Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Pada lambang-lambang bilangan-
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Pada pergantian dan tahun kabisat
–Muhammad Iqbal, Nyanyian Waktu
Pada suatu hari seorang Pendeta Agung singgah di sebuah majelis pumpun sambil mengajukan teka-teki kepada hadirin: “Apakah di antara yang ada di dunia ini yang paling panjang namun sekaligus juga paling pendek, paling cepat namun paling lambat, paling terbagi-bagi tapi paling luas, paling disepelekan tapi paling disesalkan. Tanpa hal tersebut, tak satu pun bisa dilakukan. Dia melahap segala sesuatu yang kecil, tapi mengabadikan yang besar”.
Hadirin tampak berpikir untuk menemukan jawaban. Lalu seorang berdiri, dan dengan amat meyakinkan ia menjawab: Kekayaan. Si pendeta menggelengkan kepala. Lalu seorang lagi mengacungkan telunjuk sambil menyebut cahaya. Seorang lagi menjawab kabut. Ada juga yang menyebut asa. Tapi semua jawaban itu salah. Yang betul adalah jawaban Zadig: Waktu.
Dengan waktu, kata Zadig yang sedikit berfilsafat, maka tak ada yang dirasakan lebih panjang, sebab waktu adalah ukuran keabadian. Dengan waktu, tak ada yang lebih pendek karena selalu kurang untuk melaksanakan rencana-rencana kita; tak ada yang lebih lambat bagi mereka yang sedang menunggu; tak ada yang cepat berlalu untuk mereka yang sedang menikmati hidup. Waktu terbentang luas tak terkirakan, juga terbagi-bagi dalam satu ukuran sekecil-kecilnya. Semua orang menyepelekannya, namun menyesali kehilangannya. Tak ada yang dapat dilakukan tanpa waktu. Waktu membuat semua yang tak patut dikenang terlupakan, dan yang pantas dikenang menjadi abadi.
***
Teka-teki dan jawaban dengan sedikit retorika itu, saya kutip dari satu bab roman Voltaire dalam versi Indonesia: Suratan Takdir (judul aslinya Zadig). Apa sesungguhnya waktu? Zadig mungkin akan tetap menjawab: panjang. Kita hidup dalam waktu, dan sejak lama melahirkan persekutuan dan angkatan. Tapi apakah sebenarnya waktu di situ?
Kita tak tahu persis jawaban apa yang akan diberikan. Namun hampir tak ada penyair yang tak pernah menulis puisi tentang waktu. Minimal pernah sekali dalam hidupnya ia memikirkan waktu dan menuliskannya ke dalam bentuk sajak.
Dari sekian banyak penyair yang menulis tentang waktu, hanya sedikit sajak yang sungguh-sungguh menghadirkan pergulatan tentang waktu. Kalau Voltaire membayangkan waktu sebagai ukuran keabadian, sesuatu yang panjang, maka saya ingin menandaskan bahwa waktu dapat dijadikan bahan tes bagi otentisitas seseorang. Kalau dia penyair, maka keontentikan dirinya sebagai penyair akan terlihat ketika ia menggarap soal waktu. Otentik atau tidak puisi yang dihasilkannya, juga dapat dilihat dan dirasakan oleh pembaca ketika ia membicarakan soal waktu.
Salah satu penyair yang tak begitu dikenal, namun telah menghasilkan satu buku kumpulan sajak yang unik dan bentuk yang menyempal, adalah saudara Nurel Javissyarqi. Lewat analekta sajak bertajuk Kitab Para Malaikat (2007) Nurel menghadirkan tafsiran waktu dalam bingkai filsafat dan ajaran kebatinan Jawa yang tak mudah dicerna, namun dari segi tema, terasa otentik.
perihal bentuk, sajak-sajak Nurel cukup unik tapi sekaligus janggal. Setiap ujung larik sajaknya ditandai dengan huruf atau angka romawi. Tentu saja kita bisa berdebat tentang fungsi angka-angka romawi dalam baris larik sajaknya. Bisa jadi hal itu hanya sekadar tempelan, seni dekorasi, dan tak memiliki maksud dan makna apa-apa. Atau bisa juga sebuah kelatahan, sekadar pemenuh garis kalimat, sebagaimana kita bisa juga memperdebatkan tanda baca yang tumpangtindih dan sepintas mubajir dan menyalahi aturan seperti yang dimaui para penggiat bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kalau saya boleh berbaik sangka, tentu saja semua keanehan itu dikerjakan dengan perhitungan yang mengandung misi tertentu. Angka-angka itu mungkin tak lagi sekadar kenenesan atau keisengan serta sekadar pemenuh garis kalimat. Bisa jadi ia memiliki hubungan yang terencana dengan sesuatu yang kita sebut sebagai penanda waktu.
Secara tematik, selain persoalan waktu, Kitab Para Malaikat banyak menampilkan tema seputar eksistensi. Namun menyelam tema saja tak cukup untuk menegaskan hakikat keindahan sebuah puisi. Kita mesti juga berenang menyusuri arus bentuk dan wawasan estetik sang penyair. Dan sajak-sajak Nurel tampak memberikan kesan “menyempal” dilihat dari segi bentuk. Di dalamnya kita temukan campur-baur berbagai gaya dan pengucapan. Beberapa bagian tampak si penyair begitu asyik dengan aforisme, dengan saran dengan petuah, dengan perbalahan, dengan doa dan mantra.
Karena telisik ini lebih memfokuskan pada penyelaman karakter tema, dengan fokus pada persoalan waktu, maka jadilah telisik ini amat sempit dan picik. Keputusan menjadikan waktu sebagai lahan garapan di sini karena cukup banyak dijumpai isyarat tentang waktu. Ketika si aku sedang asyik melakukan tamasya bahasa ke berbagai lumbung, si aku merasakan kekaguman terhadap waktu. Ada waktu di mana ia mengagumi setiap mil yang pernah dijelajahinya, setiap makanan yang pernah dicicipinya, setiap pribadi yang pernah dikenalnya, atau “ditidurinya”. Semua itu menggodanya, lalu dicatatnya, kemudian menjelma sebuah sajak.
Sebagai (salah satu) bahan tes bagi otentisitas, waktu karena itu bukan hal sepele dan main-main dalam sajak-sajak Nurel. Bahkan banyak sekali urusan di muka bumi yang terpaut dengan waktu muncul di situ. Banyak hal yang bahkan begitu tergantung dengan detik, menit, hari atau tahun. Kita bisa saja tak memahami ucapan seorang tokoh dalam sajaknya ketika menyebut “waktu di sayap malaikat”, atau ketika ia menulis “waktu terselip di jemari, menyibak ilalang memeluk senjakala ”, namun karena kita merasakan penghayatan sang penyair terhadap waktu begitu intens dan syarat makna, maka layaklah kita memberi predikat otentik terhadap larik sajak tersebut.
Atau kita ambil contoh satu larik lagi, ketika Nurel bicara tentang perempuan dan waktu. Seorang perempuan dibayangkan sebagai gerbang menuju ke ketinggian, mendaki ke puncak pohon lotus terjauh. “Ia pembuka gerbang langit, ketika kitab waktu belum dipelajari”, tulis Nurel.
Apa yang dimaui sang penyair dengan larik semacam itu? Adakah ia hendak menegaskan bahwa puisinya memiliki hubungan tersembunyi dengan proses penciptaan makhluk perempuan?
Waktu di sana dibayangkan sebagai timbangan, mizan. Sebuah tinanda sekaligus isyarat tentang kejadian sesuatu. Waktu juga diandaikan sebagai ukuran terhadap hal-ikhwal. Ia bisa dinyatakan lewat bilangan, lewat angka, atau waktu kuantitas. Tapi ada juga waktu kualitas yang tak terkait dengan angka atau bilangan. Waktu psikologis atau waktu eksistensialis, atau waktu filosofis, adalah penanda waktu di luar urusan kuantitas, tapi bisa terpaut dengan sifat atau karakter.
Seorang filsuf pernah menulis begini: “Ada renungan yang panjang terutama ketika waktu diukur dan dibekukan dalam satuan-satuan menit. Seakan-akan ada rentetan statis yang lantas dianggap sebagai waktu”. Ini kata-kata Bambang Sugiharto ketika memahami waktu dari konteks filsafat. Di sini waktu bisa bermakna penantian, ibarat waktu di ruang tunggu. Waktu dibayangkan sebagai seutas tali kebisuan.
Sementara Nurel merasakan kesuntukan dan kegersangan yang nyaris tak terkatakan ketika hendak berenang terus-menerus dalam arus waktu kehidupan. Dalam sebuah halaman ia menulis:
“Wajah haru biru menerima pautan waktu, rintik menerobos gersang,
sesapu debu juga daun-daun bersegaran setelah muka kemarau memanggang,
inilah hangat asmara mencerna ufuk timur raya (XIII:LXXXIV)
Anak-anak sungai menggelinjak ke bebatuan,
Terpotong tanggul kakikaki mungilmu (XIII:LXXXV)
Selembut tanya harapan tersengal keputusasaan
Terlempar arus kesadaran berasal hempasan (XIII:LXXXVI)
Dalam larik itu, ada pautan waktu, juga tentang harapan atau obsesi. Apa harapan dan obsesi yang dimaui sang penyair? Mari dengarkan senandung jawaban dalam lembar berikutnya: ”Waktu tertinggal mengekalkan kebaikan, tertulis hasrat suci mendekatkan diri/Sebelum sayap-sayap kaku, ujung-ujung tenggorokan hampa, izinkan mengucap kalimah sakti, teguh menguliti nasib mengisi, demi membuka kilauan tabir penciptaan”.
Penyair sepenuh-penuhnya berpaling kepada waktu ketika kata mulai dirasakan kian tak berdaya menyalurkan hasrat dan rasa haus estetis yang telah menyembul di kerongkongan. ”Kata-kata tidaklagi memuaskan mereka, kau tahu ruang kejujuran, keheningan suci tiada bercak keangkuhan”, tulisnya.
Dengan waktu, si aku merasakan pedihnya kesendirian, kesepian, hingga ia menandaskan kepada lawan bicaranya. “rasakan diamnya di dalam dirimu tersebab pribadi tidak menentu, maka mustahil pecahkan guratan batu di kening sejarah waktu”. Memang, seperti sering dikatakan orang, kita hidup dalam pergulatan terus-menerus dengan sejarah waktu. Atau mungkin lebih tepatnya: dalam arus waktu yang kian tak menentu.
Nurel seakan hendak menggenapkan waktu dengan menghubungkannya dengan sejarah dan kata serta membayangkan waktu masih berupa potongan-potongan tahun cahaya. “di saat sejarah belum tercatat, siapa berbicara kata?/mewaktu masih berupa potongan-potongan cahaya,/siapa yang dahulu menempati lautan es cahaya?”
Di sana dimensi waktu terasa jauh lebih relevan ketimbang dimensi ruang. Sebab, seperti juga pernah dikatakan seorang penyair lirik terkemuka di negeri ini, puisi tak terikat oleh waktu, dan tidak dapat pula dibelenggu oleh waktu. Ia bisa melintasi waktu, melampaui dimensi waktu. Dan Malaikat, kita tahu, bukan makhluk sejenis manusia yang kasatmata yang terikat oleh ruang dan waktu manusiawi. Dan kita juga tahu peran Malaikat dalam penyebaran wahyu dan misi kenabian dalam agama-agama dunia.
Malaikat adalah makhluk yang sejajar dengan setan atau iblis. Dan kita tahu, seandainya tak ada malaikat di surga, apa arti wahyu bagi manusia dan kemanusiaan. Seandainya tak ada iblis di surga yang menggoda Adam, mungkin kita takkan mengenal kitab suci di dunia, dan mungkin juga dunia takkan pernah dihuni manusia.
Waktu menjadi bagian tak tepisahkan dari manusia, alam, dan Tuhan. Hampir semua kebudayaan yang ada di muka bumi memiliki pemahaman tentang waktu: baik waktu sebagai angka hari, bulan, dan tahun, maupun waktu sebagai sejarah atau waktu dalam arti makna dan pemahaman. “Aku sengaja melempar dadu“ untuk “mencari padanan waktu”, tegas Nurel.
Sanga penyair agaknya mulai merasakan kejengahan terhadap waktu. Maka ia pun mulai sedikit bermain-main dengan waktu untuk menuju dan menemu waktu di luar sejarah dan pemahaman. Atau barangkali itu hanya strategi untuk menaklukkan waktu. Sebab dalam sajak-sajaknya terdapat isyarat tentang waktu geometris, waktu kalenderis, waktu antropologis, waktu mistis, waktu abstrak, waktu simbolis, dan sebagainya.
Ketika terpaut dengan sejarah, makna waktu menjadi serangkaian kejadian atau peristiwa yang dalam pandangan tradisionalisme, waktu tak dapat berulang. Waktu lampau membeku dalam sejarah dan tak dapat kembali. Musim durian tahun 2010 hanya sekali walau tahun berikutnya berkali-kali terjadi musim, namun berbeda hari, bulan atau tahun. Dan waktu tak mungkin berputar mengikuti lingkaran siklus yang sama.
Makna waktu menjadi kian rumit ketika dilihat dari konteks makna dan pemahaman. Dengan kata lain, waktu kualiatif. Alexis Carrel pernah mengingatkan akan pentingnya waktu kualitatif, karena menurutnya: banyak sekali persoalan manusia dan alam raya yang tak terkait secara kuantitatif. Martin Heidegger lain lagi: ia memahami waktu sebagai yang sambung-menyambung antara masalalu, masakini, masadepan dan berputar-putar tanpa awal dan akhir.
Waktu ibarat komidi putar di taman ria yang mengelilingi lingkaran. Ratusan tahun lampau al-Hallaj sudah menyebut tofik waktu sebagai lingkaran titik-titik primordial yang berputar terus-menerus dalam kesatuan antara masalampau, masakini, dan masadepan. Manusia memahami luncuran waktu sebagai proses yang tak cuma mengenai masa lalu, melainkan masakini dan juga masa depan.
Kalangan fisika kuantum konon mampu kembali ke waktu 1 miliar tahun lampau. Seorang kritikus pernah menelusuri persoalan waktu dalam konteks ini melalui pertemuan dengan sajak Padamu Jua dari pujangga Amir Hamzah. puisi itu menurutnya memiliki hubungan dengan skala waktu geologi yang kini mencakup masa jutaan, bahkan miliaran tahun, karena Bumi sendiri, katanya, telah berumur sekitar 4,5 miliar tahun. “Bicara waktu untuk kosmos atau alam semesta malah lebih menggetarkan karena menjangkau sedikitnya 13 miliar tahun”.
Dalam kurun yang jauh melampaui rentang waktu hidup pujangga Amir Hamzah—demikian ia sering disebut—manusia yang cerdas dan terus mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikiran untuk memahami rahasia alam, kini bisa kembali ke masa miliaran tahun silam. Bahkan, kalau umur kosmos disebut 13 miliar tahun, katanya yang tampak sangat matematis, maka dengan berbekal ilmu fisika kuantum, manusia dapat mereka ulang kejadian-kejadian di dekat masa 13 miliar tahun silam itu, bukan saja satu detik setelah alam semesta lahir, tetapi bahkan seperjuta-triliun-triliun-triliun detik.
Sementara pujangga Nurel Javissyarqi mencoba menafsirkan riwayat sang kala dengan imaji sepersekianjuta tetes cahaya kepak sayap Mailaikat. Di bagian akhir kitabnya ia mengutip satu pernyataan Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi dalam ”Daqooiqul Akbar”: ”Malaikat Jibril as mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu dari zafaron. Matahari seakan berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gemintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah Subhanahu Wataallah menjadikan dari setiap tetes tersebut wujud Jibril as., mereka sama bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka Malaikat Ruhaniyyuun”.
Selanjutnya Nurel mengingatkan pembaca sambil meyakinkan lewat seruan: ”Saudara tentu tidak menyangka ketika kelepakan sayap malaikat menyentuh lapisan langit pertama, terciptalah kata, kata-kata itu dipungutinya sendiri bagi saudara-saudaranya, para Malaikat Ruhaniyyuun yang ditugaskan tuhan mengatur segala urusan dunia. Kata-kata tersebut bukan wahyu hendak disampaikan kepada para nabi, tapi murni pengalaman perjalanan bolak-balik. Hasil lawatannya itu diidentifikasi sendiri, bagaimana watak insan penghuni bumi. Ini catatan memahami sifat insan demi permudah malaikat menjalani perintah-Nya, menjaga ruh hayat lestari, juga demi insan mengerti cahaya malaikat berkreasi”.
Itulah kesaksian-kesaksian Nurel, atau goresan-goresan pengalaman kreatif yang melatari lahirnya antologi puisi yang penuh imaji kesufian yang liar ini. Ia tak puas jika tak menjelaskan apa dan bagaimana serta dimana sajak-sajak ini mengendap dan kemudian lahir sebagai sebuah kitab sajak yang jalin-menjalin antar berbagai tema dan pengalaman. Baik pengalaman luka maupun bahagia, baik pengalaman sakit maupun sehat, kekosongan maupun kepenuhan.
Kita, pembaca, diajaknya ikut merasakan, mengarungi, mengidentifikasi untuk kemudian mencoba mendekati seintim mungkin pengalaman-pengalaman puncak yang nyaris tak terkatakan itu. Bukan sekadar membaca, tentu saja, tapi membaca untuk bergulat ikut merasakan getar-getar pengalaman batin yang menggelora, juga mempesona. Sebagai penyair, tugasnya telah selesai, dan kini sajaknya berada di tangan pembaca, diambil-alih oleh pembaca melalui apa yang disebut kewenangan tafsir.
Sebagai penyair, Nurel tak seradikal Sutardji yang mengajak pembaca untuk memeras keringat hati dan otak dalam memahami isyarat-isyarat yang terdapat dalam sajak-sajaknya. Sebab soal paham dan tidakpaham, soal makna dan ketanpamaknaan sebuah sajak, bagi Nurel, adalah perkara lain lagi. Dengan bijak ia bersaran kepada pembaca untuk menemu tafsir yang bisa ditafsirkan lagi, memahami yang bisa terpahami saja lagi, atau—mengutip kata-katanya sendiri—”ambil yang saudara mengerti & selidiki yang belum terketahui”, lagi.
Tapi, sebagai pembaca, tak mudah lagi untuk mengambil bagian mana dari larik sajak yang dimengerti dan mana yang takdimengerti. Lagi pula kalau sudah dimengerti tak perlu lagi diselediki, atau masih ada gunanyakah menyelidiki sesuatu yang sudah telanjang kasatmata, atau yang sudah terang-benderang? Justru karena sifat sajak-sajak yang balam-balam itu, maka pembaca ditantang untuk berenang-renang ke tengah mengarungi tepi-tepi terakhir sebelum karam digulung ombak suak ujung sajak.
***
Walhasil, Kitab Para Malaikat adalah buku puisi yang mengambil bentuk prosa kefanaan: kehidupan dan kematian. Juga tentang doa dan waktu, serta waktu dan keabadian. Kitab ini tak mudah ditangkap hanya lewat pandangan saja, apalagi pandangan mata seorang kritikus yang tak siap untuk paham.
Bagi saya, hakikat waktu dalam sajak-sajak Nurel tak lengkap jika tak dilacak hingga ke akar-akar ”kebudayaan tradisional”. Sebab dalam ”masyarakat tradisi”, waktu tak terpisahkan dengan keseluruhan aktivitas sosial dan fenomena ekologis dan metereologis. Pencarian religius orang Hindu lama, misalnya, mengikuti jejak waktu spiritual. Mereka keluar dari siklus dan keterikatan waktu dari eksistensi untuk mencapai keadaan eksistensi yang abadi, imortal dan bahagia. Sementara ajaran Budha mirip dengan Hindu yang menggambarkan keadaan nirvana sebagai arus waktu melalui gagasan kelahiran kembali. Hanya saja, dalam kosmologi Budha, alam semesta adalah siklis, dan arus waktu kelahiran kembali itu ternyata melahirkan parinirwana—fase ketika tak ada lagi reinkarnasi atau terhentinya kelahiran kembali.
Dalam astronomi Babilonia yang digerakkan oleh ras Sumaeria dan Akkadia, misalnya, ruang dan waktu adalah bingkai kehidupan yang non-rasional yang berulang. Pemikiran astronomi dan matematis pada awalnya masih diliputi oleh suasana pemikiran magis-mistis. Ruang dan waktu dalam sistem astronomi awal tidak berupa ruang dan waktu teoritis yang terdiri dari titik-titik dan garis-garis yang bisa diukur. Astronomi lebih dikenal sebagai astrologi. Karena astronomi tak mungkin lahir tanpa sosoknya yang mitis dan magis, yaitu sosok astrologi.
Selama berabad-abad sifat ini bertahan, bahkan menurut Ernest Cassirer dalam An Essay on Man, masih terdapat dalam kurun pertama abad ke-20. Namun, kesulitan-kesulitan mendasar untuk mengekspresikan ruang dan waktu abstrak dan simbolis akhirnya dialami juga oleh para filsuf. Fakta bahwa ada ruang abstrak merupakan penemuan terpenting dari pemikiran Yunani.
Namun para pemikir Yunani masih juga kesulitan menjelaskan corak pemikiran logisnya. Sama seperti aljabar simbolis Babilonia masih teramat elementer dan sederhana. Maka larilah para filsuf Yunani ke dalam pernyataan-pernyataan paradoksal. Demokritos menganggap ruang ”bukan hal ada”. Newton mengingatkan agar tak mencampur-adukkan ruang matematika murni dengan ruang pengalaman inderawi. Tugas filsafat justru mengabstraksikan data-data dari pengalaman inderawi ini.
Para pemikir Berkeley menampik gagasan Newton tentang ruang matematika murni sebagai yang tak lebih dari ruang imajiner juga; suatu khayalan dalam pikiran manusia. Weinz Werner menganalisa gagasan ruang dan waktu masyarakat primitif dan secara angkuh menganggap ruang dan waktu manusia primitif kurang objektif, kurang terukur, kurang abstrak, sifatnya yang egosentris atau antromorfis, yang fisiognomis-dinamis yang tak sesuai dengan teori ruang dan waktu ilmiah. Dengan ruang geometris, katanya, maka manusia mendiami ruang universal.
Sementara Descartes berangkat dari penemuan besar di bidang matematika yang melahirkan cita-cita ideal mathesis universalis yang bermetamorfosis menjadi cogito ergo sum. Kant memisahkan pengertian antara ruang dan waktu, di mana ruang adalah bentuk pengalaman luar manusiawi, sementara waktu adalah bentuk pengalaman dalam. Demikian pula Leibniz.
Pemikiran astronomi dan matematika yang semula masih berbau metaforis dan mistis, akhirnya berubah menjadi sangat rasionalis dan khaostis. Astronomi mengugusur astrologi. Kuantitatif dalam matematika telah menggusur kualitatif. Maka agama sedemikian jauh terpisah dari ilmu. Sebab itu, tak heran jika ’Alija ’Ali Izetbegovic—mantan presiden Bosnia—pernah tertarik untuk mengamati hubungan seni dan ilmu atau ilmu dan agama. Jika kita menyimak fenomena alam, katanya, maka di sana ada susunan yang terdapat dalam sebuah mesin, atau sebuah melodi. Keduanya, bukan dalam analisis terakhir, tak bisa direduksi menjadi satu sumber yang sama. Yang pertama adalah kombinasi hubungan dan bagian spasial atau kuantitatif yang sesuai dengan alam, logika dan matematika. Yang kedua mempertahankan kombinasi nada atau kata-kata dalam sebuah melodi atau puisi. Kedua susunan ini memiliki dua kategori yang beda—ilmu dan agama, atau dari sudut pandang ini, ilmu dan seni…Maka jika hanya ada satu dunia, maka seni tidak akan mungkin. Setiap karya seni merupakan kesan dunia yang bukan tempat tinggal atau asal kita, dan yang di dalamnya kita ’kehilangan tempat kita’.
Padahal para penemu pertama astronomi dan geometri tak bermaksud meretas selubung mistik dengan teori ilmiah. Baru kemudian ketika astronomi dan pemikiran matematis Babilonia yang mistis telah beralih ke Yunani dan Arab-muslim, maka ruang dan waktu yang mistis digusur oleh yang serba-rasionalis.
Pandangan Nurel tentang waktu dalam Kitab Para Malaikat mengikuti pandangan kosmologi Jawa klasik yang dikawinkan dengan pandangan Islam. Dalam pemikiran tradisional Jawa, memang terdapat keselarasan alamiah antara gerakan kehidupan manusia dan gerakan kosmos. Roda yang berputar adalah suatu gambaran gerak dan ketenangan, berangkat dan pulang kembali. Bentuk dari waktu universal adalah satu dari ciptaan dan destruksi, dan berulang lagi ciptaan dan destruksi lagi. Dan manusia dilahirkan dalam zaman yang fana, hidup seumur-umurnya dan kemudian kembali kepada zaman yang baka lagi. Perputaran berhenti dan generasi yang lain memulai putaran baru lagi.
Simak bunyi larik akhir buku Kitab Para Malaikat: sekalipun ”ada saatnya perjalanan musti dihentikan kala menemui pantai doa ibunda”, namun ”ini babak peleburan mengulum bibir rindumu, serupa kematian berulang/nikmatnya terus terberi, sedang energinya tak pernah habis selesai”.
Tak habis-selesai? Ya, sebab waktu adalah masa silam yang serempak mengada dengan masa depan dalam masa kini. Dalam gerak-diam waktu, kejadian tak pernah habis-selesai. Tak ada lagi pengulangan yang persis sama dalam arus gerak waktu. Nurel mengingatkan kita akan ketidakmungkinan manusia untuk berenang dua kali dalam sungai yang sama. Dengan menempatkan ”waktu di sayap malaikat”, Nurel tampak ingin menyarankan agar manusia membebaskan diri dari waham bernama politik lokasi tunggal. Waktu adalah kondisi umum kehidupan organis yang terdiri dari tiga modus yang telah disebutkan, dan ingin saya sebutkan lagi, yakni: waktu lampau, kini, dan nanti.
Nurel meletakkan waktu yang statis, beku, dan menunjukkan apresiasi terhadap tradisi Jawa sewaktu ia dituntut untuk tidak lagi hidup dengan tradisi kuna yang panjang umur itu. Berbeda misalnya dengan para penganut kemajuan, sebuah pemuja semangat progres, waktu ditempatkan sebagai gerak-maju yang dinamis dan lurus-liner. Spiritualitas waktu sebagai pertarungan hidup mati umat manusia. Masalah sastra—puisi khususnya—menyangkut masalah paling eksistensial tentang bagaimana mengolah ladang waktu, menguasai ladang waktu, dan manusia bisa jaya terhadap waktu.
Dalam kalender Jawa yang dipengaruhi Hindu, ada istilah Mahakala (waktu tanpa akhir), yang mengatasi waktu dan siklus perputaran kelahiran kembali. Dalam kerangka reinkarnasi ini, waktu dalam pemahaman Nurel merupakan roda perputaran yang menyedihkan dari eksistensi di dunia yang fenomenal, yang bukan dunia nyata, melainkan maya. Karena itu ia mencoba mengatasi apa yang imortal dan yang abadi dengan yang berubah dan tak selesai.
Dalam ajaran panca maha butha, semua makhluk hidup pada akhirnya akan terurai dan terberai atas unsur alam pembentuk kehidupan: air, api, logam dan eter. Kematian adalah siklus yang terputus. Satu hidup saja memang tidak abadi, karena hidup masih sering ditata dalam prasangka kefanaan, tetapi rangkaian siklus kehidupan dan reinkarnasi, itulah makna keabadian sejati, seperti yang pernah disinggung Voltaire dalam kitabnya yang saya kutip di awal telisik ini.
Tapi pemaknaan waktu semacam itu perlahan-lahan bergeser. Dan ini mulai dirasakan sebagai kecemasan oleh Nurel. Sebagai seorang ”titisan kebatinan Jawa”, Nurel merasakan kegelisahan tatkala waktu spiritual mulai bergeser menjadi ”waktu rasional”, atau antara ”metafora dan matematika”. Akar pergeseran ini bisa dilacak sejak kekuasaan raja-raja Jawa dihapus dan Islam menjadi patokan di segala bidang. Akibatnya, gejala-gejala sinkretisme dan mistisisme yang jadi falsafah hidup sebagian besar orang Jawa mulai tergusur. Penanggalan Jawa kuna yang memiliki pertalian dengan India, akhirnya berubah, terutama sejak Sultan Mataram berkuasa dan masuknya Islam ke bumi nusantara. Berbagai corak mistis dan magis serta misteri-misteri yang terkait dengan tradisi, ruang dan waktu, mengalami kodifikasi.
Lantaran itu, Kitab Para Malaikat sebetulnya tak hanya bicara soal waktu dalam konteks kebudayaan Jawa, tapi dunia. Di sana kita disuguhkan pula perbincangan filosofis tentang waktu dalam konteks kosmologi. Waktu dari alam bukan waktu arloji atau waktu kalender, melainkan hadirat atau waktu yang menyekarang. Dalam waktu arloji tidak ada perbedaan jam satu siang dengan jam satu malam, jarum arloji menunjuk pada angka yang sama. Waktu alam ialah mengalir. Karena itu, waktu bisa mandek, bisu, beku. Sementara ruang bisa tembus pandang dan menjelah bidang liputan.
Kalau pandangan ini dilanjutkan, maka corak alam tak lain adalah keseluruhan prinsip-prinsip dan pengaturan relasi sesuai dengan dorongan vital dari manusia yang mengkonstitusikan alam. Tendensi mengasimilasikan benda-benda dalam hampir semua sajak di buku ini, bukan menampilkan ekspansi difusi sebagaimana sering disinggung para kritis postmodernis, melainkan aliran vital yang berjalan teratur.
Tendensi puisi yang kembali ke alam tradisionil, dalam hal ini, berarti kembali menunjukkan persoalan ketidaksadaran. Semakin berkurang kesadaran seseorang, semakin ia kembali kepada tradisionalisme. (Sebagai contoh, buku Kitab Para Malaikat banyak menggunakan kata pujangga, bukan penyair, dan kitab ini dibuka dengan kalimat yang mengingatkan kita pada kitab-kitab lama yang berisi doa purba: ”Allahhumma shalli ’ala sayyidina Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga (I)”.
Dan itu diulangi secara ritmis. Semua titik peralihan menentukan batas relasi. Sampai batas itu, alam seakan membuka diri baginya. Seakan menjelma doa-doa. Sementara di luar dirinya, ia mencoba memilih posisi yang lain. Pengalaman berdasarkan relasi antara kita dan benda-benda, tetapi relasi itu tak bisa ditempel atas benda-benda itu. Dengan pengalaman saja, pengaruh dari benda-benda sudah selesai sehingga pengaruh dialami secara absolut.
Namun, sebagaimana terbaca dalam beberapa sajak, doa dan waktu dari alam itu kini mengalami perubahan seiring ditemukannya pengolahan yang serba-mesin. Di zaman sekularisasi yang menciptakan demistifikasi terhadap manusia dan desakralisasi terhadap hal-ikhwal yang disucikan ini, sebuah puisi memang tak sepenuhnya bisa diharapkan menjadi remedi bagi luka besar kemanusiaan. Sekalipun Nurel bertekad untuk “memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu”, toh, sajak-sajaknya memiliki keterbatasannya sendiri. Dan, sebagai pembaca, saya hanya bisa berdoa: semoga kau berhasil dan berbahagia terbang bersama para malaikat ruhaniyyuunmu.
Bandarlampung-Kota Agung, Maret 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar