Jumat, 04 Januari 2013

Sengkarut Struktur Semantis (Telaah Singkat atas Lima Puisi Husen Arifin)

Malkan Junaidi
http://sastra-indonesia.com

Sebenarnya saya ingin membicarakan antologi puisi “Sulfatara” secara keseluruhan, sebab menurut saya antologi yang diterbitkan komunitas Pelangi Sastra Malang ini tergolong bisa dibicarakan. Alasan saya: pertama, karena ia memuat tak lebih dari 20 nama; kedua, dengan rata-rata 5 puisi per penyair membuatnya terasa cukup representatif dan adil dalam sebuah usaha pelanskapan, tidak sebagaimana antologi yang marak akhir-akhir ini, yang memuat lebih dari 50 penulis tetapi masing-masing hanya diberi kesempatan menampilkan paling banyak 2 judul puisi. Namun untuk sementara saya akan membatasi pembicaraan hanya pada puisi-puisi Husen Arifin. Bukan karena puisi-puisinya lebih saya sukai ketimbang yang lain atau sebaliknya paling tak saya sukai di antara yang lain, tetapi, jujur, karena saya sudah berjanji kepada yang bersangkutan untuk melakukan tinjauan, longokan,dan icipan atas karya-karyanya dan memberikan ‘kritik’ ala kadarnya.

Di pengantar buku yang ditulis oleh Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur, Mashuri, saya menemukan komentar-komentar atas para penyair yang karyanya dimuat di antologi ini, termasuk tentunya komentar atas Husen Arifin. Berikut saya kutipkan komentar tersebut:

Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir. Yang ia butuhkan adalah bagaimana ia memiliki gaya pribadi yang khas karena ia sudah memiliki kemampuan menyajikan puisi dalam banyak gaya, yang satu di antara yang lain kadang berbeda. Gaya-gaya ini, jika dibaca lebih jauh, memang bertradisi pada perpuisian Indonesia kini. Jika ia memiliki pengucapan pribadi, karena bagaimanapun puisi pada taraf tertentu adalah pengucapan pribadi, tentu itu akan menunjukkan bahwa dia telah fasih dan canggih mengolah gelisah dan gagasannya.”[sic]

Meski tidak mengerti dengan maksud “…bertradisi pada perpuisian Indonesia kini.” (tradisi perpuisian Indonesia kini [mutakhir?] itu yang bagaimana?), namun saya menggaris bawahi dua hal: (1) Husen Arifin sudah tak bermasalah dengan teknik perpuisian, namun (2) Husen Arifin belum memiliki pengucapan yang khas.

Husen Arifin lahir di Probolinggo, 23 tahun silam. 5 puisinya yang dimuat di “Sulfatara” adalah karya dari tahun 2010, kecuali puisi “Sebuah Petuah” berasal dari tahun 2011. Pemuda yang adalah alumnus Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen UIN Maliki Malang ini karyanya banyak muncul di antologi bersama dan konon ia pernah mendapat penghargaan dalam sebuah lomba esai nasional. Pengatahuan biografis menyangkut umur, jenis kelamin, status perkawinan, tempat lahir dan tempat tinggal, pendidikan, dan sebagainya, menurut saya penting untuk pembicaraan yang tak asal-asalan. Meski kesusasteraan bisa dipandang sebagai fakta tekstual independen, lepas dari siapa penulisnya, juga motif dan ideologi apa yang melatarbelakangi proses kreatif yang berlangsung, namun tak jarang pembacaan dengan metode strukturalis semacam itu terasa arogan dan simplifikatif. Sayang saya belum berkesempatan membaca seluruh karya yang dikirimkan untuk antologi ini (kabarnya masing penyair diminta mengirimkan 10 judul), jika sudah tentu lebih baik.

Setelah membaca puisi-puisinya yang tersuguh di halaman 52-57 dan biografinya yang termaktub di halaman 137-138 saya menyimpulkan bahwa tidak terdapat (ko)relasi signifikan antara fakta bahwa Husen Arifin menggeluti ilmu manajemen dengan fakta tema dominan apa yang ditulisnya di puisi-puisinya. Kelihatannya kuliah dan puisi bagi Husen Arifin adalah dua hal yang berbeda, dua pilihan dengan dua alasan yang berlainan, yang satu tak memengaruhi yang lain. Sebab itulah barangkali tak satu puisinya di antologi ini membicarakan realitas perekonomian kontemporer. Sebaliknya ia lebih asyik berbisik-bisik dengan entah apa entah siapa, tentang hal-hal klise semacam kerinduan, kekhawatiran, impian, dan kekaguman.

seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.

o, tampak laut sudah keriput
hingga batas perihku akut
dan tak ada lagi halauan
tak ada tentang kasih berdekapan
bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.

mungkin aku dekat pada kesepianmu
pada malam paling tenang
untuk mengalihkan nyanyian dukamu
menjadi sebaris catatan pengantar rindu
rindumu yang nyaris terbawa seribu ketakutanku.[sic]

Kekaburan merupakan ihwal yang saya tangkap pertama kali dari puisi berjudul “Seribu Ketakutan” di atas. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya yang ditakutkan oleh aku-lirik sampai-sampai frasa “seribu ketakutan” disebutkan dua kali di puisi yang relatif pendek ini dan digunakan sebagai judul pula? Adakah seribu ketakutan ini adalah (ihwal yang dipicu oleh) krisis yang tersirat di bait kedua: “laut sudah keriput”, “tak ada lagi halauan”[sic], dan “tak ada tentang kasih berdekapan” itu? Mungkin saja. Husen Arifin ? tidak saja dalam puisi ini, namun juga di 4 puisi yang lain? tampak keteteran dalam menjaga koherensi antar bait, dan alih-alih mengatakan banyak hal dengan sedikit imaji, ia menjibuni puisi-puisinya dengan macam-macam imaji yang namun malah membingungkan saya perihal inti yang ingin disampaikan. Memang kata-kata dalam puisi berfungsi bukan cuma sebagai jongos makna, sebaliknya dipilih sedemikian rupa karena dianggap sanggup menghadirkan nuansa tertentu, keindahan tertentu, dan itulah kenapa puisi tak bisa diterjemahkan ke bahasa yang lain, karena proses penerjemahan tidak lain merupakan proses pengungkaian makna, sedang makna bukanlah realitas utama atau satu-satunya dari puisi. Namun jika sebuah puisi lebih menonjolkan permainan bunyi, terlebih jika terjadi pergeseran kelas kata (sebagaimana adjektiva payau yang bergeser menjadi nomina dalam bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.) yang dibarengi distorsi makna yang entah apa gunanya (apa atau siapa yang bersama payau itu? (ke)kasih (yang) berdekapan-kah? Jika iya, maka apa atau siapa yang ke dermaga kenangan? payau yang beriak atau (ke)kasih (yang) berdekapan? Lalu hingga batas perihku akut, apa atau siapa yang mencapai batas perihku, dan apa yang akut itu, perihku atau batas? Serba membingungkan.

Mungkin Husen Arifin ingin melakukan pemadatan teks, seperti yang pernah dan sering dilakukan Chairil Anwar, dengan menghilangkan bagian-bagian yang keabsenannya dianggap tak akan merusak atau bahkan merubuhkan struktur semantis, malahan memperkayanya melalui ambiguitas interpretatif. Jika benar, maka saya menilai usaha ini, setidaknya di puisi “Seribu Ketakutan” tersebut, belum cukup berhasil, kalau tak boleh disebut gagal total. Karena bukan multi-tafsir yang saya dapat dalam pembacaan, namun multi-kebingungan. Bahkan usaha mendekati bait pertama dengan metode parafrasa semisal “seribu ketakutanku barangkali mengiringi mimpimu atau menjadi kunang-kunang malam (yang) mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.” tak menolong saya untuk lebih memahami maksud bait tersebut, apalagi menikmatnya. Saya tak bisa membayangkan gambaran tidur-yang-dikelabuhi itu bagaimana, terlebih tidur-yang-kelam. Orang mungkin akan menyanggah: “Tapi Anda tak bisa memakai kebingungan Anda sebagai parameter kegagalan puisi orang lain, sebab boleh jadi banyak orang tidak bingung seperti Anda!”. Jika demikian mari kita lanjutkan ke puisi berikut.

kandang hatimu:
harimau meletakkan kakinya
ke bangku, menjadi seseorang paling
perkasa, membuka tabir tabir luka, gigi sebesar
jemari merekah dan meruncing sekali.

seperti celurit bermata. dan kau membisik padanya
merajuk pada tubuh angkuh, menyegerakan
membabat belulang sedihku

rapuh, merapuh ke segala riuh.
angin mengekal dan mengenggam
pada perih, pada lirih, pada ringkih
yang kurasakan dalam gembala
dan bermain dalam sirkus,

di harimau yang berulang menjelma malam
mengisyaratkan ingin melahap, mengungkap ingin merayap
ke gemuruh dadaku yang tak siap

kadang hatimu:
bagaimana kalau aku buat kandang baru?
berisikan rembulan, kelinci bergigi puisi,
dan gajah afrika
hingga membuatku tak ingat pada harimau
yang terlukis di dadamu,

mata harimau
mata cintamu
sebab itu aku cemburu.[sic]

Puisi di atas berjudul “Kandang Hatimu”, dan berdasarkan judul tersebut saya menganggap baris pertama bait kelima (kadang hatimu) dan baris kedua bait ketiga (…dan mengenggam) sebagai salah ketik. Tidak sedikit salah ketik di Buku “Sulfatara” ini memang. Saya tak tahu ini kesalahan pengirim naskah atau pengolah naskah. Bahkan Mashuri di Pengantar menulis Britney Spears sebagai “Bretney Spears”. Sebuah kecerobohan yang semestinya sudah tak terjadi pada seorang yang notabene penulis senior seperti dia. Lepas dari itu, menurut saya “Kandang Hatimu” relatif lebih mudah dipahami inti dan arahnya dibanding “Seribu Ketakutan”. Puisi ini menggambarkan konfrontasi aku-lirik dengan seseorang yang tampaknya memiliki hubungan intim dengan aku-lirik tersebut. Bisa kekasih atau tokoh yang banyak mem(p)engaruhi cara berpikir dan bersikap aku-lirik. Saya pribadi memandang konfrontasi ini sebagai konfrontasi oedipal, di mana bayang-bayang kemegahan seseorang menimbulkan hasrat ganda: meniru sekaligus membantainya. Narasi lalu meruncing pada usaha konsolidasi yang direpresentasikan oleh kalimat “bagaimana kalau aku buat kandang baru?” dan ditutup dengan baris “sebab itu aku cemburu” yang menegaskan adanya Kompleks Oedipus tadi.

Kecenderungan bermain bunyi jelas kentara di bait ketiga. Tentu saja bermain bunyi bukan merupakan sebuah dosa, sebaliknya apabila dilakukan secara proporsional, tidak berlebihan, akan menjadi sisi penguat struktur puisi secara keseluruhan. Namun saya justru menganggap bait ketiga tersebut sebagai “pengganggu”. Keberadaannya seperti kehadiran seorang perempuan genit di sebuah warung kopi di mana saya tengah melakukan percakapan serius dengan seorang pelanggan lain yang sudah saya kenal baik. Perempuan itu menanyakan sesuatu yang saya tak tahu jawabannya dan pertanyaannya menurut saya tak penting-penting amat baik untuk dijawab ataupun dicari jawabannya. Saya terganggu dengan kegenitannya dan sedikit marah karena ia menginterupsi percakapan saya. Karena itulah saya pikir eliminasi terhadap bait ketiga ini tak akan menimbulkan gangguan semantis yang serius, malah membuat tubuh puisi “Kandang Hatimu” menjadi lebih ramping dan seksi, karena sesungguhnya bait ketiga ini (di)hadir(kan) lebih sebagai akustika fonetis, terutama dalam “rapuh, merapuh ke segala riuh” dan “pada perih, pada lirih, pada ringkih”.

bunga-bunga meninggikan tubuhnya
sampai diam-diam ke batas mataku
melebihi airmataku membuat sebidang rindu
ya, aku rindu malam penuh lelagu
ingin kupijakkan kenangan
bersama orang orang memahat rembulan
memahat jejak jejak yang kutitipkan
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga
rupanya malam ini bukan lagi pujangga

aku bernafas sejenak, sejenak
untuk memintal sajak
mencari derai derai ombak
pada bunga bunga yang bergerak
karena malam ini bukan kita
yang menyertai cita cita
menuju singgasana surga

dan terlampau luka kubacakan doa
pada bunga bunga yang meninggikan tubuhnya
teratai teratai yang berduka
di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya [sic]

Saya tak tahu melalui puisi di atas Husen Arifin ingin membicarakan apa sebenarnya. Judul “Tugu Ibu” yang disematkan meski tersusun bukan dari imaji abstrak namun menurut saya gagal menjadi idiom yang melahirkan makna segar. Secara garis besar puisi ini adalah pertunjukan kesengkarutan dan inkonsistensi yang disembunyikan di balik tebalnya bedak ritme dan rima. Baris “sampai diam-diam ke batas mataku” merupakan dislokasi sintaksis yang kalau ‘dikoreksi’ menjadi “diam-diam sampai ke batas mataku” pun masih menyisakan tanya: apa itu batas mata? Saya mencoba membaca ulang, kali ini dengan lebih santai, dan hasil pembacaan saya adalah: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya mencapai mata, atau: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya sampai pandangan tak sanggup menjangkaunya. Dari dua kemungkinan hasil pembacaan ini dapat disimpulkan bahwa inti yang ingin dikatakan adalah bunga-bunga yang diam-diam tumbuh makin tinggi.

Namun pembicaraan mengenai bunga ini lantas mandeg, aku-lirik berpindah membicarakan kerinduannya pada malam (yang) penuh lelagu, malam di mana aku-lirik bersama orang-orang memahat rembulan. Sayang, bagian yang menarik ini lalu disusuli tiga baris yang tak jelas juntrung maknanya: “memahat jejak jejak yang kutitipkan”, dititipkan pada apa atau siapa? dan jika sudah dititipkan kenapa masih dipahat? tidakkah logikanya seharusnya dipahat dulu baru dititipkan? Saya pun curiga bahwa pada bagian “saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga/rupanya malam ini bukan lagi pujangga” itu Husen Arifin hanya ingin menyihir pembaca dengan pesona resonansi kata “berjelaga” dan “pujangga”, tak lain dan tak bukan. Kita bisa memang dalam cara yang berbeda membaca lima baris terakhir bait pertama tersebut sebagai sebuah kalimat independen: ingin kupijakkan kenangan, bersama orang-orang, memahat rembulan (dan) memahat jejak jejak yang kutitipkan (pada….?) saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga, (namun) rupanya malam ini (aku) bukan lagi pujangga, dan dengan demikian maknanya menjadi cukup terlihat. Namun terdapat kejanggalan: apa korelasi status kepujanggaan dengan keseluruhan runtut makna dan peristiwa di bait pertama itu? juga jika memang malam ini (aku) bukan lagi pujangga, lantas kenapa aku bisa “memintal sajak” sebagaimana tersebut di bait berikutnya?

Inkonsistensi tidak saja terjadi di lapis makna, Husen Arifin juga tampak tak konsisten dalam meniadakan tanda hubung, terbukti reduplikasi pada kata “diam-diam” masih menggunakan tanda hubung. Adakah kata “diam-diam” lebih istimewa dibanding kata ulang yang lain di seluruh puisi tersebut? Entahlah. Puisi ini ditutup dengan baris “di tugu ibu aku temukan telaga yang kering airmatanya”. Mungkin puisi “Tugu Ibu” memang dimaksudkan sebagai sejenis requiem atas kematian ‘sosok’ ibu. Serakan imaji ‘nglangut’ semacam “airmata, jelaga, luka, doa, dan duka” yang berusaha diklimakskan pada dua baris terakhir adalah alasan utama penyimpulan tersebut. Mungkin Husen Arifin di puisi ini lebih ingin membangun suasana ketimbang makna. Namun saya pikir sulit suasana akan tercecap dan terhayati jika sebuah teks kental dengan permainan bunyi.

Merdeka itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah ketika hatimu menjumpai airmata
dan tak sesedih itu. Bangkitlah, rayakan hari ini
sebuah merdeka yang bangkit dari kerasnya sesal.
Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis
yang esok kering, melainkan bertambah miris.
Bagikanlah Maut menyebar, agar sesekali
kematian menjadi resepsi.
Pesan cinta itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah malam yang menabur bintang, tapi rindumu
sebasah hujan meretas ke penggal pohon dan reranting
bergugur di antara mimpimimpi kenangan.
Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit
sehabis gelap.[sic]

Rembulan agaknya merupakan imaji favorit Husen Arifin. Semua puisinya yang dimuat di “Sulfatara”, kecuali puisi “Seribu Ketakutan”, mengandung kata ini. Imaji rembulan selalu mengingatkan kita pada imaji malam. Sedang kehadiran rembulan sendiri di waktu malam adalah romantisme setingkat dengan kehadiran fajar di pagi hari; harapan di hadapan keputusasaan, keberanian di hadapan ketakutan, dan sebagainya. Meski demikian tak mudah bagi saya memastikan maksud dari frasa “perempuan separuh rembulan” di puisi yang berjudul “Sebuah Petuah” di atas. Jika seorang perempuan digambarkan separuhnya berupa rembulan, maka mau tak mau kita mempertanyakan yang separuhnya lagi berupa apa? Matahari? Sepertinya hanya Husen Arifin saja yang tahu. Sebab kebebasan yang eksistensinya diandaikan melalui frasa “the death of author” bukanlah jaminan bahwa sebuah proses pembacaan akan selalu berhasil mencapai penafsiran. Tak jarang keeksentrikan dalam membentuk jukstaposisi menjadi tabir yang tak dapat ditembus kecuali oleh penulisnya sendiri.

Saya tak bisa berbohong mengatakan saya tidak kecewa melihat bahwa di puisi yang tergolong paling anyar ini Husen Arifin belum juga ‘insyaf’ dan melakukan pembenahan atas ‘kesalahan-kesalahan’ kebahasaannya, terutama menyangkut inkonsistensi gagasan. Betapa masih terlihat ketidakistiqomahan itu di empat baris pertama; gagasan “kemerdekaan” diagungkan, “bangkitlah, rayakan hari ini”, kemerdekaan dianggap identik dengan kebangkitan dan optimisme, namun segera gagasan itu dikhianatinya sendiri melalui “Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis/yang esok kering, melainkan bertambah miris.”. Kenapa justru ketika kemerdekaan (sudah) terhampar, …tangis (malah) bertambah miris? Di puisi ini saya mendengar ajakan supaya orang membebasakan diri mereka dari kesedihan yang berlebihan, untuk menghadapi kematian sebagai kenyataan biasa, dan tak mendewakan emosi dan sentimentalitas. Namun saya juga mendengar seruan untuk tindak masokis pada “Bagikanlah maut…, agar … kematian menjadi resepsi.”. Ini aneh. Husen Arifin lalu melanjutkan ‘petuah’nya, kali ini tentang cinta. Kita kembali disuguhi permainan bunyi, juga konjungsi “tapi” yang anehnya mempertentangkan pesona cinta dengan rindu yang basah, diakhiri dengan baris kontemplatif “Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit sehabis gelap.”.

perempuan Tionghoa dua bola matanya
seperti bulan sabit
seolah olah aku menjadi burung pipit
mengerling dan menyunting malam
malam menepis daun-daun layu
menadah rindu-rindu di reranting pohon randu

aku menghapus mimpi-mimpi burukku
begitu dua bola matanya mengecup pada tidurku
pada senandung bayangku
dan aku melayari dua bola mata itu
tiap waktu tiap mau
meladang pada Tuhanku [sic]

Puisi terakhir yang saya kutip ini berjudul “Dua Bola Mata Perempuan Tionghoa”, merupakan puisi yang paling saya sukai di antara puisi Husen Arifin yang lain. Puisi ini relatif konsisten dan tak carut konstruksinya. Kita bisa menyaksikan dari awal hingga akhir pembicaraan mengenai perempuan Tionghoa ini tak mengalami interupsi destruktif. Saya menghitung terdapat hanya dua kejanggalan, pertama (sekali lagi) mengenai reduplikasi, kenapa kata “seolah olah” tak diberi tanda hubung sementara tiga kata yang lain diberi tanda hubung? kedua, (namun saya tak yakin semua pembaca bingung seperti saya) kenapa aku-lirik menganalogikan dirinya sebagai “burung pipit”? dan apa korelasinya dengan bulan sabit?

Jika Mashuri mengatakan  “Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir.”, maka saya sebaliknya mengatakan Husen Arifin masih sangat perlu memperbaiki teknik menulisnya. Sebab saya melihat dia masih terombang-ambing di antara  romantisme ala Pujangga Baru dan posmodernisme. Dia harus segera memutuskan hendak berdiri di sisi mana. Romantisme berarti konvergensi, posmodernisme sebaliknya berarti divergensi. Masing-masing melibatkan implikasi teknis yang nyaris bertolak-belakang. Koherensi, fokus, dan konsistensi adalah contoh ihwal teknis yang harus dibenahi jika ‘jalan’ romantisme yang diambil. Sedang posmodernisme bisa dicapai dengan penghancuran secara sengaja atas pilar-pilar romantisme tersebut. Atau tentu akan menggembirakan semua pihak jika Husen Arifin mampu memunculkan isme yang betul-betul baru. Melihat bahwa usianya belum sempurna 23 tahun saya percaya dengan usaha yang militan semua itu bukan perkara yang mustahil. Semoga.

Blitar, 25 Desember 2012,
Malkan Junaidi, Penyair, Aktivis Facebook.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/01/sengkarut-struktur-semantis-telaah-singkat-atas-lima-puisi-husen-arifin/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati