mengejar ketinggalannya. Restorasi Meiji hendak membawa Jepang memasuki dunia Barat dengan segenap budaya: busana, life style, dan peralatan tempur.
Di sinilah awal dihapusnya fungsi samurai sehingga menjadi kelas kedua yang memicu pemberontakan terbesar pada 1877. Sebagaimana dapat kita saksikan dalam film The Last Samurai besutan Edward Zwick (2003), tak kurang 40 ribu samurai ditumpas tentara pemerintah yang bersenjata modern.
Nasionalisme Tak Stabil
Namun apabila di masa lampaunya, terbawa semangat kemenangan perang atas Rusia pada 1905, nasionalisme Jepang telah mengembangkan imperialisme Asia yang mengerikan, seperti apa sebetulnya nasionalisme yang dimiliki masyarakatnya dewasa ini? Apakah benar yang dikatakan pengamat sosial Takahara Motoaki (2006), bahwa saat ini Jepang sedang memasuki Fuan-gata Nashonarizumu Jidai atau zaman nasionalisme tak stabil?
Tingkah laku para remaja menggambar bendera Hinomaru di pipi tatkala mendukung Tim Jepang dalam Piala Dunia misalnya, menurut analisis sosial Kayama Rika, juga salah satu bentuk nasionalisme masyarakat Jepang dewasa ini. Meskipun aksi mereka sebagai suporter sepak bola tersebut hanyalah sebatas persoalan kejiwaan belaka, yang tak berkaitan dengan sikap politik. Untuk ini, ia pun mengenalkan istilah “Petite Nationalism” atau nasionalisme kecil (Kayama, 2002). Namun berbeda Kayama, bagi Takahara kendati kelakuan para remaja ini bukanlah termasuk sikap politik yang serius, toh komentar-komentar pribadi mereka di internet mengenai hubungan Jepang dengan negara lain (contohnya hubungan Jepang-China-Korea) telah dapat dikategorikan ke dalam sebuah sikap politik.
Syahdan, di tahun 1960-1970 perkembangan rasa kebangsaan masyarakat Jepang pascakekalahan Perang Dunia II dipicu oleh beberapa hal. Antara lain, telah dewasanya anak-anak yang lahir saat baby boom (1945-1955). Kekritisan mereka—dengan kemudahan akses pendidikan—memicu banyak demonstrasi menentang kebijakan pemerintah, misalnya perpanjangan perjanjian pertahanan keamanan Jepang dan Amerika. Demikian pula di tahun 90-an ketika perekonomiannya mengalami masa keemasan dan sebagian besar masyarakatnya yang bekerja di sektor bisnis dan jasa berlomba-lomba dalam perdagangan luar negeri, nasionalisme Jepang cenderung berbasis faktor kepentingan ekonomi.
Tetapi seiring dengan krisis perekonomian pada akhir tahun 1990, para remaja yang lahir pada masa baby boom kedua (1975-1980-an) pun tumbuh menjadi remaja yang pesimistis dan cuek pada masa depan mereka sendiri, apalagi masa depan bangsa.
Karena itulah, pemerintah Jepang dan kalangan lain yang peduli pada degradasi moral masyarakatnya lalu berupaya menformulasikan rumus yang tepat agar masyarakat Jepang kembali bangkit dari keterpurukan moral ini. Rencana reformasi dalam bidang pendidikan dirancang agar daya saing dan SDM Jepang dapat ditingkatkan. Untuk itu, dipersiapkan secara tersembunyi ide-ide moralitas bushido sebelum jaman perang. Beberapa contoh upaya untuk mengembalikan rasa kebangsaan dan patriotisme ini, antara lain lewat penayangan drama-drama yang bertema kehidupan samurai di zaman feodal oleh stasiun NHK, penggagalan usaha pembicaraan tentang kaisar wanita, dukungan terhadap pembentukan pasukan perang Jepang, dan kunjungan ke Kuil Yasukuni oleh para pemimpin pemerintah. Upaya-upaya ini terutama digalang oleh kelompok sayap kanan.
Tentu saja, ide mengembangkan semangat bushido pada zaman modern merupakan sesuatu yang menarik. Walaupun pada hakikatnya bushido (jalan prajurit) adalah untuk mati, tapi toh ia memiliki pemaknaan lebih mendalam: bahwasannya anugerah hidup ini hendaknya dijalani dengan sungguh-sungguh. Meraih kesuksesan melalui kerja keras merupakan cita-cita luhur dari setiap manusia—di mana untuk mewujudkannya, membutuhkan disiplin tinggi dengan ditunjang mentalitas pantang menyerah. Maka apabila bagi para samurai, mati dalam melaksanakan tugas sebagai wujud kesetiaan pada tuannya adalah cita-cita tertinggi, bagi manusia Jepang kontemporer, kerja keras untuk menggapai keberhasilanlah cita-cita tertinggi itu. Tentu saja tak cuma dalam bushido nilai-nilai semacam ini terkandung, lantaran ia merupakan nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap kebudayaan…
Bagaimana dengan Indonesia setelah 102 tahun Boedi Oetomo? Ini sebuah pernyataan buat kita semua!
Ah, Mishima, novelis besar itu, baru berumur empat puluh lima tahun dan sedang berada di masa puncak kepenulisannya. Tatkala perutnya robek oleh tanto di tangannya, tubuhnya yang ia rawat melalui olahraga keras itu tampak bagus dengan otot-otot menggembung. Begitulah.
*) Cerpenis; Periset Parikesit Institute Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar