Senin, 16 Mei 2011

Dendam Rembulan

S.W. Teofani
http://sastra-indonesia.com/

Adalah masa di mana kebenaran menyatakan halnya. Kejujuran menunjukan adanya. Tak ada yang mampu menutupi meski pintu dari baja. Tak ada tempat tersembunyi meski ceruk paling ciut. Aku ingin bertanya, pernahkah kau menyimpan dusta? Kemudian mencari pembenaran-pembenaran untuk menipiskan dosa. Merangkai kelopak-kelopak makna yang bisa menutupinya. Bersembunyi pada diri supaya tak ada yang melihatnya.

Suatu ketika kau pun berkata, “Tak ada tempat bersembunyi paling rapi, kecuali kejujuran itu sendiri.”

Itulah yang merenggut seluruhku untuk bersunyi, mengasing dari setiap keakraban. Meninggalkan setiap pembicaraan yang akan membuat luka dan mencipta dusta. Karena luka telah menjadi sayat paling mengerikan, dusta telah menjadi hantu paling menakutkan. Aku pernah meluka, aku pernah berdusta. Luka itu kutebus dengan nyawa, dusta itu berbalas serupa. Tak ada ruang-ruang yang luput dari pembalasan atas dosa dan dusta yang menjadi utang hidup kita.

Malam itu adalah malam petaka. Aku mendapati seluruhku lunglai tanpa daya. Sebelumnya, tak pernah terlintas aku akan mengalami semua. Sejak menikah, aku dan suamiku adalah pasangan bertabur bahagia. Tak ada gadamala yang mengganggu mahligai suka. Kami membangun kastil di tepi hutan. Sebelum kelahiran buah cinta, hari-hari kami dipenuhi doa dan sukacita. Kami bagai sejoli yang berbulan madu begitu lama.

Delapan puluh purnama kami meminta, buah rasa datang juga. Bayi merah menjadi penutup segala resah. Yang mengabarkan cerita hidup kami masih panjang. Ada keturunan yang akan mengisahkan leluhurnya. Ada generasi yang menuturkan kakek buyutnya. Aku dan suamiku akan tersebut dalam silsilah yang dikenang sepanjang ruang yang terbentang. Kami merasa menjadi manusia yang paling diberkati di seluruh penjuru bumi.

Hidup memang bukan kereta yang berjalan lurus pada satu rel saja. Pencipta menuntun kita ke tempat-tempat tak terduga. Ke kisah-kisah tak tereka. Kehidupan menjadi petualangan panjang yang menagih kesabaran. Lalu kita akan tersucikan dengan keiklasan yang mata airnya tersembunyi di ceruk paling liang.

Pada tengah malam purnama aku terjaga. Saat kubuka mata, tak kudapati seorang jua. Suamiku tak ada di tempatnya. Anakku nihil dari pandang mata. Dengan gegas rasa, aku mencarinya. Kubuka setiap pintu yang ada. Hampa. Teriakku menggema. Kuberlari ke persada, tak kutemukan keduanya. Gundahku semakin saja.

Kutembus malam penuh cekam, antara sinar rembulan dan lolong srigala. Embun mulai membasahi rerumputan. Halimun mengadang pandang. Hawa dingin menusuk belulang. Aku mendekap diri dengan bimbang. Ke mana anak dan suamiku? Sekali lagi kuteriakan nama mereka. Diam tak ada sautan. Tinggal gema di malam buta. Aku menuju tepi desa, mungkinkah mereka ke sana? Mengapa aku tak diajak serta?

Kulintasi padang ilalang, disaksikah ketabahan rembulan. Cahayanya mengikuti setiap gerakku. Seperti mata yang menjadi saksi derita yang kubawa. Sebentar aku tengadah, menatap penuh harap pada bulatnya yang nanap.

“Rembulan…kau telah menyaksikan setiap tapak yang melintas di padang ilalang ini, di tepi hutan ini, dan di setiap sudut bumi. Kabarkan padaku ke manakah suami dan anakku pergi. Tuntun langkahku menemukannya.”

Aku mendapati tatapan rembulan penuh warta, tapi ku tak mampu membacanya.
Aku tertunduk takzim mengadu pada bumi.

“Bumi, kau menyangga kaki semua mahluk dengan penuh kesabaran, di bagian mana kedua cintaku kini kau papah?”

Bumi menenangkanku, dia memberi jawab, tapi aku tak mampu memahami bahasanya. Lalu aku bersimpuh, menekur pada doa paling dalam.

“Duhai Pemilik Rembulan, Penopang seluruh kehidupan, bimbing mata batinku menuju penyejuk hatiku, anak dan suamiku. Sebagaimana Engkau kumpulkan kami sebelum tidur, kumpulkanlah kembali kami dalam ridho-Mu.”

Munajatku lebih dalam dari panjangnya malam. Ditutun kekuatan pemilik semesta, kakiku melangkah, menuju perdu bergoyang. Tanganku gemetar, ada cemas penuh di sana, mengapa kakiku melangkah di tempat ini?

Telingaku mendengar rintih lirih. Degub jantungku berdetak lebih kencang.

“Ibu….Ibu…” Makin lama suara itu nyata.
“Putraku….” Tubuhku tersedot jasad lungai yang tergolek di belukar.

Aku mendekapnya, tubuhnya penuh luka, bercak darah di mana-mana. Kuciumi seluruh luka dan keelokan yang tersisa. Raungku tak terbendung.

“Ibu..,” suaranya lirih, lalu menghilang ditelan alam yang lengang. Suara terakhir sebelum tidur panjang.

Tangisku menjadi. Senggukku liar. Aku belai wajahnya yang pasi, matanya terkatub, saat hendak kupapah, sepotong tangannya jatuh. Aku menjerit… kupungut dengan sedan tak tentu.

“Robby….apa salah hambamu, mengapa kau biarkan anakku teraniaya. Siapa yang melakukannya.”

Aku bersimpuh dengan ratap penuh. Lalu tengadah, rembulan masih di sana. Kembali aku mengharap sinarnya.

“Rembulan… kau saksi setiap duka malam ini. Siapa yang melakukan ini pada anakku?”

Rembulan itu memberi jawab sempurna, yang tak kutahu maknanya.

Kupapah putra semata wayangku, kupungut tangannya. Dengan gontai kutembus rungkut belukar. Tiba-tiba kutersadar sesuatu, di mana suamiku?

Aku berjalan setengah terpejam. Tubuhku berpijak tak sempurna, melayang pun tak imbang. Aku terus berjalan, antara limbung dan bimbang. Kaki kananku mengantuk sesuatu. Kaki kiriku kembali tersaruk benda itu, kucoba melompatinya. Mataku menelisik, aku tak bisa menukar gusar.

“Suamiku….” Spontan kutubruk tubuh itu, tanpa melepas anakku. Dibantu sinar purnama, kudapati kepalanya yang terbelah dua. Aku tak tahan melihatnya. Tak sanggup lagi untuk berdiri. Tersimpuh di antara mayat orang-orang terkasih, anakku di pangkuan dan suami di hadapan.

“Mengapa aku tak sekalian?” pupus semua tandan kesabaran yang aku lempangkan. Wajahku terhambur di tubuh kaku itu. Senggukku saling buru. Hingga sedak dan isak menyesak dalam cerkau risau. Bunga sriwijaya mekar, menghantarkan semerbak di sekelilingku. Kurarasi geruh malam ini.

Satu-satu sedanku hilang. Kubiarakan kedua jasad itu kaku. Aku baringkan tubuh anakku di samping ayahnya. Aku menepi dari keduanya. Kuhela napas hingga tandas. Kupejam mata hingga lega. Parlahan kubuka, menatap rembulan di sunyi awan. Masih di tempatnya, dengan cerlang lebih terang. Aku ingin menangkap sasmita dari setiap pendarnya.

“Rembulan, terangi hatiku, dengan cahayamu. Cahaya yang dipancarkan dari Mahacahaya. Izinkan aku membaca isyarat-isyaratnya.”

Bulan itu tersenyum padaku, dengan sungging paling pilu. Setiap pesannya mengabarkan dendam yang terbalaskan. Aku mencoba mengingat helai-helai hitam yang pernah kutanam di masa silam, hingga kutuai segumpal cekam di malam jahanam. Kutatap bulat rembulan, piasnya merawikan laman-laman silam, pada masa yang hampir kulupakan.

Ibuku, wanita yang begitu mengasihiku, sebelum mengembuskan napas terakhir, berpesan. Wanita agung itu menitipkan tiga ekor kucing kesayangannya padaku. Betapa pun cintaku pada wanita yang melahirkanku, aku tak mungkin menjaga kucing-kucing itu. Tanpan sebab, aku sangat membencinya sejak ada. Rasa itu hadir begitu dahsyatnya. Jangankan memelihara, melihat pun aku tak suka.

Sebelum hari ketujuh kematian ibu, aku berjalan ke tepi hutan membawa anak beranak binatang itu. Pada rimbun yang lebat, kutinggalkan ketiganya. Aku pulang. Esoknya, kucing-kucing itu telah kembali. Di hati paling bening, aku merasa bersalah. Kusia-siakan amanah maula hidupku. Kucampakan binatang tak berdosa hanya karena tak suka yang membuta. Tapi rasa benciku menutup semua bisik suci. Kuulangi lagi esoknya, membawa ketiganya ke tempat berbeda. Tapi Tuhan memang menganugerahkan indera istimewa pada hewan kesayangan Rasul-Nya.

Lusanya, kucing-kucing itu kembali lagi. Aku ditawan kebencian tak tertawar. Hari-hariku menjadi rencana-rencana melenyapkan ketiganya. Hingga di sebuah malam purnama, di tepi hutan yang sepi, disaksikan sinar rembulan serupa, aku habisi ketiganya. Kupotong tangan anaknya, kubelah kepala bapaknya, sementara sang ibu lolos dari murka. Dia berlari saat aku kalap menghajar anak dan suaminya. Tapi sempat kutangkap matanya menetapku dengan pilu. Tersemat rasa bersalah yang sangat pada ibuku. Banyangnya hadir dengan hardik paling sengit. Tapi kekesalanku tandas malam itu. Amarahku bagai air menerobos tanggul.

Adakan malam itu induk kucing berdoa di hadapan sang rambulan yang sama. Lalu rembulan itu mencatat semua laranya menjadi dendam abadi pada tapa sunyi?

Kini aku menunduk, rembulan itu seperti mengutuk.

“Apa salah binatang itu. Adakah dia mengganggumu? Adakan dia menyusahkanmu. Dia hanya mengaharap sisa kasihmu. Tapi kau berikan segumpal dendam yang telah kusimpan pada catatan-catatan kehidupan.”

“Rembulan, adakan kucing itu dendam.” Hatiku gemuruh, andai pun dendam, itu adalah haknya. Tak malukah aku mengharap kucing itu ikhlas menerima bongkah amarahku yang picik itu. Sementara kubiarkan hatiku dirasuki murka.

Dengan muram rembulan mempertanyakan, “Apakah yang bisa dilakukannya atas dendam itu? Dia tak berdaya. Pada ketidakberdayaannya, Tuhanku-Tuhan kita, telah berjanji mengabulkan doanya. Dan aku, menjadi saksi setiap pintanya.”

“Adakah kau tahu perasaanku?” Entah mengapa aku masih mengiba.
“Adakah kau tahu perasaan binatang tak berdosa itu, serupa itulah perasaanya waktu itu.”

Ingatanku terpelanting saat aku begitu menggebu membunuh kucing-kucing polos itu. Aku merasa tak ada yang tahu. Sekalipun tahu, adakah yang menyalahkanku? Kemudian aku mempertanyakan pengakuan ke-Tuhananku, saat merasa tak ada saksi atas kekejianku. Kini tak kurasai apa pun, selain keperkasaan kekuatan tak terengkuh. Rembulan itu memancarkan pesan-pesan pada sabah yang terbaca makna.

“Tak ada yang sia-sia. Meski seberkas kau toreh luka, sebesar itu yang akan kau terima.”

Aku hanya menunduk, mengeja kecerobohan diri dengan telisik paling nyeri. Kusaksikan kepala suamiku yang hancur serupa kepala kuncing yang kubantai. Tangan anakku, tak beda tangan anak kucing yang kupatahkan. Aku merangkang. Mengumpulkan energi yang ada. Mengais buah kebencian masa silam. Sesalku tandas. Mengapa orang-orang terkasihku ikut serta pada dosaku? Semakin kurarai sesal, menggunung beban jiwaku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain mengharap rinai ampunan.

Robbanna, dzolamna anfusana , failam taghfirlana, wa tarhamna lanakunaan minal khoisirin.
Ya…Tuhanku, sesungguhnya aku telah aniaya pada diriku. Seandainya Engkau tak mengampuni dan merahmatiku, maka aku adalah orang yang merugi.

Bandar Lampung, Maret 2010

S.W. Teofani, cerpenis tinggal di Lampung, telah menyelesaikan novel Shih-lifo-shih.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati