Rabu, 28 November 2012

Demokrasi di Babak “Goro-goro”

Judul : Titik Nadir Demokrasi
Pengarang: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Zaituna, November 1997
Tebal: xvi + 368 halaman
Peresensi :  Sutejo *
Kompas, 27 April 1997

ADAM Schwarz dalam bukunya berjudul A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (1994), mensinyalir bahwa tiada aturan-aturan yang jelas tentang apa yang disebut dengan pelanggaran atau kepatutan di bidang politik di masa Orde Baru: hak sosial rakyat dan individu dalam demokratisasi. Tujuan hukum, tulisnya, bukan untuk menjunjung hukum tapi untuk menjunjung kemauan pemerintah.

Fokus demokratisasi di Indonesia, dalam era mutakhir, sangat tergantung pada bagaimana suksesi berlangsung. Karenanya, proses tawar-menawar berlangsung tertutup: pejabat eksekutif, ABRI, usahawan besar, politik Islam, kaum cendekiawan, dan kalangan yang berkepentingan di luar negeri. Problem (dilema?) terbesar Indonesia adalah bagaimana perlunya perencanaan arif dan terbuka di tengah-tengah semakin tertutupnya kemungkinan perencanaan yang demikian – karena sifat patrimonial dari sumbu kekuasaan Orde Baru.

Format politik Orde Baru telah tersusun sedemikian rupa sejak 1969 dan siapa pun yang menggantikannya (1998 atau 2003) –tentu– bobot dan kharismanya akan terjadi kesenjangan yang tajam.

Hal-hal itulah dalam anasir-anasir Emha pada Titik Nadir Demokrasi, mengalami pendalaman dan penggalian yang “menggigit”. Sebuah potret kesunyian manusia di tengah-tengah hiruk pikuk manipulasi demokrasi. Karena itu, dia mensiniskan bahwa potret manusia macam Bambang Warih dan Bintang Pamungkas yang GR jadi wakil rakyat (hal. 216-217).
***

MENCERMATI Titik Nadir Demokrasi, seperti membaca kolom dan tulisan Emha di berbagai media: Tiras, Gatra, Matra, Forum Keadilan, Sinar Target, Bernas, dan Kedaulatan Rakyat. Satu bab yang paling menarik dari buku ini adalah Gara-gara (Goro-Goro?). Kalau Goro-Goro dalam pakem Pewayangan adalah sebuah babak di mana kekacauan (chaos?) terjadi pada kalangan pangreh praja: sinema chaos yang diperdalam dengan menyatunya rohaniawan dengan penguasa, yang tak punya lagi suara kritis, rohaniawannya tan bangkit anemu, manjing praja, minta pitulungane ratu (lari ke keraton minta pertolongan raja) maka Goro-Goro dalam Titik Nadir Demokrasi hakikatnya juga presentasi dan refleksi kritis dari  fenomena kekacauan kehidupan politik dan demokrasi di Republik yang keratonis dalam bahasa Emha ini.

Goro-Goro karenanya memotret panca-tema absurdis di jalan lingkar demokrasi-PDI: Mega dan Mendung, Ijazah buat Megawati, Tak Kan Lari Mega Dibuang, Demokrasi, Bumbu dan Transaksi, serta Bunker-Bunker Demokrasi. Sekaligus puncak (komplikasi) dari prahara demokrasi yang membutuhkan kehadiran seorang Semar. Dalam ideologi wayang, kehadiran Semar beserta punakawan lain: Gareng, Petruk, dan Bagong adalah semacam modus-metodologis untuk meleraikan chaos para ksatria yang alpa. Karena sebutan pono bagi mereka adalah sebuah metafor untuk memahami sesuatu dengan hening untuk mencapai kesempurnaan. Tapi dalam bagian ini, Emha tidak mau “menghadirkan” Semar.

Goro-Goro buku ini, lebih mengarah pada upaya reportase dari kekacauan demokrasi politik itu sendiri, yang karenanya Semar –yang hakikatnya adalah rakyat– biarlah akan bicara dan hadir dengan sendirinya. Dalam Mega dan Mendung misalnya (hal. 219-227), bagaimana penulis sendiri melakukan semacam “tawar-menawar” dari kebimbangannya sebagai “orang yang tahu” atas kenadiran demokrasi-politik. Semula judul yang dikehendaki adalah The Untouchable dan Sindroma Drestajumena.

The Untouchable, menurut Emha, semacam instrumen untuk menjelaskan sesuatu yang diketahuinya persis, namun karena berbagai pertimbangan –politis dan kultural– terpaksa tak bisa dipaparkan. Sebab, ia menjadi semacam kias dari potret obrolan sehari-hari yang suka menuding “rekayasa” dan “dalang di balik peristiwa”, namun semuanya nyaris tak terbahasakan pada ujungnya.

Sedang Sindroma Drestajumena pada hakikatnya adalah elegi politik-demokrasi yang ditransfer dari alam pewayangan. Elegi itu berawal dari tidak diakuinya Drestajumena (titisan Prabu Bambang Ekalaya) sebagai cantrik Durna. Karena itu ia membuat patung Durna dan bersemedi di hadapannya. Walhasil, ia lebih sakti ketimbang cantrik-cantrik resmi Durna.

Konflik terjadi ketika skandal seks Arjuna dengan permaisuri Ekalaya. Mereka duel, Arjuna tumpas. Namun ini menyalahi skenario Dewa, sehingga Arjuna dihidupkan kembali oleh Kresna – mandataris utama “suprastruktur kekuasaan alam semesta”. Tapi Arjuna ogah hidup kalau Ekalaya tidak mati. Maka Kresna pun menyamar jadi Durna: membunuh Ekalaya.

Fokus permasalahannya adalah tahunya si Ekalaya bahwa si pembunuh adalah Durna, bukan Kresna. Karenanya, generasi penerus Ekalaya akan dendam kesumat kepada Durna: orang yang sama sekali tak bersalah! Kresno sendiri  -yang licik itu– tetap menjadi super hero yang gemerlap eksistensinya. Dengan serius Emha kemudian bertanya, “Siapa Durna, siapa Kresna, dan siapa Ekalaya? Bukankah kita harus siap dengan kewaspadaan pertanyaan semacam itu dalam melihat apa dan siapa pun saja di sekitar kita, apalagi jika itu menyangkut masalah-masalah besar nasional?” (hal. 223).
***

MAKA sekadar inventarisasi dari Goro-Goro Indonesia mutakhir, para pangreh praja bersembunyi di balik eufemisme dan arbiter-nya bahasa: “Ada dalangnya” (kerusuhan Tasikmalaya), penyimpangan prosedur (kasus Adi Andoyo), “penghinaan Presiden” (kasus Bintang Pamungkas), “gerakan makar” dengan “sejumlah orang hilang” (kasus 27 Juli), “penyalahgunaan wewenang” (kasus Eddy Tansil) dan sebagainya. Yang semuanya sebenarnya, dalam bahasa Emha bermuara pada narkotika kebudayaan Indonesia.

Dan inilah ironisnya, ketika masyarakat madani (civil society) yang lazim disebut voluntary organization –LSM untuk sebutan Indonesia– gencar melakukan semacam pemberdayaan (empowering) masyarakat di satu sisi, dan melakukan advokasi terhadap pemerintah terhadap berbagai policy pada sisi yang lain. Pemerintah sendiri dengan “angkuh” menembakkan peluru pamungkas: kegiatan makar, komunis, anasionalis. Pada hal sesungguhnya, LSM (civil society?) dalam bahasa Peter Berger jelas-jelas sebagai “institusi perantara” (intermediary institution)!

Dengan demikian, membaca tulisan-tulisan Emha dalam Titik Nadir Demokrasi ini menjadi semacam media alternatif karena buntunya multi-akses yang ada. Semacam pencerahan jiwa dalam teori Katarsis. Sebagaimana lazimnya buku-buku Emha, sarat dengan diksi Arab dan Inggris –acapkali juga idiom khusus–, maka tanpa bekal bahasa yang “cukup” tentu akan menyulitkan para pembaca yang awam. Sebab sebagaimana Mohammad Sobary, yang pernah me-rehal Markesot Bertutur, dengan rendah hati bilang pada mulanya dia mengalami kesulitan memahaminya. Bagaimana dengan Anda? Gampang, cukup sesekali nyerupit kopi hangat, berkernyit, dan cekikikan seperti “perawan-perawan” yang menunggu “pinangan”.

*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/demokrasi-di-babak-goro-goro/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati