Pranita Dewi
http://www.balipost.co.id/
Warna malam begitu kelam. Sungguh sangat kusam. Seakan malam tahu suasana hatiku yang muram. Tak kudengar nyanyian cicak yang biasanya suka bersenandung di dinding-dinding kamarku, menunggu terbitnya fajar. Entah apa yang terjadi malam ini. Mungkin Tuhan tidak adil padaku? Betapa tidak? Sekejap pun mataku tak mampu terpejam. Pikiranku berputar-putar memasuki labirin kenangan demi kenangan. Tak satu pun kutemui jalan keluar yang mampu membebaskan aku dari kenangan.
BEGITU gundah hatiku kini. Sisa-sisa malam masih mengambang di jendela kamarku. Dedaun pohon waru di halaman gemerisik dimainkan angin dinihari. Bulan seperti perahu berayun-ayun di antara awan kelabu. Burung hantu yang suka merenungi kelam malam di dahan pohon waru itu, masih saja terangguk-angguk, memamerkan suaranya yang parau, namun menyeramkan. Matanya yang bulat dan penuh cahaya kegaiban itu seperti mampu menyorot isi perasaanku.
Memang hatiku sedang terkenang akan sesuatu. Tiba-tiba saja kenangan itu muncul lalu menyergapku tanpa ampun. Akibatnya aku tidak bisa tidur, meski jarum waktu telah menunjuk angka dua pada jam di dinding kusam kamarku. Ternyata, lelaki itu, kenangan itu telah membawaku terjaga sepanjang malam. Senyumnya yang dingin, yang menyimpan beribu gunung es di tengah samudera yang siap membekukan siapa saja, kembali membayang-bayangi hatiku. Parasnya yang senantiasa nampak muram dengan pandangan mata sekelam malam, timbul-tenggelam di dinding-dinding kamarku. Dan, rambutnya…! Rambut yang ikal itu seperti segulungan gelombang yang mampu melipat dan menelan siapa saja, terlebih yang merasa jatuh hati padanya.
Malam ini, aku merasa bahagia, namun juga pedih. Aku kembali bertemu dengan penyandang bulanku, meski hanya berupa kenangan usang. Ah, aku tak mau terlalu berharap! Siapa tahu ia bukan penyandang bulanku yang kembali berlayar, entah ke mana. Atau bisa jadi ia racun paling mematikan yang dikirim entah oleh siapa untuk membinasakan aku dalam keluguan cinta? Membayangkan ini, aku jadi ngeri sendiri!
***
SEMUA ini bermula ketika aku masih bekerja sebagai penjaja koran. Mengapa aku mau menjadi penjaja koran? Usiaku waktu itu 15 tahun, masih kelas 3 SMP. Orangtuaku cukup mampu membiayai sekolahku, meski tidak kaya untuk ukuran seorang guru. Meski aku tidak dididik layaknya anak tentara, namun aku mencoba untuk belajar hidup mandiri, berdiri di atas kemampuanku sendiri. Untuk itulah aku menjadi penjaja koran ketika libur panjang sekolah.
Dan, ayahku yang seorang guru sangat bangga melihat putrinya mencoba belajar hidup, belajar mengais rejeki di bawah terik dan sengatan matahari kota. Namun tidak demikian halnya dengan kawan-kawanku. Ada saja yang menyindirku dengan perkataan yang seringkali aku anggap angin lalu, namun sesekali juga menyakitkan hatiku. Mereka merasa malu mempunyai kawan seorang penjaja koran. Maklum kawan-kawanku itu rata-rata anak orang kaya, anak pengusaha, anak pejabat, anak penguasa kota, anak mami. Sedangkan aku hanya anak seorang guru sekolah dasar.
Maka aku pun menjadi penjaja koran, dengan segala kepercayaan diri yang kumiliki. Saat itu, matahari menumpahkan segala sinarnya, meluapkan segala cahayanya di jalan-jalan kotaku. Dengan bertemankan topi rimba yang selalu setia melindungi kepalaku dari kejamnya sengatan matahari siang, aku menyusuri jalanan yang sibuk dan pikuk oleh segala macam kendaraan. Tanpa sungkan aku menjajakan koran kepada para pengendara yang melepaskan ketegangan lalu lintas di depan lampu merah.
Setelah beberapa hari menjajakan koran, aku pun mulai akrab dengan penjaja koran yang lain, yang umumnya anak laki-laki yang sebaya denganku. Hanya aku seorang yang perempuan. Aku pun menyadari betapa susahnya mencari uang dengan tangan sendiri. Begitu banyak saingan, begitu banyak tantangan.
Terkadang aku pun tidak lepas dari gangguan penjaja koran lain, yang tidak rela wilayah kekuasaannya direbut oleh penjaja koran perempuan seperti aku ini. Namun selalu saja kawan akrabku, penjaja koran yang bersimpati kepadaku, membelaku dari gangguan anak-anak bandel itu. Kami pun semakin akrab. Aku merasa mendapat perlindungan. Sering kali kami bahu membahu dalam menjajakan koran. Kalau korannya telah habis terjual, ia seringkali membantu menjajakan koranku tanpa meminta imbalan sepeser pun dariku. Aku kagum dan bersyukur atas kebaikannya.
Suatu kali aku menjajakan koran kepada seorang bapak pengendara mobil Mercy. Saat itu lampu merah menyala. Aku menjadi leluasa menjajakan koran kepada para pengendara. Ketika kutawarkan koran kepadanya, bapak itu malam menatapku dengan aneh. Bapak itu memandangku begitu lekat seakan melihat malaikat yang mendadak turun dari langit. Aku jadi serba salah dan kikuk dibuatnya. Mungkin ia merasa aneh melihat seorang gadis menjadi penjaja koran. Bapak itu membeli koran yang kutawarkan. Ia membayar dengan uang dua puluh ribuan. Disuruhnya aku mengambil kembalian uang itu. Aku jadi heran. Apa tampangku sangat memelas sehingga bapak itu merasa kasihan denganku? Setelah dipaksa-paksa, dengan perasaan sungkan aku pun menerima kembalian itu, sembari mengucapkan terima kasih. Kejadian serupa itu beberapa kali kualami. Ternyata Tuhan masih menyayangiku.
Jarum jam di tangan menunjuk angka tiga. Sudah sore. Perut lapar tidak terasa. Aku duduk di trotoar jalan yang hampir meleleh ditimpa terik matahari siang tadi. Senja belum juga ber-tiwikrama. Senja belum menitis. Sejumlah koran belum terjual.
Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri sore. Langkahku terhenti di sebuah taman kota yang teduh. Di kota yang sumpek ini, hanya di taman kota ini aku menemukan sedikit kesegaran dan keteduhan. Di sebuah bangku kayunya aku duduk dan tenggelam dalam lamunan. Sampai akhirnya aku sadar, ada seseorang yang juga duduk di sampingku. Seorang lelaki. Lelaki itu termangu dengan pandangan kosong menatap ke arah senja.
Aku mengutuki diriku sendiri, ”Senja tidak akan menitis. Senja masih malu untuk ber-tiwikrama. Bagai rumputan kering yang menunggu pagi.”
”Senja yang indah akan segera menitis. Ia akan segera menjelma menjadi suara takdir yang paling akhir,” sahutnya tanpa kuminta, masih dengan tatapan hampa.
Aku berpikir. Sepertinya aku pernah melihat lelaki ini sebelumnya, tapi di mana? Oh ya, aku ingat sekarang. Ia adalah lelaki yang pernah menyapaku dengan aneh pada sebuah acara pembacaan puisi yang pernah kuhadiri. Seorang lelaki aneh yang membuat hatiku terjerat. Namun, kenapa aku harus bertemu di taman kota ini? Sungguh sebuah pertemuan yang tidak kuduga sama sekali. Apakah pertemuan ini telah direncanakan oleh Tuhan? Tiba-tiba saja kepercayaan diriku mendadak luntur. Entah seperti apa wajahku saat itu. Sungguh aku sangat malu.
Setelah susah payah mengumpulkan keberanian, aku pun mencoba menyapanya. Tanpa diduga ia menoleh ke arahku. Ia tersenyum. Namun aku bisa merasakan senyum yang sangat dingin. Sebeku gunung es. Aku pun jadi kikuk dan jelas salah tingkah. Mata itu, oh, mata itu sungguh begitu jemu memeram kegalauan hati. Kami pun berkenalan.
”Nita.”
”Asa.”
Begitu singkat. Begitu pendek. Sungguh sangat lugas. Ia pun kembali pada keasyikannya semula, menatap senja. Agaknya lelaki ini begitu mengagumi senja.
Adakah ia titisan senja?
Tanpa kuminta, Asa mulai berceloteh perihal dirinya. Agaknya bukan berceloteh, lebih tepat bergumam sendiri. Tentu dengan mata jemu yang tak mau menoleh ke arahku. Mata yang sesungguhnya lumayan indah dan teduh itu tetap saja menatap ke depan, ke arah senja yang mulai menampakkan kilau jingga.
Asa kuliah di Fakultas Kedokteran di sebuah kampus di kotaku. Sesungguhnya ia tidak berminat menjadi dokter, seperti yang dibanggakan banyak orang tua. Ia lebih suka melukis dan menulis puisi. Ayahnya yang telah memaksanya untuk kuliah di Fakultas Kedokteran, tentu dengan harapan kelak anaknya akan menjadi dokter dan bisa cepat kaya. Padahal si anak sama sekali tidak berminat, meski ia mempunyai kemampuan untuk itu. Asa hanya ingin membahagiakan orangtuanya.
Masih dengan tatapan yang sendu, Asa memandang jauh ke arah senja. Ia seakan ingin menembus dan larut di dalam warna jingga yang disemburkan oleh senja itu. Dasar lelaki aneh, pikirku. Namun, sikap anehnya ini keburu membuat hatiku jatuh ke dalam kubangan cinta. Diam-diam aku menyukainya. Namun, ia selalu menungu titisan senja. Dan ia sangat yakin senja akan segera menitis di hadapannya.
Aku jatuh cinta kepadanya. Tapi aku tidak ingin ia mengetahuinya. Biarlah aku simpan rahasia ini hanya untukku sendiri saja. Sebab aku tak berani menduga, apakah ia juga menyimpan perasaan yang sama denganku? Duh…. aku tak sanggup memikirkannya.
***
HARI berganti hari. Minggu berganti minggu. Bulan berganti bulan. Tanpa kuduga, taman kota telah memeram kisah antara aku dan lelaki aneh itu. Taman itu senantiasa membangkitkan kenanganku padanya, meski ia tidak di sampingku lagi. Hanya taman itu yang tahu bagaimana aku mencoba memberikan hatiku padanya. Setiap senja mulai tiba, aku duduk di bangku kayu di taman kota, menunggu kehadirannya. Kami pernah menikmati senja yang bermekaran indah di hadapan kami. Namun, senja pertemuan terakhir dengannya, aku tidak pernah tahu ke mana Asa pergi. Ia menghilang begitu saja, seperti ditelan senja yang selalu jingga. Saat perpisahan terakhir ia hanya berpesan, suatu saat ia akan hadir di hadapanku membawa titisan senja. Ia yakin suatu ketika senja akan menitis di hadapannya, dan membawakan senja jingga itu, hanya untukku seorang.
Sebelum ia menghilang tanpa jejak, pertemuanku dengannya setiap senja merupakan waktu-waktu terindah yang pernah kurengkuh. Kami selalu membicarakan senja yang akan segera menitis. Sesekali ia menceritakan masalah kuliahnya. Sebentar lagi ia akan menjadi dokter. Ia akan membahagiakan kedua orangtuanya. Namun apakah ia sendiri sudah merasa bahagia dengan apa yang telah diraihnya? Hatiku selalu berdoa untuknya, agar ia berhasil dengan apa yang telah dicita-citakannya.
Meski kami suka bersama menikmati senja, perasaan cintaku masih tersekap di dalam batin. Aku tak kuasa menyatakan perasaanku padanya. Aku tak ingin ia tahu. Aku cemas kalau ia tahu perasaanku yang sebenarnya. Aku tak ingin luka karenanya. Aku tidak ingin menangis karena cinta. Maka kupendam saja perasaanku dalam-dalam.
Terlalu sering aku mendengar cerita bagaimana seorang lelaki begitu gampangnya mempermainkan wanita. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan lelaki, maka ia akan mencampakkan wanita seperti seonggok sampah tak berguna. Maka hancurlah hati wanita itu berkeping-keping, remuk-redam menahan pedih. Kalau wanita itu tidak tahan menghadapi kenyataan cinta, maka ia akan terjebak untuk melakukan bunuh diri atau terjerat narkotika. Sungguh aku tak sanggup membayangkan, kalau seandainya aku yang mengalami hal itu.
Oh…cinta, sungguh sebuah permainan dalam kehidupan. Dan kita pun dipermainkan oleh hidup, oleh cinta yang kita jalin. Itulah sebabnya aku takut senja benar-benar menitis di hadapanku. Aku tidak ingin senja kembali menjelma sebuah cinta, karena itu suatu yang muskil.
Memang suatu kali Asa pernah menanyakan siapa kekasihku. Dengan tegas aku katakan bahwa kekasih tidak pernah singgah dalam hidupku lagi. Duh… mata yang teduh itu, menghujam mataku. Sungguh hatiku tak kuat menatap telaga teduh yang seringkali dingin itu. Sadarkah ia, bahwa ialah sesungguhnya yang kuharapkan menitis menjadi sebentuk cinta yang indah serupa senja yang jingga dalam jiwa remajaku?
Terkadang aku ragu pada diriku, pada perasaanku sendiri. Sungguh, aku belum siap kecewa karena cinta. Bagiku, menderita karena cinta begitu mengerikan dan penuh dengan kesia-siaan. Aku cemas bila ia mengetahui isi hatiku. Karena itu, meski aku rindu ia, aku jauhi ia. Bukankah Kahlil Gibran pernah mengatakan, cinta tidak mesti saling memiliki? Duh… mataku belum juga mampu terpejam. Entah di mana Asa kini. Aku berharap ia menemukan titisan senja yang dulu selalu ditunggunya di taman kota itu. Adakah titisan senja akan berwujud sebuah cinta yang indah? Gemerisik angin dan gerimis saling bersahutan di luar jendela.
Denpasar, Juni 2003
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 10 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar