Selasa, 13 September 2011

Sebuah ‘Jembatan’ Bernama Chicklit

F. Dewi Ria Utari
http://majalah.tempointeraktif.com/

Sebuah menara bernama Eiffel. Seorang gadis manja. Seorang pria remaja yang jatuh cinta. Siapa yang tak ingin menjelma menjadi mereka? Rahma Arunita membuat para remaja (perempuan) bersedekap dengan novel Eiffel, I’m in Love dengan rumusan yang sebetulnya sudah lama kita kenal: remaja perempuan yang dirundung cinta, lantas datang seorang lelaki yang semula tampak menyebalkan. Konflik kecil-kecilan yang akan berakhir dengan ciuman (atau paling tidak pelukan atau tiga kata penting itu). Pada tahun 2004 dan 2005, ada satu label baru yang ditempel pada novel semacam ini: chicklit atau teenlit.

Inilah sebuah istilah baru yang diciptakan oleh perindustrian buku. Ini bukan sebuah genre dan bukan sebuah aliran yang diciptakan para kritikus serius yang rewel dengan peraturan dan dogma.

Tentu saja mereka mempunyai ciri khas. Di “tingkat yang lebih senior—usia 20 tahunan—tokoh-tokoh chicklit lazimnya lajang, cantik (dengan kemahiran memoles make-up tingkat tinggi), mandiri, karier mulus, memiliki meeting point di coffee shop, sambil menenteng tas Hermes atau Prada. Di sana mereka ber-chit-chat tentang discount terbaru dari Mango, parfum baru dari FCUK, gosip teranyar artis anu, dan diakhiri dengan kisah sahabat yang telah menemukan lelaki idaman. Lelaki? Ya, lelaki. Salah satu obyek klasik representasi sebuah konsep bernama cinta.

Dunia semacam itu tengah menjadi isu seksi bagi para penulis (perempuan) untuk dibuat menjadi chicklit—produk baru bacaan masa kini. Baru? Tidak juga. Chicklit muncul pada pertengahan 1990-an lewat kehadiran Bridget Jones’s Diary karya Helen Fielding, The Girl’s Guide to Hunting and Fishing karya Melissa Banks, serta The Nanny Diaries karya Emma McLaughlin dan Nicola Krause. Menurut situs kamus Wikipedia, chicklit merupakan sebuah istilah yang sebenarnya belum ditetapkan, yang digunakan untuk mengidentifikasi fiksi populer yang ditulis dan dipasarkan untuk perempuan muda, khususnya perempuan lajang usia 20-an dan bekerja di dunia perkantoran.

Novel chicklit biasa berkisah tentang kehidupan perempuan kesepian dengan setting urban, dengan gaya hidup yang terkini, terbaru, keren, dan sedikit nakal. Mereka biasanya digambarkan tengah mencari identitas dan tengah mencari pendamping yang sempurna. Seksualitas kerap dimunculkan bahkan bisa menjadi tema primer yang ditampilkan secara advonturir. Hal ini bisa kita lihat di buku In Her Shoes karya Jennifer Weiner.

Istilah chicklit muncul dari sebutan slang untuk perempuan muda, chick—ayam betina. Namun juga dikaitkan dengan referensi derivatif untuk Chicklet, sebuah merek permen karet, dengan implikasi bahwa buku ini ringan seperti mengunyah permen karet.

Karakter ringan inilah yang dinilai menjadi salah satu faktor mengapa chicklit begitu laris. “Buku ini masuk kategori easy reading. Orang tidak harus berkerut membacanya, tidak perlu mengalokasikan waktu khusus, karena bisa dibaca kapan saja. Sedangkan bacaan lain seperti sastra memerlukan waktu khusus,” ujar Aquarini Priyatna Prabasmoro, pengajar studi kajian wanita di Universitas Indonesia.

Daya tarik lainnya tentunya dari sisi tema. Banyak pandangan menilai, chicklit berhasil secara terbuka merepresentasikan masalah perempuan saat ini, terutama seputar dunia lajang. Para tokoh perempuan di dalamnya digambarkan memiliki masalah manusiawi, dari berat badan, penampilan, gaya hidup, obsesi terhadap mode, hingga patokan ideal lelaki idaman. Dalam chicklit, perempuan menemukan keberanian menyatakan kegelisahan hidupnya tanpa harus takut pada stempel—entah korban mode, hedonis, alih-alih takluk pada patriarki. Yang penting bahagia dengan hidupnya.

Tak mengherankan bila beberapa penerbit memasang “keberanian” perempuan ini sebagai susuk pemikat. Gramedia Pustaka Utama mencetak logo Chicklit, Being Single and Happy di atas gambar sepasang kaki perempuan yang tampak duduk menyilangkan kaki, mengenakan rok mini, bersepatu tumit tinggi warna pink dan memegang buku. Alberthiene Endah, penulis Cewek Matre, khusus memasang logo seorang perempuan duduk di sofa sambil membaca buku dengan tulisan Lajang Kota. Alberthiene memang khusus berniat menerbitkan tulisan-tulisan chicklit-nya di bawah label Seri Lajang Kota.

Tak semua penulis chicklit sepaham dengan bendera lajang. Icha Rahmanti, penulis buku laris Cintapuccino, lebih nyaman dengan definisi bahwa chicklit merupakan teman bagi pembaca untuk membagi pengalaman dan pemikiran. “Mau single atau tidak, yang penting jujur sama diri sendiri dan bahagia dengan pilihan hidupnya,” ujar Icha, yang tengah mempersiapkan pembuatan film Cintapuccino di bawah bendera SinemArt.

Apakah chicklit fenomena baru feminisme? Aquarini cenderung melihatnya sebagai sebuah tren menulis yang menggerakkan perempuan menulis sesuai dengan keinginan mereka. “Sebenarnya sudah dimulai sejak Ayu Utami, namun chicklit berbeda karena hasilnya lebih romance. Buku-buku ini lebih memberi perempuan ruang untuk menulis dunia yang spesifik tentang mereka,” ujar penulis buku Becoming White, Representasi Ras Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun ini. Justru dari Bridget Jones’ Diary, Aquarini melihatnya sebagai kembalinya ideologi patriarki ketika Bridget merasa tak nyaman dengan bentuk tubuhnya dan mendapatkan tekanan dalam memilih pasangan.

Apa pun bentuk ideologinya, chicklit memang tengah dominan di berbagai toko buku. Produk luar negeri dan dalam negeri mulai bersaing. Penerbit Gramedia yang menguasai pasar chicklit terjemahan Barat harus berbagi ruang dengan chicklit karya penulis Indonesia. Hasilnya cukup menggembirakan (lihat Dari Toko Buku hingga Layar Kaca—Red). Meski kuantitasnya tak sebanyak karya asing, chicklit karya penulis Indonesia mulai laris. Jomblo (Aditya Mulya) sebelas kali cetak ulang, Jendela-Jendela (Fira Basuki) sembilan kali cetak ulang, disusul Cintapuccino delapan kali cetak ulang, dan Nothing But Love lima kali dicetak.

Tema chicklit karya penulis Indonesia dan Barat juga memiliki perbedaan. Umumnya karakter perempuan chicklit Barat memiliki masalah yang lebih kompleks dan melibatkan pendekatan psikologis dengan penuturan yang satir. Contohnya karakter Cannie Shapiro dalam Good in Bed (Jennifer Weiner). Cannie, seorang wartawan, mesti menghadapi tulisan kolom mantan pacarnya yang menyerang dirinya, sementara ia dalam kondisi hamil. Tokoh perempuan chicklit Indonesia tak terlalu mengalami kekejaman dunia semacam itu. Penulis Indonesia umumnya memilih tema tentang tuntutan gaya hidup (Cewek Matre, Alberthiene Endah) dan kebimbangan menentukan lelaki pilihan (Cintapuccino, Icha Rahmanti). Soal seks merupakan tema yang tidak digambarkan dengan gamblang seperti halnya penulis chicklit Barat.

Inilah bukti nyata telah terciptanya pasar baru—pembaca cerita chicklit dan teenlit. Tunggu dulu, teenlit? Ya, ini produk turunan yang hanya terjadi di negeri kita. Kisah roman remaja kita memunculkan karakter berbeda yang tak bisa dikategorikan dalam chicklit. Isinya, cinta-cintaan pelajar SMP dan SMA dengan bahasa gaul abis. Ucapan, tuturan, hingga celetukan yang biasanya muncul secara verbal dan melalui sms atau chatting, dimunculkan ke dalam tulisan.

Kemunculan para penulis muda seperti Laire Siwi Mentari, Gisantia Bestari, dan Dyan Nuranindya ini sebenarnya juga pernah dialami penulis semasa Hilman, Gola Gong, Bubin Lantang, dan Zara Zettira pada 1980-an. Mereka juga memulai menulis di usia belasan dan temanya cinta masa remaja. Hal ini membuktikan bagaimana tren memiliki siklus, setiap masa memiliki tokohnya.

Mengikuti kelaziman dunia kapitalis, sukses ini memunculkan produk turun-an. Di Barat, kita mengingat munculnya film Princess Diary yang diangkat Walt Disney dari karya Meg Cabot dan Bridget Jones’ Diary yang laris berkat permainan akting Renee Zelwegger. Di Indonesia, tampil film Eiffel I’m in Love dari teenlit karya Rachmania Arunita. Sebentar lagi akan menyusul film Tentang Dia karya Rudi Soedjarwo, yang diangkat dari cerita yang ditulis Melly Goeslaw, pembuatan film Cintapuccino dan Sepatu Hak Tinggi dari karya Maria Adelia. Uniknya, penulis Indonesia juga menulis chicklit yang diangkat dari film dan sinetron yang diterbitkan GagasMedia.

Karena chicklit dan teenlit tengah menjadi tren dan para tokoh perbukuan menganggap inilah yang tengah diinginkan pembaca, penerbit berlomba-lomba memenuhi permintaan. Penerbit Gra-media mengadakan lomba penulisan teenlit, sementara GagasMedia menyelipkan pembatas buku bertuliskan Wanted: Young Funky Writers. Jika ini sebuah “jembatan” bagi para remaja Indonesia untuk menuju pada dunia tekstual yang jauh lebih kaya dan imajinatif bernama “sastra”, kenapa tidak?

31 Januari 2005

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati