Minggu, 27 Februari 2011

“Tuk”, Menziarahi (Legenda) Sastra Jawa

Ardus M Sawega, Sonya Helen Sinombor
http://cetak.kompas.com/

”Ana tangis layung-layung/Tangise wong wedi mati/Gedongana, kuncenana/Wong mati mangsa wurunga….”

Sepenggal Ketawang Soyung yang dilagukan dengan nada pilu di bagian awal pementasan lakon ”Tuk” —sebuah repertoar berbahasa Jawa yang dipentaskan pada 26-28 Juni 2008 di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo—itu seakan mengentak setiap penghayat yang memahami filsafat yang terkandung di dalamnya.

Terjemahan tembang di atas: Ada tangis terdengar samar/Tangis orang yang takut mati/Meski dikepung gedung, meski digembok serapat apa pun/Maut mustahil dicegah…. Tembang ageng serupa requiem atau nyanyian kematian itu hanya pembuka, nyaris tak ada kaitan langsung dengan adegan-adegan berikutnya yang penuh gebrakan dan cerocos caci-maki ala Jawa.

Lakon ”Tuk” yang selama tiga malam dipentaskan oleh Teater Lungid Solo tak lain adalah lakon sama yang beberapa kali dipentaskan oleh kelompok Teater Gapit, sekitar tahun 1980-1990. Bahkan, sebagian besar personel pemainnya pun adalah pemain Teater Gapit: Pelok Sutrisno, Budi Bayek, Wahyu Cunong, Djarot B Santoso, Cempluk Lestari, dan lain-lain.

”Teman-teman pendukung Teater Gapit ingin lepas dari bayang-bayang Kenthut (Bambang Widoyo SP, pendiri, penulis naskah, dan sutradara Teater Gapit). Mereka ingin membuat produksi baru, bukan dengan lakon-lakon yang ditulis Kenthut. Biarlah nama Gapit menyatu dengan Kenthut, tetapi kami akan memulai debut baru dalam pementasan teater berbahasa Jawa pada masa mendatang,” papar Budi Bayek, pimpinan Teater Lungid.

Pernyataan Budi Bayek itu bisa memancing debat panjang, tetapi tulisan kali ini hanya mau membuat refleksi tentang keberadaan Teater Gapit atau lebih tepat repertoar-repertoar karya mendiang Bambang Widoyo SP alias Kenthut (1957-1996). Setidaknya ada tujuh lakon telah ditulis Kenthut sejak 1982, yaitu ”Suksukpeng”, ”Brug”, ”Rol”, ”Leng”, ”Tuk”, ”Dom”, dan ”Reh”. Lakon terakhir, ”Luh”, tak sempat dia selesaikan karena Kenthut keburu menghadap Sang Pencipta akibat sakit yang bertahun ia derita.

Ode kaum miskin

Pementasan ”Tuk” di Taman Buadaya Jawa Tengah lalu memang bukan pentas pertama, melainkan sebuah repetisi—hanya dengan nama kelompok berbeda. Tak ada perubahan sedikit pun dari lakon yang ditulis Kenthut pada tahun 1992. Setelah 10 tahun absen, para pemain (lama) masih menunjukkan stamina yang sama. Dialog-dialognya masih terasa segar dan mengundang gelak tawa, berikut pisuhan (makian) spontan khas masyarakat marginal.

Dari tujuh lakon karya Kenthut, ”Tuk” mungkin bisa disebut sebagai masterpiece. Lakon yang berdurasi sekitar 2 jam 15 menit ini bercerita tentang nasib wong cilik dan kaum miskin yang tinggal dalam lingkungan magersaren. Magersaren adalah permukiman rumah-rumah sempit sewaan yang berjejalan dalam satu areal.

Para penghuni magersaren itu antara lain terdiri atas tukang jahit, bakul pasar, preman, pengangguran, tukang kerok, tukang tambal ban, dan pedagang kelontong keliling. Mereka disatukan oleh nasib sebagai orang kecil, marginal, menghadapi kekuasaan pemilik magersari dan pemilik modal besar yang konon hendak menggusur areal magersaren tersebut untuk dijadikan pertokoan modern. Sebuah tema yang akan tetap ”abadi” dalam persoalan perkotaan kita.

Kelompok marginal ini oleh Kenthut diletakkan dalam latar dunia pikir atau world view Jawa yang sedikit banyak diwarnai oleh mistikisme dan mitologi wayang yang hidup hingga sekarang. Salah satunya adalah pandangan—diwakili tokoh perempuan tua Mbah Kawit—tentang sumur atau tuk sebagai sumber kehidupan, yang kebetulan berada di tengah lingkungan magersaren.

Ketika sumber kehidupan itu ternoda lantaran dikencingi oleh tokoh preman Soleman alias Lisman Lempit dan jadi lokasi perselingkuhan Menik (anak pemilik magersari), penunggu sumur pun murka. Magersaren itu diamuk api dan terbakar habis. Bersamaan dengan itu, Mbak Kawit, janda tua tanpa anak yang menjadi panutan komunitas ini, mengembuskan napas terakhir. Pementasan panjang yang menghabiskan napas itu pun berakhir.

Selain ”Tuk”, repertoar-repertoar Gapit umumnya menyuarakan nasib orang-orang kecil yang tertindas, sebuah ode atau nyanyian sedih bagi kaum miskin. ”Suksukpeng” misalnya bercerita tentang masa senja seorang juragan kesenian, ”Rol” bercerita tentang kecemasan para preman dan gali akan ancaman penembakan misterius atau ”petrus” yang dilakukan aparat keamanan, ”Leng” cerita tentang pembangunan pabrik yang menjadi simbol kapitalisme yang menindas, atau ”Dom” cerita tentang nasib masyarakat yang terbuang oleh stigma yang dilakukan pemerintah.

Karena itu, tak heran bila ”ideologi” Bambang Widoyo itu terekspresikan lewat ”orasi” para tokoh dalam lakonnya. Ekspresi orang tertindas yang marah dan tak berdaya sehingga sering terkesan bertele-tele.

Legenda

Nilai lebih Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis Bambang Widoyo SP justru karena ia ditulis dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa, sebagaimana bahasa daerah atau bahasa ibu lain yang dalam konteks kebudayaan Indonesia, dilaporkan mengalami penggerusan alias terancam tidak populer di tengah masyarakat penuturnya sendiri.

Pilihan penggunaan media bahasa Jawa jelas bukan sekadar romantisme. Dalam pementasan Teater Gapit yang melibatkan para pendukung—pada tahun 1980-an terdiri atas mahasiswa Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta—yang amat akrab dengan elemen-elemen seni budaya tradisi Jawa, betul-betul telah memperkaya seluruh pementasan. Mereka bukan hanya sebagai pemain, melainkan juga sebagai kontributor yang konkret sejak proses penulisan naskah hingga pemanggungan karena masing-masing memiliki latar keterampilan yang memadai, seperti karawitan, pedalangan, dan tari.

Oleh karena itu, pementasan Teater Gapit terasa utuh dan memperlihatkan kekompakan dari setiap unsur pemanggungannya. Ini mungkin yang membedakannya dengan pementasan kelompok teater lain. Sering kali, pada lakon-lakon Gapit kita menemukan dunia pikir Jawa yang mistik, seperti pada Ketawang Soyung yang dikutip di awal tulisan. Ini memperlihatkan kedalaman Bambang Widoyo pada ajaran spiritual ala Kejawen.

Pilihan Teater Gapit menggunakan media bahasa Jawa lisan atau sehari-hari yang kadang vulgar bagi telinga priayi, pasti bukan sekadar berangkat dari romantisme. Ini sebuah pilihan akan sebuah genre yang berpretensi bahwa sastra Jawa (modern) akan bisa diterima di tengah masyarakat (Jawa) yang selalu berubah. Inilah yang membedakannya dengan bentuk sandiwara berbahasa Jawa lainnya, baik di panggung maupun radio.

Dalam konteks perjalanan dan perkembangan sastra Jawa, Teater Gapit dan lakon-lakonnya bisa disebut sebagai ”metamorfosis” tradisi kapujanggan yang pernah hidup di Surakarta. Seperti kita tahu, pada kurun pertengahan abad ke-19, Surakarta menjadi mercusuar sastra Jawa, yang adiluhung lewat sejumlah pujangga, seperti RNg Ronggowarsito dan KGPAA Mangkunegara IV. Namun, tradisi itu telah lama ”putus” dan kini tinggal legenda.

Sejak lebih dari 10 tahun, sebagian kalangan pemerhati memprihatinkan perkembangan sastra Jawa yang dewasa ini bisa dibilang ”mati suri” atau antara ada dan tiada. Namun, anehnya, fenomena Teater Gapit dengan lakon-lakon yang ditulis oleh Bambang Widoyo tidak pernah menjadi bahan telaah di tengah masyarakat sastra dan bahasa Jawa. Teater Gapit berhenti semenjak meninggalnya Bambang pada tahun 1996.

Lalu, Gapit seolah menjadi legenda dan tinggal sebagai kenangan. Maka, jangan-jangan pementasan ”Tuk” di TBJT yang lalu menjadi semacam ”peziarahan” belaka. Entah ziarah pada Gapit (Bambang Widoyo) atau pada sastra Jawa.…

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati