Sabtu, 26 Februari 2011

Jejak Nashar di Pulau Dewata

Rofiqi Hasan
http://majalah.tempointeraktif.com/

HAMSAD Rangkuti tertegun memandang sketsa lukisan pastel di hadapannya: sebuah kursi tua tampak teronggok bersebelahan dengan vas bunga. Penulis cerpen kawakan itu langsung mengingatnya sebagai kursi di Balai Budaya, tempat tidur guru dan sahabatnya, Nashar, pada 1970-an, saat sedang menjalani laku bohemian. Di kursi itu pula Nashar sering asyik menulis atau melukis.

Tetapi 15 tahun sudah Nashar meninggalkan Hamsad, teman-temannya yang lain, dan publik seni rupa. Malam itu, Senin pekan lalu, adalah awal sebuah peringatan untuk mengenang jejaknya. T-Art Space, satu galeri di Ubud, Bali, memamerkan sketsa-sketsa Nashar, khususnya saat pelukis kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 3 Oktober 1928 itu tinggal di Bali pada akhir 1950-an.

Selama ini sketsa itu-sekitar 40 lembar-disimpan oleh Anwar, anak Nashar yang mengikuti jejak sang ayah menjadi perupa dan tinggal di Ubud. Bertajuk Nashar in Bali, penggagas pameran yang berlangsung 13-30 April itu memilih sketsa karena Nashar termasuk yang tegas menyatakan coretan-coretannya setara dengan lukisan. “Jadi, bukan sekadar satu langkah sebelum menghasilkan karya,” kata Made Astika, pemilik galeri.

Di Bali, Nashar berusaha menangkap obyek umum: pemandangan alam, aneka upacara, serta suasana di kampung-kampung. Tapi, menurut Arif B. Prasetyo, kurator pameran, babi yang banyak dipelihara warga Pulau Dewata di tempat-tempat kotor dan berlumpur justru memiliki tempat khusus dalam pikiran Nashar. Berkali-kali dia mencoba mengangkat binatang itu dalam berbagai gaya, dari close-up hingga yang seutuhnya.

Menulis dalam Nashar oleh Nashar (2002), Nashar menyebut keunikan babi adalah pada bentuknya yang tak seimbang. Empat kaki kecil menopang badan gemuk, besar, dan berat, menurut dia, merupakan bukti keseimbangan alam di luar konsep harmoni dalam pikiran. “Penemuan itu kujadikan patokan selama melukis di Bali,” tulis Nashar.

Saat itu Nashar belum mendeklarasikan kredo “Tiga Non” yang terkenal itu. Tapi benih-benihnya mulai tersemaikan. Baru pada 1975 ia merumuskan dan menyatakan secara terbuka prinsip “Nonkonsep, Nonestetik, dan Nonteknik”. Menurut dia, intuisi dan gairah jauh lebih penting untuk mewujudkan diri. Coretan sketsa atau lukisan di atas kanvas selayaknya dinikmati dengan rasa belaka.

Apa yang didapat Nashar dari pengembaraan di Bali, menurut dramawan Putu Wijaya, bukanlah obyek fisik. Sementara perupa lainnya, terutama seniman Barat seperti Walter Spies, Arie Smith, Antonio Blanco, terpesona pada keindahan alam, pura, tarian, dan sejenisnya, Nashar justru menemukan cara orang Bali menghayati kehidupan-cara yang digerakkan oleh rasa dan bukan oleh aturan-aturan seperti tecermin dalam ungkapan “Desa Kala Patra” (setiap tempat punya aturan rasanya sendiri). Hal ini nyaris bertolak belakang dengan latar belakang budaya Pariaman, yang penuh aturan seperti terlihat dalam pantun dan petatah-petitih.

Penemuan itu dimungkinkan oleh pergaulannya selama di Bali. Di Ubud, awalnya dia mengontrak rumah bekas kediaman Walter Spies. Ketika kesulitan keuangan mendera dan bahkan sampai membuatnya tak bisa makan, Nashar diterima oleh satu keluarga di Panestanan, Ubud. Di situ ia menjadi warga banjar dan terlibat dalam banyak kegiatan tradisional. Ia pun terpesona dengan berbagai acara yang sepertinya tanpa tujuan dan pengorganisasian namun menimbulkan kesan yang harmonis.

Putu, yang hadir pada malam pembukaan pameran bersama penyair W.S. Rendra dan sejumlah sahabat Nashar lainnya, merasakan sikap itulah yang memudahkan dirinya menjalani pergaulan kreatif dengan Nashar. Ceritanya, sepulang dari Amerika pada 1975, Putu kesulitan menghidupkan kelompok teaternya. Setiap kali latihan, yang dilakukan di Bali Budaya, hanya beberapa orang yang hadir, dan selalu berganti-ganti. Padahal, untuk mementaskan suatu naskah, mereka membutuhkan aktor serta alur cerita yang sudah ditentukan.

Jengkel oleh keadaan itu, Putu mengambil langkah drastis: memindahkan latihan ke lapangan, dengan penerangan lampu skuter miliknya. Latihan berjalan tanpa naskah, kerangka cerita, dan pembagian peran. Mereka dibebaskan untuk bergerak dan membuat interpretasi sendiri atas suatu keadaan. Sering satu gerakan menghasilkan respons yang tak terduga dari pemain yang lain.

Setelah sebulan berjalan barulah Putu menyadari kehadiran seseorang yang terus mengamati mereka. Ia adalah Nashar. “Sekalian saja saya ajak untuk bermain dan memberikan masukan,” kata Putu. Atas usul Nashar, akhirnya Putu berani merancang pementasan yang awalnya diberi tema “Lo”. Ini merupakan kata untuk menandai keheranan setiap pemain terhadap gerakan lawan mainnya. Sukses besar. Aksi teater itu pun berlanjut dengan pementasan Entah dan Nol.

Bagi Nashar, kejadian itu memberikan kesan mendalam. Kebingungan akan ritme atau irama dalam lukisan terjawab oleh penemuannya atas ritme dalam proses teater. Dia juga merasa fokus bukan lagi hal penting karena harmonisasi memiliki “irama dalam”-nya sendiri. “Itu diakuinya sebagai penyebab peralihan dari gaya figuratif ke nonfiguratif,” ujar Putu. Bentuk-bentuk tak lagi dilihat dari perwujudan yang kasatmata, tapi dari energi dan jiwa yang kemudian disimbolkan dalam garis, sapuan, dan warna.

Temuan itu bahkan mengilhami caranya mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dia menerapkan sistem sanggar, menolak adanya sekat antara dosen dan mahasiswa hanya karena birokrasi akademis. “Yang terpenting adalah proses menjadi seniman sejati,” kata pelukis Syahnagra Ismail, yang sempat mencicipi metode itu. Belakangan LPKJ melarang cara itu dan Nashar mengundurkan diri dari posisinya.

Sedemikian dahsyatkah Bali bagi Nashar? Perupa Sri Warso Wahono meragukannya. Menurut dia, sketsa dan lukisan Nashar sangatlah konseptual dan secara akademis selalu mempertimbangkan harmonisasi karakter, garis, bidang, dan warna. Pengungkapan “Tiga Non”, menurut Sri yang menemani Nashar hingga di akhir hayatnya, hanyalah strategi perlawanan atas hegemoni di dunia seni rupa, situasi yang sempat menjadikan Nashar sebagai korban pada awal kariernya. Ketika itu pelukis senior Sudjojono, yang menjadi barometer seni rupa pada 1950-an, menolak keinginannya untuk menjadi murid.

Dalam percakapan pribadi, Nashar selalu enggan mengungkapkan maksud kredonya itu. Suatu kali Hamsad pernah menanyakannya, tapi Nashar mengelak. “Lebih baik kau belajar tenaga dalam supaya bisa terbang saat Balai Budaya kebanjiran,” Hamsad menirukan kata-kata Nashar.

Nashar memang pribadi yang selalu gelisah. Rendra mengenangnya dengan larik-larik ini dalam sebuah puisi: Inilah Saatnya/Melepas sepatu yang penuh kisah/Meletakkan ransel yang penuh masalah/Dan mandi mengusir rasa gerah/Menenangkan jiwa yang gelisah.

Rofiqi Hasan (Ubud)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati