Yusmar Yusuf
http://www.riaupos.co/
Puisi, lebih kuasa dari peluru. Bahkan bom nuklir sekalipun. Bapa bangsa Jerman, masih zaman Prusia raya sebagian besar adalah penyair. Prusia beralih menjadi Jerman hari ini berkat para penyair dan seniman besar. Tersebut Fichte, Goethe, dan tersedia pula nama Schiller. Begitu pula Indonesia hadir menyeruak bak bunga mekar di taman tropis berkat rangkaian puisi yang jalin berjalin, berumpun dan bertandan dari waktu ke waktu. Bermula dari puisi pendek “Soempah Pemoeda”, sampai preambul Undang-Undang Dasar 1945. Kalimat-kalimat dengan nada pembebasan dalam “Declaration of Independence” adalah semacam stanza, putik puisi, dan renungan terdalam bangsa Amerika yang berhasrat merdeka dan bebas menghirup oksigen benua Columbia utara. Ikhtiar untuk menyampai hasrat terdalam selalu dibungkus dengan ‘tanda-tanda suci’ (hiereofany) agar mudah didengar dan dikabulkan oleh Yang Maha Tinggi. Tanda-tanda suci itu antara lain bisa wujud dalam langgam kata-kata indah memucuk yang berangkai, menggugah dan menggoncang jiwa yang ‘memanjatnya’. “Goncangan” itu sekaligus berfungsi ‘peneguh’. Dan goncangan sekala itu pun bersalin menjadi lemak kehidupan.
Günter Grass, sebuah nama yang besar di atas panggung sastra dunia, penerima Hadiah Nobel 1999, perancang grafis, juga seorang pelukis, menggoncang Israel, dan menyodor madu kepada bangsa Parsi. Günter Grass tak zahir di tanah anbiya. Dia lahir di sebuah kota di mulut laut Baltic nan sejuk. Sebuah kota yang senantiasa memberontak dan meronta; di sebuah kota yang menyebut dirinya ‘bebas’ – Free City of Zandig atau dalam dialek Jerman Freie Stadt Zandig dalam wilayah kekuasaan Jerman-Prusia, yang kini bernama Gdanks, masuk dalam wilayah republik Polandia. Gdanks? Kota galangan kapal. Nama ini juga lekat dengan tokoh buruh yang kemudian menjadi Presiden Polandia, Lech Walesa. Rontaan buruh di awal tahun 80-an di kota ini adalah serangkaian puisi yang menjatuhkan kekuasaan komunisme. Günter Grass yang berusia renta (84), masih melahirkan ‘nuklir’ kalam bernama puisi “Dicht” poem dan langsung berdepan dengan nuklir Israel dan ketemaraman nuklir Iran.
“Nuklir kalam” bernama puisi itu menyilang dan mengempang kehendak hewaniah sebuah bangsa yang terganggu rencana-rencana hidupnya yang dikulum dalam sedepa simulasi antara Tel Aviv dan Teheran. Günter Grass menulis puisi dan disiar dalam Sueddeutsche Zeitung, Rabu minggu lalu (4/4/2012), dengan tajuk mahkota puisi: “Was gesagt werden muss” @ “Apa yang Mesti Dikata”. Dan puisi ini menjadi kehebohan melintas benua; Eropa, Asia dan Amerika. Dan puisi pun mampu menandingi ragam jenis senjata pemusnah. Tak sekedar hujatan personal kepada Günter Grass, malahan mendorong sebuah sidang ‘kabinet’ dalam ukuran mini. Eli Yiskai, menteri ihwal dalam negeri Israel berkata; “Jika Grass ingin menulis karya-karya bias, saya minta dia menulis di Iran saja”. Benjamin Netanyahu sang Perdana Menteri menyindir sebagai karya yang memalukan. Isu ini juga masuk dalam agenda bahasan antara menteri luar negeri Israel Avigdor Liebermann dengan menteri luar negeri Italia Mario Monti.
Sejarah selalu memaku dan merantai sebuah bangsa. Sejarah juga bergairah untuk “menjatuhkan palu godam” pada sesuatu yang disangkakan liar. Maka, karya Grass masuk dalam sangkaan dan sejarah yang merantai. Siapa saja, lembaga apapun, tak terkecuali organisasi bangsa yang berseberangan dengan ‘kehendak’ narsis bangsa Yizrael, maka akan dilempar dengan hukum penalti sebagai anti-Semit. Dan sejarah pun mencatat sekalian merantai Grass yang pernah masuk pasukan SS masa Hitler sebagai barisan anti-Semit. Demikian pula, sebuah organisasi bangsa Parsi yang kini bernama Iran, yang pernah sesumbar ingin menghilangkan Israel dari peta muka bumi, juga disandera sebagai anti-Semitisme itu pula. Anti-Semitisme sebuah kalung, sekaligus rantai zaman.
Dan sejarah pun berlalu dalam versi puisinya masing-masing. Setiap zaman dilahirkan oleh sejumlah puisi yang memukau sekaligus mengacau. Antara pukau dan kacau, maka setiap bangsa pun berdiri sebagai juri yang bimbang dan gamang. Grass seakan “utusan langit” yang tak berasal dari tanah para anbiya, namun membawa semangat profetik. Sebuah semangat ‘mengadili’ sejarah dan zaman. Hendaklah diputuskan mata rantai comedia-tragico era Adolf Hitler dengan kenyataan agresif bangsa Israel kini, yang menjadi ‘duri dalam daging’ bagi kehidupan makhluk manusia muka bumi. Hendak pula dipilah antara keperkasaan kerajaan Sasanik dengan kenyataan rezim Mullah yang membingkai Iran hari ini sebagai pengimbang kekuatan dan dominasi opini muka bumi.
Lalu Grass seakan kehilangan kata, lalu berdiam dan diam yang terlalu lama. Maka lahirlah puisi, tentang apa yang mesti ucap. Seakan kehilangan ‘ruang kata-kata’. Maka kehadiran panggung demi memahkotai kata-kata, adalah jalan taktis dan jenial. Grass menghadirkan panggung untuk ‘memberi nyawa’ kepada kata-kata. Dan kata-kata itu pun ujar para hermeneutika adalah ‘makhluk’ yang membentuk sistem kehidupan. Kata-kata dalam puisi Grass pun beranak pinak, pinang meminang, menikah dan berkawin, bercucu, bercicit dan membentuk rezim yang tak terungkai, walau oleh senjata nuklir yang diatur oleh sebuah sistem organisasi administrasi negara yang sangat rigid dan ketat. Negara seakan runtuh dan menjelang rebah, roboh dan berkecai dan menyatu dalam debu. Inilah, gambaran Israel ketika berdepan dengan puisi zaman dari Grass.
Saya sedut empat kuplet pertama puisi Günter Grass yang panjang itu. Terjemahan bebas saya lakukan ke atas puisi dengan tak bermaksud mencabut ‘nyawa’ karya puisi ini. Bahwa puisi, ternyata menggamangkan sebuah negara dengan kekuatan nuklir tersistem. Malahan Wakil Menteri Kebudayaan Iran Javad Samagdari mengilas puisi ini dengan ucapan pendek:
“Isinya, secara indah mengingatkan Israel”. Bahwa puisi itu menjadi pengingat dan penanda bahwa Israel bisa memusnahkan sebuah bangsa (Iran) terkait dengan sengketa dua negara yang dipicu oleh program nuklir Iran yang tersembunyi dan tak bisa diakses. Dan inilah bagian depan puisi yang merisaukan itu. Sebatang kalam tajam, yang menikam rusuk zaman…
Was gesagt werden muss (Apa yang Mesti Dikata); Von Günter Grass Warum schweige ich, verschweige zu lange,/ was offensichtlich ist und in Planspielen/ geübt wurde, an deren Ende als Überlebende/ wir allenfalls Fußnoten sind./
(Kenapa aku senyap, diam yang terlalu lama/ apa yang tampak dalam rencana mainan ini/ sebuah laku, akhir dari kehidupan/ kami adalah catatan kaki terbaik)
Es ist das behauptete Recht auf den Erstschlag,/ der das von einem Maulhelden unterjochte/ und zum organisierten Jubel gelenkte/iranische Volk auslöschen könnte,/ weil in dessen Machtbereich der Bau/ einer Atombombe vermutet wird.
(pada serangan perdana/ ditakluk oleh para pengacau/menyusun dan meneraju sukacita/melumat rakyat Iran/ tersebab rancang bangun, serangan/ diduga bom)
Doch warum untersage ich mir,/ jenes andere Land beim Namen zu nennen,/ in dem seit Jahren – wenn auch geheimgehalten -/ ein wachsend nukleares Potential verfügbar/ aber außer Kontrolle, weil keiner Prüfung/ zugänglich ist?
(tapi mengapa aku berkata pada diri ku,/ bahwa setiap negara menyebut namanya sendiri/
saban tahun – walau rahasia –/ terhidang daya nuklir yang tumbuh/ tapi, di luar kendali, tanpa diuji dan tak terjangkau?)/
Das allgemeine Verschweigen dieses Tatbestandes,/ dem sich mein Schweigen untergeordnet hat,/ empfinde ich als belastende Lüge/ und Zwang, der Strafe in Aussicht stellt,/ sobald er mißachtet wird;/ das Verdikt ‘Antisemitismus’ ist geläufig.
(Fakta awam yang disembunyi/ diam dan terkukung/ sebuah kebohongan besar/ dan dipaksa, dihukum karena penampang/dengan selamba;/ membuat putusan murahan, “antisemitisme”). ***
15 April 2012
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar