Senin, 08 November 2010

Belajar dari Komunitas Sastra Dunia

Iwan Gunadi
http://www.lampungpost.com/

JANGAN pernah memastikan bahwa kehadiran komunitas sastra di Indonesia yang marak sejak 1980-an merupakan suatu fenomena yang khas di dunia. Di belahan dunia lain, hal yang sama juga terjadi.

Meski aktivitas kreatif dalam kesenian, termasuk kesusastraan, umumnya masih dilakukan secara individual alias soliter, sebagai makhluk sosial, pelakunya, yakni seniman atau pekerja seni, termasuk sastrawan atau pekerja sastra; tetap butuh bersosialisasi dalam kelompok yang memiliki kesamaan cita-cita.

Malah, di Prancis, pada abad ke-16, sekelompok penyair dari Abad Pertengahan tekah bersekutu di bawah nama The Pluiade. Sebelumnya, pada 1323, masih di Prancis, tepatnya di Toulouse, nama yang sama pernah digunakan oleh sebuah kelompok yang beranggota 14 penyair (tujuh lelaki dan tujuh perempuan). Artinya, ketika komunitas sastra atau budaya di Indonesia masih anonim, komunitas sastra di Prancis mulai mengarah ke bentuk organisasi. Komunitas sastra yang seperti itu di Indonesia baru muncul pada akhir abad ke-19, yakni Rusdiyah Klab di Sumatera dan Paheman Radyapoestaka di Jawa.

Di pelbagai belahan dunia, sejarah komunitas sastra juga tidak hadir sebagai kerumunan yang asosial. Ia selalu terikat dengan lingkungannya, sekurangnya lingkungan kesusastraannya. Tengok, misalnya, Tachtigers di Belanda, Harlem Renaissance dan The Nashville di Amerika Serikat, Bloomsbury di Inggris, dan tentu Gruppe 47 di Jerman.

Sekitar akhir abad ke-19, di Belanda, Tachtigers (Angkatan 1880) muncul sebagai kelompok penulis yang kemudian turut memengaruhi satu paruh dalam sejarah kesusastraan modern Indonesia. Angkatan tersebut merupakan satu kumpulan penyair dan penulis muda yang memperbarui kesusastraan Belanda secara radikal pada 1880-an. Para penyokongnya, antara lain, Albert Verwey, Frank der Goes, Frans Eren, Frederik van Eeden, Herman Gorter, Jaques Perk, L. van Deysell, Willem Kloos, dan Wouter Paap.

Sebelum kemunculannya, kesusastraan Belanda pada pertengahan abad ke-19 memang perlahan-lahan mundur menjadi semacam kesusastraan “khotbah” lantaran inspirasi puitisnya diganti dengan pengajaran moral dan berkembang terus dengan sendirinya tanpa hubungan apa pun dengan kesusastraan Eropa pada masa itu. Tak lama setelah 1880, sekelompok orang muda mulai memberontak dan pada 1885 mereka bersatu dalam Majalah De Nieuwe Gids (Pandu Baru).

Dari namanya, kelompok anak muda tersebut jelas ingin bereaksi terhadap majalah terpenting pada masa itu, yaitu De Gids (Pandu), yang dibentuk pada 1837 dan mewakili pandangan golongan tradisional. Umur kelompok tersebut memang tak lama, tapi kegiatan gerakan tersebut yang tampak amat tiba-tiba dan revolusioner menjadikannya sangat menarik perhatian.

Abad berikutnya, tepatnya pada 1920-an, di Amerika Serikat, di sebuah distrik di New York yang disebut Harlem, muncul kebangkitan sastra yang disebut Harlem Renaissance ketika sejumlah sastrawan kulit hitam, seperti James Baldwin, Ralph Ellison, dan Zora Neale Hurston, memproduksi karya sastra yang diakui para kritisi sastra Amerika pada zamannya. Nama kelompok tersebut mengarah pada upaya kebangkitan kelompok sastrawan kulit hitam sekaligus upaya mengikis diskriminasi berdasarkan warna kulit.

Di Vanderbilt, masih di sekitar dasawarsa yang sama, ada kelompok The Nashville. Komunitas sastra ini merupakan kelompok “pembangkang” dalam pengertian yang lebih baik. Mereka mencoba mencari untuk menemukan kembali nilai-nilai tertentu dari masa lalu, seperti nilai-nilai dari tradisi budaya Selatan dan sudut pandang yang religius. Hasilnya, karya-karya sastra kelompok ini telah memberi pengaruh yang luas terhadap kritik sastra pada 1970-an di Amerika Serikat. Komunitas sastra yang dipimpin penyair John Crowe Ransom tersebut pernah mencatat penyair dan esais Allen Tate sebagai anggota kehormatannya.

Di Paris, Prancis, pada dasawarsa yang sama, 1920-an itu, tercatatlah “Generasi yang Hilang” atau The Lost Generation. Nama tersebut bermula dari selorohan Gertrude Stein—di Indonesia, dia dapat disejajarkan dengan H.B. Jassin—ketika suatu hari mendapati sekelompok anak muda kesulitan memperbaiki sebuah mobil yang mogok, “Oh, you are the lost generation.” Anak-anak muda tersebut merupakan bagian dari anak-anak muda yang makmur setelah meraup banyak uang akibat Perang Dunia I, tapi spiritualitas mereka kosong. Karena karisma Stein, banyak sastrawan muda asing, terutama dari Amerika Serikat—termasuk Ernest Hemingway, yang menetap di Paris sebagai koresponden Toronto Star untuk meliput perang Yunani-Turki—sering berkumpul bersamanya di sebuah kafe di Paris. Sejumlah sastrawan Amerika Serikat bernostalgia tentang keterlibatan mereka di Perang Dunia I di Eropa. Dari sanalah, kita kemudian mengenal komunitas The Lost Generation. Tokoh sentralnya memang Stein.

Di Jerman, pada 1947, muncul Gruppe 47. Kehadiran Gruppe 47 dilatari imbas Perang Dunia II yang memorak-porandakan Jerman. Sebanyak 10-16 juta serdadu mati bersama warga sipil. Enam juta orang Yahudi dibantai Nazi. Sebelas juta orang Jerman dibui karena kalah perang, dua juta cacat seumur hidup, dan sepuluh juta orang Jerman harus pergi meninggalkan tanah air mereka.

Pada masa sesudahnya, buku menjadi barang mewah, sangat langka, dan dicari banyak orang. Harganya di pasar gelap setara dengan kebutuhan hidup sekeluarga selama seminggu. Padahal, sastra sudah seperti menjadi kebutuhan pokok. Sayangnya, karya-karya sastra yang dihasilkan penulis muda tak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan zamannya.

Padahal, masyarakat membutuhkan sebuah bentuk sastra baru. Sastra yang menampilkan pergulatan hidup untuk mencari jawaban atas setiap kesalahan yang telah dilakukan. Orang butuh “bahasa baru” untuk menyusun kenyataan secara lugas, sebuah bahasa yang jelas, tegas, dan tepat. Kondisi seperti itulah yang memicu kelahiran komunitas sastra yang kemudian melegenda di Jerman ini. Günter Grass, Alfred Andersch, dan Heinrich Boll pernah menjadi anggota Gruppe 47.

Di luar komunitas-komunitas itu, tentu masih banyak komunitas lain yang dapat disebut sebagai contoh. Dalam sejarah kesusastraan Amerika Serikat, misalnya, kita mengenal komunitas Brook Farm pada pertengahan abad ke-19. Di desa utopia yang dipimpin George Ripley tersebut pernah bergabung sastrawan Nathaniel Hawthorne selama beberapa bulan pada 1841. Pada akhir abad ke-19, Greenwich Village, sebuah distrik di New York, Amerika Serikat, terkenal sebagai kantong budaya yang didukung berbagai majalah sastra bertiras kecil. Di sana bermukim para sastrawan terkenal Negeri Paman Sam tersebut, mulai dari Edgar Allan Poe sampai dengan Edward Estlin Cummings (e.e. cummings). Di Vanderbilt, pada awal abad ke-20, John Crowe Ransom dan Allen Tate juga tergabung dalam kelompok para penyair yang dikenal dengan sebutan Fugitives bersama Donald Davidson, Robert Penn Warren, dan para penyair lain.

Masih di sekitar awal abad ke-20 tersebut, komunitas sastra juga sudah dikenal di Argentina, Amerika Selatan. Pada 1916, penyair terkenal Argentina, Alfonsina Storni, disebut-sebut mulai tampil di depan umum untuk membacakan puisi-puisinya dan bergabung dalam komunitas sastra di Argentina. Bahkan, penyair kelahiran Swiss, 29 Mei 1892, yang meninggal dunia pada 1938 itu menjadi salah seorang pendiri Asosiasi Penulis Argentina.

Di Inggris, pada 1920-an, sejumlah sastrawan, seperti T.S. Elliot, Joseph Conrad, dan beberapa sastrawan dari Amerika Serikat, seperti Herold Frederick dan Stephen Crane, sering berkumpul. Bahkan, mereka mengarang drama dan membacakannya bersama serta menyusun sejumlah rencana kreatif, walaupun tidak jarang hanya tinggal rencana. Tak jauh dari dasawarsa tersebut, masih di Inggris, tepatnya di London, novelis Virginia Woolf menjadi bagian dari grup Bloomsbury. Bahkan, di kota yang sama, pada 1909, The Poetry Society sudah berdiri.

Tentu tak lengkap menderetkan contoh komunitas sastra di dunia tanpa menyebut organisasi Poets, Playwrights, Editors, Essayists, and Novelist (PEN). Sebelum ada Gruppe 47, PEN sudah hadir, yakni sekitar 1930-an. Banyak sastrawan terkenal di dunia, termasuk Gunter Grass, menjadi anggotanya. PEN kemudian memang menjadi organisasi yang mengglobal dengan pusat di London, Inggris. Cabang PEN hadir di puluhan negara di berbagai benua di dunia ini, termasuk di Indonesia.

Kalau beberapa dasawarsa terakhir, tak sedikit kampus di Indonesia ditengarai sebagai basis pertumbuhan komunitas sastra, hal yang sama sudah terjadi di Amerika Serikat sejak beberapa abad yang lalu. Misalnya, di Columbia University, ada The Philolexian Society, salah satu komunitas sastra kampus yang tertua di sana yang didirikan pada 1802. Contoh lain adalah The Philomathean Society di University of Pennsylvania yang didirikan pada 1813.

Ketika raja-raja di Nusantara pada masa silam memiliki sejumlah pujangga untuk mengagungkan masing-masing raja, di Inggris, King George IV telah mendirikan The Royal Society of Literature pada 1820. Organisasi sastra tersebut didirikan untuk memberikan penghargaan atau beasiswa sekaligus membangkitkan bakat-bakat sastra tak hanya di kalangan masyarakat Inggris, tapi kemudian juga di kalangan masyarakat di luar Inggris. Karena itu, selain Yeats, Kipling, Thomas Hardy, dan George Bernard Shaw, kemudian Chinua Achebe dan V.S. Naipaul, misalnya, juga menerima beasiswa dari organisasi sastra itu.

Sebagaimana di Indonesia kemudian, pelbagai komunitas sastra di sejumlah negara tersebut hadir tanpa atau dengan ikatan, baik sebagai paguyuban informal maupun organisasi formal. Ada yang bermotif melawan kemapanan, ada yang hanya untuk bernostalgia. Ada yang punya tokoh sentral, ada yang tidak. Ada yang bertahan lama lebih dari tiga perempat abad dan lebih banyak yang hidup hanya untuk rentang masa yang pendek. Di Indonesia, belum ada yang aktif terus-menerus hingga seperempat abad pun. Yang lebih banyak adalah yang aktif hanya untuk beberapa bulan atau bahkan beberapa pekan.

*) Pemerhati komunitas sastra

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati