Senin, 08 November 2010

Bagaimana Sastrawan Menyikapi Antologi Sastra?

(Catatan untuk S. Sinansari ecip dan Aspar Paturusi)
Jamal D. Rahman *
http://www.infoanda.com/ korantempo.com

Dari beberapa kritik terhadap antologi Horison Sastra Indonesia, yang pantas saya tanggapi sejauh ini hanya tanggapan S. Sinansari ecip (Koran Tempo, 26/1) dan Aspar Paturusi (Koran Tempo, 18/2), dengan memberikan penghargaan kepada Purhendi atas tulisannya di Republika (10/2), terutama karena ecip dan Aspar adalah sastrawan yang tak diragukan. Pada mereka saya melihat celah untuk diskusi lanjutan yang lebih produktif, khususnya menyangkut pandangan dan sikap sastrawan terhadap sebuah antologi sastra yang berwibawa–tanpa harus melarikan diri dari pokok masalah yang mereka persoalkan.

Diskusi bahkan bisa dikembangkan lagi, misalnya dengan memeriksa kembali secara cermat dan saksama antologi-antologi besar sastra kita sepanjang sejarah, sikap sastrawan, kritikus sastra, dan pembaca umum terhadapnya. Dari situ, saya kira banyak hal yang akan kita lihat sebagai eksemplar-eksemplar baru persoalan sastra Indonesia.

Dengan begitu, polemik yang mengasyikkan ini bisa memberikan sumbangan lebih berarti bagi dunia antologi sastra kita–dan akhirnya pada sastra itu sendiri–sekaligus memajukan barang selangkah saja cara pandang dan sikap kita terhadap antologi dan karya sastra pada umumnya.

Sebagai salah seorang editor, saya memahami kekecewaan ecip dan Aspar. Ecip patut kecewa, karena karyanya tidak masuk dalam buku empat jilid itu. Saya sendiri amat terkejut ketika menyadari fakta itu, dan langsung minta maaf kepada ecip, atas nama pribadi dan para editor. Lebih terkejut lagi saya karena, setelah minta maaf itu pun, ecip menulis dengan judul yang amat keras: “Malas Bertanya, Sesat di Horison”.

Judul itu jelas mengandung pandangan sangat negatif, bahkan bernada menuduh. Namun, pandangan atau tuduhan ecip sungguh keliru, sebab buku tersebut disusun dengan meminta dan mendengar masukan, termasuk daftar nama-nama sastrawan, dari beberapa pihak.

Melihat kekecewaan ecip, baiklah tuduhan itu saya pahami saja sebagai syathahat, yaitu ungkapan tak terkontrol dalam situasi psikologis yang demikian “gawat”. Sedemikian “gawat” agaknya situasi psikologis ecip, sehingga mungkin tanpa sadar ia jatuh pada psikologi inlander, dengan “melaporkan” masalah ini kepada The Ford Foundation. Hanya dengan memaknai langkah itu sebagai syathahat, psikologi ecip bisa saya pahami pula. Di dunia tasawuf, hanya sufi agunglah yang melontarkan pernyataan-pernyataan syathahat.

Aspar mungkin akan mengatakan, maaf saja tidak cukup, apalagi sekadar memahami. Baiklah. Anggapan umum bahwa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan mudah memahami kesulitan kerja orang lain tampaknya keliru. Kekecewaan Aspar karena novelnya tidak masuk dalam Kitab Nukilan Novel sesungguhnya lebih masuk akal dibanding kekecewaannya karena puisinya tak masuk dalam Kitab Puisi. Tetapi, ini satu perdebatan yang tak akan berujung pangkal tanpa memahami keterbatasan kerja editor, baik dari segi ide–antara lain berupa pertimbangan-pertimbangan strategis–maupun teknis.

Bahwa editor memilih naskah dramanya untuk Horison Sastra Indonesia, itu antara lain didasarkan pada pertimbangan ini: minimnya naskah drama kita khususnya di sekolah-sekolah–sebab antologi tersebut memang diniatkan untuk mengisi perpustakaan sekolah. Dalam konteks itu, beruntunglah mereka yang menulis naskah drama karena akan memberikan sumbangan amat berharga bagi pengajaran sastra.

Namun, ide ini segera berhadapan dengan keterbatasan teknis, antara lain halaman, yang akhirnya mau tidak mau membatasi ide awal untuk memasukkan karya sastra sebaik dan sebanyak mungkin ke sekolah-sekolah. Pada tataran inilah editor harus memilih, dengan kesadaran penuh bahwa itu pilihan berisiko, khususnya dari para sastrawan. Apa boleh buat, keterbatasan teknis memaksa pertimbangan strategis mengalahkan pertimbangan idealistis.

Namun, lepas dari itu semua, tanggapan ecip dan Aspar merangsang saya untuk merenungkan bagaimana sastrawan memandang dan menyikapi antologi sastra–lepas dari pengajarannya di sekolah. Logika apa di balik sikap itu? Lalu bagaimana logika itu jadi mungkin? Tentu saja, ecip dan Aspar hanya satu kasus, satu eksemplar sikap sastrawan di antara banyak eksemplar lain yang berbeda.

Dalam hal ini, ada dua hal yang ingin saya kemukakan. Pertama, sebagian sastrawan kita cenderung melihat antologi sastra sebagai institusi pengakuan, lembaga legitimasi, yang mungkin lebih dipercaya dibanding kritik (bahkan kritik di lingkungan akademis). Maka, kalau seorang sastrawan masuk dalam sebuah antologi, itu berarti dia diakui sebagai sastrawan (setidaknya oleh antologi itu). Semakin besar wibawa sebuah antologi, semakin besar pula tingkat pengakuannya. Pada titik ini, sastrawan mempercayakan legitimasi terhadap karyanya kepada sebuah antologi.

Pada hemat saya, kemungkinan kedua ini untuk sebagian merupakan konsekuensi dari macetnya fungsi-fungsi kritik sastra selama ini. Benar bahwa dunia kritik sastra tetap ramai terutama di lingkungan akademis. Namun, fungsi sosial kritik itu tampak kurang maksimal, kalau tak akan dikatakan mandul. Sebuah pengakuan, legitimasi–jika itu perlu–seharusnya datang dari lembaga kritik ini, yakni kritik yang berwibawa, karena ia lebih mungkin diukur dan diuji. Lebih menantang secara intelektual untuk diperdebatkan.

Macetnya fungsi kritik sastra ini, dan amat terbatasnya kritik yang berwibawa, pada gilirannya membuat sebagian sastrawan–terutama mereka yang amat mementingkan legitimasi formal–mencari sumber-sumber legitimasi lain. Undangan menghadiri sebuah forum sastra adalah salah satunya. Juga, masuk dalam sebuah antologi yang berwibawa. Kalau saja fungsi legitimasi lembaga kritik berjalan, apalagi dengan penuh wibawa, soal siapa yang diundang dalam sebuah forum sastra dan yang tidak, siapa yang masuk dalam sebuah antologi sastra dan yang tidak, tentulah tak akan memancing kehebohan.

Kedua, sebagian sastrawan memandang antologi, seberapa pun berwibawanya, sebagai kumpulan karya sastra yang, pada tingkat tertentu, sama belaka dengan karya-karya mereka yang lain (yang sudah disiarkan). Sebuah antologi bahkan mungkin dianggap tidak lebih penting daripada karya sastra mereka sendiri. Lebih dari itu, karena antologi bagaimanapun lahir dari karya para sastrawan, karya para sastrawan itulah yang lebih utama dan lebih penting. Antologi tak akan lahir tanpa karya para sastrawan.

Maka, kalaupun mereka masuk dalam sebuah antologi, mungkin mereka merasa beruntung, semata-mata karena dengan itu karyanya mendapatkan kaki lain untuk berjalan menemui lebih banyak pembaca. Kalaupun tidak, mungkin saja mereka menyesal, namun tetap akan percaya bahwa karya-karya mereka punya kaki sendiri untuk berjalan ke mana pun hendak pergi. Juga, untuk menemui anak-cucu kelak di kemudian hari.

Dengan kata lain, bagi mereka, sastrawan ada karena karyanya, bukan karena antologi memuatnya. Sastrawan diakui karena mutu karyanya, bukan karena sebuah antologi mengakuinya.

*) Redaktur Pelaksana Majalah Horison
Kamis, 21 February 2002

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati