Minggu, 10 Oktober 2010

Burung Merak Putu Wijaya

Hikmat Gumelar
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

Dari belakang panggung, dari balik layar putih yang sepa-ruhnya memerah oleh semburan cahaya lampu, muncul seorang lelaki memakai sarung hitam, kemeja hitam, kopiah hitam, dan syal abu melilit leher. Untuk ukuran umum lelaki Indonesia, lelaki itu tinggi dan besar. Akan tetapi, saat berjalan membentuk sepatu kuda, langkahnya tampak berat. Badannya tampak rapuh, dan saat berkata, suaranya terdengar mengandung duka. Pelan dan agak serak.

“Pulang dari tahlilan 40 hari berpulangnya W.S. Rendra di Bengkel Teater, Citayam, pintu rumah saya terkunci. Saya terpaksa mengambil jalan samping. Di teras yang menghadap ke kebun, saya tertegun. Pada salah satu kursi, duduk sosok yang membuat darah saya tersirap.

“Mas?”

“Tak ada jawaban. Saya mencoba menenangkan perasaan. Malam sedang di puncaknya. Tetapi ada dering jengkrik yang membuat saya tenang. Saya coba menerima kenyataan itu sebagai sesuatu yang wajar.

“Ada apa, Mas?”

“Tidak ada jawaban. Atau saya yang tidak mendengar. Saya hindari semua pertanyaan di kepala dan menghadapi itu sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.”

“Aku paham. Memang tidak mudah. Buatmu. Juga buat kami. Mas harus pergi. Padahal sejak malam purnama 6 Agustus itu, Mas selalu hadir di hati kami.”

Begitulah Putu Wijaya membuka “Burung Merak”, monolog yang naskahnya, aktornya, dan penyutradaraannya diborong olehnya. Yang dipanggil “Mas” di teater arena Dewi Asri, STSI Bandung, pada Minggu malam, 8 November lalu, itu tak lain adalah Rendra.

Mengenang legenda

Kita ingat, Rendra wafat pada Kamis malam, 6 Agustus lalu. Akan tetapi, oleh banyak kalangan, ia dianggap tokoh. Hal ini wajar. Sebagai penyair, misal, Rendra tak hanya melejit sejak ia di SMA Santo Josef Solo. Ia pun melakukan hal yang unik dan menciptakan tradisi. Ia mampu menulis puisi lirik dengan baik. Ketika para penyair kita demam puisi lirik sebagai pengaruh dari Chairil Anwar, ia malah menulis puisi-puisi balada. Bahkan kemudian, ia menulis puisi-puisi balada yang lebih terbuka menggugat buruknya kenyataan-kenyataan sosial, dan mengumpulkannya dalam buku bertajuk “Potret Pembangunan dalam Puisi”, semula tajuknya “Pamflet Penyair”. Antologi ini kontroversial. Tak sedikit sastrawan yang menyesalkan dan mencercanya. Rezim Orba juga panik dan kalap. Tetapi Rendra malah membacakan puisi-puisi dalam antologi tersebut di berbagai tempat, dan sebagiannya di tengah mahasiswa yang sedang berdemonstrasi.

Dalam hal yang satu ini, Rendra memang sudah terlatih. Saat kuliah di Fasa UGM, ia sudah sohor sebagai deklamator. Menurut Bakdi Sumanto, “pada awal 1960-an, Rendra menjadi tumpuan mahasiswa-mahasiswi untuk mendapatkan latihan berdeklamasi”. Pemungkinnya bukan hanya “karena ia mampu mengolah vokalnya sehingga kata-kata yang diucapkannya terdengar distingtif, tetapi yang lebih penting logika larik, frasa, dan kalimat sajak tampak terstruktur dengan jelas”. Selain karena Rendra sudah (mulai) terasah sebagai penyair, pun karena ia tengah tumbuh sebagai aktor teater.

Jalan keaktoran Rendra, seperti diakuinya, dibantu Umar Kayam. Saat main dalam “Hanya Satu Kali” yang disutradarai Kayam di tahun 1955, oleh sang sutradara, ia digembleng akting realis. Keaktorannya kian matang saat ia di Amerika Serikat (1964-67), belajar di American Academy of Dramatic Art, tempat antara lain Robert de Niro dan Dani de Vito mempelajari teater. Tetapi Rendra bukan saja seorang aktor yang karismatik. Ia lalu tumbuh jadi sutradara mumpuni dan pendiri kelompok teater fenomenal: Bengkel Teater. Grup ini antara lain menggebrak dengan memainkan beberapa nomor improvisasi (1968), antara lain “Bib Bob”, yang lalu beken sebagai “teater mini kata”, label yang diberikan Goenawan Mohamad. Memang ada yang mencaci sajian mini kata. Tetapi ini malah membuat bengkel tambah melambung. Pada Maret 1971, Goenawan menulis, seusai itu, tiap pementasan Bengkel di Pusat Kesenian Jakarta, selalu didatangi penonton yang “berbondong-bondong seperti nonton sepak bola–satu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah teater modern di sini”.

Rendra juga seorang yang terjun dalam kancah sosial politik. Hal ini makin jauh sekembali ia dari Amerika. Selain karena melihat beragam model gerakan sosial politik, pun selama di sana, ia kecanduan sosiologi dan antropologi, dua ilmu yang memberinya perspektif, motivasi, dan legitimasi untuk tambah mewujudkan komitmen sosialnya yang memang besar. Itulah yang antara lain membuatnya berulang berurusan dengan pihak keamanan. Pementasannya berulang dilarang. Begitu pula buku-bukunya. Bahkan pernah ia sampai dijebloskan dalam bui. Itu pula, saya kira, yang membuat Rendra jadi legenda.

Manusia biasa

Dalam Burung Merak, Putu tampak bersemangat menyemburkan cemasnya akan implikasi Rendra sebagai legenda. Ia menyebut lima kelebihan Rendra, yakni pantang menyerah, berani melawan, gagah dalam kemiskinan, kritis dalam memaknai tradisi, dan selalu menggunakan sudut pandang baru dalam membaca keadaan. Tetapi lima hal yang dinilai Putu penting dan relevan ini bisa lenyap justru oleh pengangkatan Rendra sebagai idola, “simbol perjuangan”, “inspirasi kegagahan.” Menurutnya, jika demikian, Rendra akan jadi dongeng yang tak habis-habisnya sehingga Rendra sendiri akan habis.

Putu mengajak kita melihat Rendra dengan menggunakan cara pandang baru, hal yang, seperti telah dikata, merupakan salah satu kelebihan Rendra. Adapun cara pandang baru itu adalah melihat Rendra sebagai “manusia biasa dengan segala keterbatasan, ketidakmampuan, kekurangan, bahkan dosa-dosa”.

Demi memungkinkan ajakannya disambut, Putu memilih bentuk yang membaurkan main-main dan serius. Rendra dihadirkan dengan menghidupkan boneka putih raksasa buatan perupa Tisna Sanjaya. Boneka yang semula dibuat untuk monolog “Zetan” ini bisa dinaikkan, diturunkan, bergerak-gerak, dan membentuk beragam pose dengan cara menarik sejumlah tali yang diikatkan pada sejumlah bagian boneka seperti dua pergelangan kaki, dua pergelangan tangan, punggung dan bagian belakang kepala. Letak boneka nyaris rapat dengan layar putih. Tetapi boneka ini tak senantiasa berfungsi menerbitkan asosiasi kepada Rendra. Kadang sekadar elemen visual. Kadang sekadar mainan. Putu sengaja memberinya berbagai fungsi. Ia pun sengaja berganti-ganti peran. Kadang sebagai aktor. Kadang sebagai dirinya.

Sebagai aktor, Putu tampak terbiasa dengan bentuk teater rakyat seperti longser. Ia begitu mudah berpindah peran. Memang saat di Bengkel Teater, Putu sohor sebagai jago improvisasi. Dan Teater Mandiri, kelompok teater yang didirikannya sekeluar dari Bengkel Teater, adalah kelompok yang menjadikan improvisasi sebagai salah satu tumpuannya. Tetapi saat bermain di Dewi Asri, tenaga Putu terasa kurang mendukung. Vokalnya juga begitu. Memang ia coba mengatasinya dengan bantuan pengeras suara. Namun, gerak-gerak besar dan menghentak kerap membuat vokal Putu seperti di luar kontrolnya. Putu juga terkesan mau mengandalkan seni rupa. Secara seni rupa, beberapa pertunjukannya memang memukau. Tetapi tata cahaya malam itu terasa belum tergarap optimal. Burung Merak juga terbebani peluang yang disediakannya. Monolog ini menyediakan dirinya untuk diawali beberapa pembacaan puisi oleh siapa yang bukan dari Teater Mandiri. Begitu pula di tengahnya. Hal ini sebetulnya bisa menguatkan Burung Merak jika yang membaca puisi itu menginsyafi dan menguasai hukum permainan Burung Merak. Tetapi mereka seakan melupa ruang tempat mereka membaca puisi.

Meski demikian, sampai usai pertunjukan, saya tak melihat ada penonton yang beranjak dari tempat duduk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Yang terang, hemat saya, menemukan dan menggunakan cara pandang baru adalah hal yang memang perlu, dan bukan saja untuk melihat Rendra, tapi pun untuk melihat kenyataan sehari-hari kita.***

*) Sutradara Teater Prung dan aktif di Institut Nalar Jatinangor.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati