Ardus M Sawega, Sonya Helen Sinombor
http://cetak.kompas.com/
”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”
Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.
Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.
Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.
”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.
Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.
Ode kaum miskin
Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.
Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.
Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.
Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.
Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.
Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.
Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.
Legenda
Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.
Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.
Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.
Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.
Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.
Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.
Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar