Binhad Nurrohmat
http://www.ruangbaca.com/
Majalah Pujangga Baru menjadi “penyambung lidah” pemikiran Takdir dan melahirkan “gaya nasionalistik-romantik Pujangga Baru”.
Sutan Takdir Alisyahbana adalah sebuah nama yang menjulang serta suara lantang yang polemis dalam ranah kebudayaan kita. Takdir tertoreh tebal dan kontroversial di pagina sejarah kebudayaan lantaran pemikirannya yang dinilai amat berkiblat ke Barat dan kritiknya yang tajam menujah kebudayaan prae Indonesia (kebudayaan Nusantara sampai akhir abad XIX) yang dia tuding sebagai zaman jahiliyah keindonesiaan yang tak bertali-sambung dengan keindonesiaan yang sejati yang meruak sejak abad XX yang menurutnya melahirkan “suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”.
Bagi Takdir, hanya dengan mereguk roh Barat kebudayaan Indonesia dapat maju dan mengejar atau menyamai capaian kebudayaan Barat. Khas pemikiran Takdir berkata kunci “dinamis” dan “Barat” dan menilai kebudayaan prae Indonesia sebagai mumi dan “statis”.
Pemikiran Takdir ini berseberangan dengan Ki Hajar Dewantara yang “mengelus-elus” warisan kebudayaan dan sejarah gemilang para leluhur dengan “puncak-puncak kebudayaannya” itu, maupun dengan Sanusi Pane, yang menuduh pendirian pemikiran kebudayaan Takdir terlampau ekstrem. Sanusi Pane mengajukan ideal kebudayaan Indonesia dengan “haluan yang sempurna”: menyatukan Barat-Timur, “menyatukan Faust dan Arjuna”.
Pemikiran dan kritik kebudayaan Takdir tampil terus-terang, bergelora, dan sarat superlativisme seperti tergambarkan dalam puisi dan prosanya maupun dalam peristiwa yang terkenal dengan sebutan Polemik Kebudayaan, di mana Takdir menjadi biang utama yang bersengat dan berkobar-kobar melontarkan pemikiran dan kritiknya serta menggebu-gebu meladeni reaksi para penentangnya.
Seni dan Identitas Indonesia
Takdir merupakan “varian” kebudayaan dan kesusastraan di negeri ini. Tak sedikit nama penting dari generasi semasanya maupun sesudahnya yang menampik dan menerima pemikiran kebudayaan dan karya kesusastraan Takdir. Namun, lantaran apa yang telah digagas dan dikerjakannya selama hidupnya dengan kekukuhan pendirian dan keluasan rambahan pemikirannya, Takdir tak mungkin terhapus sebagai “wakil” yang terkenal dari suara zaman di masanya.
Lelaki kelahiran Natal, Tapanuli, pada 11 Februari 1908, itu pernah memimpin majalah Panji Pustaka dan Kepala Sidang Pengarang di Balai Pustaka. Lantaran merasa tak leluasa memperjuangkan cita-cita di lingkungan pemerintah kolonial, pada Juli 1933 (bersama Amir Hamzah, Armijn Pane, dan sejumlah rekannya yang lain) ia menerbitkan majalah kebudayaan nasional Pujangga Baru –tempat berkecamuknya Polemik Kebudayaan yang terkenal itu. Majalah ini konon pailit, tapi Takdir mengotot tetap menerbitkannya dan bisa bertahan sampai ketika pihak pendudukan Jepang melarangnya lantaran dianggap kelewat kebarat-baratan.
Konon, sikap kebudayaan Takdir yang kebarat-baratan itu diwakili tokoh Tuti dalam romannya, Layar Terkembang (1936), dan diselusupkan melalui bentuk puisi Barat yang dipilihnya, yaitu soneta, serta melalui gagasannya “memajukan kesusastraan” tradisional dengan melakukan perambahan tema, cara penulisan, serta ekspresi yang baru ke dalam dunia syair dan pantun. Menurut Takdir, pakem formal syair dan pantun tradisional mengalami kemandekan tema dan meminggirkan individualitas. Lebih jauh, Takdir juga menghimbau para pengarang “menahan diri” dalam memproduksi jumlah mengarang demi menaikkan mutu karya mereka.
Gagasan dan himbauan Takdir pada mulanya dianggap “sepi” dan sedikit saja yang seiring pikirannya, yaitu Armijn Pane dan Amir Hamzah, dan mereka bertiga menjalin korespondensi. Takdir mengusulkan pembentukan organisasi pengarang yang sesuai dengan cita-cita kebudayaannya itu. Armijn Pane tak sependapat dengan usulan itu. “Lebih penting daripada kedua hal ini (perkumpulan/majalah) ialah soal majalah itu. Kalau sudah ada majalah itu, akan ada pertambatan pujangga semuanya, sedang kalau ada perkumpulan dan tiada majalahnya, maka maksud perkumpulan itu tiada akan banyak tercapai,” kata Armijn.
Setelah berdiskusi melalui surat-menyurat itu, mereka bertiga bertemu di Jakarta pada Januari 1933 untuk menyusun anggaran dasar organisasi pengarang dan rencana menerbitkan majalah kesusastraan. Dalam sepucuk surat bertanggal Februari 1933, Armijn Pane menyatakan, “Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya.”
Edisi perdana Pujangga Baru terbit pada Juli 1933, yang memuat kata pengantar, sebelas puisi, dan dua esai yang salah satunya ditulis Takdir, “Menuju Seni Baru”, yang menggelorakan sikap dasar kebudayaan Takdir. Dalam tulisan ini Takdir bicara tentang individulisme masyarakat modern, upaya menciptakan seni baru, dan melancarkan “provokasi”: seni Indonesia bakal mandul jika meniru seni masa lampau.
Dari esai ini terenduslah jejak mula pemikiran Takdir yang tak melulu berkutat pada seni, tapi juga punya perhatian mendalam pada soal kemasyarakatan dan kebudayaan. Yang menarik dalam perkara seni adalah kepercayaan Takdir bahwa perasaan pribadi dalam karya sastra bisa seiring dengan peran kesenian sebagai agen perubahan sosial.
Pujangga Baru di kemudian hari menjadi “penyambung lidah” utama pemikiran Takdir, mencoraki dan bahkan namanya identik dengan majalah ini serta melahirkan “gaya nasionalistik-romantik Pujangga Baru”.
Bagi Takdir, kesusastraan punya peran penting dan tak terceraikan dari seluruh dinamika kemasyarakatan dan kebudayaan. Menurut Takdir, seni yang bertanggung jawab merupakan agen bagi perubahan sosial. Sanusi Pane tak menolak pendapat Takdir ini, tapi, menurut Sanusi, sikap seperti ini bisa menjadikan seni bertendens atau didaktik yang bisa mengorbankan nilai seni.
Pemikiran-pemikiran Takdir yang diumumkan di Pujangga Baru sebenarnya meneruskan dan mengembangkan pendirian pemikirannya sebelumnya yang disiarkan di majalah Panji Pustaka.
Selain masalah kebudayaan dan kemasyarakatan, di dua majalah ini, Takdir memaparkan dasar pemikiran kesusastraannya (puisi dan prosa) secara definitif, didaktik, disertai contoh, dan kerap mengalasinya dengan referensi dari Barat.
Misalnya, “Dalam dada tiap-tiap manusia berdebur darah penyair”, “Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan. (…) Perasaan itu hendaknya lebih mulia dari perasaan setiap hari. Atau seperti kata Albert Verwey, salah seorang yang ternama dalam dunia syair-menyair Belanda dalam lima puluh tahun yang akhir ini: Puisi itu tidaklah lain daripada perasaan kita tentang hidup, terlepas dari segala yang kebetulan atau yang fana” atau “syair itu tak boleh dipakai kiasan yang terlalu sering dipakai orang, kiasan itu pun dalam segala hal harus sesuai dengan perasaan yang hendak diucapkan. Bacalah syair yang kami terima dari pembantu R. di bawah ini: ‘Tanahku, O, Tanah Emas!’:Tanahku, o, tanah emas!/ Sungguh jelita cantik dan molek,/ Sungguh indah alamatmu tuan:/ –Dengarlah tembangan para pujangga,/ Menyairkan kecantikanmu…”.
Sedangkan contoh wejangan Takdir dalam perkara prosa sebagai berikut: “Dalam puisi perasaan bersemaharajalela, tetapi sebaliknya dalam perosa perasaan itu diawasi oleh pikiran dan sering semata-mata pikirlah yang berkuasa”, “Perosa Melayu ialah kuda sudah dikekang, sudah jinak. Penunggangnya sudah boleh mengantuk-ngantuk di atas pelana. Ia sudah tahu jalan kudanya: pasti demikian, tak mungkin lain daripada itu,” dan “Perosa Melayu yang akan datang harus penuh berlimpah-limpahan semangat. Atau seperti kata Van Deyssel yang telah menjelmakan perosa baru dalam kesusastraan Belanda: ‘Saya suka akan perosa, yang datang kepada saya seperti seorang laki-laki, dengan mata yang bersinar-sinar, dengan suara nyaring, seraya mengambil napas dan mengayun-ayunkan tangannya. Saya hendak melihat pengarangnya tertawa dan menangis di dalamnya, mendengar ia berbisik dan berteriak, merasa ia mengeluh dan sesak napas.’.”
Sejak edisi tahun ketiga, Pujangga Baru mengulik ihwal kebudayaan dan identitas Indonesia, misalnya tulisan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang mendedah pemikiran semangat keindonesiaan sebagai ciptaan abad XX. Menurutnya, semangat keindonesiaan merupakan tahapan baru kebudayaan di Nusantara yang terjelma setelah bergaul dengan kebudayaan Barat dan menggantikan semangat prae Indonesia itu. Tulisan Takdir ini memancing Polemik Kebudayaan yang melibatkan para figur besar yang aktif arena sosial, politik, kebudayaan di masa itu (Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro, Dr. Sutomo, dan lainnya). Pemikiran kebudayaan Takdir dinilai pro-Barat dan sinis terhadap kebudayaan pribumi. Takdir mengelak. Menurut Takdir, substansi pemikirannya adalah menilai ulang masa silam dan menengok semangat “dinamis Barat”.
Polemik besar itu merupakan awal reaksi terbuka terhadap “Westenisme” yang digelorakan Takdir dan dia tak menyerah dengan pendiriannya: kebudayaan prae Indonesia tak cocok lagi bagi kebudayaan Indonesia baru.
Dalam tulisannya, “Sikap yang Nyata”, di Pujangga Baru menjelang edisi akhir tahun ketiga, Takdir menyuarakan sikap yang dia sebut Prima vivere, deinde philosophari serta pendapatnya soal kaitan semangat Timur dan depresi ekonomi Indonesia masa itu: “Kalau bangsa kita hendak berubah kedudukannya dalam dunia ekonomi pada khususnya, dalam hal materi pada umumnya, maka jiwa bangsa kita harus berubah dari akar-akarnya.”
Amir Syarifuddin bereaksi keras dan menuding tulisan Takdir itu timpang. Takdir balas menuding secara tersirat bahwa orang telah menyalahpahami tulisannya itu. Bagi Takdir, tugas pemikir kebudayaan menciptakan kebudayaan yang lebih tinggi atau setara dengan dengan kebudayaan sebelumnya dan tak wajib meneruskan tradisi masa silam.
Makna Takdir bagi Kita
Tampaknya, gejolak pemikiran Takdir yang radikal itu belum mati, tentu dengan bentuk variannya lantaran perbedaan ruang dan waktu masa Takdir dan masa kita. Deru globalisasi yang kian menyata dan mundurnya mutu kehidupan masyarakat kita saat ini menyebabkan pemikiran Takdir bisa disimak saat ini sebagai “peringatan yang keras”, untuk disetujui ataupun ditampik sama sekali.
Semangat kebudayaan kosmopolitan Takdir menuntut sikap inklusif, seperti era global saat ini yang menggetarkan sejumlah tata-nilai pribumi yang menggugah dan mengganggu kesadaran dan identitas keindonesiaan yang kian membuncah dan mengeras saat ini. Ah, apakah Takdir datang kelewat cepat?
Tanpa Takdir, Polemik Kebudayaan yang terjadi pada 1930-an itu barangkali tak pernah ada. Apakah polemik itu memang penting atau perlu? Mungkin juga, tanpa Takdir dan Pujangga Baru-nya itu tak bakal pernah muncul kesastrawanan Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Apakah ini tak layak disyukuri?
Yang terpenting dari Takdir adalah sikap kritis dan keberanian menghadirkan diri dan pemikirannya secara terbuka dengan sikap dan dasar pemikiran yang jelas dan dikukuhi seumur hidupnya dengan tegas dan setia. Takdir tentu tak sempurna, namun sekecil apapun anggapan orang tetaplah ia “ilham” penting dan langka bagi manusia Indonesia untuk terus melihat, menilai, dan membentuk diri di tengah dunia yang tak berhenti berubah ini.
*) Penyair dan kolomnis sastra
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar