Sabtu, 29 Juni 2013

“TRAGEDI CANTOI” SULAIMAN JUNED: EKSTERNALISASI AGROPHOBIA

Wiko Antoni S.Sn *)
http://sjuned.blogspot.com

Struktur lakon adalah partitur bagi seorang sutradara dalam `konser` peristiwa yang akan dipentaskan. Sebagai seorang penulis lakon tanggungjawab utama yang terpenting adalah membangun konsep dasar yang menjadi tempat berdiru teguhnya struktur pertunjukan, dari drama yang baik lahirlah pertunjukan yang luar biasa. Memang seorang sutradara mestilah kreatif dalam membangun realitas panggung namun drama yang baik akan menjadi pijakan kreatifitas yang baik bagi seorang sutradara dalam mempersiapkan pertunjukan berkualitas.

`Cantoi` berbicara dengan bahasa estetis tentang peristiwa yang mencengkram rasa cinta Sulaiman juned kepada Aceh. Kenyataan demikianlah yang banyak dicoba ungkap oleh teori-teori sosial. Berbagai cara ditempuh untuk menganalisa fenomena karya seni. Teori social selama ini bagai `senjata` pamungkas yang bisa mengatasi segala persoalan tersembunyi dalam karya-karya seni. Menafikan kenyataan bahwa bahasa seni adalah bahasa jiwa yang universal. Semisal membicarakan `Cantoi`, selama ini akan segera dibahas sosiologi karya, sosiologi pengarang, dan sosiologi latar penciptaan karya. Memang sebagian fenomena akan terjawab, mungkin saja ada indikasi sebuah karya akan ipengaruhi oleh keadaan lingkungan terciptanya. Yang kerap dilupakan adalah karya seni sebagai arkhetipe yang di eksternalisasikan secara sublim.

Bila karya seni sebagai arkhetpe yang muncul sebagai proyeksi jiwa, teori social akan kehilangan kekeuatan mengungkap fenomena sebuah karya. Mustahil sekali menyimpulkan pribadi seniman yang sangat spesifik dalam kerangka regional budaya. Memang kita terlalu lama mempercayai antropologi mampu menjawab banyak hal dalam persoalan analisis seni padahal seiring semakin kompleksnya persoalan yang muncul dalam karya-karya seni saat ini sudah saatnya melirik ilmu jiwa bawah sadar sebagai factor terpenting dalam aktualisasi proyektif sebuah karya seni.

`Cantoi` bukan penggambaran sikap masyarakat Aceh terhadap fenomena sebuah perang saudara, barangkali kaum sosiolog akan bersikeras untuk menghubung-hubungkan imajinasi Sulaiman Juned dengan antropologi Aceh. Padahal kenyataan `si Cantoi` ini bisa saja menimpa setiap manusia di seluruh dunia dalam kondisi ketertekanan yang serupa. Selama bertahun-tahun drama yang monumental hadir dalam lingkungan transisi dengan ketidakjelasan konvensi. Misalnya masa peralihan dari kekuasaan kaum borjuasi menuju zaman realisme. Saat itulah A Doll House mendobrak ketertekanan kaum-kaum yang merasa tertindas haknya. Memang banyak gaya yang muncul dalam mengekspresikan ketertekanan tersebut. Kadang-kadang agresif, romantis (misalnya gaya Shakespeare) bahkan komedi seperti `Cantoi` Sulaiman Juned. Disini perlu ditegaskan bahwa teori social tidak sepenuhnya mampu menjawab `misteri` terciptanya sebuah `karya emas` seorang seniman. Saatnya mempertimbangkan materi symbol yang dikemukakan oleh Freud dan Jung. Freud sangat percaya inspirasi gemilang muncul dari pengalaman yang tersimpan dalam ketidaksadaran, ketidaksadaran bukan hanya gudang-gudang peristiwa masa lalu tetapi juga penuh dengan benih-benih situasi ide-ide yang akan terjadi…kita menemukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana dilema-dilema kadang-kadang dipeca\hkan oleh gagasan baru yang sangat mengherankan; banyak seniman, filoshof dan ilmuan dianugerahi inspirasi berupa ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran . (Sigmound Freud, 2000: 63).

`Cantoi` Ekternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
Ilmu Psikologi ketidaksadaran merupakan cabang ilmu yang selama ini digunakan untuk mendeteksi berbagai macam ganguan jiwa. Sejauh ini psikologi ketidaksadaran hanya berbicara seputar kelainan perilaku menyimpang yang terjadi padapenderita neurosis. Setelah semiotic menjadi cabang ilmu dalam ilmu analisis sastra terbuktilah bahwa symbol-simbol yang disepakati merupakan arkhetipe yang berawal dari ketidaksadaran. Simbol muncul bila ikon-ikon mendapat kesepakatan umum. Namun dalam banyak hal ikon-ikon yang muncul di seluruh dunia hamper sama dengan makna yang hamper sama pula. Pada dasarnya ikon muncul bersamaan dengan kebutuhan psikologis. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi sangat potensial melahirkan ikon baru. Pada banyak kasus pasien jiwa ikon dibangun dari ketertekanan. Bila ini dikaitkan dengan prosesi penciptaan karya seni maka fenomena depresif ini dapat dikatakan eksternalisasi agrophobia.

Istilah agrophobia digunakan untuk ketakutan yang berlebihan. Pada tingkat demikian akan muncul sikap depresif atau agresif. Pada beberapa kasus yang muncul justru peristiwa sublimatif. Penderita agrophobia tidak semata-mata mengarah kepada kemerosotan jiwa yang membawa efek negatif adakalanya justru individu ini akan menjadi tegar dan tabah dalam melanjutkan kehidupan (Sigmound Freud, 2000:438). Ketertekan akan memiliki efek berbeda bagi setiap individu walaupun jenisnya sama, dalam hal ini psikologi memandang sebuah karya seni sebagai `benda` yang spesifik yang terlahir dari individu yang spesifik pula. Kolektifitas budaya bukan hal yang penting untuk menganalisa sebuah karya seni. Individunya yang penting, masa lalu, pendidikan, pengalaman estetis, romantis bahkan tekanan-tekanan hidup yang dialami. Fenomena jiwa milik semua orang sedangkan kebudayaan terkotak-kotak dalam sebuah lingkungan primordial.Sartre menungkapkan dalam menemukan analogis kesadaran imajinatif akan muncul kasus berikut, (1) Korelatif analogis dari pengetahuan imajinatif berupa objek afektif, (2) Imaji yang lengkap mencakup analog afektif yang menghadirkan objek dalam sifatnya yang mendasar dalam sebuah analog kisnetis yang mengeksternalkan objek dan memberikan tersebut realitas visual. (Sartre, 2000 : 192). Realitas visual berupa proyeksi imaji ini di eksternalkan kedalam realitas karya setelah disusun menjadi realitas estetis. Maka yang hadir adalah karya seni yang memukau. Ekternalisasi adalah prosesi ritual alam bawah sadar menjelmakan dirinya kepada kesadaran. Keseimbangan kimia tubuh menciptakan kekuatan bagi jiwa melalukan kompensasi yang sublim dengan proyeksi kreatif. Bagaimanapun kekuatan masa lalu tidaklah hilang. Ia tersimpan rapi di gudang data dalam serabut syaraf neurotic yang jumlahnya demikian banyak. Sadar atau tidak hadirlah ia keproyeksi masa sekarang yang dieksternalkan menjadi proyeksi kekecewaan atau kebahagiaan. Proses selanjutnya adalah kreativitas sublim dan pengolahan estetis yang rumit untuk dieksternalisasikan kedalam bentuk visualisasi kreatif dan indah. Lahirlah karya seni yang kadang-kadang mencengangkan banyak orang. (Sartre, 2000 : 194).

Disini yang menjadi kasus adalah `Cantoi` karya Sulaiman Juned, mari kita berandai-andai. Seumpama kita adalah seorang yang berada di Aceh saat konflik NKRI-GAM dalam keadaan kritis. Menjadi saksi atas kematian sudara-saudara atau orang-orang dicinta dalam tenggang waktu berdekatan. Dalam beberapa kasus ketertekanan yang berkepanjangan melahirkan stress. Kita tahu, banyak orang di daerah konflik mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Bahkan sampai saat ini konflik korban-korban perang selalu menjadi masalah tak kunjung usai antara Negara korban perang melawan Negara aggressor. Sampai saat ini Jerman dan Jepang selalu menjadi korban hujatan, padahal dalam kondisi konflik semua orang depresi. Dalam keadaan demikian `Cantoi` bicara dengan tegas bahwa `peranglah yang bersalah`. Bukan `Pendekar atau maling`, karena kedua belah fihak tidak mengerti bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Dalam kondisi yang tidak jelas bila berakhirnya. Kondisi jiwa kedua belah fihak sama-sama tertekan. Selanjutnya Sulaiman juned menjelaskan kenyataan ini melalui `si Cantoi` bahwa yang paling menderita rakyat yang tidak mengerti sama sekali, karena kedua belah fihak menaruh curiga pada mereka, mascot yang digambarkan adalah tokoh `cantoi`. Berikut petikan dialog tentang hal ini/…kami orang kamping mana tahu maling. Pekerjaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling disini itu pasti pelarian dari kampong lain./ dibagian lain berbunyi/Ah cantoi tak pernah jadi maling, tapi kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku/. Sulaiman Juned sebenarnya `bermain-main` dengan kematian. Jelas sekali ketololan `Cantoi` adalah kenaifan yang tidak disadari. Penggambaran yang jelas bahwa tokoh yang digambarkannya adalah sisi lain dari kecerdasannya sebagai homocreator yang dikungkung frustasi melihat keadaan kampong halaman yang dicintainya. Seolah tak ada solusi untuk Aceh sementara kematian terus terjadi. Kecurigaan meningkat tajam, orang-orang tak berdosa diterkam oleh ketakutan karena dua sisi yang bertikai kerap salah sasaran. Rakyat yang tak mengerti apa-apa menjadi korban keberingasan para pendekar dan Maling. Dilog-dialog ini bukan hanya milik orang Aceh, ribuan pengungsi di perbatasan Lebanon juga mengalami ketertekanan yang sama saat Israel dan Palestina saling menyalahkan atas terror yang diperbuat kaum gerilyawan Intifadah. Perang selalu memberikan terror kepada rakyat. Peluang terbesar untuk menjadi korban salah sasaran, salah tembak, salah tangkap, salah bombardier. Musuh yang dicari sangat lihai melarikan diri sementara rakyat tak pernah belajar taktik menyelamatkan diri.

Tema sentral yang diusung lakon `Cantoi` memang bukan hal yang baru. Semua orang tahu bahwa perang menimbulkan depresi namun tema-tema lain menarik pula untuk dikaji, renungan filosifis tentang seorang ustadz misalnya, yang berani mengungkapkan kebenaran di atas mimbar namun dalam kenyataan asyik menghitung tasbih saat mayat rakyat dituduh sebagai `maling` terbujur dihadapannya. Ini kenyataan estetis yang dibangun Sulaiman Juned untuk `menelanjangi` kemunafikan kita. Logikanya pada saat terancam semua orang memilih jalan selamat. Kebenaran akan tersembunyi. Seorang Ustadzpun lebih memilih diam daripada harus berurusan dengan `pendekar`. Tema lain tak kalah menarik adalah kritik tajam terhadap gelar bangsawan yang dibangga-banggakan. Di awal-awal teks drama `Cantoi` dijelaskan bahwa “Darah kita semuanya merah” jadi, tidak layak mengaku ” darah biru” atau lainnya.

Empirisme, Frustasi menuju Sublimasi Estetis Lakon `Cantoi`
Kini marilah kita bahas perjalanan kreatif bawah sadar Sulaiman Juned menuju terciptanya lakon `Cantoi`. Di atas sudah dijelaskan eksternalisasi agrophobia sebagai latar yang menjadi stimulus kelahiran drama `Cantoi`. Kini proses tersebut akan dijabarkan disini. Secara sederhana factor yang melatar belakangi terciptanya karya seni dari sisi psikologi adalah unsure intern dan ekstern. Unsur intern adalah kepribadian seniaman secara instrinsik sedangkan factor ekstern adalah stimulus yang muncul dari luar atau realita sehari-hari yang bersentuhan dengan si seniman. Pertama proses realitas verbal menjadi realitas seni selalu diiringi oleh penafsiran kenyataan oleh imajinasi, kedua pengalaman yang dialami seniman baik yang disadari maupun tidak disadari akan berpengaruh dalam sebuah karya seni yang tercipta. Ketiga penciptaan karya yang cerdas selalu melibatkan pertimbangan filoshopis yang bersifat edukatif. Keempat seniman yang baik adalah seorang ilmuan yang berusaha mencari solusi bagi persoalan sekitarnya yang terakhir, seniman yang baik bersikap sebagai penengah dalam segala persoalan disekitarnya.

Melihat empat sisi diatas maka pertarungan emosinal akan melahirkan kegelisahan estetis dalam diri seorang seniman. Lima elemen di atas dibenturkan dengan kegamangan jiwa seorang Sulaiman Juned. Bagaimanapun sebagai seorang yang berdarah Aceh ada rasa kecewa dalam dirinya melihat kampong halaman yang dicintainya berada dalam kondisi serba tidak jelas. Kekecewaan ini jelas bila kita membahas teks demi teks yang digambarkan dalam drama `cantoi`. Sebagai pertimbangan dialog berikut./korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Disawah, diladang, dalam rimba bahkan dikeramaian pasarpun mayat-mayat berserakan./…barang siapa yang meratapi kematian para maling sudah pasti maling…/Peristiwa berdarah di kampong ini tidak ada lagi yang menangisi…/. Sulaiman Juned meratap dan menghiba dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebagai orang Aceh tentulah ada keberfihakan tersembunyi dihatinya, hatinya pilu melihat saudara-saudara yang sekampung yang terbunuh tanpa jelas kesalahan. Yang jelas mereka divonis sebagai `maling`. Keresahan ini mula-mula disublimasi kedalam lakon “Jambo, Luka Tak Teraba” (di muat di Horison No 11 TH XXXVII/2003). jelas sekali penokohan dalam drama `Jambo Luka Tak Teraba` bertolak belakang dengan karakter `Cantoi`. Dalam `Jambo Luka Tak Teraba` tokoh-tokoh heroic hadir dengan persepsi bertolak belakang menyikapi keadaan. Lakon `Cantoi` justru mencibirkan heroisme tersebut. `Cantoi` sampai pada taraf bahwa heroisme Cuma kata-kata sempalan yang sama sekali tak berarti. Hanya lipstick yang menipu. Kecurigaan Sulaiman Juned memuncak dalam `Cantoi`, rupanya Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (lihat teks `Jambo Luka Tak Teraba`) sama saja. Sama-sama tidak mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Bagan psikologis terciptanya drama `Cantoi` dapat digambarkan seperti berikut ini:

Keterangan:
1. R = Realitas
2. I = Intelektual/kecerdasan
3. FE = Frustasi Estetik
4. RI =Realitas Imajinatif
5. EA = Eksternalisasi Agrophobia

Realitas merupakan stimulus yang merangsang pemikiran seorang seniman gelisah. Realitas yang dianggap buruk sangat memungkinkan frustasi. Frustasi itu memicu sublimasi hingga proyeksi yang tersusun dalam kerangka karya. Inilah yang disebut frustasi estetis. Seniman kreatif kemudian mewujudkan kegelisahan ini menjadi karya yang benar-benar nyata. Realitas hadir menjadi kenyataan seni. Kenyataan seni ini wujudnya bermacam-macam, diantaranya, Agresif, melankolis, ataupun romantis. Pada Lakon `Jambo Luka Tak Teraba` bentuk aktualisasinya adalah Agresif. Sulaiman dengan ber api-api mencerca kenyataan, begitu agresif bahkan cenderung emosional dan provokatif (Lihat Horison No 11/2003). Pada lakon `Cantoi` Perwujudan frustasi estetiknya berbentuk melankolis aktualisasinya adalah style lakon. Menertawakan kematian perwujudan kepedihan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Penutup

Lakon `Cantoi` adalah perwakilan orang-orang yang berada dalam ketidakjelasan situasi. Ketertekanan berkepanjangan melahirkan kefrustasian. Walaupun tokoh ini digambarkan dengan seting Aceh, peristiwa `Cantoi` akan menimpa siapa saja. Ketertekanan jiwa dapat menimpa setiap orang. Ada kalanya ketertekanan ini sampai pada kondisi sesorang kehilangan kendali psikis dan menjadi abnormal`. Kondisi tidak normal ini dalam ilmu jiwa disebut neurosis sesuai tempat yang menjadi sebabnya yaitu syaraf-syaraf penyimpan data bawah sadar.

Kenyataan adalah sumber utama bahan baku karya seni, selebihnya pengalaman estetis yang berkonfigurasi dengan ketidaksadaran. Karya yang besar kerap muncul dari ketertekanan yang memicu syaraf bawah sadar berkontraksi. Ide-ide cemerlang muncul menjadi karya yang luar biasa. Latar emosional demikian yang mendasari kreatifitas psikologis dalam diri Sulaiman Juned `sang bapak si Cantoi`. Dari realitas Aceh `Cantoi` bicara soal kemanusian secara universal dan menyentuh persoalan jiwa manusia di seluruh dunia. Berawal dari konflik Aceh, manusia-manusia yang dicengkram perang di seluruh dunia bersuara. Keputus asaan tak kunjung selesai menyekap jiwa-jiwa malang yang terjebak dalam perang.

Sosiologi memang telah banyak berjasa menyingkap demikian banyak fenomena karya seni. Namun dewasa ini seiring perkembangan ilmu pengetahuan sudah saatnya mempertimbangkan cabang ilmu lain yang lebih menyentuh substansi manusia secara objektif. Psikologi ketidaksadaran sudah lama mengkaji symbol-simbol kejiwaan yang menguasai manusia sejak manusia itu ada. Dalam bannyak kasus karya seni aspek psikislah yang berpengaruh besar selain aspek social. Maka saatnya psikologi ketidaksadaran menunaikan `tugas baru`, sebagai pemberi penjelasan bagi karya-karya besar para seniman.
_______________________

*) Wiko Antoni S.Sn adalah pengarang drama, skenario, dramaturg, aktor, penulis kritik seni budaya, pencipta lagu, Salah seorang pendiri Komunitas seni `kuflet` Padangpanjang. Salah seorang Pendiri kelompok kerja seni `gonjong Tujuh` Padang Panjang. Pernah menjadi asisten pengajar di jurusan teater STSI Padangpanjang saat masih kuliah di STSI Padangpanjang. Pengalaman sebagai guru adalah mengajar Ekstra di SMU Sore Padang Panjang. Pengajar kesenian di SMU Negeri 2 Tabir, kabupaten Merangin. Propinsi Jambi, (semenjak 10 Januari 2006). Pengajar KTK serta Kebudayaan Daerah di SMP 2 Tabir Selatan kabupaten Merangin, Propinsi Jambi (Semenjak 6 Agustus 2006). Mengajar di SD 07 Limbur Merangin, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi (semenjak 11 Juli 2007). Saat ini non aktif sebagai guru untuk menempuh program D4 di Fakultas Ilmu Pendidikan UMSB “Kauman” Padangpanjang. Pengalaman jurnalistik, menulis untuk Jurnal “Ekspresi Seni” STSI Padangpanjang dengan judul “ Teater Impilikasi Realitas Sastera”. Menulis untuk Jurnal “Palanta Seni Budaya” dengan judul “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah Analisis Multidisipliner terhadap Karya Toni Aryadi”.
Dijumput dari: http://sjuned.blogspot.com/2009/01/tragedi-cantoi-sulaiman-juned.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati