Sabtu, 30 September 2017

Ketika Usman Arrumy Salah Memasuki Kebun Nizar Qabbani

Fazabinal Alim *
http://basabasi.co

Pada 11 Juni 2017, Dea Anugrah menulis tentang terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani yang meragukan di www.tirto.id. Ia membandingkan tiga buku terjemahan puisi Nizar Qabbani yang berjudul Puisi Arab Modern, Surat dari Bawah Air, dan Yerusalem, Setiap Aku Menciummu.

Bagi Dea, dari segi kualitas maupun kuantitas, penerbitan terjemahan puisi-puisi Nizar Qabbani di Indonesia masih jauh dari cukup. Dalam hal ini, saya sepakat dengan Dea. Namun, dari hasil perbandingan tiga buku ini, Dea yang lebih cenderung memuji buku terjemahan Usman Arrumy, Surat Dari Bawah Air, hanya karena diambil dari teks Arab, bagi saya menyimpan kemuskilan yang perlu dijernihkan. Dan di sini saya akan fokus pada kemuskilan-kemuskilan yang saya temukan dalam terjemahan Usman Arrumy yang dipuji habis oleh Dea.

Nizar Qabbani adalah penyair yang sangat produktif. Sejumlah besar puisinya terhimpun dalam Al-A’mal al-Kamilah (kumpulan karya lengkap). Usman Arrumy memilih secara acak puisi-puisi Nizar Qabbani dari total tiga jilid Al-A’mal al-Kamilah yang kemudian ia terjemah menjadi Surat dari Bawah Air.

Tentu saja, alih bahasa puisi-puisi Nizar Qabbani merupakan kabar baik bagi pembaca Indonesia. Tapi kabar baik itu akan berkurang nilainya ketika puisi yang begitu estetik ini diterjemahkan dengan tidak estetik (dan nyaris asal-asalan) oleh seorang penerjemah yang dianggap baik oleh Dea.

Dalam amatan saya, Usman Arrumy melakukan berbagai kesalahan terjemah. Tidak semua, tapi nyaris pada larik demi larik, puisi demi puisi, terdapat kesalahan terjemah yang fatal, baik secara struktural maupun leksikal. Karena tak mungkin menyebutkan satu per satu dalam esai ini, saya ambil tiga puisi saja, yang saya kira paling mewakili.

Pertama, puisi berjudul “Saaqulu laki Uhibbuki” [Aku akan mengatakan kepadamu bahwa “aku mencintaimu”] (hlm. 1-6). Pada larik ketiga, bait pertama (hlm. 1), Usman Arrumy menerjemahkan terbalik kata la yabqa, yang dalam arti leksikalnya, “tidak tetap/tidak lagi/tidak bersisa” menjadi “ada yang tetap”. Selanjutnya pada kata ‘Indaizin satabda’u muhimmati//fi taghyiri hijarat hadza al-‘alam (ketika itu perhatianku akan mulai//mengubah batu-batu dunia)di mana seharusnya kata muhimmati (perhatian) adalah subjek dari kata tabda’u, diterjemahkan menjadi “ketika kau mulai menjadi perhatianku//dalam rangka mengubah batu”.

Pada bait kedua, larik ketiga, kata wa yushbihu al-hawa’ allazi tatanaffasinahu yamurru biriatayya ana, yang dalam terjemahan leksikalnya, seharusnya, “ketika napas yang  kau (perempuan) embuskan itu melewati paru-paruku”, diterjemahkan menjadi “demi menjadikan udara menafasimu melintasi kebebasanku”.

Pada bait ketiga, larik kesembilan, Usman Arrumy menerjemahkan kata innani la u’ani min ‘uqdat al-mutsaqqifin menjadi “aku tak bisa bebas menyimpulkan intelektualitas”. Seharusnya terjemahan leksikalnya “karena aku tak ingin menderita dari belenggu para intelektual” dan pada larik ketigabelas kata “fa al-mar’atu qashidatun amutu ‘indama aktubuha” diterjemahkan menjadi “perempuan telah mati begitu aku menulis puisi”, padahal terjemahan leksikalnya adalah “perempuan adalah puisi yang membuatku mati ketika aku menuliskannya”.

Kedua, puisi berjudul “Rubbama” [Barangkali] (hlm. 38-49). Pada bait kedua, larik keduabelas, kata ghayra anna al-hubb ma ballala bi al-dam’ sariri, yang arti leksikalnya “hanya saja, dengan air mata, cinta tak dapat membasahi ranjangku” diterjemahkan menjadi “tapi aku suka air mata yang membasahi ranjangku”. Dan pada bait ketiga larik kedelapan, kata fusul yang artinya lebih dekat dengan kata “musim” menjadi “pasal”.

Ada beberapa bait yang sengaja dihapus dan tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Pada bait kelima, ada dua larik setelah larik ketiga, dan satu larik setelah larik ketujuh (hlm. 40-41) yang dihapus dan tidak diterjemahkan. Kemudian ada sembilan larik di bagian pertama bait keenam yang juga dihapus dan tidak diterjemahkan. Selanjutnya pada bait ketujuh, ada kesalahan tulis, ma arwa’a menjadi ma arwaha yang tentunya telah mengalami pergeseran makna. Dan lagi-lagi pada bait kedelapan, Usman Arrumy menghapus separuh larik pertama, kedua, dan ketiga. Dan satu larik pada bait kesembilan.

Ketiga, puisi berjudul “Hubb Bila Hudud” [Cinta tanpa batas] (hlm. 66-79). Pada bait kedua, larik keempat ya anharan min nahawand yang jelas tertulis dalam teks Arabnya, tidak diterjemahkan oleh Usman Arrumy. Dan pada larik ketujuh, kata kasarab al-hamam yang artinya “kawanan merpati” dibaca al-hammam, sehingga diterjemahkan menjadi “bak mandi”.

Pada larik kelima, bait keempat hatta ashbaha malak al-syi’r, di mana subjek dalam larik ini adalah “aku” yang seharusnya diterjemah “hingga aku bisa menjadi raja puisi” dibalik menjadi “agar aku bisa menjadikan kau ratu puisi”. Pada larik ketujuh, yakfi an ta’syiquni imraatun mitsluki seharusnya “cukup bagiku ada seorang perempuan sepertimu mencintaiku” menjadi “cukuplah bagiku merindukan perempuan sepertimu”. Dan pada larik kesembilan, wa turfa’u min ajli al-rayat diterjemahkan “dan mengibarkan bendera kebangsaan” seharusnya “bendera-bendera dikibarkan demi diriku”.

Pada bait kelima, kata lan yataghayyaru syai’un minni, diterjemahkan “tak ada yang bisa mengubahku”, seharusnya “tak akan pernah ada yang berubah sedikit pun dariku”. Kata lan yatawaqqaf nahr al-hubb an al-jaryan diterjemah menjadi “sungai cinta akan mengalir jauh”, seharusnya “sungai cinta tak akan pernah berhenti mengalir”. Kata lan yatawaqqaf hajal al-syi’r an al-thairan diterjemah menjadi tarian puisi tak akan berhenti terbang”.

Usman Arrumy menerjemah hajal yang arti leksikalnya adalah burung gunung (bahasa Inggris: partridge) semacam “burung puyuh” menjadi “tarian”.

Hina yakunu al-hubb kabiran//wa al-mahbub qamaran diterjemah menjadi “ketika cinta yang akbar itu//telah menjadi kekasihnya rembulan”. Seharusnya, “ketika cinta telah beranjak dewasa//dan yang dicintai menjadi rembulan”.

Pada bait keenam, kata la ya’ni li al-syari’ sya’an seharusnya “jalan tak berarti apa-apa bagiku” diterjemah menjadi “aku tak punya arti apa pun bagi jalan”; dan kata la ta’ni li al-hanat syai’an, seharusnya “biar tak berarti apa-apa bagiku” diterjemahkan “tak punya arti apa-apa bagi kerinduan”

Kata ma as’adani fi manfaya “betapa bahagianya diriku dalam pengasingan” yang bentuknya tafdil/superlatif diterjemahkan menjadi bentuk pertanyaan, “Apa yang bisa membahagiakanku di perasingan?”. Uqattir ma’a al-syi’r “kuteteskan air puisi” di mana subjeknya adalah aku, diterjemahkan menjadi “air puisi menetes”. Ma aqwani//hina akunu sadiqan//li al-hurriyah wa al-insan diterjemah menjadi “apa yang bisa mendatangkan kemalanganku//ketika aku berdiri di posisi yang benar//pada kebebasan dan kemanusiaan”, seharusnya “betapa kuatnya diriku ketika aku menjadi teman//bagi kebebasan dan kemanusiaan”. La tansyaghili bi al-mustaqbal, ya sayyidati yang seharusnya “tak usah terlalu sibuk memikirkan masa depan” diterjemah “kelak, tak usah kau bersedih”. Kata wa fi dzakirah zinbaq wa al-raihan tidak diterjemah. Seharusnya “dan dalam memoar bunga lili dan semerbak wanginya”.

Itulah (di antara) kekeliruan-kekeliruan mendasar dalam terjemahan Usman Arrumy yang tak terjangkau oleh Dea, sehingga Dea cepat memberi kesimpulan bahwa hasil terjemah Usman Arrumy layak diapresiasi tinggi semata karena ia menerjemahkannya dari bahasa asal Nizar Qabbani.

Terjemah yang baik, menurut saya, tetap harus dipijakkan pada makna yang tersampaikan setelah teks itu dialihbahasakan. Usman Arrumy niscaya sadar akan hal itu. Buktinya, ia mengutip Sapardi Djoko Damono bahwa terjemahan telah menjadi karya yang mengalami proses alih wahana, yang menjadikannya benda budaya yang baru.

Namun, alih-alih menjadikan karya terjemahan sebagai budaya yang baru, Usman Arrumy justru menerjemahkan puisi Nizar Qabbani yang bahasanya sangat sederhana dan liris menjadi tidak lagi sederhana dan bahkan sedikit membingungkan. Menerjemah itu seyogianya memudahkan pemahaman, bukan membagi kebingungan.

Memang ini teks sastra, yang mungkin akan tetap bisa dinikmati oleh pembacanya walau sebagai sesuatu yang lain. Tapi bagaimana seandainya yang diterjemah adalah teks-teks keagamaan atau rumus-rumus penting fisika dan resep-resep kedokteran?

Apa yang terjadi pada kasus terjemahan Nizar Qabbani oleh Usman Arrumy mematahkan tesis Dea bahwa menerjemah dari bahasa pertama (asal) menggaransi kualitasnya menjadi lebih baik. Poinnya jelas bukan semata terletak pada bahasa pertama, tapi pada orang yang mengalihkan bahasa.

Saya teringat celoteh Al-Fatih Mirghani di sebuah acara televisi: “Saya tidak yakin ada seorang pemuda di dunia ini, baik seorang terpelajar maupun penyuka puisi, yang bisa memasuki kebun Nizar Qabbani.”

*) Fazabinal Alim Penerjemah dan Kritikus Sastra Arab

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati