Jumat, 01 April 2011

Takdir Belum Mati

Binhad Nurrohmat
http://www.ruangbaca.com/

Majalah Pujangga Baru menjadi “penyambung lidah” pemikiran Takdir dan melahirkan “gaya nasionalistik-romantik Pujangga Baru”.

Sutan Takdir Alisyahbana adalah sebuah nama yang menjulang serta suara lantang yang polemis dalam ranah kebudayaan kita. Takdir tertoreh tebal dan kontroversial di pagina sejarah kebudayaan lantaran pemikirannya yang dinilai amat berkiblat ke Barat dan kritiknya yang tajam menujah kebudayaan prae Indonesia (kebudayaan Nusantara sampai akhir abad XIX) yang dia tuding sebagai zaman jahiliyah keindonesiaan yang tak bertali-sambung dengan keindonesiaan yang sejati yang meruak sejak abad XX yang menurutnya melahirkan “suatu generasi yang baru di lingkungan Nusantara ini, yang dengan insyaf hendak menempuh suatu jalan yang baru bagi bangsa dan negerinya”.

Bagi Takdir, hanya dengan mereguk roh Barat kebudayaan Indonesia dapat maju dan mengejar atau menyamai capaian kebudayaan Barat. Khas pemikiran Takdir berkata kunci “dinamis” dan “Barat” dan menilai kebudayaan prae Indonesia sebagai mumi dan “statis”.

Pemikiran Takdir ini berseberangan dengan Ki Hajar Dewantara yang “mengelus-elus” warisan kebudayaan dan sejarah gemilang para leluhur dengan “puncak-puncak kebudayaannya” itu, maupun dengan Sanusi Pane, yang menuduh pendirian pemikiran kebudayaan Takdir terlampau ekstrem. Sanusi Pane mengajukan ideal kebudayaan Indonesia dengan “haluan yang sempurna”: menyatukan Barat-Timur, “menyatukan Faust dan Arjuna”.

Pemikiran dan kritik kebudayaan Takdir tampil terus-terang, bergelora, dan sarat superlativisme seperti tergambarkan dalam puisi dan prosanya maupun dalam peristiwa yang terkenal dengan sebutan Polemik Kebudayaan, di mana Takdir menjadi biang utama yang bersengat dan berkobar-kobar melontarkan pemikiran dan kritiknya serta menggebu-gebu meladeni reaksi para penentangnya.

Seni dan Identitas Indonesia

Takdir merupakan “varian” kebudayaan dan kesusastraan di negeri ini. Tak sedikit nama penting dari generasi semasanya maupun sesudahnya yang menampik dan menerima pemikiran kebudayaan dan karya kesusastraan Takdir. Namun, lantaran apa yang telah digagas dan dikerjakannya selama hidupnya dengan kekukuhan pendirian dan keluasan rambahan pemikirannya, Takdir tak mungkin terhapus sebagai “wakil” yang terkenal dari suara zaman di masanya.

Lelaki kelahiran Natal, Tapanuli, pada 11 Februari 1908, itu pernah memimpin majalah Panji Pustaka dan Kepala Sidang Pengarang di Balai Pustaka. Lantaran merasa tak leluasa memperjuangkan cita-cita di lingkungan pemerintah kolonial, pada Juli 1933 (bersama Amir Hamzah, Armijn Pane, dan sejumlah rekannya yang lain) ia menerbitkan majalah kebudayaan nasional Pujangga Baru –tempat berkecamuknya Polemik Kebudayaan yang terkenal itu. Majalah ini konon pailit, tapi Takdir mengotot tetap menerbitkannya dan bisa bertahan sampai ketika pihak pendudukan Jepang melarangnya lantaran dianggap kelewat kebarat-baratan.

Konon, sikap kebudayaan Takdir yang kebarat-baratan itu diwakili tokoh Tuti dalam romannya, Layar Terkembang (1936), dan diselusupkan melalui bentuk puisi Barat yang dipilihnya, yaitu soneta, serta melalui gagasannya “memajukan kesusastraan” tradisional dengan melakukan perambahan tema, cara penulisan, serta ekspresi yang baru ke dalam dunia syair dan pantun. Menurut Takdir, pakem formal syair dan pantun tradisional mengalami kemandekan tema dan meminggirkan individualitas. Lebih jauh, Takdir juga menghimbau para pengarang “menahan diri” dalam memproduksi jumlah mengarang demi menaikkan mutu karya mereka.

Gagasan dan himbauan Takdir pada mulanya dianggap “sepi” dan sedikit saja yang seiring pikirannya, yaitu Armijn Pane dan Amir Hamzah, dan mereka bertiga menjalin korespondensi. Takdir mengusulkan pembentukan organisasi pengarang yang sesuai dengan cita-cita kebudayaannya itu. Armijn Pane tak sependapat dengan usulan itu. “Lebih penting daripada kedua hal ini (perkumpulan/majalah) ialah soal majalah itu. Kalau sudah ada majalah itu, akan ada pertambatan pujangga semuanya, sedang kalau ada perkumpulan dan tiada majalahnya, maka maksud perkumpulan itu tiada akan banyak tercapai,” kata Armijn.

Setelah berdiskusi melalui surat-menyurat itu, mereka bertiga bertemu di Jakarta pada Januari 1933 untuk menyusun anggaran dasar organisasi pengarang dan rencana menerbitkan majalah kesusastraan. Dalam sepucuk surat bertanggal Februari 1933, Armijn Pane menyatakan, “Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya.”

Edisi perdana Pujangga Baru terbit pada Juli 1933, yang memuat kata pengantar, sebelas puisi, dan dua esai yang salah satunya ditulis Takdir, “Menuju Seni Baru”, yang menggelorakan sikap dasar kebudayaan Takdir. Dalam tulisan ini Takdir bicara tentang individulisme masyarakat modern, upaya menciptakan seni baru, dan melancarkan “provokasi”: seni Indonesia bakal mandul jika meniru seni masa lampau.

Dari esai ini terenduslah jejak mula pemikiran Takdir yang tak melulu berkutat pada seni, tapi juga punya perhatian mendalam pada soal kemasyarakatan dan kebudayaan. Yang menarik dalam perkara seni adalah kepercayaan Takdir bahwa perasaan pribadi dalam karya sastra bisa seiring dengan peran kesenian sebagai agen perubahan sosial.

Pujangga Baru di kemudian hari menjadi “penyambung lidah” utama pemikiran Takdir, mencoraki dan bahkan namanya identik dengan majalah ini serta melahirkan “gaya nasionalistik-romantik Pujangga Baru”.

Bagi Takdir, kesusastraan punya peran penting dan tak terceraikan dari seluruh dinamika kemasyarakatan dan kebudayaan. Menurut Takdir, seni yang bertanggung jawab merupakan agen bagi perubahan sosial. Sanusi Pane tak menolak pendapat Takdir ini, tapi, menurut Sanusi, sikap seperti ini bisa menjadikan seni bertendens atau didaktik yang bisa mengorbankan nilai seni.

Pemikiran-pemikiran Takdir yang diumumkan di Pujangga Baru sebenarnya meneruskan dan mengembangkan pendirian pemikirannya sebelumnya yang disiarkan di majalah Panji Pustaka.

Selain masalah kebudayaan dan kemasyarakatan, di dua majalah ini, Takdir memaparkan dasar pemikiran kesusastraannya (puisi dan prosa) secara definitif, didaktik, disertai contoh, dan kerap mengalasinya dengan referensi dari Barat.

Misalnya, “Dalam dada tiap-tiap manusia berdebur darah penyair”, “Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan. (…) Perasaan itu hendaknya lebih mulia dari perasaan setiap hari. Atau seperti kata Albert Verwey, salah seorang yang ternama dalam dunia syair-menyair Belanda dalam lima puluh tahun yang akhir ini: Puisi itu tidaklah lain daripada perasaan kita tentang hidup, terlepas dari segala yang kebetulan atau yang fana” atau “syair itu tak boleh dipakai kiasan yang terlalu sering dipakai orang, kiasan itu pun dalam segala hal harus sesuai dengan perasaan yang hendak diucapkan. Bacalah syair yang kami terima dari pembantu R. di bawah ini: ‘Tanahku, O, Tanah Emas!’:Tanahku, o, tanah emas!/ Sungguh jelita cantik dan molek,/ Sungguh indah alamatmu tuan:/ –Dengarlah tembangan para pujangga,/ Menyairkan kecantikanmu…”.

Sedangkan contoh wejangan Takdir dalam perkara prosa sebagai berikut: “Dalam puisi perasaan bersemaharajalela, tetapi sebaliknya dalam perosa perasaan itu diawasi oleh pikiran dan sering semata-mata pikirlah yang berkuasa”, “Perosa Melayu ialah kuda sudah dikekang, sudah jinak. Penunggangnya sudah boleh mengantuk-ngantuk di atas pelana. Ia sudah tahu jalan kudanya: pasti demikian, tak mungkin lain daripada itu,” dan “Perosa Melayu yang akan datang harus penuh berlimpah-limpahan semangat. Atau seperti kata Van Deyssel yang telah menjelmakan perosa baru dalam kesusastraan Belanda: ‘Saya suka akan perosa, yang datang kepada saya seperti seorang laki-laki, dengan mata yang bersinar-sinar, dengan suara nyaring, seraya mengambil napas dan mengayun-ayunkan tangannya. Saya hendak melihat pengarangnya tertawa dan menangis di dalamnya, mendengar ia berbisik dan berteriak, merasa ia mengeluh dan sesak napas.’.”

Sejak edisi tahun ketiga, Pujangga Baru mengulik ihwal kebudayaan dan identitas Indonesia, misalnya tulisan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, yang mendedah pemikiran semangat keindonesiaan sebagai ciptaan abad XX. Menurutnya, semangat keindonesiaan merupakan tahapan baru kebudayaan di Nusantara yang terjelma setelah bergaul dengan kebudayaan Barat dan menggantikan semangat prae Indonesia itu. Tulisan Takdir ini memancing Polemik Kebudayaan yang melibatkan para figur besar yang aktif arena sosial, politik, kebudayaan di masa itu (Sanusi Pane, Ki Hajar Dewantara, Adinegoro, Dr. Sutomo, dan lainnya). Pemikiran kebudayaan Takdir dinilai pro-Barat dan sinis terhadap kebudayaan pribumi. Takdir mengelak. Menurut Takdir, substansi pemikirannya adalah menilai ulang masa silam dan menengok semangat “dinamis Barat”.

Polemik besar itu merupakan awal reaksi terbuka terhadap “Westenisme” yang digelorakan Takdir dan dia tak menyerah dengan pendiriannya: kebudayaan prae Indonesia tak cocok lagi bagi kebudayaan Indonesia baru.

Dalam tulisannya, “Sikap yang Nyata”, di Pujangga Baru menjelang edisi akhir tahun ketiga, Takdir menyuarakan sikap yang dia sebut Prima vivere, deinde philosophari serta pendapatnya soal kaitan semangat Timur dan depresi ekonomi Indonesia masa itu: “Kalau bangsa kita hendak berubah kedudukannya dalam dunia ekonomi pada khususnya, dalam hal materi pada umumnya, maka jiwa bangsa kita harus berubah dari akar-akarnya.”

Amir Syarifuddin bereaksi keras dan menuding tulisan Takdir itu timpang. Takdir balas menuding secara tersirat bahwa orang telah menyalahpahami tulisannya itu. Bagi Takdir, tugas pemikir kebudayaan menciptakan kebudayaan yang lebih tinggi atau setara dengan dengan kebudayaan sebelumnya dan tak wajib meneruskan tradisi masa silam.

Makna Takdir bagi Kita

Tampaknya, gejolak pemikiran Takdir yang radikal itu belum mati, tentu dengan bentuk variannya lantaran perbedaan ruang dan waktu masa Takdir dan masa kita. Deru globalisasi yang kian menyata dan mundurnya mutu kehidupan masyarakat kita saat ini menyebabkan pemikiran Takdir bisa disimak saat ini sebagai “peringatan yang keras”, untuk disetujui ataupun ditampik sama sekali.

Semangat kebudayaan kosmopolitan Takdir menuntut sikap inklusif, seperti era global saat ini yang menggetarkan sejumlah tata-nilai pribumi yang menggugah dan mengganggu kesadaran dan identitas keindonesiaan yang kian membuncah dan mengeras saat ini. Ah, apakah Takdir datang kelewat cepat?

Tanpa Takdir, Polemik Kebudayaan yang terjadi pada 1930-an itu barangkali tak pernah ada. Apakah polemik itu memang penting atau perlu? Mungkin juga, tanpa Takdir dan Pujangga Baru-nya itu tak bakal pernah muncul kesastrawanan Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armijn Pane. Apakah ini tak layak disyukuri?

Yang terpenting dari Takdir adalah sikap kritis dan keberanian menghadirkan diri dan pemikirannya secara terbuka dengan sikap dan dasar pemikiran yang jelas dan dikukuhi seumur hidupnya dengan tegas dan setia. Takdir tentu tak sempurna, namun sekecil apapun anggapan orang tetaplah ia “ilham” penting dan langka bagi manusia Indonesia untuk terus melihat, menilai, dan membentuk diri di tengah dunia yang tak berhenti berubah ini.

*) Penyair dan kolomnis sastra

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati