Hikmat Gumelar
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/
Dari belakang panggung, dari balik layar putih yang sepa-ruhnya memerah oleh semburan cahaya lampu, muncul seorang lelaki memakai sarung hitam, kemeja hitam, kopiah hitam, dan syal abu melilit leher. Untuk ukuran umum lelaki Indonesia, lelaki itu tinggi dan besar. Akan tetapi, saat berjalan membentuk sepatu kuda, langkahnya tampak berat. Badannya tampak rapuh, dan saat berkata, suaranya terdengar mengandung duka. Pelan dan agak serak.
“Pulang dari tahlilan 40 hari berpulangnya W.S. Rendra di Bengkel Teater, Citayam, pintu rumah saya terkunci. Saya terpaksa mengambil jalan samping. Di teras yang menghadap ke kebun, saya tertegun. Pada salah satu kursi, duduk sosok yang membuat darah saya tersirap.
“Mas?”
“Tak ada jawaban. Saya mencoba menenangkan perasaan. Malam sedang di puncaknya. Tetapi ada dering jengkrik yang membuat saya tenang. Saya coba menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar.
“Ada apa, Mas?”
“Tidak ada jawaban. Atau saya yang tidak mendengar. Saya hindari semua pertanyaan di kepala dan menghadapi itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.”
“Aku paham. Memang tidak mudah. Buatmu. Juga buat kami. Mas harus pergi. Padahal sejak malam purnama 6 Agustus itu, Mas selalu hadir di hati kami.”
Begitulah Putu Wijaya membuka “Burung Merak”, monolog yang naskahnya, aktornya, dan penyutradaraannya diborong olehnya. Yang dipanggil “Mas” di teater arena Dewi Asri, STSI Bandung, pada Minggu malam, 8 November lalu, itu tak lain adalah Rendra.
Mengenang legenda
Kita ingat, Rendra wafat pada Kamis malam, 6 Agustus lalu. Akan tetapi, oleh banyak kalangan, ia dianggap tokoh. Hal ini wajar. Sebagai penyair, misal, Rendra tak hanya melejit sejak ia di SMA Santo Josef Solo. Ia pun melakukan hal yang unik dan menciptakan tradisi. Ia mampu menulis puisi lirik dengan baik. Ketika para penyair kita demam puisi lirik sebagai pengaruh dari Chairil Anwar, ia malah menulis puisi-puisi balada. Bahkan kemudian, ia menulis puisi-puisi balada yang lebih terbuka menggugat buruknya kenyataan-kenyataan sosial, dan mengumpulkannya dalam buku bertajuk “Potret Pembangunan dalam Puisi”, semula tajuknya “Pamflet Penyair”. Antologi ini kontroversial. Tak sedikit sastrawan yang menyesalkan dan mencercanya. Rezim Orba juga panik dan kalap. Tetapi Rendra malah membacakan puisi-puisi dalam antologi tersebut di berbagai tempat, dan sebagiannya di tengah mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.
Dalam hal yang satu ini, Rendra memang sudah terlatih. Saat kuliah di Fasa UGM, ia sudah sohor sebagai deklamator. Menurut Bakdi Sumanto, “pada awal 1960-an, Rendra menjadi tumpuan mahasiswa-mahasiswi untuk mendapatkan latihan berdeklamasi”. Pemungkinnya bukan hanya “karena ia mampu mengolah vokalnya sehingga kata-kata yang diucapkannya terdengar distingtif, tetapi yang lebih penting logika larik, frasa, dan kalimat sajak tampak terstruktur dengan jelas”. Selain karena Rendra sudah (mulai) terasah sebagai penyair, pun karena ia tengah tumbuh sebagai aktor teater.
Jalan keaktoran Rendra, seperti diakuinya, dibantu Umar Kayam. Saat main dalam “Hanya Satu Kali” yang disutradarai Kayam di tahun 1955, oleh sang sutradara, ia digembleng akting realis. Keaktorannya kian matang saat ia di Amerika Serikat (1964-67), belajar di American Academy of Dramatic Art, tempat antara lain Robert de Niro dan Dani de Vito mempelajari teater. Tetapi Rendra bukan saja seorang aktor yang karismatik. Ia lalu tumbuh jadi sutradara mumpuni dan pendiri kelompok teater fenomenal: Bengkel Teater. Grup ini antara lain menggebrak dengan memainkan beberapa nomor improvisasi (1968), antara lain “Bib Bob”, yang lalu beken sebagai “teater mini kata”, label yang diberikan Goenawan Mohamad. Memang ada yang mencaci sajian mini kata. Tetapi ini malah membuat bengkel tambah melambung. Pada Maret 1971, Goenawan menulis, seusai itu, tiap pementasan Bengkel di Pusat Kesenian Jakarta, selalu didatangi penonton yang “berbondong-bondong seperti nonton sepak bola–satu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah teater modern di sini”.
Rendra juga seorang yang terjun dalam kancah sosial politik. Hal ini makin jauh sekembali ia dari Amerika. Selain karena melihat beragam model gerakan sosial politik, pun selama di sana, ia kecanduan sosiologi dan antropologi, dua ilmu yang memberinya perspektif, motivasi, dan legitimasi untuk tambah mewujudkan komitmen sosialnya yang memang besar. Itulah yang antara lain membuatnya berulang berurusan dengan pihak keamanan. Pementasannya berulang dilarang. Begitu pula buku-bukunya. Bahkan pernah ia sampai dijebloskan dalam bui. Itu pula, saya kira, yang membuat Rendra jadi legenda.
Manusia biasa
Dalam Burung Merak, Putu tampak bersemangat menyemburkan cemasnya akan implikasi Rendra sebagai legenda. Ia menyebut lima kelebihan Rendra, yakni pantang menyerah, berani melawan, gagah dalam kemiskinan, kritis dalam memaknai tradisi, dan selalu menggunakan sudut pandang baru dalam membaca keadaan. Tetapi lima hal yang dinilai Putu penting dan relevan ini bisa lenyap justru oleh pengangkatan Rendra sebagai idola, “simbol perjuangan”, “inspirasi kegagahan.” Menurutnya, jika demikian, Rendra akan jadi dongeng yang tak habis-habisnya sehingga Rendra sendiri akan habis.
Putu mengajak kita melihat Rendra dengan menggunakan cara pandang baru, hal yang, seperti telah dikata, merupakan salah satu kelebihan Rendra. Adapun cara pandang baru itu adalah melihat Rendra sebagai “manusia biasa dengan segala keterbatasan, ketidakmampuan, kekurangan, bahkan dosa-dosa”.
Demi memungkinkan ajakannya disambut, Putu memilih bentuk yang membaurkan main-main dan serius. Rendra dihadirkan dengan menghidupkan boneka putih raksasa buatan perupa Tisna Sanjaya. Boneka yang semula dibuat untuk monolog “Zetan” ini bisa dinaikkan, diturunkan, bergerak-gerak, dan membentuk beragam pose dengan cara menarik sejumlah tali yang diikatkan pada sejumlah bagian boneka seperti dua pergelangan kaki, dua pergelangan tangan, punggung dan bagian belakang kepala. Letak boneka nyaris rapat dengan layar putih. Tetapi boneka ini tak senantiasa berfungsi menerbitkan asosiasi kepada Rendra. Kadang sekadar elemen visual. Kadang sekadar mainan. Putu sengaja memberinya berbagai fungsi. Ia pun sengaja berganti-ganti peran. Kadang sebagai aktor. Kadang sebagai dirinya.
Sebagai aktor, Putu tampak terbiasa dengan bentuk teater rakyat seperti longser. Ia begitu mudah berpindah peran. Memang saat di Bengkel Teater, Putu sohor sebagai jago improvisasi. Dan Teater Mandiri, kelompok teater yang didirikannya sekeluar dari Bengkel Teater, adalah kelompok yang menjadikan improvisasi sebagai salah satu tumpuannya. Tetapi saat bermain di Dewi Asri, tenaga Putu terasa kurang mendukung. Vokalnya juga begitu. Memang ia coba mengatasinya dengan bantuan pengeras suara. Namun, gerak-gerak besar dan menghentak kerap membuat vokal Putu seperti di luar kontrolnya. Putu juga terkesan mau mengandalkan seni rupa. Secara seni rupa, beberapa pertunjukannya memang memukau. Tetapi tata cahaya malam itu terasa belum tergarap optimal. Burung Merak juga terbebani peluang yang disediakannya. Monolog ini menyediakan dirinya untuk diawali beberapa pembacaan puisi oleh siapa yang bukan dari Teater Mandiri. Begitu pula di tengahnya. Hal ini sebetulnya bisa menguatkan Burung Merak jika yang membaca puisi itu menginsyafi dan menguasai hukum permainan Burung Merak. Tetapi mereka seakan melupa ruang tempat mereka membaca puisi.
Meski demikian, sampai usai pertunjukan, saya tak melihat ada penonton yang beranjak dari tempat duduk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Yang terang, hemat saya, menemukan dan menggunakan cara pandang baru adalah hal yang memang perlu, dan bukan saja untuk melihat Rendra, tapi pun untuk melihat kenyataan sehari-hari kita.***
*) Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar