Puji Santosa
http://pujagita.blogspot.com/
Tripama adalah salah satu karya sastra Jawa klasik karangan Sri Mangkunegara IV, raja di Pura Mangkunegaran (1809—1881), berbentuk puisi sebanyak tujuh bait. Kata tripama merupakan dua patah yang dirangkai menjadi satu kata, berasal dari kata tri dan pama, tri artinya tiga, dan pama artinya perumpamaan, tamsil, contoh, atau teladan. Berdasarkan perkiraan para ahli sastra, Tripama ditulis oleh Sri Mangkunegara IV seputar tahun 1860—1870. Tiga tokoh pewayangan yang ditampilkan sebagai teladan keutamaan bagi wira tamtama atau prajurit, yaitu Patih Suwanda dari negeri Mahespati, Raden Harya Kumbakarna dari negeri Alengka, dan Adipati Basukarna atau Suryaputra dari negeri Awangga.
Sosok tokoh pertama yang menjadi teladan para wira tamtama adalah Patih Suwanda. Dia menjadi handalan Prabu Harjunasasrabahu di negeri Mahespati. Ketika masih di pertapaan, dia bernama Bambang Sumantri. Oleh orang tuanya, Begawan Suwandagni, Sumantri diminta untuk mengabdikan dirinya kepada Raja Mahespati, bernama Prabu Harjunasasrabahu. Pengabdian Sumantri lama-kelamaan diterima sebagai Patih dengan berganti nama Suwanda. Pada suatu saat Patih Suwanda mendapatkan tugas meminang putri Magada melalui sayembara yang diadakan oleh negeri itu. Dalam menjalankan tugas itu Patih Suwanda dapat memenangkan sayembara, membawa pulang Dewi Citrawati dan putri domas, yakni putri boyongan sebanyak 800 orang yang akan dipersembahkan kepada rajanya.
Sesampainya di Mahespati, Suwanda tampak pongah dan menuruti hawa nafsunya untuk menantang raja. Suwanda tidak mau menyerahkan Dewi Citrawati dan putri boyongan kepada raja Mahespati tersebut. Akibatnya, terjadilah perang tanding antara Suwanda dengan Prabu Harjunasasrabahu. Ternyata sang raja lebih sakti dan lebih unggul dari Patih Suwanda. Kekalahan Suwanda atas rajanya dapat diampuni asalkan mampu memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati dalam keadaan utuh dan baik. Dengan berat hati Suwanda menerima tugas itu. Berkat bantuan adiknya, Raden Sukrasana, Taman Sriwedari itu dapat dipindahkan ke Mahespati tanpa cacat. Dewi Citrawati dan para putri domas pun akhirnya bersenang-senang di taman tersebut. Pada saat mereka sedang asyiknya bersenang-senang di taman itu, mereka melihat raksasa yang buruk rupa dan menakutkan ada di dalam taman tersebut. Dewi Citrawati melaporkan hal itu kepada Prabu Harjunasasrabahu. Kemudian sang raja memerintahkan Patih Suwanda untuk mengusir raksasa itu dari Taman Sriwedari.
Suwanda sanggup menerima tugas itu sekalipun dengan berat hati. Suwanda tahu bahwa raksasa buruk rupa yang menakutkan dan berada di Taman Sriwedari itu adalah adiknya sendiri, Raden Sukrasana. Suwanda tidak mau terus terang kepada rajanya bahwa raksasa buruk rupa itu adalah adiknya. Ada perasaan malu untuk mengakui Raden Sukrasana itu sebagai adik kandungnya. Ketika diminta baik-baik untuk meninggalkan Taman Sriwedari itu, Raden Sukrasana tidak bersedia hingga mengakibatkan Suwanda marah. Tanpa disadarinya, Suwanda mengambil anak panah untuk menakut-nakuti adiknya tersebut hingga terlepas anak panah itu dari busurnya menancap pada dada Sukrasana. Sesal kemudian tidak ada berguna, Suwanda telah membunuh adiknya sendiri hanya demi pengabdiannya kepada raja Mahespati.
Pada peristiwa yang lain terjadi ketika Prabu Harjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati dan delapan ratus putri selirnya sedang mandi bersama-sama di bengawan Silugangga. Prabu Harjunasasrabahu membendung aliran sungai Silugangga dengan cara triwikrama (mengubah wujud penampilan) sebagai raksasa besar pengganti bendungan tersebut agar dapat dipergunakan oleh permaisuri dan selir-selirnya mandi bersama-sama. Akibat bendungan itu, beberapa tempat mengalami banjir besar, salah satunya adalah negeri Alengka. Raja Alengka pada saat itu adalah Rahwana atau Dasamuka, raksasa yang berkepala sepuluh, kemudian menelusuri apa yang menyebabkan negerinya terkena banjir besar. Setelah mengetahui bahwa banjir besar di negerinya itu akibat ulah raja Mahespati, Rahwana pun marah dan memerintahkan pasukannya menyerbu negeri Mahespati. Patih Suwanda yang berada di istana tampil sendirian menghadapi Rahwana dan bala tentaranya. Dia tanpa terlebih dahulu melaporkan kepada rajanya, dengan alasan tidak mau mengganggu sang raja yang sedang bersenang-senang dengan permaisuri dan selir-selirnya. Dalam peperangan itulah akhirnya Patih Suwanda gugur karena kelengahannya. Suwanda gugur karena digigit oleh Rahwana yang dikiranya sudah mati, padahal Rahwana hanya berpura-pura mati.
Teladan berikutnya bagi para wira tamtama dalam Tripama adalah tokoh Kumbakarna, seorang ksatria dari Pangleburgangsa, di negeri Alengka. Ketika terjadi perang besar Alengka dengan prajurit Rama, Patih Prahasta yang menjadi handalan kerajaan Alengka menghadapi bala tentara Rama pun gugur di medan laga. Rahwana yang mendapat kabar itu termenung, bingung, dan bercampur sedih hingga lama tidak berbicara. Setelah hilang kebingungannya, Rahwana menyuruh prajurit raksasa untuk pergi ke ksatrian Pangleburgangsa. Pangleburgangsa adalah tempat tinggal Kumbakarna yang tengah bertapa tidur. Rahwana meminta para raksasa itu membangunkan adiknya yang sedang bertapa tidur. Segala upaya dilakukan oleh para raksasa untuk membangunkan Kumbakarna, misalnya dengan berteriak sekeras-kerasnya dan memukul-mukul segala bunyi-bunyian, tetap saja Kumbakarna tidur pulas. Ketika mereka hampir putus asa, seorang raksasa menemukan cara tepat membangunkan Kumbakarna yang sedang bertapa tidur, yaitu dengan cara mencabut bulu kuduk kakinya.
Usaha raksasa itu berhasil dengan terbangunnya Kumbakarna dari tidurnya. Setelah bangun, Kumbakarna dijamu makanan yang banyak oleh para raksasa yang membangunkannya itu. Setelah selesai Kumbakarna makan dengan lahapnya semua makanan yang tersedia, dia diberitahu tentang keadaan peperangan di negerinya yang telah menggugurkan Patih Prahasta. Tanpa banyak berbicara Kumbakarna langsung menghadap kakaknya di istana. Sekali lagi, Kumbakarna mengingatkan kakaknya, Rahwana, untuk menyerahkan saja Dewi Sinta kepada Rama. Tindakan merebut Dewi Sinta dari tangan Rama jelas keliru dan menyebabkan peperangan dan bencana ini. Peringatan Kumbakarna tidak dihiraukan oleh Rahwana, justru pada saat itu Rahwana marah besar kepada Kumbakarna. Merasa tidak ada gunanya Kumbakarna mengingatkan kakaknya terhadap jalan kebenaran, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada kakaknya, Kumbakarna berangkat ke medan peperangan. Di dalam hatinya, Kumbakarna tidak membela keserakahan dan keangkaramurkaan Rahwana, tetapi dia maju berperang karena membela negara, tanah air leluhurnya, dan sebagai warga negara wajib hukumnya membela tanah airnya.
Di tengah medan peperangan, Kumbakarna berhadapan dengan beribu-ribu prajurit kera dari kerajaan Pancawati. Tanpa mengenal takut terhadap banyaknyaknya musuh yang menghadang, Kumbakarna tetap maju terus menggempur musuh-musuhnya. Korban dari prajurit kera pun berjatuhan satu per satu hingga ribuan jumlahnya. Melihat pasukannya banyak yang gugur di medan laga, Narpati Sugriwa pun maju sendirian menghadapi kemarahan Kumbakarna. Namun, apa daya kekuatan Narpati Sugriwa kalah unggul dengan kesaktian yang dimiliki Kumbakarna. Narpati Sugriwa tak mampu mengakhiri perlawanan Kumbakarna yang dahsyat itu.
Akhirnya, Wibisana meminta kepada Prabu Rama untuk memerintahkan Raden Laksmana maju ke medan laga menghadapi Kumbakarna. Tanpa banyak berbicara Raden Laksmana segera berangkat ke medan laga menghadapi kemarahan Kumbakarna. Berkat panah saktinya yang bernama Sarawara, Raden Laksmana mampu menghancurkan mahkota Kumbakarna, memutuskan kedua tangannya, dan juga mematahkan kedua kaki yang dimiliki oleh Kumbakarna. Tanpa mahkota, tangan, dan kaki lagi, Kumbakarna tetap maju terus melawan musuh. Semua prajurit ketakutan atas sepak terjang Kumbakarna yang demikian itu. Prabu Rama segera mengambil inisiatif dengan melepaskan panah saktinya yang bernama Amogha Sanjata Guawijaya, ketika Kumbakarna sedang berteriak dengan mulutnya yang terbuka lebar. Tepat mengenai telak pangkal lidahnya, Kumbakarna kemudian menemui ajalnya. Kumbakarna gugur sebagai kusuma bangsa membela tanah airnya, yakni negeri Alengka. Hal seperti inilah yang perlu dicontoh oleh semua prajurit wira tamtama negeri ini.
Teladan berikutnya adalah tokoh Narpati Awangga, Basukarna atau Suryatmaja namanya. Dia masih saudara seibu dengan para Pandawa karena anak Dewi Kunthi yang tertua. Akan tetapi, dia kini menjadi bawahan atau mengabdi kepada raja Duryudhana dari negeri Hastinapura. Basukarna terpilih menjadi panglima tertinggi bala tentara Korawa dalam medan perang di padang Kurusetra, yakni perang Baratayudha. Tugas yang diemban Basukarna adalah berperang melawan saudara kandungnya, yakni Raden Dananjaya atau Raden Harjuna. Basukarna dengan senang hati menerima tugas itu karena diberi kesempatan membalas budi kebaikan kepada Prabu Duryudhana. Oleh karena itu, dia kerahkan segala kemampuannya untuk berperang tanding melawan adiknya. Namun, di tengah medan peperangan itu Basukarna gugur kena panah sakti Harjuna tepat mengenai lehernya. Basukarna memang kasatria hebat dan teguh janji.
Perang Baratayudha yang terjadi di padang Kurusetra sudah berjalan beberapa hari lamanya. Kedua belah pihak, baik Pandawa maupun Kurawa, telah banyak kehilangan prajurit dan panglima perangnya. Pada pihak Kurawa telah gugur senopati andalan Bisma, Drona, dan beberapa raja yang telah membantunya. Prabu Duryudhana tertekan batinnya, sedih, dan bingung memilih siapa lagi yang dapat dijadikan panglima perang melawan kekuatan para Pandawa. Atas saran Patih Sengkuni, Prabu Duryudhana akhirnya menunjuk Narpati Awangga, Prabu Basukarna, menjadi panglima perangnya menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur di medan laga. Narpati Basukarna sanggup menjadi panglima perang karena merupakan wujud kesetiaan dan balas budinya kepada Kurawa yang telah memberi kedudukan dan kehidupan kepadanya.
Sebelum berangkat ke medan peperangan, Narpati Basukarna meminta kepada Prabu Duryudhana agar dirinya dapat memperoleh seorang sais kereta yang sepadan dengan kedudukannya. Tentu saja permintaan itu segera dikabulkan oleh Prabu Duryudhana. Akan tetapi, ketika Narpati Basukarna menunjuk Prabu Salya sebagai saisnya, Prabu Duryudhana terkejut bukan kepalang bagaikan disambar petir di siang hari. Prabu Salya adalah mertua Prabu Duryudhana dan sekaligus juga mertua Narpati Basukarna. Mana mungkin seorang menantu berani meminta mertuanya menjadi seorang sais kereta kendaraan perang menantu lainnya. Kebimbangan itu pun akhirnya disampaikan kepada Prabu Salya. Ketika diminta hal itu, pada mulanya Prabu Salya menolak karena merasa direndahkan oleh menantu-menantunya.
Perdebatan pun terjadi cukup lama antara Narpati Basukarna dengan Prabu Salya. Narpati Basukarna telah ditunjuk oleh raja Hastina sebagai panglima perang tertinggi, tentu saja merasa berhak menentukan siapa saja yang menjadi sais kereta perangnya itu. Mereka semua tahu bahwa musuh utamanya yang akan dihadapi adalah Raden Harjuna yang maju di medan perang dengan menggunakan sais kereta Prabu Kresna, raja Duwarawati. Narpati Basukarna merasa pantas menandingi Raden Harjuna apabila sais keretanya adalah Prabu Salya, yakni sais kereta perangnya sama-sama raja yang terhormat. Alasan Basukarna masuk akal dan dapat diterima oleh Kurawa. Prabu Duryudhana segera memohon dengan menghiba-hiba kepada Prabu Salya untuk dapat menjadi sais kereta perang panglima Kurawa yang baru. Menjadi sais kereta perang seorang panglima bukan menghinakan diri atau merendahkan derajat, tetapi justru menjunjung tinggi martabat dan kehormatan negeri Hastina. Atas dasar alasan seperti itulah kemudian dengan berat hati Prabu Salya bersedia menjadi sais kereta perang menantunya, Narpati Basukarna.
Pada mulanya Narpati Basukarna dalam medan perang Baratayudha itu dapat menggugurkan Raden Gatotkaca, putra Bimasena. Atas kemenangannya itu Narpati Basukarna membusungkan dada karena dielu-elukan oleh bala tentara Kurawa. Pihak Pandawa yang kehilangan putra terbaiknya segera mengatur siasat untuk perang tanding. Raden Harjuna harus maju perang tanding melawan Narpati Basukarna kakak sulungnya yang tunggal ibu. Di tengah medan pertempuran keduanya saling mengerahkan tenaga dan kemampuannya agar dapat memenangkan pertandingan hidup dan mati itu. Akhirnya, Narpati Basukarna terkena panah Pasopati milik Raden Harjuna tepat mengenai lehernya. Seketika itu pula gugurlah Narpati Basukarna di tengah medan pertempuran padang Kurusetra. Prajurit-prajurit Pandawa kemudian bersorak-sorai, bergembira ria meluapkan rasa kemenangannya atas gugurnya panglima perang Kurawa. Sebaliknya, para prajurit Kurawa lari pontang-panting menyelamatkan diri. Para Kurawa merasa ketakutan atas kehilangan panglima besar perangnya. Kemudian Raden Harjuna segera menghampiri jasat kakak sulungnya yang seibu itu seraya memeluk tubuhnya. Basukarna gugur sebagai ksatria kusuma bangsa bagi negara Hastina.
Pada bait terakhir, bait ketujuh dari Tripama, Sri Mangkunegara IV berusaha untuk menghimbau kepada para prajurit Mangkunegaran khususnya, kepada orang Jawa umumnya, dan kepada seluruh para wira tamtama yang ada di negeri ini, agar dapat menghargai jerih payah, karya, dan jasa para pendahulunya sesuai dengan darma bakti serta pengorbanannya. Tiga tokoh perumpamaan yang menjadi teladan para prajurit wira tamtama itu hendaknya mampu diterapkan bagi prajurit Mangkunegaran, orang Jawa, dan implikasinya terhadap para tentara dan bayangkara negera Republik Indonesia. Setiap prajurit harus mampu memegang teguh janji dan kesanggupannya sebagai seorang ksatria utama. Oleh karena itu, janganlah menyia-nyiakan jasa dan pengorbanan para pendahulu dan perintis negeri ini. Merekalah yang telah membuat harum dan memartabatkan negeri kita.***
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar