Sabtu, 29 Oktober 2011

DAMPAK LICENTIA POETICA BERNAMA “KREDO PUISI” TERHADAP EKSISTENSI BAHASA

Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/

Pada tanggal 02 Oktober 2011 yang lalu, tepatnya pukul 20:08 WIB, di Grup Komunitas Bengkel Puisi Swadaya Mandiri (BPSM), terjadi satu interaksi sangat menarik dengan tema pembahasan “licentia poetica” dalam sebuah diskusi yang diawali oleh posting Dimas Arika Mihardja (DAM) melalui tulisan:

Silakan memberikan respon dan sedapat mungkin memberikan alasan atau contoh: setiap penyair memiliki licentia poetica dalam penulisan puisi (kebebasan penyair dalam memilah dan memilih cara dan gaya ungkap puisinya). Untuk totalitas ekspresi terkadang penyair melakukan pelanggaran kaidah bahasa dengan tujuan mengungkapkan secara memikat dapat dihasilkan totalitas pengungkapan. Lantaran bahasa dan komunikasi senantiasa harus diutamakan, maka pelanggaran dimungkinkan sejauh untuk kebutuhan ekspresi puitik. Bagaimana menurut Anda?

Setelah menyimak dengan seksama dan mengikuti penuh khidmat seluruh pendapat yang masuk melalui komentar, akhirnya timbul keinginan untuk turut mengungkapkan sedikit pandangan melalui esai sederhana ini. Tentu saja dengan harapan, kepada siapapun yang nanti sempat membacanya, akan dapat memberi anggapan maupun tanggapan terkait licentia poetica yang oleh Shaw (1972: 291) dikatakan; Licentia Poertica adalah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.

Bahwasanya kata “licentia poetica” yang mungkin di mata sebagian penyair masih sangat asing, namun oleh kalangan penyair lainnya bisa jadi telah menjadi santapan sehari-hari, dalam kenyataannya lebih menyerupai “tameng” bagi penyair untuk memerdekakan diri demi menulis (berkarya) sebebas mungkin. Termasuk di antaranya kemungkinan melanggar kaidah-kaidah bahasa yang ada. Kata “licentia poetica” ini seakan menyerupai nomina abstrak alias kata benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Mengapa? Karena kita hanya sering mendengar tentangnya, bahkan selalu menggunakannya, tetapi tidak tahu dengan pasti bagaimana bentuk dan wujud aslinya. Dengan kata lain, masalah sistem, batasan, cakupan, dan lain sebagainya terkait penerapannya dalam karya sastra (puisi), hingga saat ini masih menjadi “tanda tanya” besar.

Paradigma yang berkembang selama ini tentang licentia poetica tak lebih dari kata “bebas” atau “merdeka” dalam menulis. Dengan licentia poetica seorang penyair dapat dengan leluasa menumpahkan kreatifitas ke dalam sebuah karya tanpa batasan apapun. Dengan licentia poetica perjalanan seorang penyair akan sangat aman dan nyaman, bebas hambatan, tak ada gangguan dari siapapun. Sehingga kesan yang timbul mengisyaratkan bahwa kaidah bahasa yang kita kenal dengan nama resmi “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” atau lebih sering disebut EYD, yang mulai resmi berlaku sejak tahun 1972 setelah menggantikan Ejaan Republik (Ejaan Suwandi), seolah-olah serupa hujan deras yang senantiasa menyertai, mengiringi, bahkan menjadi aral melintang dalam perjalanan seorang penyair. Dari derasnya hujan ini, muncullah licentia poetica sebagai “payung” yang luas-lebar sebagai pelindung.

Lantaran demikian abstraknya, licentia poetica pun tumbuh dan berkembang sebagai sesuatu yang sifatnya individu dalam lingkup masyarakat bahasa dan sastra, tak terkecuali kalangan penyair. Di mana “kebebasan” dimaksud lantas diinterpretasikan, dimaknai, serta dieksplorasi sedemikian rupa oleh masing-masing penggunanya. Tentu saja dengan cara, metode, maupun tingkat kemampuan yang berbeda dan nafsi-nafsi pula.

Contoh paling dekat adalah seorang Sutardji Calzoum Bachri (SCB) –dalam diskusi BPSM disebut sebagai Presiden Licentia Poetica– yang dengan mantapnya memproklamirkan sebuah temuan fenomenal bertajuk “Kredo Puisi” pada tanggal 30 Maret 1973, sebagaimana berikut :

KREDO PUISI

Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.

Kata diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam.

Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk mengantarkan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan dilupakan kedudukan yang merdeka sebagai pengertian.

Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri.

Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggu seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian bisa menyungsang terhadap fungsinya.

Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya yang kreatif.

Dalam penciptaan puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya dengan yang lainnya untuk memperkuat dirinya, membalik dan menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.

Sebagai penyair saya hanya menjaga sepanjang tidak mengganggu kebebasannya agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertian sendiri, bisa mendapat aksen tuasi yang maksimal.

Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata.

Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.

Sutardji Calzoum Bachri

Bandung, 30 Maret 1973
(O, Amuk, Kapak, 1981:13-14)


Seyogyanya, membicarakan “Kredo Puisi” SCB yang membingungkan di atas tentulah sesuatu yang butuh penalaran ekstra dan hendaknya merupakan kajian representatif. Terlebih jika harus menelusuri asal-muasal berikut segudang tendesinya. Namun dalam tulisan ini kemungkinan hanya akan memandang sisi luarnya saja yang berkaitan dengan licentia poetica, berikut potensi dampaknya terhadap eksistensi bahasa. Karena di samping keterbatasan waktu serta bahan acuan, ihwal Kredo Puisi ini juga telah sering dibahas dengan terang-jelas oleh banyak kalangan yang lebih kompeten. Mulai dari penyair, pemerhati sastra-budaya, hingga para kritikus sastra. Jadi harap mafhum sebelumnya jika nantinya tulisan ini ternyata tidak menyuguhkan “fenomena” Kredo Puisi secara detail.

Kredo Puisi –dalam kurun waktu tertentu– memang bukanlah isapan jempol belaka, karena serta-merta diikuti dan ditegaskan dengan karya-karya yang sungguh berbeda dari karya penyair lainnya. Dalam karya-karya SCB yang berkiblat pada Kredo Puisi, kita tidak akan menemukan pertalian kata dan makna. Apalagi jika harus mencari sangkut-pautnya secara leksikal ke dalam kamus, tidak ada jalan sama sekali. Karena seluruh kemungkinan itu memang telah dimatikan oleh SCB melalui “kredo” yang dengan sangat tegas menulis bahwa kata-kata dalam puisinya adalah mantra. Tak pelak, dengan licentia poetica berlabel Kredo Puisi, sepak terjang SCB dalam meramu, menjungkir-balikkan, mempreteli, menguliti, hingga mencincang kata demi kata lewat karyanya, seakan tak terbendung. Namun fenomena ini justru mendapat resepsi dan tempat tersendiri dalam lingkup masyarakat bahasa-sastra. Entah karena unik dan menarik, karena tidak tahu dan kurang mengerti, atau mungkin karena benar-benar telah terkena mantra yang disebut dalam Kredo Puisi.

Kemudian timbul pertanyaan: apakah licentia poetica sejenis ini bukannya malah berpotensi membunuh bahasa? Sebab logisnya; ketika kata sudah dilepas-bebaskan dari makna, ketika kamus tak lagi diperlukan dan justru dianggap belenggu, lalu untuk apa lagi ada pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulum pendidikan? Jika memang kata benar-benar akan dikembalikan menjadi mantra –menurut “Kredo Puisi” kata pertama adalah mantra– apa tidak sebaiknya Fakultas Bahasa dan Sastra di unversitas-universitas seantero negeri diganti saja namanya menjadi Fakultas Dukun dan Mantra? Kalau demikian, apakah tidak sebaiknya lafal butir ketiga dalam Sumpah Pemuda yang berbunyi: “…menjunjung bahasa persatuan…” direvisi saja menjadi “…menjunjung mantra persatuan…”?

Karena menurut artinya sendiri dalam KBBI, “mantra” adalah: 1) perkataan atau ucapan yg memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya); 2) susunan kata berunsur puisi (seperti rima, irama) yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yang lain. Dalam pembagiannya lagi mantra dikelompokkan atas: a) mantra kejahatan, yaitu mantra untuk perbuatan-perbuatan jahat dan mencelakai orang lain; b) mantra keselamatan, yakni mantra untuk menjaga diri dari bahaya; c) mantra penawar, atau dikenal sebagai mantra pengobatan terhadap orang sakit; d) mantra pitanggang, kerap dijadikan mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.

Lalu, mantra mana yang dimaksud oleh Kredo Puisi? Setelah membaca mantra-mantra temuan Kredo Puisi, pertanyaannya; sudah berapa banyak orang sakit yang berhasil disembuhkan? Sudah berapa kali mencelakai orang akibat sihir-menyihir, teluh-meneluh, santet-menyantet, dan semacamnya? Sudah berapa banyak orang yang terselamatkan dari bahaya? Atau, perempuan mana yang kira-kira “mau” tidak bersuami seumur hidupnya karena terkena mantra Kredo Puisi? Mohon maaf, bukan lantaran tidak mempercayai mitologi dan semacamnya, tetapi jika “mantra” harus dijadikan acuan sejenis licentia poetica dalam karya sastra, barangkali perlu dipertimbangkan untuk menggolongkan paranormal kondang –yang tentu identik dengan mantra– Ki Joko Bodo sebagai “penyair” juga.

Tanpa bermaksud “apapun” terhadap “siapapun”, namun licentia poetica bernama Kredo Puisi sungguh telah menanamkan idealisme segar-nanar-bingar-sangar dalam paham pelaku sastra yang lain, terutama generasi selanjutnya. Betapa tidak, bahkan bocah-bocah tingkat sekolah dasar yang baru belajar mengenal huruf pun sudah diharuskan melahap kreasi individu hasil temuan Kredo Puisi melalui buku yang masuk ke sekolah-sekolah atas petuah pemerintah yang mengurusi bidang pendidikan (Depdiknas) –pada masanya.

Lalu bagaimana dampaknya terhadap perkembangan bahasa sendiri? Sungguh miris mengatakannya, karena idealnya pada tingkatan bangku sekolah seperti demikian, semestinya bahasa Indonesia-lah (termasuk di dalamnya EYD) yang harus dijadikan asupan utama. Bukan justru menjejali sekolahan dengan karya-karya sastra yang penuh dengan penyimpangan “orang-orang tertentu” saja. Tengoklah sekarang ke sekeliling kita, betapa kebebasan “seorang” penemu Kredo Puisi jauh lebih dikenal luas, dipuja-puja, bahkan melegenda di seantero negeri.

Bandingkan dengan tokoh-tokoh pelopor bahasa semisal Sutan Takdir Alisjahbana yang dikenal juga sebagai “insinyur bahasa” lantaran kegigihannya memperjuangkan bahasa Indonesia semenjak masih bernama bahasa Melayu. Atau deretan nama pemakalah dalam Kongres Bahasa pertama kali di Solo pada tanggal 25-29 Juni 1938 seperti Ki Hadjar Dewantara, Djamaluddin Adi Negoro, Amir Syarifuddin, Muhammad Yamin, Soekardjo Soerjopranoto, Kusuma St. Pamuntjak, Sanusi Pane, hingga Muhammad Tabrani, yang merupakan salah satu titik tolak lahirnya kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Atau Amin Singgih yang berhasil menarik minat para guru, mahasiswa, sastrawan, wartawan, hingga para pengusaha dan birokrat melalui siaran khusus bahasa Indonesia di stasiun TVRI pada tahun 1970-an. Atau “panglima pembakuan bahasa” Anton Moeliono yang juga begitu banyak memberi andil dalam proses pembakuan bahasa Indonesia. Ke mana pula tenggelamnya nama para ahli bahasa semisal JS. Badudu hingga Ajip Rosidi yang begitu setianya mengkaji, membenahi, lalu memperkenalkan serta mengajak seluruh bangsa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar? Adakah yang masih sudi untuk sekedar mengingat nama mereka?

Beruntunglah, karena setelah sekian lama tidak ada yang berani mengatakan “tidak” pada Kredo Puisi (mungkin karena takut terkena mantera), akhirnya seorang pengelana dari bencah tanah Jawa bernama Nurel Javissyarqi lalu datang berbicara selantang-lantangnya, segamblang-gamblangnya, seterang-terangnya, demi membuka mata dunia terkait Kredo Puisi berikut sekelumit dinamikanya. Upaya membuat melek mata dunia ini disusun dengan sangat runut, aktual dan tajam dalam buku “Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri” (SastraNESIA dan PUstaka puJAngga, 2011), yang lalu diapresiasi dengan riang-girang-senang oleh banyak kalangan.*

Usai menyinggung sedikit tentang Kredo Puisi, pada gilirannya kita kembali bertanya; seperti apakah gerangan resepsi masyarakat bahasa dan sastra sendiri terhadap teka-teki licentia poetica? Tugas inilah yang layak menjadi “PR” utama bagi kita semua. Karena harus diakui bahwa licentia poetica hanya bebas bermain dalam lingkup masyarakat sastra, tidak membaur-lebur dalam ranah masyarakat bahasa. Apa pasal? Tentu saja karena dari sekian banyak definisi dan pengertian, tetap saja tidak ada kejelasan tentang batasan, ketentuan, maupun cakupan dari licentia poetica itu sendiri. Sedangkan para pelaku sastra –khususnya penyair– mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa mereka adalah salah satu ujung tombak sekaligus “penunjuk jalan” dalam hal penggunaan bahasa.

Bayangkanlah bagaimana jadinya jika penunjuk jalan yang justru nyasar duluan lalu kencing berdiri di sembarang tempat? Ibarat pepatah, jika pemegang tampuk “Ing Ngarso Sung Tulodo” sudah doyan kencing berdiri, kemungkinan konfoi barisan “Ing Madya Mangun Karso” hingga “Tut Wuri Handayani” yang membututi di belakang nantinya bukan lagi kencing berlari, tetapi kencing nungging dan jungkir balik.

Jadi, seperti apa dan bagaimana licentia poetica sebenarnya? Untuk pertanyaan ini kemungkinan memang sulit untuk dijawab dengan pasti. Tetapi dalam rangka pencarian, tidak ada salahnya jika kita sama-sama bergelut dan bergumul dengan peluh-keluh demi menilik benar-benar tingkat “kebebasan” kita dalam mencipta karya sastra — yang di dalamnya menggunakan jasa gratis “bahasa” itu. Adapun ilustrasi langsung secara sederhana perihal keterkaitan “licentia poetica” dengan “kaidah EYD” dari sisi struktur atau gaya penulisan, akan coba kita jajal bersama dalam catatan selanjutnya (MENGENALI STRUKTUR PENULISAN AMIR HAMZAH, CHAIRIL ANWAR, DAN DIMAS ARIKA MIHARDJA).

Demikian catatan selayang pandang terhadap licentia poetica bernama “Kredo Puisi” dari balik kaca mata pengguna bahasa. Jika ternyata dalam catatan ini banyak cara bertutur yang kurang berkenan di hati pihak-pihak tertentu, harap dimaklumi. Sebab sejatinya sama sekali tidak terbersit niat untuk meminus-negatifkan apapun dan siapapun. Tulisan ini dibuat semata-mata dengan tujuan membuka ruang diskusi selebar-lebarnya, kepada seluruh masyarakat pengguna bahasa dan penggiat sastra.

Sedikit harapan; semoga putra-putri negeri belum lupa, bahwa dalam kalender setiap tahun, tanggal 28 Oktober masih tetap berwarna merah. Seperti halnya segala anggapan, tanggapan, atau apapun rupanya terhadap tulisan ini, akan selalu setia dinanti, dengan hati yang juga merah.

Yogyakarta, Oktober 2011

Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
————————————————————————-
*) Beberapa di antaranya dapat dibaca di :
http://sastra-indonesia.com/tag/edisi-khusus
http://pustakapujangga.com/category/nurel-javissyarqi/
http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150187765254368
http://bahasa.kompasiana.com/2011/06/17/hakikat-bahasa-mantra-dan-tanggung-jawab-tanggapan-atas-buku-menggugat-tanggung-jawab-kepenyairan-sutardji-calzoum-bachri-karya-nurel-javissyarqi/

Dijumput dari: http://fiksi.kompasiana.com/cermin/2011/10/09/dampak-licentia-poetica-bernama-kredo-puisi-terhadap-eksistensi-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati