Selasa, 06 Desember 2011

Realisme-Mitos dalam Cerpen-cerpen Benny Arnas

Hary B Kori’un
Riau Pos, 29 Mei 2011

1
BAGI sebuah karya kreatif (dalam hal ini prosa [cerpen]), pengarang adalah “tuhan” yang bisa menentukan semuanya: mulai dari hidup-mati sang tokoh, nasib, jalan hidup, menderita-bahagia, jatuh cinta-patah hati, kaya-miskin, dan sabagainya. Pengarang punya hak mengatur semuanya, dengan karakter tokoh masing-masing, di mana setting-nya, bagaimana wajah tokoh, bagaimana prilakunya, apa yang hendak dan telah dibuatnya, termasuk sebab-akibatnya. Sebagai “tuhan” bagi karyanya, pengarang harus cerdas menciptakan tokoh-tokohnya, agar kekuatan yang dibangun dalam karya fiksinya juga terasa “hidup”.

Menurut Nietzsche, manusia adalah dewa terakhir yang masih hidup setelah Tuhan diberi batu nisan. Baginya, manusia harus mencipta tak henti-hentinya, karena ketika Tuhan telah mati, tak ada lagi yang bisa menciptakan kecuali manusia. Penciptaan merupakan pelunasan terhadap penderitaan dan cahaya yang kian terang dalam kehidupan (creation, that is the great redemption from suffering, and life’s growing light).1

Menurut JW Goethe, karya sastra harus memiliki arah. Kehidupan dunia yang eksoteris (menekankan kepuasan aspek lahiriah) telah meracuni kehidupan modern, yang mengesampinghkan esoteris, tabu, dan sakral, sehingga arahan dunia batin manusia yang suci telah terjerembab akarnya, dan kenyataan inilah yang menjadi sumber inspirasi karya-karya modern. Untuk itulah, sastrawan dalam menciptakan karya harus memiliki komitmen dimensi batin, esoteris yang bersih dan suci. Sebab karya sastra adalah bentuk pengungkapan batin yang paling dalam tentang keberadaan, eksistensi manusia sebagai ciptaan Tuhan.2

Di bagian lain, TS Elliot, seorang penyair Inggris yang dianggap sangat berpengaruh di zamannya hingga sekarang, mengatakan, ukuran nilai suatu karya sastra harus dilihat dari aspek etika dan keagamaan. Bila ada gagasan atau semacam kesepakatan dalam suatu masyarakat tentang etika keagamaan, maka karya sastra haruslah ‘baik’ sesuai dengan etika keagamaan. Sumber etika maupun budaya (dalam karya sastra) adalah agama.3 Dan dalam hal ini, Islam ternyata merupakan salah satu faktor penentu yang paling penting bagi terciptanya iklim sosial-budaya Indonesia modern. Seorang pengarang diharapkan mendalami agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing secara intens, atau teologi sebagai inspirasi.4

Menciptakan karya yang tak henti-henti seperti Nietzsche; karya yang memiliki arah ke lebih baik seperti dalam pikiran JW Goethe; dan karya yang memiliki aspek etika dan agama seperti TS Elliot, terlihat dalam cerpen-cerpen Benny Arnas (BA) dalam buku kumpulan cerita pendek Bulan Celurit Api (BCA [Koekoesan, Jakarta: 2010]). Hampir di semua cerpen-cerpennya dalam kumpulan ini, ketiga unsur itu terlihat lekat. BA berhasil memainkan dirinya sebagai seorang penutur, tukang cerita, yang bisa membius audiensnya, dengan bahasa akar rumput –bahasa yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat di mana cerita itu berasal– meskipun mungkin banyak tak dimengerti atau harus membuka kamus bagi pembaca umum yang tak berasal dari akar cerita itu tumbuh. Di sinilah letak kekhasan dan keunikan cerpen-cerpen BA, yang kadang centil, berhura-hura dengan kata-kata, namun menukik tajam membidas hati kita saat menjelaskan ada realitas-mitos masyarakat yang dibangunkan. Realisme-mitos, inilah yang membedakan BA dengan tukang cerita lainnya –maksudnya para cerpenis lainnya.

2
Pramoedya Ananta Toer mengusung realisme dalam sastra yang menjanjikan pembebasan bagi sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte.5 Pijakan inilah, dulu, yang dipakai Pramoedya bersama Lekra-nya, dalam wujud realisme sosial yang menjadi kabar petakut bagi sastrawan non-Lekra (yang kemudian bergabung dalam Manikebu).

Lalu, ada aliran surialisme dan realisme-magis. Istilah ini biasanya dipakai di dunia sastra untuk menyebut karya penulis seperti Gabriel-Garcia Marquez (ingatlah novel dahsyatnya, One Hundred Years of Solitude [Cien años de soledad, 1967] yang diterjemahkan menjadi Seratus Tahun Kesunyian), Jose Louis Borges, atau Ben Okri. Dalam film, kritikus sastra Wendy B Faris menyebut film The Withes of Eastwick dan Field of Dreams, misalnya, sebagai film realisme-magis. Apa sebenarnya realisme-magis ini? Penggunaan istilah realisme-magis dipelopori oleh kritikus seni Franz Roh pada tahun 1925 untuk melihat kembalinya banyak pelukis kepada realisme sesudah banyak sekali yang berkarya dengan lukisan-lukisan abstrak. Roh melihat pada karya-karya pelukis seperti Dix Otto dan Giorgio di Chirio, realisme tidak tampil sebagai realisme semata, tetapi ada elemen magis di dalamnya. Elemen magis ini intuitif dan tak terjelaskan.

Dalam surealisme dan realisme-magis, respons kita seharusnya tidak sama. Manusia, ruang, waktu, dan peristiwa tak berjalan dalam logika internal yang padu layaknya film realis. Surealisme sempat menjadi gerakan seni yang penting tahun 1930-an yang dipelopori oleh Andre Breton. Kalau mengikuti sejarahnya, surealisme merupakan kelanjutan dari dadaisme yang merupakan gerakan yang mengabaikan rasionalisme dalam berkarya. Tak perlu ada alasan-alasan masuk akal dalam berkarya. Pada dasarnya dadaisme adalah sebuah gerakan anti-art, gerakan anti seni yang melecehkan rationale dalam berkarya.6

Lalu, bagaimana dengan realisme-mitos? Tak jauh berbeda dengan pemahaman kita tentang realisme-magis, realisme-mitos yang ingin saya sampaikan tentang cerpen-cerpen BA, adalah sebuah upaya menjadikan mitos sebagai bagian penting dalam karya sastra (cerpen) modern. Mitos atau mite (myth) adalah cerita prosa rakyat yang tokohnya para dewa atau makhluk setengah dewa yang terjadi di dunia lain pada masa lampau dan dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta, dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah percintaan mereka dan sebagainya.7 Namun dalam hal ini, BA tidak hanya menjadikan cerita rakyat yang memang sebuah mitos menjadi dongengan modern dalam cerpen-cerpennya, tetapi juga kisah-kisah realis yang justru menjadi mirip mitos.

3
HARUS diakui, akhir-akhir ini nama BA sangat fenomenal dalam dunia cerpen Indonesia, terutama cerpen koran. Hampir tidak ada redaktur budaya di media-media Indonesia yang “berani” menolak cerpen-cerpen BA. Bahkan, ada sebuah media yang sampai harus antri kepada BA untuk bisa memuat cerpennya, padahal biasanya justru penulislah yang antri untuk mendapatkan kesempatan karyanya dimuat. Fenomena ini hampir sama dengan pertengahan tahun 2000-an ketika nama Raudal Tanjung Banua mencuat ke permukaan jagad cerpen Indonesia. Ketika itu, hampir tak ada media –baik media mainstream atau media biasa— yang menolak cerpen Raudal. Atau jika diurut lagi ke belakang, nama Gus Tf Sakai juga sempat menjadi fenomena cerpen koran Indonesia yang namanya hampir setiap pekan menghiasi halaman budaya media-media di Indonesia.

Yang menarik adalah, dua nama tersebut “sangat dikenal” oleh BA. Dalam catatan pengantarnya, selain beberapa nama yang menjadi teman diskusinya, Raudal dan Gus Tf adalah dua di antaranya. Entah faktor kebetulan atau tidak, ada ikatan emosional yang menghubungkan BA dengan Raudal atau Gus. Meskipun lahir dan besar di Lubuklinggau –sebuah kota di pinggir Jalan Lintas Barat Sumatera— BA menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Padang. Aroma ranah Minangkabau sangat berpengaruh dalam gaya cerita BA, dan –semoga tesis ini tidak salah— ada kecenderungan gaya tidak jauh beda antara gaya bertutur BA dengan Raudal8 maupun Gus Tf.9 Saya tidak ingin mengatakan bahwa BA punya kecendrungan mimikri gaya Raudal dan Gus Tf, tetapi secara tidak langsung, kesamaan alam yang membesarkan ketiganya, di beberapa sisi, menjadi latar belakang yang membuat cerpen-cerpen ketiganya memiliki benang merah. Karya sastra lahir tidak dari kekosongan. Kredo ini berlaku bagi siapa saja, bahwa sebelum karya itu ada, sudah ada karya-karya lainnya.

Namun, di luar persoalan itu, BA telah mampu mengembalikan sebuah cerpen benar-benar menjadi sebuah cerita asalnya yang dekat dengan penuturnya. Berbeda dengan Seno Gumira Ajidarma10 –salah satu cerpenis kuat Indonesia— atau Hamsat Rangkuti, Yanusa Nugroho, Triyanto Triwikromo, Linda Christanty, dll, yang banyak mengupas persoalan manusia modern dengan segala problematikanya, BA justru mengambil cerita-cerita masyarakatnya, masyarakat di mana dia hidup dan tinggal yang juga mempengaruhi secara pribadi dirinya.

Dalam cerpen “Bulan Celurit Api” yang menjadi judul kumpulan ini, BA berkisah tentang kepercayaan masyarakat tempatan tentang sesuatu yang akan terjadi ketika bulan merah berbentuk celurit (bulan baru atau bulan akhir?) yang seolah-olah menantang atap sebuah rumah limas. Mak Muna, sang tokoh utama, memiliki firasat bahwa akan ada hal buruk yang akan terjadi di kampungnya. Masyarakat sudah lupa akan tanda-tanda itu, tetapi Mak Muna masih ingat, meski akhirnya dia harus menghadapi kenyataan ketika justru rumahnya yang menjadi korban amukan massa ketika anak kandungnya melakukan perzinahan. Kisah cerpen ini amat sederhana dengan bahasa sehari-hari penuturnya. Kemampuan BA menyerap bahasa penutur inilah yang tak banyak dikuasai oleh cerpenis lainnya yang terbiasa dengan bahasa dan diksi lebih modern. Kita akan menemukan bahasa-bahasa renyah, termasuk bekacuk, misalnya, bahasa kasar masyarakat Lubuklinggau dan lebih luas masyarakat Sumatera Selatan dan Jambi. Ada nilai-nilai religius yang disampaikan BA dalam cerpen ini, termasuk kritik terhadap masyarakat pedesaan yang sok modern. Dalam pemilihan nama anak-anak mereka misalnya.

BA juga sangat fasih sebagai tukan cerita dalam cerpen “Hari Matinya Ketip Isa”. Di luar serapan lokalitas yang diambil BA, pilihan karakter antagonis sebagai tokoh utama (Mak Zahar), juga suatu hal yang menarik. Banyak cerpenis kita yang tak suka memakai tokoh utamanya karakter antagonis. Mak Zahar dalam cerpen ini mewakili sisi hitam karakter masyarakat pedesaan yang berpura-pura lugu, tapi judes, suka berutang, dan gagal memberikan nilai dan etika dalam mendidik anak-anaknya, padahal dia istri seorang ketib, seorang tokoh masyarakat yang amat dihormati. Mak Zahar menjadi prototipe masyarakat kelas bawah, yang selama ini dianggap sebagai masyarakat yang santun, lugu dan jujur.

Cerpen lainnya, “Kembang Tanjung Kelopak Tujuh”, adalah sebuah cerpen yang diserap dari mitologi masyarakat tentang munculnya hantu perempuan, dengan latar belakang bunga tanjung yang ditakuti orang. Jelas, dalam cerpen ini, BA tidak hanya sekadar menjadi tukang cerita, tetapi melakukan riset yang baik ketika mampu mengembangkan tokoh-tokoh berbau mitos dan mistis seperti Dayang Torek, Putri Selendang Kuning, Dayang Jeruju, dll. Banyaknya catatan kaki dalam cerpen ini, memperlihatkan bahwa BA sangat serius menggarap mitos ini.

Sementara dalam “Malam Raja”, BA juga tak bisa lari dari mitos tentang perempuan hantu yang bisa membunuh mantan kekasihnya. Sebenarnya, cerpen ini agak keluar dari mainstream BA dalam buku ini. Dia bercerita tentang keperawanan yang hilang akibat kerja keras, terjerengkang, terpeleset dan sebagainya, sama seperti manusia modern yang kehilangan keperawanannya karena menjadi atlet senam atau sering naik sepeda. Mitos tentang keperawanan dalam cerpen ini, sebenarnya amat sederhana dan sudah banyak ditulis banyak pengarang. Tentang tokoh “kau” yang anak tunggal orang kaya di mana si “aku” yang miskin dan papa bekerja sebagai pembantu, dengan gambaran keluarga rusak, mulai dari sang ayah yang haji berkali-kali tapi suka meremas (maaf) pantat si “aku”, juga seorang ibu yang pemarah, khas cerita sinetron kita hari ini. Tetapi BA berhasil mengubahnya menjadi cerita yang menarik dengan teknik yang berbeda dan membuat kita jadi memahami sisi-sisi lain dalam dunia yang melibatkan mitos keperawanan itu.

Cerpen-cerpen lainnya, seperti “Tukang Cerita”, “Surat-sajak yang Mengantarmu Pulang”, “Bujang Kurap” dan yang lainnya, memiliki rasa yang sama: tentang kearifan lokal yang dikisahkan dengan penuturan tempatan sehingga ada kekayaan bahasa dan kerenyahan bertutur yang pasti jarang kita temui dalam cerpen-cerpen pengarang lainnya. Saya menduga, gaya bertutur inilah yang disukai banyak editor/redaktur sastra kita saat ini, karena gaya seperti ini banyak ditinggalkan. Juga penyerapan mitologi lokal, menjadi daya tarik tersendiri.

Hanya saja –untuk yang ini saya harus meminta maaf kepada BA— bahwa di luar segala keseriusan dan menariknya cerpen-cerpennya, kadang-kadang setelah selesai membaca cerpen-cerpen tersebut, tak banyak yang istimewa yang tertinggal di ingatan kita. Ini jamak terjadi, karena cerpen-cerpen yang bercerita seperti ini memang gampang dilupakan, meskipun tak bisa dilupakan.

Saya tak bisa mendedah terlalu panjang-lebar cerpen-cerpen BA dalam ruang yang pendek ini. Tetapi, seperti di awal saya jelaskan, bahwa cerpen-cerpen BA mewakili pemikiran Nietzsche, JW Goethe, dan TS Elliot. Bahwa karya sastra mestinya dibuat serius, memiliki makna, dan berguna bagi kebaikan.***

Catatan:

1. Lihat Supaat I Lathief, Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius (Pustaka Ilalang, Lamongan: 2008), hal. 165.
2. Ibid, hal. 166.
3. Opcit, hal.166.
4. Hal ini diungkapkan oleh seorang Belanda non-muslim, J Harris Proctor. Lihat Supaat I Lathief, Opcit, hal. 166-167.
5. “Realisme dalam Sastra Janjikan Pembebasan”, http://www.kompas.com/, Sabtu, 3 Januari 2004.
6. Eric Sasono, “Banyu yang Takut Air”, http://manuskripdody.blogspot.com, Rabu, 7 Mei 2008
7. Lihat id.wikipedia.org.
8. Raudal Tanjung Banua adalah salah satu cerpenis terbaik Indonesia yang kahir di ranah Minangkabau, yakni di Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Salah satu kumpulan cerpen penting yang pernah diterbitkan oleh Raudal adalah Parang Tak Berulu (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2005).
9. Gus Tf Sakai adalah sastrawan kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat, yang juga alumni Fakultas Perternakan Unand. Salah satu buku cerpen Gus Tf adalah Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (Grasindo, Jakarta: 1998) yang memenangkan SEA Write Award 2001 dari Kerajaan Thailand. Dalam sebuah obrolan, Benny Arnas pernah menjelaskan bahwa Gus pernah mengatakan beberapa cerpennya jelek, namun justru cerpen-cerpen itu mampu menembus media nasional seperti Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Jurnal Nasional, Republika, dll.
10. Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma seperti “Paus Merah”, “Patung”, “Sepotong Senja untuk Pacarku”, “Saksi Mata”, “Tujuan: Negeri Senja”, atau “Partai Pengemis” banyak mempengaruhi cerpenis Indonesia lainnya. Bahkan salah seorang cerpenis yang dianggap papan atas di Indonesia saat ini, Agus Noor, dalam buku Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia (Bentang, Jogjakarta: 2010), banyak terpengaruh oleh cerpen-cerpen Seno. Lihat cerpen-cerpen itu dalam beberapa bukunya, antara lain Saksi Mata (Bentang, Jogjakarta: 1999), Sepotong Senja untuk Pacarku (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2002), Iblis Tak Pernah Mati (Galang Press, Jogjakarta: 2001), atau Dunia Sukab (Kompas, Jakarta: 2001), dll.
_____________
*) Hary B Kori’un, wartawan Riau Pos. Telah menerbitkan beberapa novel dan menulis cerpen. Tinggal di Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/realisme-mitos-dalam-cerpen-cerpen.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati