Sabtu, 19 November 2011

Epidemi Para Pencari Kematian

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Segalanya ada dalam diri kita. Juga kematian. Tapi bukan mati karena meyakini pandangan yang belum teruji. Karena aku tak percaya bila tiap-tiap perjuangan membutuhkan pengorbanan dan meniscayakan kematian. Untuk apakah kita berkorban ketika tak mesti ada pengorbanan? Untuk apa kematian itu? Mengubah nilai perjuangan? Bahwa pengorbanan nyawa demi membela keadilan dan harkat martabat kemanusian? Bahwa itu sikap luhur dan mulia yang mesti diwariskan pada anak cucu para calon pejuang?

Puan, aku punya pengalaman yang menyedihkan. Dalam sebuah majelis yang sedang mempersiapkan aksi turun ke jalan, terjadi perdebatan sengit mengenai keharusan pengorbanan dalam perjuangan. Bahkan di antara kami ada yang bilang: saya siap menjadi korban pertama dalam demonstrasi nanti. Yang lain bertanya: apakah pengorbanan saya akan didengar dan punya dampak bagi perjuangan, sementara saya bukanlah tokoh publik? Teman satu lagi bilang: kalau kamu tetap paksakan untuk memasang badanmu, itu konyol. Satu lagi langsung mengusulkan agar yang sudah menyandang titel tokoh pejuang yang dicalonkan korban. Si tokoh langsung menimpal: saya khawatir aparat tak berani menyentuh saya karena pasti media akan heboh. Betul, kata yang lain menimpal.

Kisah di atas bisa terjadi dalam lembaga mana saja; lembaga agama atau lembaga yang ngurus soal hak asasi manusia. Alhasil, yang namanya pengorbanan menjadi kenyataan tak terelakkan. Dan ini kian ditegaskan dalam semboyan: setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan. Bahkan seorang penulis pernah bilang: setiap perjuangan punya martirnya sendiri.

Saya merinding mendengar kata-kata gagah itu. Hidup harus diakhiri untuk sebuah nilai dan mutu perjuangan, seolah-olah prinsip tersebut sudah teruji kebenarannya. Fakta memang sering memperlihatkan korban dan martir dalam perjuangan, namun bukan berarti bahwa tesis nilai perjuangan dengan pengorbanan itu sudah menjadi ketetapan ilahi yang kebenarannya tak bisa diganggu gugat. Saya bisa menyela dengan tanya: bukankah alasan itu hanya sebuah dalih yang menjadi dalil? Sebuah waham menjadi paham? Suatu kekeliruan yang menjadi tak terhormat adalah kekeliruan yang memiliki satu lagi kharisma yang meninabobokkan. Membius.

Kharisma pembius jauh lebih berbahaya dari seorang pemberontak nilai yang mapan yang karenanya ia mati untuk dirinya sendiri. Lebih berguna bilamana ajaran seseorang datang dari akibat ia sendiri terbakar, tapi tidak sebagaimana pemimpin laron yang mengajak laron-laron lain untuk menutungkan dirinya. Kharismatik pembius memang tak ubahnya laron yang buta oleh cahaya yang berbahaya hingga pikiran waras dan nalurinya rabun oleh kefanatikan.

Seorang Pramoedya Ananta Toer—yang separuh hidupnya menjadi manusia bubu—justru bersikap menghargai hidup ketimbang menampilkan pribadi kharismatik, yang mengingatkan kita bahwa kebenaran belum pernah bergandengan tangan dengan mereka yang fanatik, yang hanya bisa menyalak disaat dunia seharusnya menuntut diam dengan refleksi.

Orang-orang yang menyerahkan segenap jiwa dan raganya demi mengubah realitas sosial-politik yang membelenggu rakyat tak lebih sebagai pemuja pesona dan aura dan karena itu ia menjadi musuh bagi hidup yang mesti dijalani. Mereka adalah para pemuja massa dan pasar dan siang. Pemuja yang menyihir jutaan orang untuk mengorbankan nyawa demi hal serupa tanpa ia sendiri sadari. Tanpa ia sendiri bertanggungjawab. Dan inferensitas ini telah menjadi hambatan terbesar terhadap semangat pencarian kewaspadaan.

Ketololan sejarah perang dunia pertama dan kedua justru terletak pada penampilan terhormat kepada lawan-lawan mereka dalam menganugerahkan kepada mereka ketakjuban terhadap sahid. Sikap lebih menghargai fanatik feodalistik ketimbang kewaspadaan dan kerendahan hati ialah sejenis dengan alienasi diri. Tak menghargai ikhtiar dan anugerah dari Tuhan. Memperkosa martabat sendiri, dan di atas semuanya: patologi yang berbahaya. Sebuah epileptik untuk membikin kagum massa rakyat yang besar, lebih mengedepankan nafsu ketimbang akal sehat, mencibir nalar dan intuisi untuk merayakan gerakan atau demi menjunjung karnaval siang yang kemeriahan. Inilah musuh kebenaran yang paling berbahaya ketimbang sebuah dusta karena sikap tidak ingin melihat sesuatu yang ia melihatnya, ingin tidak mensyukuri dimana seharusnya ia mensyukuri. Dengan kata lain: sebuah kias sahidiah, analogi para idealis kesiangan, silogisme militeristik yang gemar berperang.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang sebaliknya? Mereka yang memuja malam, bertafakur dalam diam dan menjunjung puisi liris yang mencekam, gelisah, resah, yang berjalan di keremangan, sunyi senyap, sepi, di saat seharusnya mereka terjun ke dalam siang dan jalan raya, sama saja. Dengan wajah yang terbalik, orang-orang inilah yang meliriskan epidemi para pencari kematian tapi tak mati-mati seperti Nietzsche dan Chairil: dua pemuja malam yang mewariskan kharisma pembius kepada banyak orang.

Aku mencintai siang untuk mencintai malam. Jiwaku terlalu lunak dan halus untuk sekadar mencintai malam. Maka kususuri siang yang terang, jalan-jalan yang gemuruh suara demonstran. Aku terjun ke tengah pasar, ke tempat-tempat pesta dan kubiarkan diriku bergolak diterpa jeritan dan histeria massa. Aku tak pernah tahu nikmatnya malam, o, tanpamu siang yang meradang menghantam jiwaku.

Kujelajahi bentuk dan ruang hingga kedalaman, yang di mata orang-orang pemuja malam dan kebebasan tak pantas dirayakan. Aku menjalani, melintasi satu demi satu kerumunan orang-orang, karena aku tak pernah bisa merasakan kebebasan yang meluap-luap tanpa sakitnya berbenturan dengan batas, jarak dan tali peranti yang mengekang. Kehendakku yang melimpah-ruah kini tak pernah kusadari tanpa keterbatasan dan belenggumu, o ruang, o bentuk, o kedalaman.

Aku gembira karena penaku menari-nari di tengah pasar, di antara sesaknya transaksi. Fantasiku terbang melayang hingga tak lagi kusadari bahwa aku tengah dikerumuni massa yang menuntut keadilan dan pembebasan. Wahai, kalian pemuja malam dan bayang-bayang, apakah kalian tidakj merasakan keterbatasan ruang antara? Kalian hanya bernyanyi sunyi tapi tak pernah seperti nyanyi sunyi seorang bisu yang justru berkumandang nyalang di saat siang, memilih dicabik-cabik suara bising anak-anak muda.

Wahai, kalian yang memilih berjalan di hutan dan lautan, ini aku datang, sang pengelana siang membawakan yang pahit kau dapatkan, lebih gersang dari kau rasakan, lebih lebur dan hancur dari hembusan angin malam. Kalian yang hidup dalam perbatasan, dalam keresahan, kecemasan dan keterkejutan. Kalian para penyair telah lama terperangkap dalam angan-angan yang membuai menghayutkan. Tanpa kalian sendiri sadari, diri kalian hanya boneka mainan yang senantiasa dikendalikan oleh hasrat ingin seperti al-Hallaj, Nietzsche, dan Chairil, oleh para penari jagat, penari tambang, dan binatang jalang. Tataplah wajah-wajah para penari siang ini, masuklah ke dalam rengkuhan terang, kalian akan merasakan nikmat yang kudapatkan. Siang dan malam teori dan aksi inilah ironi si kembar siam. Keduanya sama sebagai kharisma pembius dan epidemi para pencari kematian.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati