Rabu, 20 Juli 2011

Skandal Cita-cita Pendidikan Sastra

Eko Triono
Lampung Post, 16 Juli 2011

/1/
TAHUN ajaran baru 2011/2012 telah dimulai di sekolah, cita-cita disemai, dan impian dilepaskan setinggi awan suci, tetapi siapa di antara mereka yang datang dan sengaja bercita-cita menjadi seorang sastrawan? Bukan pegawai negeri [polisi, guru, tentara], artis, dokter, dan seterusnya. Tidak, nyaris tidak ada, sebab tidak “wajar” yang demikian, kecuali pada beberapa sekolah di Madura yang anak didiknya telah berani bercita-cita menjadi seorang penyair, pekerja puisi. Padahal cita-cita mereka adalah gambaran masa depan bangsa pada suatu hari nanti.

Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, topik ini memang terdengar tidak penting untuk dibicarakan. Mereka terbiasa—mungkin juga dibiasakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. Jadilah kemudian: simbol sebuah mata dari rantai lingkaran setan yang terus melilit dunia literasi Indonesia, sebuah …mata sangkur [yang] menghujam mata batin… karena mereka terlalu serakah hanya… mengejar mata uang (dinukil dari sajak W.S. Rendra, Mata Kejora).

Para orang tua dengan sadar menjauhkan anak jadi pekerja sastra, sebagian besar karena alasan masa depan ekonominya kelak, dan akibatnya anak tak pernah sempat menulisnya menjadi cita-cita, bahkan yang paling rahasia di antara cita-cita rahasia sekalipun. Dan hancur—seperti kata para ahli—hancurlah kemudian, dengan perlahan yang menyakinkan, sebuah bangsa yang telah jauh dari baca-sastra: dengan menjangkitnya ketidakhumanisan, penindasan, korup, ketidakadilan sosial, dan seterusnya.

Dengan begitu, manjurlah pula hubungan sebab-akibat ini: jika ingin menghancurkan sebuah umat jauhkanlah mereka dari kitab sucinya (penulis sarikan dari perkataan seorang nabi), dan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa jauhkanlah mereka dari buku dan literasinya. Apa, kenapa, dan bagaimana semua ini bisa disadari kembali?

/2/
SENGAJA penulis menggunakan istilah “disadari kembali”, karena pada akhir abad XVIII cikal Indonesia sadar bahwa penjajahan (yang sama dengan penderitaan) yang menghantui selama berabad, salah satu sebabnya adalah kegagalan menguasai mantra dari ilmu dan pengetahuan. Mantra itu bernama: tulisan atau kompleksnya adalah literasi. Awal 1900-an munculah beragam surat kabar pribumi dan pergerakan dimulai dengan pena; koordinasi, propaganda, transfer pengetahuan, dan seterusnya. Sampai kemudian mereka berhasil meraih kemerdekaan. Tentu kenyataan itu bukanlah ingatan jamak dari manusia Indonesia.

Sebagian besar, ketika mengingat perjuangan, hanyalah kenangan tentang darah, senjata, pertempuran, dan kematian. Ini salah satu biang kerok ganjil yang nyaris mewabah hingga kini, karena semua monumen berpatung (bahkan nama jalan) dan teks sejarah perjuangan kemerdekaan didominasi oleh dunia kekerasan militer. Tidak ada nama jalan seorang sastrawan atau teks dari judul pleidoi Indonesia Menggugat-nya Bung Karno yang membawa bangsa ini dipeluk dukungan semesta, dan juga catatan atau karya lain dari para pahlawan-pahlawan nonmiliter, lebih tepatnya pahlawan-pahlawan literasi [tidak melulu pahwalan revolusi] seperti Chairil Anwar dengan propaganda beberapa puisinya di zaman perjuangan.

Dan, bukankah juga Bung Karno, orang nomor satu yang berteman dengan Chairil itu, tidak bertempur di medan perang? Ia justru mengisap jutaan buku, merakit kata, menyetel strategi, dan menggempur dengan jitu-menyakinkan dalam teks, termasuk proklamasi hingga orang-orang bertepuk girang dan kita semua menjadi senang? Meski kemudian Bung Karno aneh juga ternyata. Ia yang memulai mode pelarangan buku dengan keluarnya UU Nomor: 14/PNPS/1963.

Kilas balik ini kecil, tetapi penting artinya untuk membuka beberapa pemikiran dasar dari sikap antiliterasi sebagian besar penduduk Indonesia. Pertama, sejumlah oknum telah mencederai sejarah. Sejarah adalah kiblat cerita dan cita-cita. Perhatikanlah efeknya: menjadi tentara lebih terkesan mulia, dan dianggap pahlawan, daripada menjadi seorang sastrawan. Ini kemudian melebar tradisi menjadi berebut kolom cita-cita dalam peluk dan naungan gaji abadi hingga mati, sebagai pegawai negeri [segala jenis pegawai negeri dari ‘seleksi’ sampai pemilu], dengan tak peduli cara apa pun harus dilalui. Percayalah, dari sinilah korupsi, kolusi, dan nepotisme sesungguhnya dimulai; ketika uang bulanan resmi telah menjadi cita-cita yang paling benderang untuk dijunjung tinggi, untuk disampaikan ke anak-anak dan dituliskan ke sela-sela putih awan suci di langit Tuhan yang seluas bumi.

Kedua, bangsa kita masih dijajah dan akan menghancurkan dirinnya sendiri. Hanya bangsa yang masih dijajahlah yang mual terhadap literasi. Bedakan dengan China, Jepang, Eropa, Amerika, dan negara lain yang benar-benar merdeka. Tandanya gampang: sejauh mana daya baca dan daya karya warga negaranya, bukan daya citra dan daya konsum-manjaisnya. Sekali lagi kita masih dijajah, dijajah oleh “negeri” lain dan pemikiran yang tidak tepat dari dalam diri kita sendiri. Itu terlihat dari cita-cita para kanak masuk sekolah setelah libur panjang berkemas pulang. Sungguh, cita-cita mereka yang ditulis pada balon dan di lambung tinggi itu adalah cita-cita sebuah bangsa pada kelak nanti.

/3/
Kita memerlukan revolusi. Dan, berhentilah memaknai revolusi secara fisik, secara ornamental. Itu penyakit.

Revolusi itu kita namai: revolusi cita-cita. Sementara ini, anak-anak bercita-cita dengan meniru keadaan sekelilingnya atau atas dorongan orang tua [yang cenderung mempertimbangkan aspek ekonomi]. Padahal, jumlah penduduk Indonesia terus membesar. Jika pekerjaan yang diperebutkan itu-itu saja, maka karakter buruk [KKN] dalam persaingan tidak dapat dihindarkan dan bangsa ini akan berjalan di tempat karena banyak sektor lain yang tidak tergarap: seni, budaya, sastra, hutan, sawah, gunung, lautan, dan seterusnya. Anak-anak bangsa harus memiliki cita-cita yang proporsional dan rasional. Termasuk boleh bercita-cita menjadi seorang sastrawan.

Dengan demikian, pendidikan sastra di sekolah pun jadinya bukan lagi sekedar formalitas kurikulum sewajarnya, yang berarti termasuk guru ajar di dalamnya, melainkan semacam anak tangga yang harus dikuasai untuk bisa mencapai cita-cita menjadi seorang sastrawan. Ini akan membuat sektor literasi bangsa kembali bangkit. Yang artinya, akan kembali merevolusi segala macam penjajahan baik atas nama politik maupun ideologi, yang selalu menutupi kejujuran. Percayalah, karena sastra senantiasa mengajarkan keindahan dan kebaikan terhadap sesama manusia, bukan sebaliknya.

Eko Triono, Sastrawan
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/07/skandal-cita-cita-pendidikan-sastra.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati