Selasa, 25 Januari 2011

Bukan Puncak Huangshan

S.W. Teofanip
http://www.lampungpost.com/

TERSEBAB kau memilih jalan yang lebih mendaki dari Puncak Huangshan, aku merasa malu berani menyuntingkan tunjung biru pada mahkotamu. Seharusnya kuberada pada ketinggian sanjung manjadi takdirmu. Kau terima dengan rela pelepah hati masaiku. Tapi, di malam yang telah dihalalkan kubuka cindai jinggamu, aku tak mampu menatap kejora jiwa itu.

Bibirmu yang tak seranum kuncup kenanga, meneteskan makna-makna melampaui sabda. Meski matamu tak secerlang kaca, kedalamannya menundukkan keangkuhan sahara. Seluruhku lumat pada keteduhan yang kau pungut dari belantara sukma.

Dalam keheningan malam yang dihentikan debar harap, aku mematung dengan sebab yang tak tertangkap. Menatap sosokmu pun aku luruh. Senyummu yang tak jeda menakhta pada pipimu nan merona, menahan setiap kehendak penuh bara. Apakah aku telah menikahi peri, ataukah bidadari?

Kulihat tapakmu berpijak di bumi, rautmu pun tak menabur kejelitaan purna, tapi apa yang membuatku mabuk dalam pana.

Seharusnya kubimbing kau pada sesiah mahamesra, atau kutunaskan cumbu paling rayu. Tapi aku seperti hamba menghadap ratu. Kau begitu agung dalam diam dan kulum. Bahkan aku tak tahu, apakah harus mengulurkan tangan untuk memulai atau menghaturkan seluruh khidmat umpama cantrik bertemu mahadewi.

Kucoba bersitatap, retinaku terantuk kilau pupilmu yang memaksa rela menumbuk permadani. Di pelaminan itu, kau melebihi Sinta yang menjaga kesucian. Tapi aku bukan Rama, ksatria bijaksana itu, pun Rahwana si durjana. Aku hanya menusia tanpa tanda untuk cinta juga citra.

Saat aku berani mengangkat pandang, tetap tak mampu bertaut dengan tatapmu. Apakah kau Robiah Agung yang tak terjamah nafsu. Tapi mengapa kau sedia dengan ikatan ini?

Aku tak mungkin menyalahkanmu. Bukan kau menolak inginku, tapi seluruhku luruh sebelum tunas hendak itu menjembul pada jasad mahawadak. Dan kita biarkan malam menyisakan mamang tanpa kenang.

***

Pada enam pergantian waktu, engkau tetap tak terjamah. Menatapmu aku tak ubah laron yang silau pada pijar dian. Seucap kata terbaik pun begitu sia-sia dibanding kedip matamu. Aku lebih suka terdiam mengeja seluruh kemungkinan tentangmu. Di hadapmu, kubiarkan diri tanpa rupa, luruh tak berasa.

“Mengapa kau memilihku sebagai takdirmu?”

Frasamu menjadi denting pertama dari ginonjing jiwa kita.

“Karena aku mencintaimu.”

“Karena cinta menangih pembuktian, salahkah jika aku mempertanyakannya?”

“Apa yang kau inginkan?”

“Temui Al Malik.” Suaramu tenang, penuh kelembutan, tanpa kehilangan rasa yakin.

“Maksudmu?”

“Temui Rajamu.”

Kau hanya membubuhkan sedikit penegasan.

“Bisakah dipertandas…?” Kucoba meyakinkan diri atas pinta itu.

“Tidakkah cukup jelas, temui Al Malik, Maharaja itu!” Suaramu meninggi. Pupilmu yang biasa redup, memijar. Aku terhentak meski tak gentar.

“Siapakah engkau? Mengapa pintamu begitu ganjil? Seorang Sulaiman bisa memindahkan singgasananya ke hadapan Bilqis dalam sekejap. Bandung Bondowoso mampu membangunkan seribu candi dalam semalam untuk membuktikan cintanya pada Roro Jonggrang, tapi aku? Aku bukan siapa-siapa. Aku tak punya ribuan tentara jin untuk melakukan semua. Kau telah menerima akadku, bisakah kau terima aku apa adanya?” Aku mengimbangi nada yang kau cipta, kecanggunganku sirna.

“Adakah aku meminta kemegahan yang diminta perempuan-perempuan itu? Aku meminta sesuatu yang mampu kau lakukan tanpa bantuan tentara kera milik Rama atau pasukan jinnya Raja Sulaiman. Adakah aku berlebihan?”

“Duhai…pilihan hatiku, tidakkah ini mulai bencana itu. Jika kau minta Taj Mahal, aku akan berguru ke negeri Syah Jehan, membangunkan mendiang Guru Isa. Tapi kau meminta yang tak mungkin dilakukan manusia biasa. Seorang Musa pun tak sanggup menatap Cahaya Al Malik di Gunung Sina, kau memintaku menemui-Nya. Ya muhyal qulub….adakah pilihan untukku?”

“Kau telah memilihku, aku meminta temui Al Malik, hanya itu.” Aku diam, mulai meragukan cinta yang kulafazkan, antara menyesal dan mengental. Tapi mundur tetap bukan pilihan.

“Berjalanlah ke arah matahari tenggelam. Ikuti jejak burung-burung yang tak bisa lagi mengepakkan sayap. Ke sebuah puncak yang lebih mulia dari Huangshan.” Suaramu sayup antara nyata dan ngiang.

***

Aku berada di tempat yang kau inginkan, Kekasih. Meski belum sampai pada pintamu. Aku meragukan diri bisa memenuhi yang kau mau. Tapi mencoba lebih agung dari meragu.

Aku tak sendiri. Sebelumku tak terhitung manusia yang mendaki tempat ini. Tapi tak ada yang mengabariku telah bertemu Al Malik. Kulihat kesah dan lelah di wajah mereka, merarasi maksud yang tak mewujud. Raut-rautnya lebih menyedihkan dari tentara kalah perang, dengan tubuh penuh kasusahan. Pemandangan itu menerbankan maksudku yang belum teguh.

Aku surut. Saat hendak kembali, tangan kukuh mencengkeram bahuku. Sosok itu tegak di sampingku. Matanya begitu elang, menembus ranyah kalbuku.

“Engkau menyerah sebelum memulai?” Suaranya setajam belati.

“Aku tak mau melakukan kesia-siaan.” Kuberanikan membalas kilaunya.

“Adakah yang sia-sia setiap tapak menuju Al Malik?”

“Kau lihat orang-orang itu pulang hampa, haruskah aku melakukan hal serupa?”

“Kita tak harus mengikuti orang-orang kalah, masih ada diksi kemenangan.”

“Aku manusia biasa, tak kan bermimpi bertemu Al Malik.”

“Kau tahu, para nabi pun manusia biasa. Adakah mereka disebut nabi tanpa cobaan? Adakah kau disebut beriman tanpa ujian? Benar kita manusia biasa, tapi kita adalah makhluk yang diciptakan Zat Luar Biasa. Dan kita diperintahkan untuk menemui-Nya.”

“Untuk apa?”

“Kau bertanya untuk apa? Tidakkah Al Malik tujuan tiap makhluk. Ke mana kita kembali kalau tidak kepada-Nya? Hidup hanya memilih dua hal; menuju Al Malik atau menghamba syaitan.”

Aku diam, dia bukan manusia biasa, pikirku. Hatiku mengeja halnya.

“Kau akan tetap pergi?”

“Lebih baik mati dalam perjalanan menuju Al Malik daripada hidup tanpa tujuan.”

Lalu dia meninggalkanku begitu saja. Aku terdiam dalam pana. Tersisa ngiang kata terakhirnya.

“Tunggu…” Dia tetap bergegas. Aku mengejarnya. Jalannya begitu cergas. Aku mempercepat langkah hingga manjajar diri.

“Aku ikut….”

“Mantapkan hatimu.”

Aku hanya diam, berharap dia menguatkanku jika rapuh. Kutemukan jawab di matanya.

***

Kami beriringan menuju tempat tanpa alamat. Menyisir jalan setapak yang penuh jejak juga bercak. Ada tilas pergi dan kembali. Ada bercak darah pun peluh lelah.

Aku meraba rasa yang tak berupa. Termasukah aku yang pergi untuk kembali? Atau yang pergi untuk kepergian itu sendiri.

Kami melintasi taman tanpa nama. Dengan rupa-rupa tawan di dalamnya. Ada sepasang angsa memadu cinta, juga kijang kencana bagus rupa. Aku ingin menangkapnya. Tidakkah rusa itu bisa menyenangkan kekasihku, hingga ia lupa mempertanyakan Al Malik. Aku mengedip pada teman perjalanan, berahap ia mengiyakan. Kulihat alis matanya beradu tanda marah padaku.

“Adakah rusa itu lebih membahagiakan dari pertemuan dengan Al Malik?”

“Rusa itu nyata, sedang Al Malik?”

“Maka manusia disebut beriman karena percaya pada yang gaib. Jika kau meragukannya, tak pernah ada jalan menuju Al Malik untukmu.”

Aku diam, termangu antara gamang dan bimbang.

“Jika kau menuju Al Malik karena yang lain, Al Malik tak akan memalingkan wajah padamu.” Suaranya semakin mantap.

“Kau seperti pernah bertemu Al Malik.”

“Karena aku belum bertemu Al Malik, kupelajari jalan-jalan menuju Al Malik.”

“Kau tahu banyak tentang jalan menuju Al Malik.”

“Yang kuketahui belum seberapa, tapi kucoba melintasinya. Kau sendiri?”

“Aku selalu tergoda dan tak tahu jalan ke sana.”

“Lalu, kau akan kembali?”

“Aku akan mengikutimu?”

“Kenapa?”

“Karena kau lebih mengerti.”

***

Kami meneruskan perjalanan. Mendaki ketinggian tanpa undakan. Menyisir tebing paling ngarai. Memanjat gigir yang lebih cadas dari stalaktit. Menjejak terjal paling koral. Menapaki magma paling batu yang menguras kesabaran juga kekuatan.

Sampai di sebuah lembah kami istirah. Mengeja yang nanti dan yang sudah.

Entah berapa waktu telah kami tatah. Pun berapa lagi yang akan terjamah. Kami tak tahu mula dan ujung, awal dan khatam. Aku menatap teman yang seorang, kudapati matanya memendam bimbang serupa.

“Apakah kita tetap menuju Al Malik?”

“Iya!” angguknya tandas. Meski kuyakin dia mengeja jalan-jalan buntu dengan letih paling kuyu.

“Al Malik….Al Malik…kami datang dengan seluruh ketidaktahuan. Terimalah langkah kecil kami yang begitu siput. Tuntun tapak lemah ini menuju Engkau. Tunjuki jalan yang Kau rahasiakan. Amiiin.”

Suara itu lebih dalam dari palung. Lebih getar dari gelombang. Aku terbawa magnitnya, meleburi kefanaan.

***

Sejurus aku tersadar pada dahaga yang paling lapar. Di sekelilingku rimbun pohon buah-buahan. Juga unggas yang siap jadi buruan. Kucari jawab pada matanya untuk menuntaskan hasrat.

“Jangan turuti kehendak nafsu. Kita bukan sedang mengembarakan keinginan raga. Biarkan jasadmu merana. Rasakan wisata jiwamu merindu Al Malik. Jika kau manjakan wadak itu, akan terpejam mata jiwamu dari Al Malik. Tahanlah…sampai Dia sendiri yang memberikannya.”

“Sampai kapan?”

“Sampai kita menemui-Nya.”

Aku diam, mengatur kehendak yang membuncah. Menjepit nafsu yang menggelagah. Bagai kabut dan asap saling mencegah. Seluruhku payah. Hingga kurasa sesesap jiwa bermandi cahaya.

Pada kali lain aku tergoda, teringat kekasihku, muasal segala cerita.

“Kekasih,…ikhlaskan jika aku tak lagi menemuimu. Kita yang saling ikat karena syahadah harus terpisah. Karena tebing yang kau ingin bukan Puncak Huangshan, gunung indah tempat bersenang.” Aku menggumam dalam kepasrahan.

“Lupakan dia. Al Malik tidak menyapa hati yang bertakhta sang lain di dalamnya.”

Kutatap sahabatku, dia lelah kuyu, tapi tak pernah disebutnya selain Al malik juga jalan-jalan selain jalan menuju Al Malik. Aku cemburu. Mungkin dia yang pantas bertemu Al Malik. Dan aku….

Bandar Lampung

Ramadan, 1431 Hijriah

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati