Sabtu, 12 Maret 2011

NYELAMA SAKAI

Amien Wangsitalaja
http://amien-wangsitalaja.blogspot.com/

Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.

Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.

Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.

Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.

Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.

Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.

“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”

“Naf…?!”
“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”

“Naf…?!”
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.

Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.

Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.

Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.

“Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan….”

Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.

“Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu.”

“Naf…?!”
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi….

Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata “proyek penghabisan anggaran negara”. Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.

“Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!”
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.

Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.

“Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00.”

Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi…. Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.

Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla…. Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.

Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.

Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf…

Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.

Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
“Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!”

“Naf…?!”
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja “proyek” yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf…?

Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam…. Naf….

Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.

Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.

Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.

Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau….

Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.

“Naf…?!”
“Ya, penari kecilmu.”
“Naf…?!”
“Ya, tujuh bulan.”
“Naf…?!”

Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.

“Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat.”
“Naf….”

Samarinda, 2005
Sumber: http://kumpulan-cerpen.blogspot.com/2005/07/nyelama-sakai.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati